Bismillah
"Istriku Kuyang"
#part_5
#by: Ratna Dewi Lestari.
Krekkkkk!
"Ah, sial pintu bergerak!" pikirku kalut.
Arini dan ibunya serentak menatap ke arahku.
Beruntung aku sempat menyembunyikan diri di balik pintu. Merekapun melanjutkan kembali memakan seonggok daging berdarah sambil bercakap-cakap.Dag-dig-dug!
Sumpah jantungku rasanya mau copot. Sungguh menjijikkan tingkah laku Arini dan ibunya. Sebenarnya siapa mereka?
Perlahan akupun beranjak dari lantai dan kembali ke peraduan. Berpura-pura tidur kembali.
Krekkkkkk!
Drap-drap-drap!
Perlahan kudengar suara kaki Arini memasuki kamar. Jantungku rasa mau copot ketika ia merebahkan tubuhnya di sampingku. Bau anyir menyeruak dari tubuh indahnya. Sekuat mata ku paksa mataku untuk terpejam. Berdoa dalam hati agar bisa segera tidur. Aku benar-benar menjadi takut dengan istriku sendiri saat ini. Arini, apa sebenarnya yang terjadi denganmu, Sayang?
***
Kejadian malam kemarin membuat ku terjaga hingga pagi hari. Walau kepala masih sangat pusing aku paksakan untuk bangun. Perlahan aku beranjak keluar kamar dengan mengendap-endap. Arini nampaknya sedang memasak di dapur. Rasa takut kian menyergap hatiku.
Tanpa di ketahui Arini, aku menatap aktifitasnya memasak dari balik dinding penyekat dapur dan ruang keluarga. Ku lihat Arini mendekati kulkas dan merunduk seperti mengambil sesuatu.
Deg!
Nanar ku lihat Arini mengambil benda yang berbentuk seperti kendi. Ia membuka penutupnya dan mengambil seonggok daging merah berlumuran darah kental yang menghitam.
Huekkkk!
Segera ku tutup mulutku. Takut Arini mengetahui keberadaanku. Benar-benar di luar dugaanku. Daging itu tanpa di cuci langsung dipotong kecil-kecil dan di masukkan ke dalam wajan penggorengan beserta bumbu-bumbu yang telah di haluskan.
Sambil bernyanyi kecil Arini tampak sangat menikmati kegiatannya memasak hari ini.
Plukkk!
Jantungku rasanya berhenti berdetak saat sesuatu menepuk punggunggku pelan. Aku pun segera menoleh dan ...
"Ngapain kamu, Nak! berdiri di sini," ucap Ayah sembari tersenyum melihatku.
"Ah, ga apa-apa, Yah," jawabku berbohong. Aku takut Ayah mengetahui perbuataku yang sedang mengintip Arini.
"Eh, Abang, ngapain berdiri di situ! ayo sarapan, Bang!" ajak Arini begitu melihatku sedang berbincang dengan Ayahnya.
"Oia, Dek, Abang mandi dulu, ya ,Dek!" ucapku berusaha biasa saja padahal dalam hati sudah tak karuan.
Selesai mandi, dengan kaki gemetar aku mendekat ke meja makan bersama dengan Arini , ayah, ibu dan adeknya. Mereka menatapku dengan senyuman yang terkembang.
Jujur sebelum aku tahu banyak keanehan di diri Arini dan ibunya, aku selalu bahagia dan nyaman dengan keluarganya . Namun, berbeda dengan saat ini. Suasana ku rasa sangat mencekam .
"Abang, makan ini ... Bang, ini enak banget loh, Bang, rica-rica daging spesial ," Arini menyodorkan rica-rica daging yang nampaknya sangat lezat tapi malah membuatku amat mual. Teringat pada saat Arini memasaknya tadi .
"Em, Dek, Abang kepingin telor ceplok aja, Dek, kita ada stok telor kan, Dek?" jawabku berusaha menolak halus masakannya. Arini nampak mengernyitkan dahi, mungkin merasa aneh dengan tolakanku tadi. Namun, akhirnya Arini beranjak dari duduknya dan memasak telor seperti permintaanku tadi.
