“Bu Nilakandi mengalami cedera kepala yang berat sehingga masuk ke dalam fase koma, kami akan melakukan MRI untuk mengecek kondisinya.” Kata dokter, berusaha menjelaskan pada Kelam bagaimana kondisi istrinya sekarang. Nafasnya tercekat, pandangannya sudah begitu kabur karena mendengar hal yang tidak ingin dia dengar.
“B…..berapa lama dok?” Tanya Kelam, berusaha mengumpulkan semua indera sadarnya.
“Kami sendiri tidak bisa memastikan, ini semua tergantung keadaan bu Nilakandi.” Dokter menjelaskan sekali lagi, “Dan pak Kelam, mohon maaf, apakah bapak tahu kalau bu Nilakandi sedang mengandung?”
Kelam menatap dokter itu dengan mata melotot, dia memgerenyit.
“Mengandung?”
“Ya, bu Nilakandi tengah hamil, usia kehamilannya memasuki 12 minggu.”
Kelam masuk ke dalam kamar rawat, kini kedua orang yang dia sayangi terbaring berdampingan. Soga, anak sulungnya belum juga bangun dari tidurnya. Dokter anak tidak menyatakan dia koma, kemungkinan tubuhnya memang sedang beradaptasi dengan apa yang terjadi.
Bibirnya bergetar, lidahnya terasa kelu, apa yang dia alami sekarang bagaikan mimpi buruk di siang bolong. Dia mencubit tangannya sendiri, berusaha membuat dirinya sadar kalau ini semua hanyalah mimpi buruk, dan begitu dia terbangun dia bisa mendengar suara Soga serta Sarala memanggil dirinya dari pintu kamar.
“Pa! Papa! Bangun! Ayo main!”
“Pa, ih, anaknya bangunin terus tuh daritadi, ayo bangun.”
Tapi tidak, apa yang dia alami adalah nyata. Meskipun cubitan itu terus menghujami tangannya, dia tidak pernah terbangun dari mimpi buruknya.
“Pak Kelam, bapak pulang dan istirahat saja, biar kami yang disini menjaga ibu dan tuan kecil.” Kata bi Isah bersama dengan bi Miah yang mengiyakan, keduanya adalah ART kepercayaan Kelam.
Kelam menggeleng, “Gak bi, saya mau disini aja, mau nungguin mereka berdua bangun..” Ucapnya getir, duduk di sebelah tempat tidur Soga dan mengelus bocah itu lembut.
Bi Isah dan bi Miah menatap sedih, mereka tahu benar bagaimana keluarga kecil ini. Mereka begitu manis dan kompak.
Kelam, meskipun sibuk dengan pekerjaan akan selalu meluangkan waktunya untuk keduanya. Dia akan mengajak si kecil Soga berjalan-jalan bahkan hanya sekedar mengelilingi komplek, mendorong sepeda roda empat bocah itu dengan alat seperti kayu panjang yang dibeli Sarala di salah satu e-commerce karena Soga masih takut untuk melepas kedua roda kecil di belakang sepedanya dan malas mengayuh.
Hari-hari terasa berjalan begitu lambat, Kelam menjalani hari tanpa semangat. Dia bangun dan berangkat dari Rumah Sakit serta pulang kembali ke Rumah Sakit. Ini sudah hari ketiga, MRI sudah dilakukan, benar ada cedera yang cukup serius di kepala Sarala.
Dia khawatir, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk membuat Sarala membuka matanya, dia percaya para dokter di Rumah Sakit ini sudah melakukan hal terbaik mereka.
Keadaan Sarala kini bahkan sedikit memburuk, karena dia tengah hamil tim dokter harus berkonsultasi dengan dokter Obgyn untuk mencukupi kebutuhan bayi di dalam kandungannya.
“Jika bayinya memang membahayakan untuk keadaan Sarala sekarang, saya tidak masalah jika harus digugurkan.” Jawab Kelam ketika tim dokter bertanya mengenai pendapatnya mengenai aborsi yang kemungkinan dilakukan untuk menyelamatkan nyawa Sarala jika dalam satu minggu ke depan tidak ada tanda-tanda dirinya bangun dari koma.
Dia sudah begitu pasrah, dia hanya ingin anak dan istrinya selamat.
