Kejadiannya begitu sangat cepat, suara menggelegar itu mampu membuat semua mata beralih pandang. Mobil yang menghantam tiang lampu lalu lintas dengan keras, jeritan para pejalan kaki terdengar nyaring.
Berbondong-bondong orang mendekat untuk menyelamatkan.
“Ada anak kecil di dalam!” Pekikan itu terdengar dari salah satu warga yang mengerumuni mobil tersebut. Mereka semua berusaha memecahkan kaca, berusaha menarik anak kecil yang duduk di kursi belakang. Salah seorang lainnya menelepon ambulan dan pemadam kebakaran, berharap keduanya segera datang untuk menyelamatkan orang-orang yang berada di dalam mobil.
Seorang pria paruh baya yang menyetir dan seorang wanita di kursi belakang yang terlihat terjepit.
Seperti kilat para petugas medis datang, kini sirine polisi, ambulan dan pemadam kebakaran saling bersahutan di lokasi tersebut. Wanita malang itu sudah berhasil dikeluarkan dari mobil bersama dengan bocah berusia 4 tahun, beruntung, bocah itu tidak mengalami luka serius hanya beberapa goresan di bagian tertentu.
Seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun akhir turun dari mobil dengan tergesa, mendatangi polisi yang berada disana. Dia dengan terbata dan nafas terengah-engah menjelaskan kalau korban yang mengalami kecelakaan adalah anak, istri serta supirnya. Polisi menjelaskan keadaan wanita yang sudah tidak berada di tempat, dia sudah diamankan di sebuah Rumah Sakit terdekat untuk mendapatkan penanganan, berikut dengan korban lainnya.
“Tapi maaf pak, kami harus memberitahu berita duka. Supir bapak meninggal di tempat.”
Pria itu terisak, tentu saja, supir tersebut sudah menemaninya selama 20 tahun, berpikir dia akan kehilangan orang yang begitu berjasa secara mendadak seperti ini membuatnya menangis.
Dia harus segera mengabari keluarga pria paruh baya itu, diambil ponselnya, segera dia beritakan kabar duka tersebut.
Polisi mengajaknya untuk ikut ke rumah sakit, permasalahan mengenai asuransi, dan bagaimana mobil itu menabrak akan ditinjau lebih lanjut. Pria itu bahkan sudah tidak berpikir mengenai hal itu, yang ada dipikirannya hanyalah bertemu istri dan anaknya. Dia dengar, istrinya mengalami luka cukup serius.
Perjalanan yang memakan waktu 30 menit terasa seperti begitu panjang dan lama, sesekali dia melongok ke arah jalan. Supirnya yang lain menenangkannya, mengingatkan bahwa istrinya sekarang sedang dalam penanganan medis.
Tiga puluh menit, mobil masuk ke lobby, dia turun dengan segera dan bergegas pergi ke instalasi gawat darurat. Dia berlari dengan penuh ketergesaan, tidak ingin melewatkan apapun yang terjadi.
“Pak! Bapak tidak bisa mendekat!” Seru salah satu perawat, mencegahnya berjalan lebih jauh. Dari jaraknya sekarang dia bisa melihat apa yang terjadi disana, seorang dokter tengah berusaha melakukan CPR.
Lemas.
Seluruh otot ditubuhnya seperti tidak berfungsi, dia terkulai menatap pemandangan itu. Salah seorang perawat menarik gorden, menutupnya separuh. Satu perawat lainnya mendekat dan bertanya hubungannya dengan si wanita, dengan mulut gemetar dia bilang bahwa itu adalah istrinya.
Dengan permohonan maaf perawat memintanya untuk mengisi formulir, prosedur rumah sakit harus dilakukan.
Dengan berat, dia bangun dibantu oleh supirnya.
“Jantungnya kembali normal!” Sekali lagi, dia jatuh terduduk.
Tuhan sedang baik kepadanya, istrinya selamat.
Setelah apa yang terjadi di IGD, dia kemudian melanjutkan prosedur rumah sakit. Istrinya harus mendapatkan operasi darurat, kaki kirinya patah dan pendarahan di kepala begitu serius. Dia mendengar penjelasan dokter dengan samar, tidak sanggup membayangkan bagaimana istrinya terluka.
Tidak sanggup.
Sudah 15 menit istrinya masuk ke dalam ruang operasi dan kini dia berada di salah satu kamar VVIP menemani anaknya yang masih belum sadar. Anaknya tidak mengalami masalah serius, namun trauma sudah jelas terjadi.
“Pak kelam.” suara pak budi, supirnya, terdengar. dia menoleh mendapati salah satu supir kepercayaannya yang selalu menemaninya itu terdiam di daun pintu.
“Jenazah pak Sakam sudah datang di rumah duka.”