Kulihat adek dan ayah Arini menyantap masakan Arini dengan lahap, begitu pun ibunya. Walaupun menahan mual kupaksakan mulutku untuk mengunyah. Secepat nya kuhabiskan makanan dan pergi bekerja setelah menunggu Arini bersiap-siap.
***
Di sepanjang jalan aku hanya diam seribu bahasa. Pikiranku menerawang jauh. Arini pun sepertinya tak memperdulikan sikapku . Terbukti ia hanya menatap ke luar jendela seperti mencari dan memperhatikan sesuatu. Entah apa yang ada di pikirannya. Aku pun tak mau tahu .
***
"Bang, kita langsung pulang 'kan?Adek mau pergi sebentar dengan ibu nanti," ucap Arini membuyarkan lamunanku.
"Iya, Dek, tumben kamu mau keluar malam," jawabku sekenanya. Sedikit penasaran memang. Tak biasanya Arini keluar malam bersama ibunya.
"Temanku Wita habis lahiran, Adek berniat menjenguknya bersama ibu nanti, pinjam mobil ya, Bang?" kata Arini dengan wajah yang berbinar.
"Iya, Dek, Abang nanti istirahat aja,ya, Dek. Badan Abang capek," jawabku pelan. Mataku lurus ke depan. Aku takut menatap wajah Arini dengan semua hal-hal yang meliputinya beberapa hari ini.
Aku berpura-pura tidur ketika mobil menderu dan meninggalkan pekarangan depan. Secepat kilat aku beranjak dari peraduan dan berlari menuju motor yang memang sengaja ku parkir di samping rumah. Beruntung ayah dan adiknya sudah tertidur di kamar.
Arini memacu mobil pelan menembus kegelapan malam. Kuikuti dari jauh takut Arini mengetahui keberadaanku. Penasaran dengan kehidupan Arini sebenarnya . Semakin kesini aku semakin tak mengenal Arini.
Mobil berbelok dan melaju di jalan yang lenggang. Kulihat jam tanganku yang saat itu menunjukkan pukul setengah sepuluh malam .
Tiba-tiba mobil Arini memasuki jalanan tanah yang lumayan sempit , cukup hanya lewat satu mobil saja. Mobil itu berhenti begitu saja di pinggir jalan. Aku berhenti dan memperhatikan dari balik semak-semak yang ada di sisi kanan dan kiri jalan.
Lama ku perhatikan tapi Arini dan ibunya tak jua keluar dari dalam mobil. Yang kulihat hanya mobil yang sedikit bergoyang, entah apa yang mereka lakukan di dalam. Rasa penasaranku semakin membuncah.
Tak lama kulihat sesuatu dari dalam mobil melalui jendela. Karena di sini amat gelap , aku hanya melihat sesuatu terbang melesat cepat membumbung ke udara. Samar-samar nampak seperti rambut yang terkibar.
Dengan tubuh gemetar ku dekati mobil Arini begitu ku rasa keadaan sudah semakin aman. Berbekal cahaya senter dari ponsel aku mulai memeriksa keadaan Arini di dalam mobil. Ku arahkan cahaya ponsel di kursi depan. Sedikit merunduk aku pun mulai menyenter dengan perlahan .
"Astagaaaaa!"
Mataku seketika terkesima melihat pemandangan mengerikan yang tersedia di hadapanku saat ini. Dua buah tubuh tanpa kepala sedang duduk terpaku tiada pergerakan. Hanya sedikit darah menetes dengan menyisakan bolongan di tengah-tengah leher.
Tubuhku gemetar hebat. Lemas dan tiada berdaya . Sebenarnya siapakah istriku ini?
Aku ingin segera berlari. Namun kakiku seolah terhenti tatkala kulihat bayangan berkelebat tak jauh dari tempatku berdiri. Aku lalu ...
Bersambung .....
