ANDRA."Kamu sakit?""Enggak, Mah. Cuma cape aja!""Maaf, ya, mama ngerepotin minta dijemput.""Gapapa, Mah."Setelah itu tak bisa lagi berpikir sebab mama terus mengajak bicara. Tak mungkin hanya menjawab iya dan tidak.Di halaman rumah Armila, aku kaget luar biasa. Bagaimana tidak, ada Resti yang menghampiri sambil bicara yang tentu saja membuat mama melotot.Mama menatapku tajam sebelum membuka pintu mobil. Di sinilah aku sadar perang tak bisa dielakkan."Jelaskan, Andra siapa wanita yang katamu dulu keponakan mang Dadang! Mengapa dia bilang sayang dan minta dipeluk?"Rupanya mama masih ingat dengan Resti yang pernah dijumpai pagi itu. Sepertinya aku sudah tak punya lagi jalan untuk berkelit soal Resti. Ya, sudahlah pasrahkan saja semua. Semoga penyakit jantung mama tak kambuh."Armila, jelaskan pada mama ada apa ini?""Maah!"Armila menghambur ke arah pelukan mama. Beberapa detik kemudian terdengar tangisan dari bibirnya.Aku seperti sedang digiring ke jurang mengerikan saat ini.
RESTIKurang ajar! Dua wanita itu mengacaukan segalanya. Sekarang, aku dalam bahaya sebab terbongkar drama keguguran itu.Kenapa ceroboh membiarkan mang Dadang bebas masuk rumah. Ini gara-gara si Mimin yang keganjenan sama lelaki itu. Jadi sikapnya baik banget.Jadilah kami kecolongan. Diam-diam lelaki itu nguping pembicaraan. Parahnya merekam hingga bisa jadi bukti kejahatan.Aku tak boleh bicara apapun saat ini. Hati mas Andra pasti sedang dipenuhi kemarahan. Bisa-bisa aku kena amukan dahsyat.Mau pura-pura baikpun gak guna sekarang. Mas Andra sudah takkan percaya. Posisiku benar-benar sedang tak menguntungkan.Lebih baik aku berpikir lebih cerdas untuk mencari cara lolos dari masalah. Perkara ini tak boleh berujung perceraian.*Syukurlah mama mertua koma. Semoga saja cepat mati. Kalau dia mati takkan ada orang yang mengompori mas Andra untuk menceraikanku.Tinggal urusan dengan papa mertua. Tapi sepertinya tak perlu dipikirkan. Pasti informasi akan ditutup oleh mas Andra agar tak
RESTI Aku merebahkan diri di sampingnya, lalu kuberanikan tangan ini menyentuh dadanya yang bidang. Karena tak ada penolakan, aku makin berani memberi sentuhan liar. Dia pasti kalah oleh kehebatan godaan Resti. "Sayang, apa kamu tak rindu?"Aku membisikkan kata-kata itu dengan suara seseksi mungkin. Lepas itu kulanjutkan dengan sentuhan lebih ganas."Aku tak berminat, pergilah ke kamarmu!""Haaah!"Mas Andra menepis tubuhku hingga hampir jatuh dari ranjang. Untunglah bisa cepat menyeimbangkan diri."Sialan kamu, Mas. Kasar sekali kamu!"Mas Andra tak peduli dengan amarahku, ia malah pergi dari kamar ini."Aku akan membalas perlakuanmu ini Andra brengsek!"Aku melempar bantal dan guling ke lantai. Sprei dan selimut pun jadi sasaran amarah. Kamar yang tadinya rapi dalam sekejap mata jadi berantakan."Dengar Andra, kau akan rasakan balasanku!"Dadaku turun naik menahan gejolak di dalamnya. Kemudian aku teriak-teriak untuk mengeluarkan gejolak emosi itu. Tak puas, aku juga lompat-lompat
ARMILAMeski tidak lagi berstatus istri mas Andra, aku tetap berduka atas komanya mama. Bagaimanapun wanita paruh baya itu adalah mama kedua bagiku. Cintanya tulus dan luas untukku dan Affan.Dari awal dikenalkan, mama sudah menerima kehadiranku dengan tangan terbuka. Bahkan beliaulah yang memaksa agar pernikahanku dengan mas Andra saat itu dipercepat. Katanya kalau sudah cocok untuk apa lagi ditunda. Tak perlu berbulan-bulan untuk saling mengenal nanti setelah menikah pun akan lebih mudah mengenal satu sama lain.Mama bahkan siap jadi tempat curhat ketika menjalani pernikahan itu. Banyak nasehat yang membangun ketika kami saling membuka pembicaraan. Mama sangat baik dan tidak pilih kasih kepada para menantunya. Bagiku dialah wanita yang lantas digelari mertua terbaik.Aku minta izin mas Andra untuk menjenguk mama di rumah sakit. Kebetulan di sana bertemu papa yang wajahnya terlihat lesu sekali.Dengan memohon-mohon mas Andra minta agar aku tidak menyampaikan alasan mama pingsan. Juga