“Pa…” Suara lirih kecil itu memanggil namanya di hari keempat keberadaannya di Rumah Sakit, saat itu pukul satu malam. Kelam tengah disibukkan membaca dokumen pekerjaan yang dia bawa ke kamar rawat. Suara itu mengejutkannya, dia buru-buru berlari dan menghampiri asal suara.
“Nak, astaga nak! Puji tuhan, syukurlah nak…” Ucapnya sambil mendekap Soga, bi Isah langsung memanggil dokter jaga dan perawat.
“Tidak ada yang salah dengan Soga, hanya saja kemungkinan besar anak bapak harus menjalani rehabilitasi medik jika seminggu setelah bangun mengalami penurunan daya bicara, daya ingat atau hal-hal lain karena apa yang menimpanya akan menyisakan trauma.” Kata dokter, menjelaskan pada Kelam yang mengangguk paham.
Dia kembali ke ruangan rawat dan bisa melihat Soga terisak di samping Sarala.
“Bunda bangun bun, abang mau ke bunda….” Tangis lirih bocah itu begitu menyesakkan, tangannya berusaha menggapai namun bi Isah memeluk dari belakang, dia meraung pilu.
“Mau ke bunda…” Jeritnya, memaksa melepaskan pelukan bi Isah.
“Soga, sabar dulu ya nak..” Kelam mendekat, menggantikan posisi bi Isah memeluk Soga yang kini menangis mendekap ayahnya.
“Abang takut pa, abang takut, bunda peluk abang..” Dia menceracau banyak hal sambil terisak, dekapannya kuat dan gemetar seluruh tubuhnya, saat itu Kelam tahu kalau anaknya sedang mengingat apa yang terjadi.
“Apa yang menimpanya, akan menyisakan trauma.”
Kata-kata itu kembali terngiang di kepala Kelam. Dia memeluk Soga erat, menangis bersama dengan putra sulungnya. Kedua ARTnya mengalihkan pandangan, menjauh dari situasi yang membuat mereka sesak juga.
Apa yang menimpa keluarga Kelam sudah menjadi bahan berita panas di negeri ini, orang-orang terus membicarakan dan kesedihan merundung orang-orang yang mengagumi serta mengenal mereka dari media sosial ataupun brand makanan yang perusahaan Kelam keluarkan. Orang-orang banyak bersimpati karena tahu benar di depan media maupun di belakang media keluarga kecil itu begitu harmonis.
Reporter masih berkerumun di depan Rumah Sakit berusaha mencari informasi yang bisa dijadikan berita. Dan kini berita mengenai Sarala yang koma dan Soga yang sudah sadar tersebar tanpa permisi.
“Pak Kelam mau menuntut media yang menyebarkan berita itu?” Tanya salah satu asistennya di telepon.
“Tidak perlu, tidak apa-apa prioritas saya saat ini bukan media, tapi keluarga.” Jawabnya, tidak ingin ambil pusing mengenai media.
Hari berganti begitu cepat, Soga sudah diperbolehkan pulang sedangkan Sarala masih berada di tempat tidur di bantu oleh ART serta perawat yang sesekali menyeka tubuhnya, wanita itu terlihat begitu kecil dan lemah. Kelam disibukkan dengan mengurus Soga, dia menemani Soga untuk datang ke rehabilitasi karena anak itu masih sering terbangun di tengah malam menjerit dan menangis dengan tubuh yang gemetar.
Dia masuk ke dalam kamar rawat inap yang hening, kedua ARTnya berpamitan pulang tadi siang. Kelam membiatkan mereka pulang di siang dan malam hari, setelah Soga siuman dan kembali ke rumah dia pikir akan lebih baik kalau kedua ARTnya bisa secara bergantian menjaga bocah itu ketimbang harus disini. Soga lebih membutuhkan mereka.
“Selamat malam sayang, aku pulang.” Ujarnya, melepaskan jaket yang membalut kaos hitamnya. Seharian ini dia berkeliling mencari ruko baru untuk pembukaan cabang. Kelam masuk ke dalam kamar mandi, membasuh wajahnya, menyikat giginya sebelum akhirnya menghampiri Sarala yang masih tertidur dan mencium wajah wanita itu.
Dia menatap wajah Sarala, mengusapnya dengan lembut.