Kbm apk dah tamat 🤗
Bismillah "Istriku Kuyang" #part_6 #by: Ratna Dewi Lestari. Aku lalu bersembunyi di bawah mobil. Samar-samar kulihat bayangan melesat mendekat. Ku tutup mulut dengan tangan yang bergetar. Sosok itu mengitari mobil seperti mencari sesuatu. Peluh membanjiri wajah dan tubuhku. Jelas terlihat dimataku dengan jarak dua meter, bagian bawah makhluk itu hampir menyentuh tanah. Usus terburai dengan ginjal, hati, dan organ dalam lain menggantung. Darah menetes di tanah seiring dengan pergerakannya melayang hampir menyentuh tanganku. Sungguh beruntung nasibku, tak lama makhluk itu terbang menjauh. Perlahan aku keluar dari persembunyianku. Ku tatap dua kepala dengan usus terburai melayang cukup jauh dari tempatku berdiri. Sudah kadung tau siapa Arini, aku memilih untuk mengikuti kedua sosok itu yang kutahu itu ibu dan juga Arini.
Bismillah "Istriku Kuyang"#part_7#by: Ratna Dewi Lestari Tiba-tiba kulihat sekelebat bayangan hitam hampir mengenai kepalaku. Aku pun segera merunduk. Penasaran bercampur takut. Setelah kuperhatikan dengan seksama, rupanya bayangan itu hanya bayangan kalelawar pemakan buah yang sedang melintas. Srek-srek-srek! Sekilas kudengar suara langkah kaki yang di seret perlahan. Belum sempat ku berbalik sesuatu membekap mulutku kuat. Aku sempat berontak, tapi begitu ia mengusung sebuah parang panjang, nyaliku berubah ciut. Aku hanya bisa pasrah ketika sosok itu menyeret paksa tubuhku. Dalam keremangan malam dengan sedikit sinar bulan sabit karena tertutup mendung, samar-samar ku lihat tangan seseorang yang berotot dan sangat kekar. Tenaga nya pun kuat. Mudah saja ketika ia membawaku masuk lebih dalam ke hutan yang tak jauh dari rumah Arini.&
Bismillah "Istriku Kuyang"#part_8#by;Ratna Dewi Lestari. "Begini ... cepat kau bawa kayu ini dan juga bawang merah ini," sahut Ayah seraya menyerahkan sebuah kayu berukuran sejari kelingking orang dewasa dan bawang merah. Aku menerimanya dengan kening yang mengkerut, bingung "Jangan banyak tanya, ini penangkal kuyang. Ia tidak akan bisa mencelakaimu," jelas Ayah kemudian. Ia lalu memelukku erat. Usapan tangannya lembut menyentuh punggungku. "Terimakasih, Ayah," ucapku lirih. Air mata sempat mengalir tanpa bisa kutahan. Perih memikirkan nasib rumah tanggaku. "Maafkan Ayah, Nak. Sebenarnya Ayah sangat menyayangimu. Bagiku kamu menantu yang Ayah idam-idamkan. Itulah mengapa Ayah merahasiakan jati diri Arini," sesal Ayah. "Sekarang pergilah sebelum fajar tiba, biasanya saat seperti itu Arini dan Ibunya pulang," lanjut Ayah lagi.