ARMILA"Mas!"Kami bertatapan cukup lama. Pada mata itu terdapat luka yang dalam. Hampir-hampir hati ini goyah sebab kasihan padanya.Andai tak pernah kau berkhianat, kita pasti masih dapat saling berbagi duka dan suka.. Kamulah yang mengawali derita ini, Mas."Jadikan ini pelajaran ke depan, Mas. Dekatkanlah diri pada Tuhan." Mas Andra menunduk dalam. Aktivitas makannya terhenti seketika, mungkin selera sudah hilang dari dirinya.Ketika pria itu mendongak kembali, ada buliran bening di dua sudut matanya. Tangisan mas Andra membuat hatiku terenyuh. Baiknya aku mempercepat kebersamaan ini agar tak goyah pertahanan diri.*Dede Affan kangen, ya sama om?"Aku menyerahkan Affan pada dokter muda yang mengulurkan tangan. Setelah bayi itu pindah tangan, aku masuk kedalam rumah untuk mengambil minuman dan camilan.Meski hanya diterima di teras, pria itu tetaplah tamu di rumah ini. Aku berkewajiban menghormati selama dia ada di sini."Eh, ada kue, Affan mau?"Aku tahu dokter muda itu hanya be
ANDRAAku benar-benar terpukul dengan komanya mama. Aku tak sanggup membayangkan lebih jauh dari semua ini. Tak terbayang jika mama pada akhirnya pergi dan itu karena ulah anaknya sendiri. Penyesalan akan berlangsung seumur hidup pastinya. Sepanjang hari ini, aku hanya bisa merutuki diri. Mengapa harus menjadi manusia yang hanya mementingkan napsu. Sekarang Aku tengah menerima balasan atas apa yang dilakukan pada Armila.Belum lagi papa yang harus kujaga. Pria itu terlihat syok dan sempat pingsan. Untunglah cepat siuman. Entah bagaimana jika beliau juga koma. Mungkin tak akan bisa memaafkan diri sendiri."Ada masalah apa sampai mama begini?" selidik papa.Aku gelagapan ditanya seperti itu. Tak mungkin padanya berterus terang tentang penyebab dari koma istrinya. Aku memutar otak untuk menjawab yang terlihat rasional tanpa harus mengatakan yang sebenarnya.Untuk sementara papa bisa menerima jawaban. Mungkin karena kondisinya yang sedang tertekan hingga tak bisa berpikir lebih jernih. A
ANDRAGuyuran air membuatku lebih tenang. Dalam kondisi ini munculah ide untuk menggunakan Elsa sebagai alat memberi pelajaran pada Resti. Dia harus mengalami apa yang Armila alami.Akan kulakukan drama seperti yang sering ia lakukan. Meski begitu, aku tak mau terjebak juga oleh Elsa. Dia tak baik sepertinya. Nanti, masalah akan terus bermunculanDi meja makan pun, Resti tetap marah-marah. Baru segitu saja sudah kelabakan. Bagaimana kalau aku bawa istri baru. Bisa mati dia. "Sudah, sudah, aku pusing! Oh ya besok kita ke undangan anak teman kerjaku. Kalau kamu tak mau, aku akan bawa Elsa!"Aku hampir lupa dengan undangan dari teman kerja. Karena butuh pasangan, terpaksa kuajak Resti. Kalau bawa Elsa bisa geger satu kantor. Lebih baik menghindari gosip daripada jadi bahan omongan para wanita yang sebagian dari mereka juga ingin bersamaku. "Apa? Sialan kamu. Jadi benar kamu selingkuh dengan dia, hah!""Mungkin iya. Putuskan mau ikut atau tidak biar jelas harus bilang pada Elsa atau tid
REIGA"Apa yang kalian lakukan? Terkutuk kalian!"Aku menghambur ke arah pasangan yang sedang bergulung dalam satu selimut. Sontak mereka menghentikan aktivitas laknat di ranjangku sendiri."Jadi gosip itu benar, kalian memang berhubungan di belakangku, hah!"Satu tinju kuarahkan pada wajah lelaki yang masih melindungi tubuh polosnya dengan selimut. Karena tak puas kutimpakan lagi satu hantaman.Pukulan demi pukulanku diiringi jeritan Arin. Karena gaduh, pelayan di rumah ini sampai masuk ke ruangan. Aku pun dicekal agar tak lebih ganas menghajar selingkuhan Arin."Lepas, biar kubunuh bajingan itu!" "Sudah Pak, sudah!"Dua pelayan mencekalku agar tak bisa lagi bergerak. Pemberontakan terhenti ketika selingkuhan Arin terkapar tanpa daya.Aku dibawa keluar untuk ditenangkan. Dua pelayan ini tak melepas cengkraman hingga dipastikan aku sudah tenang.Setelah duduk di teras samping, salah seorang dari mereka menyodorkan minuman. Mereka juga bilang aku harus minum dan menghirup udara berula