Dia menyapu wajahnya dengan tangan, airmata mengalir tidak berhenti.
“Ayo kita kesana, biar nanti Soga ditemani bi Miah.” Ucapnya, mengalihkan pandangannya pada putra sulungnya yang kemudian dia kecup dahi itu lembut. “Ayah nanti balik lagi ya sayang..” Bisiknya.
Dia datang ke rumah duka yang disambut tangis dan jeritan, istri pak Sakam meraung pilu dengan anak-anaknya. Dari sana, dia baru tahu kalau pak Sakam mengalami henti jantung ketika sedang berkendara dan ketika beliau tidak sadarkan diri, kakinya menginjak gas sehingga mobil meluncur tidak terkendali dan menabrak tiang lampu lalu lintas.
Pak Sakam memang sudah tua, usianya 65 tahun. Beliau menemani kelam sejak dia masih belia. Pak Sakam tahu betul bagaimana perjuangannya untuk menjadi sebesar sekarang. Keluarga pak Sakam seperti keluarga juga baginya, anak pak Sakam berjumlah lima orang. Paling besar bekerja di perusahaan milik Kelam, anak kedua bekerja di salah satu perusahaan swasta juga, yang ketiga baru saja lulus kuliah, yang keempat baru saja masuk kuliah dan yang terakhir baru masuk SMA.
Anak-anak itu masih memiliki perjalanan yang sangat panjang.
Sakam mengurus semuanya, pemakaman, sampai hal-hal kecil lainnya. Dia berada disana sampai pemakaman berakhir, dan juga menghadiri pengajian di malam harinya.
Portal berita sudah memuat berita mengenai apa yang terjadi dengan keluarga kecilnya, liputan stasiun televisi juga sudah mengerumuni kediaman pak Sakam dan rumah sakit.
Kelam merasa terganggu, tapi itu adalah resikonya.
Meskipun dia bukan seorang entertainer, tapi mungkin bisa disebut dengan Publik Figur. Orang-orang mengenalnya karena bisnis makanannya yang sukses, beberapa artis bahkan menjadi Brand Ambassadornya, atau bahkan memiliki kemitraan dengannya. Dia memiliki dua bisnis makanan, makanan cepat saji dan juga minuman teh dengan berbagai rasa, sistemnya adalah Franchise yang tersebar di seluruh penjuru negeri.
“Saya pamit dulu,” Kata Kelam kepada istri pak Sakam yang masih tersedu. Wanita paruh baya itu memeluk Kelam.
“Maaf ya Lam, gara-gara bapak istrimu jadi terbaring di rumah sakit..” Ujar wanita itu lirih.
Tidak ada yang bisa Kelam salahkan, ini murni kemalangan. Kedua keluarga sama-sama sedang di hantam kepedihan, parahnya lagi pak Sakam meregang nyawa ketika sedang bekerja.
Seharusnya, Kelam memberikan pensiun secepat mungkin padanya.
Dia berpamitan, pergi dengan hati yang berat meninggalkan rumah duka. Pikirannya masih melanglang buana, setelah operasi selesai dia belum tahu mengenai kondisi istrinya. Dia memijat dahinya, tubuhnya terasa berat, kepalanya sakit.
Seandainya hari itu dia mengiyakan ajakan istrinya…
“Pak, sudah sampai.” Suara supirnya mengejutkannya, pikirannya terlalu berkecamuk sehingga perjalanan yang panjang terasa begitu singkat. Di luar Rumah Sakit masih banyak reporter yang menunggu, jadi dia menggunakan jalan lain untuk masuk, dia sedang tidak ingin memberikan komentar apapun.
Kelam masuk ke dalam ruang VVIP anaknya ketika salah satu Asisten Rumah Tangga menyambutnya, “Pak Kelam, bu Ala sudah selesai operasi, kamarnya di sebelah.”
Reaksinya begitu cepat, dia berlari secepat mungkin untuk menghampiri kamar istrinya. Hatinya terasa remuk melihat kondisi tidak berdaya wanita kesayangannya.
“Pak Kelam, saya sudah menunggu anda..” Salah satu dokter jaga masuk ke dalam kamar, dia menatap Kelam.
“‘Dok, bagaimana keadaan istri saya?”
“Operasinya sukses pak, tapi….”
Ada jeda disana, dan Kelam tidak menyukainya, melihat dari reaksinya yang diperlihatkan dokter itu dia tahu hal itu tidak baik. Dia takut untuk mengetahui apa kabar buruknya tapi dia juga ingin tahu.
“Istri bapak mengalami koma.”