“Ayo bangun La, apa yang bikin kamu betah di dunia mimpi?” Ujarnya, dengan suara setengah berbisik, matanya menatap sendu. “Kamu belum kasih tau aku loh kalo kita bakalan punya anak lagi, kamu mau kasih kejutan ya buat aku?” Dia berkata, senyumnya tersungging sedikit ketika berpikir kemungkinan yang tadi dia ucapkan.
“Aku nemuin hasil testpack kamu di dalam kotak kemarin, makanya aku pikir mungkin kamu mau kasih kejutan ke aku….” Suaranya tertahan, “Tapi kenapa kamu kasih ini buat kejutanku?” Dan tangisnya pecah, dia terisak.
Tidak bisa, kejadian ini begitu menghancurkannya. Ruangan yang sunyi, suara bunyi mesin yang memantau perkembangan Sarala menggema. Kelam benci suasana ini, dia tidak menyukainya. Tangannya menggenggam tangan Sarala erat, dia menatap wajah wanita itu lagi.
“La, bangun yuk, aku kangen banget sama kamu..”
Dan dia terkejut ketika suara erangan terdengar, jari jemari Sarala bergerak, dia menatap jari jemari itu kemudian bergantian mengamati wajah Sarala, mencoba meyakinkan dirinya sendiri kalau yang dia lihat bukanlah khayalannya belaka.
“Ngg..” Erangan Sarala menyadarkannya, dia lari keluar dan memanggil dokter jaga.
Sarala dilarikan ke Rumah Sakit, setelah apa yang terjadi di pendopo dia kemudian berteriak-teriak kesakitan. Semua asisten rumah tangga merangsek pergi ke pendopo dan mendapati Kelam begitu panik.“Sudah pembukaan tiga, ditunggu ya.” Kata perawat yang mengecek masuk ke dalam kamar, Sarala sudah menjerit-jerit kesakitan.“Gak kuat! Mules banget! Gak kuat!” Keluhnya, napasnya memburu, keringatnya bercucuran padahal AC di ruangan begitu dingin.“Sabar dulu La, sabar ya,” Kelam berusaha menenangkan tapi dia juga jadi panik.Sarala meraung, menangis, untungnya tidak lama kemudian pembukaannya sudah lengkap. Dokter kandungan yang menanganinya masuk dan kemudian membantunya dalam proses persalinan, Kelam seperti biasa berada di ruangan itu juga sama seperti ketika Sarala melahirkan Soga.Sarala mengejan, membuang napas, mengejan lagi.“Sudah hampir keluar bu, sudah kelihatan ya kepalanya!” Kata dokter itu lagi, dia mengintruksikan Sarala untuk mengejan satu kali lagi.Dan suara melengking b
Kelam bertemu dengan dokter yang menangani Sarala, sudah hampir empat hari istrinya berada di Rumah Sakit. Media sudah memberitakan hal itu kemana-kemana, media sosial penuh membicarakan hal itu karena tagline berita tersebut adalah Sarala mengalami komplikasi karena menjalani terapi.“Pak, kami akan konfirmasi pada media kalau bu Ala hanya kecapekan bukan karena komplikasi menjalani terapi.” Kata asistennya.“Ya, tolong diurus saja ya, saya juga bingung kenapa jadi terlalu jauh ini beritanya.” Kelam mengiyakan ucapan asistennya.Terkadang media suka sangat melebih-lebihkan yang tidak seharusnya. Dia dan Sarala bertemu dokter yang menangani wanita itu, dokter menjelaskan kalau ketika pingsan Sarala mengalami beberapa kali kontraksi dan diwajibkan untuk hanya diam diatas tempat tidur sampai usia kandungan dirasa cukup.“Dua bulan lagi bu Sarala diperkirakan akan melahirkan, jadi saya pikir sebaiknya tinggal di Rumah Sakit lebih baik.”Kelam menoleh kearah Sarala, ingin tahu pendapatnya
