ANDRAAku benar-benar terpukul dengan komanya mama. Aku tak sanggup membayangkan lebih jauh dari semua ini. Tak terbayang jika mama pada akhirnya pergi dan itu karena ulah anaknya sendiri. Penyesalan akan berlangsung seumur hidup pastinya. Sepanjang hari ini, aku hanya bisa merutuki diri. Mengapa harus menjadi manusia yang hanya mementingkan napsu. Sekarang Aku tengah menerima balasan atas apa yang dilakukan pada Armila.Belum lagi papa yang harus kujaga. Pria itu terlihat syok dan sempat pingsan. Untunglah cepat siuman. Entah bagaimana jika beliau juga koma. Mungkin tak akan bisa memaafkan diri sendiri."Ada masalah apa sampai mama begini?" selidik papa.Aku gelagapan ditanya seperti itu. Tak mungkin padanya berterus terang tentang penyebab dari koma istrinya. Aku memutar otak untuk menjawab yang terlihat rasional tanpa harus mengatakan yang sebenarnya.Untuk sementara papa bisa menerima jawaban. Mungkin karena kondisinya yang sedang tertekan hingga tak bisa berpikir lebih jernih. A
ANDRAGuyuran air membuatku lebih tenang. Dalam kondisi ini munculah ide untuk menggunakan Elsa sebagai alat memberi pelajaran pada Resti. Dia harus mengalami apa yang Armila alami.Akan kulakukan drama seperti yang sering ia lakukan. Meski begitu, aku tak mau terjebak juga oleh Elsa. Dia tak baik sepertinya. Nanti, masalah akan terus bermunculanDi meja makan pun, Resti tetap marah-marah. Baru segitu saja sudah kelabakan. Bagaimana kalau aku bawa istri baru. Bisa mati dia. "Sudah, sudah, aku pusing! Oh ya besok kita ke undangan anak teman kerjaku. Kalau kamu tak mau, aku akan bawa Elsa!"Aku hampir lupa dengan undangan dari teman kerja. Karena butuh pasangan, terpaksa kuajak Resti. Kalau bawa Elsa bisa geger satu kantor. Lebih baik menghindari gosip daripada jadi bahan omongan para wanita yang sebagian dari mereka juga ingin bersamaku. "Apa? Sialan kamu. Jadi benar kamu selingkuh dengan dia, hah!""Mungkin iya. Putuskan mau ikut atau tidak biar jelas harus bilang pada Elsa atau tid
REIGA"Apa yang kalian lakukan? Terkutuk kalian!"Aku menghambur ke arah pasangan yang sedang bergulung dalam satu selimut. Sontak mereka menghentikan aktivitas laknat di ranjangku sendiri."Jadi gosip itu benar, kalian memang berhubungan di belakangku, hah!"Satu tinju kuarahkan pada wajah lelaki yang masih melindungi tubuh polosnya dengan selimut. Karena tak puas kutimpakan lagi satu hantaman.Pukulan demi pukulanku diiringi jeritan Arin. Karena gaduh, pelayan di rumah ini sampai masuk ke ruangan. Aku pun dicekal agar tak lebih ganas menghajar selingkuhan Arin."Lepas, biar kubunuh bajingan itu!" "Sudah Pak, sudah!"Dua pelayan mencekalku agar tak bisa lagi bergerak. Pemberontakan terhenti ketika selingkuhan Arin terkapar tanpa daya.Aku dibawa keluar untuk ditenangkan. Dua pelayan ini tak melepas cengkraman hingga dipastikan aku sudah tenang.Setelah duduk di teras samping, salah seorang dari mereka menyodorkan minuman. Mereka juga bilang aku harus minum dan menghirup udara berula
Lamunanku buyar kala sapaan dari Andra terdengar dari arah belakang. Pria itu sudah berdiri dengan jarak sekitar satu meter dari tempatku berada.Pria itu mendekat hingga kami berdiri bersisian. Aku tahu apa maksudnya mendekatkan diri begini. Pasti soal Armila."Saya masih mencintai Armila, sangat mencintainya. Saya akan terus berupaya meluluhkan hatinya. Saya memang pernah khilaf dan akan menebus kesalahan itu meski harus banyak berkorban.""Saya pernah di posisi Armila, dan tahu sekali sesakit apa dikhianati. Saya rasa Anda akan sangat sulit mendapat kepercayaan lagi. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun atau bahkan tidak sama sekali."Kini kami berhadapan. Pria berahang tegas itu menajamkan pandangan. Mungkin tersinggung dengan kata-kata tadi. Sayangnya itu fakta, Armila tak selemah dari tampilannya. Dia itu pemegang prinsip. Tidak, ya tidak.Bahkan, aku pun mundur untuk menyatakan cinta dulu sewaktu SMP sebab tahu prinsipnya. Ia pernah mengatakan tak mau main hati sebelum siap naik