“Bu Nilakandi mengalami cedera kepala yang berat sehingga masuk ke dalam fase koma, kami akan melakukan MRI untuk mengecek kondisinya.” Kata dokter, berusaha menjelaskan pada Kelam bagaimana kondisi istrinya sekarang. Nafasnya tercekat, pandangannya sudah begitu kabur karena mendengar hal yang tidak ingin dia dengar.“B…..berapa lama dok?” Tanya Kelam, berusaha mengumpulkan semua indera sadarnya.“Kami sendiri tidak bisa memastikan, ini semua tergantung keadaan bu Nilakandi.” Dokter menjelaskan sekali lagi, “Dan pak Kelam, mohon maaf, apakah bapak tahu kalau bu Nilakandi sedang mengandung?”Kelam menatap dokter itu dengan mata melotot, dia memgerenyit.“Mengandung?”“Ya, bu Nilakandi tengah hamil, usia kehamilannya memasuki 12 minggu.”Kelam masuk ke dalam kamar rawat, kini kedua orang yang dia sayangi terbaring berdampingan. Soga, anak sulungnya belum juga bangun dari tidurnya. Dokter anak tidak menyatakan dia koma, kemungkinan tubuhnya memang sedang beradaptasi dengan apa yang terja
Ini sudah hari ketiga setelah Sarala membuka matanya, dia dipindahkan ke ruang ICU dengan segera. Beberapa dokter spesialis sering mengunjungi ruang ICU untuk mengecek keadaan wanita itu, dari luar ruang ICU setiap pulang dari bekerja Kelam akan datang dan memandang istrinya dari balik kaca.“Bu Nilakandi sudah bisa membuka mata dan bernapas sendiri, sudah tidak membutuhkan lagi alat bantu. Kaki dan tangannya sedikit demi sedikit sudah bisa digerakkan, namun suaranya masih belum jelas terdengar.” Kata salah satu suster menjelaskan, penjelasan itu berubah-ubah setiap harinya mengikuti perkembangan Sarala, dan untungnya setiap hari ada hal-hal baik yang terjadi pada diri Sarala.Kelam ingin segera menemui istrinya, dia tahu benar Sarala juga merindukannya.Dia bisa melihat istrinya belajar memberikan isyarat untuk hal-hal kecil seperti meminta minum atau lap, suara Sarala belum sepenuhnya keluar dan terkadang dia terlihat kebingungan. Benturan keras di kepalanya benar-benar seperti memb
Pernikahannya dengan Sarala bukanlah yang pertama untuk perempuan itu, jauh sebelum bertemu dengannya dia pernah menjalin sebuah pernikahan selama lima tahun bersama kekasih masa sekolahnya. Gandaria Wijaya. Kecelakaan itu membuat Sarala kembali disaat dia dan Gandaria masih baru saja menikah, dia tidak mengingat Kelam bahkan buah hatinya, Soga.Dokter menyarankan agar Kelam tidak menemui Sarala terlebih dahulu, melihat bagaimana terkejutnya Sarala melihat Kelam yang tidak dia kenali membuat dokter membuat keputusan seperti itu. Dia tidak ingin kondisi pasiennya semakin memburuk.Jadi, Kelam menitipkan Sarala kepada bi Miah. Dia hanya akan menunggu hasil.Nyatanya menunggu tidak mudah. Ada banyak hari dimana Kelam ingin melangkah masuk ke dalam Rumah Sakit tapi dia mengurungkan niatnya dan hanya diam didalam mobil, menelepon Bi Miah untuk diam-diam melihat perkembangan istrinya dalam video call.“Bu Ala sudah bisa makan pak.” Kata Bi Miah setelah kini hampir dua bulan Sarala ada di Ru
Memiliki seorang anak adalah impian Sarala.Sejak dulu, dia begitu menyukai anak-anak. Impiannya dari menjadi guru taman kanak-kanak sampai menjadi seorang ibu. Impian yang bagi orang lain terdengar sepele namun baginya itu adalah impian yang paling luar biasa.Sarala hanyalah seorang biasa yang dibesarkan oleh keluarga baik-baik, dimana dia tumbuh dengan penuh kasih sayang sebagai seorang anak tunggal hingga akhirnya kecelakaan merenggut kedua orangtuanya. Impiannya menjadi seorang ibu adalah untuk membangkitkan lagi perasaaan rindu kepada ibunya yang tidak pernah dia alami selama bertahun-tahun setelah kepergian mereka.“Bunda!” Pekik bocah berusia empat tahun itu, berlari memeluk kaki Sarala. Anak laki-laki dengan wajah yang tampan, pipi yang gembul, kulitnya begitu putih bersih, matanya bulat dan rambutnya hitam pekat.Tampan.“Dia siapa? Kenapa panggil saya bunda?” Tanyanya kemudian, menatap kearah Kelam serta ART mereka. Semua yang berada disana terkesiap.Mereka sudah mendengar
