RESTI "Kamu, tuh gak punya perasaan, Resti! Affan itu anakku bagaimana kalau terjadi apa-apa padanya?"Aku harus cepat-cepat membalikkan keadaan agar mas Andra gak kebablasan marahnya. Bisa membahayakan ini. Gimana kalau tiba-tiba keluar kata cerai. Kamu, sih bego harusnya jangan ngusik anaknya dulu. Nantilah kalau sudah terikat, baru sikat dua-duanya.Langsung saja kusodorkan foto-foto Armila dan Reiga. Gak semua asli, ada yang editan juga. Aku dapat dari orang yang dibayar itu. Lumayanlah kerjanya bagus.Seperti dugaanku, mas Andra langsung lupa dengan kemarahan saat datang. Sudah berganti dengan kemarahan pada Armila akibat kobaran api cemburu.Lihat saja apa yang terjadi nanti. Aku yakin badai rumah tangga mereka akan semakin membesar. Bahkan, menghantam seluruh pondasinya.Aku sampai jingkrak-jingkrak setelah mas Andra pergi. Gak bisa dilukiskan kata, loh kebahagiaannya.Resti memang jenius!"Bu, Bu, ngapain jejingkrakan, kayak ulet kekek aja!""Sembarangan, kamu! Eh, karena aku
ANDRA"Mba, mohon maafkan saya! Saya tak bisa melewati kehamilan tanpa mas Andra! Mba boleh hukum saya, maki-maki dan pukul saja, saya rela mba!"Resti menghambur ke arah Armila. Ia bersimpuh di lantai sambil merangkul kakinya. Resti mengiba, memohon ampunan darinya.Hatiku terenyuh melihat pemandangan itu. Ingin ikut menangis juga, tapi ditahan. Aku merasa inilah pertolongan Allah atas kesempitan yang menghimpit selama ini."Bangunlah, aku tak butuh permintaan maaf palsumu. Kau bisa membohongi mas Andra, tapi tidak denganku!""Armila, jangan keterlaluan berprasangka. Resti sudah rela mengiba padamu, tapi kau malah bersikap buruk. Janganlah kebencian membutakan matamu!""Aku tak tahu apakah Resti yang terlalu culas atau mas yang bodoh. Sampai kapanpun aku takkan percaya pada wanita ular itu. Yang pasti aku tetap dalam keputusan, pilih aku atau dia. Putuskan sekarang!"Aku harus bagaimana lagi untuk meyakinkan Armila bahwa tak mungkin melepas keduanya. Kata talak adalah hal paling kube
ANDRAArmila memberiku pilihan sangat sulit. Antara memilih dirinya dan Resti. Bagaimanapun aku tak mau melepas keduanya. Ingin hidup bersama mereka dalam kerukunan hingga ajal saja yang memisahkan..Aku tahu kesalahan Resti kali ini sangatlah besar, tapi bukan berarti tidak bisa diperbaiki. Kurasa memberi kesempatan sekali lagi adalah hal yang lebih bijak daripada langsung mengakhiri ikatan pernikahan dengannya.Tapi, pikiran ini tak sejalan dengan apa yang ada di relung akal Armila. Dia tak memberiku kesempatan untuk memberi alternatif solusi. Inginnya salah satu dari mereka diakhiri. Kurasa itu terlalu kejam."Aku beri waktu satu minggu untuk memutuskan siapa yang akan Mas pilih. Maaf, kali ini aku sudah tak bisa mentolelir kejahatan Resti!""Sayang, jangan begitu, kumohon. Aku janji akan mendidik Resti lebih keras agar dia bertobat dan berubah menjadi lebih baik."Sekali lagi aku mencoba peruntungan untuk meluluhkannya. Siapa tahu akalnya tertunjuki dan hatinya melunak jika argume
ARMILAMas Andra sungguh Naif. Masa tidak bisa membedakan antara ketulusan dan sandiwara. Resti itu jago akting. Setaraflah dengan artis papan atas.Saat ia merengkuh kaki ini, aku sadar tangan itu tak hangat. Pelukannya pun serasa hambar. Dalam sorot matanya tak ada ketulusan. Bahkan hamilnya saja belum tentu benarAku muak dengan sikap pasangan menyebalkan itu. Yang lelaki naif menuju bodoh, yang perempuan culas dan keji. Sudah bisa dibayangkan kehidupan mereka ke depan.Baiknya kutinggalkan saja orang-orang itu dalam kegamangan. Silakan mas Andra mengartikan sendiri sikap ini. Kalau cerdas, pasti bisa menentukan apa yang sebaiknya dilakukan."Bapak masih ada, Bi?""Sudah pulang, Bu."Aku menghela napas berat sebab merasa masalah keputusan tak sesederhana itu. Mas Andra sudah masuk dalam skenario Resti. Sepertinya akan sulit bagiku memenangkan pertarungan ini.Resti bukan lawan sebanding. Ia bisa melakukan apapun demi mencapai tujuannya. Bahkan menipu dan bersandiwara akan dilakukan