Bismillah "Istriku Kuyang "#part_9# by: Ratna Dewi Lestari. "Tolong ... ada kuyang! siapa pun tolong aku!" teriakku histeris. Jarak antara aku dan mobil cukup dekat, tapi rasanya sangat jauh, aku sudah sangat lelah berlari. Arini yang sudah berubah menjadi kuyang melesat kian mendekat. Jarak kami mungkin hanya tinggal lima belas meter lagi. Rasa takut bukan kepalang, tak bisa kubayangkan jika aku tertangkap Bughhh! "Dasar sial!" makiku dalam hati. Bisa-bisanya dalam keadaan genting begini kakiku menyandung batu hingga tubuhku terjerembab di tanah yang bercampur lumpur. Belum sempat berdiri, di hadapanku Arini terbang mengambang menatapku. Ibunya tak lagi mau mengikutiku. Nampak jelas wajah Arini yang pucat dengan mata merah yang menyorot tajam. Ia mengeram marah. Darahnya menet
Bismillah "Istriku Kuyang"#part_10#by:Ratna Dewi Lestari. Dok-dok-dok! " Bangun-bangun!" Aku segera terkesiap dari tidurku. Lelah masih membelenggu tubuhku. Bola mataku tiba-tiba membesar melihat seseorang tegak sembari menggedor-gedor kaca mobilku. Kuperhatikan dengan seksama, sepertinya pernah mengenal Ibu itu. "Cepat, buka!" teriaknya lagi. Dengan tergesa kubuka segera pintu mobil. Ia dengan lirih berkata," cepat pergi dari sini! ikuti aku kalau kau tak mau mati," Aku segera mengangguk cepat. Mengikuti si Ibu menjauhi rumah Arini. Suasana sekitar masih sepi. Remang-remang belum tersentuh sinar matahari pagi. Berarti aku mungkin hanya tertidur sekitar sepuluh menit saja sebelum akhirnya di bangunkan oleh si Ibu. Kami berlari menyusuri jalan menuju rumah s
Bismillah "Istriku Kuyang "#part_11#by: Ratna Dewi Lestari. "Kamu harus berani membalikkan badannya jika kami ingin terlepas dari cengkramannya. Karena jika kamu bersikukuh tetap membiarkannya hidup, hidupmu tak akan tenang. Kemanapun kamu pergi, ia bisa dengan mudah menemukanmu!" jelas Ibu warung. "Huffffttt," aku menghela nafas panjang. Sesak rasanya dadaku. Entah apa salahku masuk ke dalam lingkaran hitam ini. Memangsa atau di mangsa. Sama-sama hal yang tidak kusukai. "Pikirkan hidupmu. Pikirkan duniamu. Ini bukan akhir, tapi inilah awal dari perjalanan hidupmu. Aku hanya ingin menolong mu, karena ...," ibu tiba-tiba menghentikan ceritanya. "Karena, apa Bu?" selidikku. Penasaran dengan ucapannya. "Karena anakku dulu adalah salah satu korban kejahatan mereka," jawabnya dengan pandangan mata ke atas . Men
Bismillah "Istriku Kuyang"#part_12# by: Ratna Dewi Lestari. Dengan sedikit keahlianku, perlahan ku jebol paksa jendela kamar Arini. Perlahan namun pasti, jendela itu terbuka tanpa mengeluarkan suara. Aku dengan leluasa masuk ke dalam kamar. Kaki berjinjit mendekati tubuh tanpa kepala yang kini bersandar di pintu. Kuperhatikan tubuh itu dengan seksama. Amat mengerikan. Tubuh itu utuh tapi dengan kepala yang terpenggal, tengah lehernya berongga. Ku genggam kakinya dan kutarik pelan-pelan agar ketika jatuh tidak mengeluarkan suara. Brukkkkk! Ah, sial! tubuh Arini menghentak dan menimbulkan suara yang lumayan kuat. Darahku berdesir hebat. Tamatlah riwayatku kali ini. Drap-drap-drap! Suara langkah kaki terdengar kuat menuju kamarku. Tak salah lagi. Ini past
Bismillah "Istriku Kuyang"#part_13#by: Ratna Dewi Lestari. "Jangan sentuh tubuhku!" seseorang berteriak menggelegar mengagetkanku. Tanganku serta merta ku tarik dan membalikkan badan dengan segera. Tatapan mataku nanar melihat dua kepala dengan usus terburai itu menatap tajam ke arahku. Kali ini aku tak bisa mengelak. Tamatlah riwayatku, serasa nyawa sudah di ujung. Tubuhku bergetar hebat, keringat dingin mengucur deras. Jantung seakan mau copot. Seketika tubuh ku melemah dan semangat itu terbang melayang. Arini menyeringai dengan bibir yang terkembang. Mata nya menyala merah seperti darah. Ia kemudian mendekat. Aku tak kehabisan akal, tubuh Arini teronggok tak jauh dari kakiku. Aku beringsut mendekat ke tubuhnya, dan ... "Jangan, Bang! jangan lakukan itu!" pekik Arini begitu tubuhnya ku sentuh. Berniat m