ARMILAAku sangat emosi ketika mas Andra marah-marah gak jelas. Seolah aku ini pendosa berat hanya karena keluar rumah di masa iddah.Aku paham perempuan di masa iddah tak boleh menerima lamaran atau punya hubungan dengan lelaki manapun. Aku bukan perempuan gatal seperti Resti. Armila punya harga diri. Takkan ia merendahkan diri demi seorang laki-laki.Kandasnya pernikahan ini membuatku berpikir seribu kali untuk membuka pintu hati pada laki-laki. Bukan berarti mau balikan juga ke mas Andra, tidak sama sekali.Aku terlampau sakit hati diduakan, dimaki, difitnah dan ditalak begitu saja. Meski hal tersebut telah disesali mas Andra, aku tak peduli. Hati ini sudah berdarah-darah jadi jangan harap termakan bujuk rayunya.Apalagi masih ada Resti. Wanita ular itu pasti takkan tinggal diam atas niat mas Andra rujuk denganku. Dia akan melakukan segala cara untuk menghalanginya.Cukup sekali aku mengalami masa diinjak-injak hingga berujung talak. Saat ada di masa itu, aku seperti bukan manusia
ARMILAKalau tak ada ketukan di pintu, aku mungkin akan terus terlelap bersama Affan. Kaget juga kenapa jadi ketiduran padahal tadi janji mau menyerahkan Affan pada mas Andra."Bu, maaf, bapak nungguin dari tadi!"Aku cepat-cepat merapikan diri sebelum keluar menemui mas Andra. Kasihan juga dia menunggu kami yang tengah tertidur."Bapak eudah makan, Bi?""Sudah, Bu. Tadi saya siapkan di meja makan!""Makasih, Bi, sekarang bapak di mana?""Di gajebo lagi ngelamun. Ehm, saya jadi kasihan, Bu! Eh, maaf!"Aku meninggalkan bi Cicah yang lagi senyum-senyum malu.. Sebenarnya wanita itu baik pada mas Andra, tapi sempat benci saat aku disakiti.Kupandangi mas Andra dari balik pintu. Pria itu tengah khusyuk menatap gulungan awan yang warnanya kini tengah menguning.Sepertinya ia tak sedang benar-benar menatap awan. Pikirannya mungkin tengah mengembara hingga mata pun tak fokus pada fakta di depannya."Maaf, Mas tadi aku ketiduran. Affan masih tidur, kasihan kalau dibangunin." "Iya, tak apa. Ay
RESTIMas Andra masih mengharapkan balikan sama Armila. Nyata banget kulihat di pesta pernikahan anak temannya. Pria itu mencuekkanku demi mengejar mantannya. Brengsek banget emang. Aku hanya bisa menahan gelegak emosi melihat kebucinan mas Andra. Dia benar-benar tak menghargaiku lagi. Di benaknya hanya ada Armila dan Armila.Terus, aku dianggap apa?Sepertinya aku harus menghentikan hayalan mas Andra untuk kembali pada Armila. Enak saja, perceraian ini telah terjadi berkat kerja kerasku. Masa sekarang harus dihancurkan oleh rujuk.Lihat saja, Resti bukan wanita lemah yang hanya bisa menangisi keadaan. Aku bisa berbuat apapun demi mencapai tujuan."Awww!"Aku meringis sebab tubuh rasa ditimpa benda keras. Ternyata aku ditabrak seorang laki-laki paruh baya. Meski sudah berumur, tubuhnya masih kekar. Buktinya aku sampai kesakitan saat bertabrakan."Maaf, Nona saya berjalan tidak fokus Maafkan sekali lagi!"Tadinya aku mau marah, tapi mulut rasa dikunci pas mendengar suara lembutnya. Se
RESTIOh, iya. Ya, ampun pertanda apakah ini aku bertemu dengan pria itu lagi. Mau apa orang itu di sini? Masa iya belanja?"Saya sedang mengontrol butik milik almarhum istri. Kalau tidak keberatan, mari mampir!""Tapi, saya-!""Sebentar saja, tempatnya tak jauh dari sini!""Ba, baik!"Aku mengikuti langkah kaki pria yang mungkin usianya hampir dua kali lipat dari usiaku. Meski begitu, postur dan gaya jalannya masih terlihat gagah.Pikiranku jadi liar ketika membayangkan hal terlarang. Mungkin ini efek lalainya mas Andra atas nafkah batinku.Huh, jangan salahkan aku yang pada akhirnya kelaparan. Apalagi aku masih tergolong pengantin baru.Aku terperangah katika masuk ke butik milik tuan Bima. Ternyata bukan butik kaleng-kalengan. Argh, napsuku pada barang-barang mentereng itu jadi meronta-ronta.Setiap mata memandang, yang terlihat hanya pakaian indah nan memesona. Kalau bisa, aku ingin membawa sebagian besar pulang."Ini butik peninggalan almarhum istri saya. Sekarang yamg mengelola