Soga berlari kecil memasuki lorong kamar rumah sakit. Sarala dipindahkan ke ruang VVIP oleh Kelam karena dia ingin privasi keluarganya terjaga, dia sudah mendengar kalau media satu persatu mendatangi rumah sakit ini. Mereka masih menyangka kalau Sarala mengalami kontraksi dini karena pengaruh dari terapinya.Kaki kecil mungil itu berlari dengan riang menghampiri ruangan kamar, dia begitu senang seperti rasanya ingin berjingkrak-jingkrak. Dengan cepat Soga membuka pintu kamar, “Bunda!!!” Pekiknya kencang, tersenyum lebar sambil berlari.“Aduh abang jangan lari-larian!” Kelam berusaha menghentikan si kecil Soga yang kini sudah merangsek dalam pelukan Sarala yang tengah duduk di kursi roda.“Bunda! Benar bunda minta ketemu abang?” Tanyanya, dia menatap Sarala dengan mata penuh binar.Sarala masih terasa canggung dipanggil ‘bunda’ oleh bocah itu, “Iya..” Jawabnya pelan, malu. Dia mengelus puncak kepala Soga yang sekarang tersenyum-senyum senang mendengar jawaban bundanya.“Papa! Bunda sud
Sarala membuka matanya perlahan, sekitarnya terasa hening, dia menatap langit-langit. Jaraknya begitu jauh dari tempatnya tertidur, dia bukan sedang di kamar Gandaria maupun Kelam. Aroma ruangan ini begitu khas, dia menoleh dan mendapati infus terpasang di tangan kanannya. Rumah sakit. Setelah dia mendengar semua penjelasan asisten rumah tangga Gandaria dia menangis, tidak mampu menahan semua informasi yang dia terima beberapa hari terakhir. Orang yang seharusnya menyelamatkannya, memberikan dia tempat aman, nyaman, memberikan dia perlindungan juga orang yang menjelaskan apa yang terjadi padanya secara jujur ternyata, penipu. Dia menangis sampai isi kepalanya kosong, pandangannya gelap dan dia tidak tahu menahu apa yang terjadi. Dia meringis. Tidak ada orang di dalam ruangan, dia hanya sendirian bersama bayinya. Mengelus bayinya, Sarala merasa sangat bersalah. Lonjakan emosi yang tidak ada ujungnya, naik dan turun ini membuat bayinya juga ikut merasak
Kelam menghubungi Melati lewat asistennya, wanita itu sedang berada di Belgia namun kini sedang dalam perjalanan kembali ke Indonesia menggunakan jet pribadinya. Kelam tidak menyia-nyiakan waktu sedikitpun untuk menghancurkan Gandaria. Dia sudah terlalu lama menahan perasaan untuk menghancurkan lelaki itu karena Sarala selalu menahannya. Wanita yang dicintainya itu selalu berkata kalau dia dan Gandaria sudah menjadi masa lalu, dan dia tidak ingin sekalipun berhubungan lagi dengan pria itu. Dia ingin benar-benar menghapus memorinya dengan pria itu. Meskipun kenyataannya memorinya dengan Kelam yang menghilang tanpa sisa. Sejak malam Kelam terus menerus menyusun banyak rencana. Sejauh ini, dia tahu kalau Gandaria sama sekali tidak tahu kalau keluarga Melati adalah keluarga yang memiliki pengaruh cukup besar dalam perekonomian Indonesia, kemarin dia berbicara dengan Melati di telepon. “Aku gak bilang ke Gandaria seberapa besar kekayaan keluargaku, dan bagaimana keluarga Caraka. Aku p
Sedari tadi Sarala terus mengitari rumah, dia mengitari rumah itu dari ujung ke ujung. Ada banyak hal yang mengganggunya di rumah ini, dia sendiri tidak tahu itu apa tapi semuanya terasa mengganggu. Perasaan tidak familiar yang dia rasakan semenjak sampai ke rumah ini begitu mengganggunya.Dia pergi ke kebun belakang, memperhatikan tanaman-tanaman disana. Seingat Sarala, Gandaria tidak begitu telaten merawat tanaman. Tapi tanaman ini terlihat begitu rapi dan bersih, tadi dia bertanya pada ART katanya majikannya sendiri yang merawatnya.Sarala mengerenyit, ini terlalu rapi. Di dekat gudang penyimpanan juga ada beberapa perkakas, sarung tangan berwarna merah muda dengan celemek senada.Perasaannya tidak enak.Dia kemudian mengelilingi lagi rumah itu, menemukan sendal jepit berwarna kuning yang seolah-olah disimpan dengan asal-asalan. Gandaria tidak suka warna kuning.Dia membatin lagi dan lagi.Dia yakin ada sesuatu disini, dia semakin yakin dia koma begitu lama atau tidak mengingat ban