Sarala.Dia terisak, tangisnya masih terdengar, airmatanya terus mengalir. Dia menangis tersedu ketika tanpa sengaja mendengar percakapan kedua orang itu, Bi Isah dan Kelam. Dia mendengar percakapan mengenai dirinya dan Gandaria, mengenai perpisahan dan trauma. Mungkin karena kecelakaan yang menimpanya, sedikitnya dia tidak mengerti arah obrolan itu kemana.Dia hanya takut.Takut terjadi sesuatu pada Gandaria.Dia menatap kakinya yang masih tidak berdaya, masih tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Kemungkinan dia pulih seperti sedia kala begitu jauh dari kata ‘secepatnya’ seperti yang didengungkan oleh dokter sebelum kepulangannya.Sarala masih harus mengikuti banyak terapi sebelum akhirnya berjalan seperti sedia kala.Sedangkan sekarang dia tidak tahu harus bagaimana menghubungi Gandaria yang seperti orang-orang ini bilang kalau pria itu tengah melakukan perjalanan bisnis penting keluar negeri.Tempat yang asing dengan orang-orang asing yang tidak mampu Sarala ingat.Dia terisak la
Kelam.Semalaman Kelam memikirkan ucapan bi Isah, mengenai dia harus mendekati Sarala seperti dulu. Kelam tidak yakin dengan hal itu, mengingat bagaimana istrinya bersikap pada lawan jenis Kelam tidak yakin apakah dia bisa mendekati dan membantu wanita itu mengingat lagi siapa dirinya.Tapi, dia juga tidak bisa hanya berdiam diri dan menunggu.Sarala terus menerus menanyakan dimana Gandaria, suaminya. Melihatnya cukup menyakitkan, pria yang begitu dulu dia benci kini dia tanyakan lagi karena dalam ingatannya Gandaria dan dia masih saling mencintai.Melirik kearah jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 2 siang, Kelam berencana untuk makan siang diluar saja ketimbang memesan di aplikasi. Hari ini dia tidak memiliki jadwal rapat lagi sampai sore, biasanya dia akan janjian bertemu dengan Sarala beserta anak mereka Soga dan makan bersama-sama.Kini tidak bisa.Perubahan yang benar-benar membuat dirinya tidak nyaman, dia bahkan tidak tahu harus bersikap bagaimana pada istrinya sendir
Sarala.Dia merasakannya sejak awal, sejak matanya terbuka pertama kali setelah kecelakaan, dia merasakan sesuatu di dalam tubuhnya. Ada gerakan-gerakan samar yang semula dia pikir hanya ada di dalam pikirannya semakin lama semakin nyata.Setelah kepulangannya dari rumah sakit, gerakan itu semakin hari semakin terasa nyata. Dia yang tahu porsi makannya yang kecil, setiap hari selalu merasa lapar lebih cepat, selalu menginginkan makan-makanan manis padahal Sarala tidak menyukai minuman atau makanan yang terlalu manis.Melihat tubuhnya di kaca ketika dia duduk diatas kasur ataupun ketika dia sedang berada diatas kursi roda, dia bisa melihat dengan jelas perbedaannya.Bagaimanapun, dia seorang wanita.Ingatannya mungkin belum pulih sepenuhnya seperti yang dokter katakan karena dia tidak mengingat bagaimana kecelakaan terjadi, tapi dia tahu tubuhnya. Dia mengingat semuanya, mengenai tubuhnya, mengenai pernikahannya dengan Gandaria yang baru terjadi beberapa bulan lalu.Hari ini ketika dia
Pertemuan pertamanya dengan Sarala adalah ketika dia diminta untuk melanjutkan kelas bahasa Inggrisnya karena bisnisnya sudah begitu berkembang. Kelam tidak keberatan untuk melanjutkan kelas bahasa Inggris dan mengejar nilai toefl untuk mendapatkan sertifikat dan melancarkan bahasa Inggrisnya.Saat itu, usianya 29 tahun. Usia dimana sebagian teman-temannya sudah menikah, memiliki dua sampai tiga orang anak bahkan banyak juga yang sudah bercerai. Tapi Kelam masih menikmat kesendiriannya. Bukannya tidak mau memiliki seseorang di hidupnya, tapi dia sedang sibuk mempersiapkan masa depannya sendiri.Kelam bekerja lebih keras agar tidak melulu dikait-kaitkan dengan keluarganya yang sudah turun temurun memiliki kekayaan dan koneksi. Dia berusaha membangun segalanya sendirian meskipun tidak sedikit yang mencemoohnya karena dia lahir dari keluarga kaya.Ya, tidak bisa dipungkiri kalau dia memiliki koneksi.Tapi mempertahankan bisnis dan memiliki koneksi adalah dua hal berbeda maka dari itu dia