ARMILA"Oh, ya kapan dia mau minta maaf, ya. Sudah seminggu lebih. Kata mas Andra bagaimana?"Aku membuang pandangan ke arah kanan. Aku tak mau menjawab pertanyaan yang lebih tepatnya penyelidikan."Aku hanya ingin memberi pelajaran pada manusia toxic. Kalau dibiarkan bisa keenakan. Nanti melakukan yang lebih jahat. Kamu hebat, Mil, bisa bertahan dengan orang seperti itu."Dokter Reiga membuatku harus berbagi bangku yang terbuat dari semen. Ia memberi jarak hingga duduknya tak saling berdekatan. Setelah ini bi Cicah mengambil Affan dari tangannya, barulah dia kembali buka suara."Sekali lihat saja aku sudah bisa menebak, Resti bukan wanita baik-baik. Ditambah fitnah pada kita. Terbayang hidup di posisi kamu."Aku masih diam dengan pancingannya. Buat apa juga mengatakan perihal hidup pada orang lain. Apalagi seorang lelaki."Poligami memang boleh, aku paham itu. Ditujukan untuk membangun rumah tangga bahagia dengan banyak istri, bukan pemuas biologis semata. Sama saja dengan monogami '
Saat itulah mas Andra datang. Ia hanya melihat Resti sudah menggelinding lalu terkapar di bawah tangga."Kenapa bu Armila mendorong bu Resti. Ibu kejam banget! Bu Resti hanya ingin minta maaf!"Setelah berkata begitu, pembantu Resti menuruni tangga. Saat itulah aku sadar telah masuk jebakannya lagi. Ternyata dua wanita jahat itu telah memang merencanakan ini dengan matang"Kamu keterlaluan Armila! Kalau ada apa-apa dengan Resti dan anaknya, aku akan menghukummu! Jangan keluar satu langkahpun sebelum aku kembali!"Kaki dan tubuhku kompak kehilangan kekuatan. Aku ingin ke bawah, tapi tak punya kekuatan melangkah. Akhirnya duduk di tangga sambil memandangi mas Andra menggendong tubuh Resti keluar rumah. "Bawa ke klinik terdekat aja, Pak! Takutnya lama lagi kalau ke rumah sakit!"Suara-suara itu menghilang beberapa menit kemudian. Rumah ini kembali sepi, dingin.*"Resti keguguran, puas kamu!"Mas Andra datang dua hari kemudian dengan wajah garang. Ia langsung marah-marah padaku. Aku tak
ANDRAAku berlari-lari menggendong Resti yang terkulai lemah. Darah dari arah jalan lahirnya mulai mengalir deras. Hal tersebut membuatku serasa orang gila sebab pikiran, telah merangsek ke mana-mana.Karena keadaan Resti sudah kritis, aku tak membawanya ke klinik yang ditunjuk oleh Mimin. Lebih baik dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan di IGD. Untunglah jaraknya tidak terlampau jauh dari rumah Armilla.Sesampainya di rumah sakit, Resti langsung ditangani oleh dokter di ruang IGD. Selama pemeriksaan hatiku serasa dipukul palu bertubi-tubi. Bayangan-bayangan buruk terus berkelebat meski kuyakinkan diri bahwa tak akan terjadi apa-apa."Istri Anda mengalami keguguran karena benturan yang cukup keras di masa kehamilan muda. Silakan tandatangani untuk tindakan selanjutnya."Seluruh tubuhku seperti kehilangan tenaga mendengar kenyataan ini. Bukan hanya kehilangan bayi yang membuatku sangat sakit. Proses terjadinya keguguran inilah yang kusesali paling dalam.Mengapa Armila me
Pertengkaran pun tak terelakkan di antara kami. Bahkan hampir saja aku melayangkan tamparan padanya. Hatinya sangat keras, benar-benar keras.Tak kutemukan lagi sosok Armila yang lembut dan mudah minta maaf maupun memaafkan. Dia berubah menjadi ganas dan membahayakan.Dia bukan Armila yang dulu. Bukan wanita patuh dan selalu berusaha menyenangkan hati suami. Entah siapa yang membuatnya jadi begini?Sepertinya keputusan Armila untuk berpisah sudah bulat. Dengan cara apapun, aku tidak bisa lagi membalikkan hatinya. Entah hanya karena persoalan ini atau ada hal lain yang membuatnya begitu kukuh dengan pendirian itu. "Apa kau benar-benar ingin berpisah, Armila?"Keluar juga kalimat yang selama ini aku jaga dengan sekuat tenaga. Meski lahir dari dorongan emosi, tapi logika masih bermain di sini. Kenyataannya memang tak mungkin mempertahankan ikatan yang pernah kami ikrarkan. Aku berjuang menggenggam, ia berontak untuk melepaskan."Baik akan aku penuhi keinginanmu!"Sesungguhnya kata-kata