Share

Bab 2

"Aku … aku nggak bisa, Sayang. Aku harus balik sekarang." Kutepis lembut tangannya yang sudah mulai bergelayut manja di bahu kiriku. Dia nampak kaget karena memang tak biasanya aku menolak keinginannya yang satu itu.

"Kenapa sih?" tanyanya sedikit ketus.

"Istriku masuk rumah sakit, Wi," jawabku cepat.

"Oh ya?" Matanya langsung membulat. Entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang. Tapi itu terlihat seperti luapan kegembiraan.

"Sori ya, aku nggak bisa lama-lama lagi. Doakan Runa nggak kenapa-napa, jadi besok aku bisa ke sini lagi. Oke?" ujarku menghibur.

"Kenapa-napa juga nggak apa-apa to? Itu kan yang kita inginkan?" Dia terkekeh.

Hatiku langsung berdesir mendengar itu. Kalimat Dewi seolah sedang menyindirku. Sejujurnya beberapa bulan ini aku memang sering berandai-andai, bagaimana jika Runa tak ada lagi dalam hidupku. Pastilah saat itu Dewi yang akan menggantikan posisinya untuk menjadi istriku. Rasa sesal memang seringkali datang akhir-akhir ini dalam hatiku. Kenapa aku harus terlambat dipertemukan dengan wanita menyenangkan ini?

Aku sejenak berpikir. Mungkinkah apa yang terjadi pada Runa sekarang akibat harapan-harapanku beberapa bulan ini? Selama ini sering kudengar orang berkata bahwa apa yang kita ucap dan pikirkan tak ubahnya seperti sebuah doa.

"Sudah ya, aku pergi dulu." Aku mencium lembut tangannya sebelum akhirnya dia turun dari mobil dengan tingkah kesal. Mungkin karena tak kutanggapi kalimat terakhirnya.

Meski sebenarnya masih sangat ingin bersamanya, tapi aku tak mau menjadi bulan-bulanan keluargaku karena terlihat tak peduli dengan kondisi Runa.

Saat kutinggalkan Dewi, kulihat dia masih berdiri mengawasiku di parkiran dengan muka masam dan sulit diartikan.

***

Tiba di rumah sakit, Laras langsung mengomeliku tanpa ampun. Sementara ibu terlihat tengah duduk tertunduk sedih dengan dengan lengan digamit oleh Safitri - pembantu rumah tangga di rumah kami.

"Gimana bayiku?" tanyaku setelah menghampiri mereka

Laras langsung melotot mendengar pertanyaanku. Aku tak tahu kenapa dia semarah itu padaku.

"Mbak Runa masih ditangani dokter di dalam." Dia malah menjawab menyebutkan kondisi Runa.

"Bayiku, gimana?" tanyaku lagi.

"Berdoa saja Mbak Runa baik-baik saja, Mas," katanya singkat, tapi langsung memalingkan wajah dariku. Sepertinya dia begitu kesal denganku.

"Lain kali kalau sedang di luar, jangan dimatikan HPnya, Le. Kalau di rumah terjadi apa-apa seperti ini, apa kamu nggak merasa menyesal? Untung saja tadi Laras sudah pulang kerja. Gimana kalau tidak? Tidak ada orang yang bisa dimintai tolong," protes ibu panjang lebar.

"Iya maaf Bu, aku kan juga nggak tahu bakal begini. Tadi ada tugas luar, sinyalnya blank di tempat itu." Aku pun mulai beralasan.

Kulihat wajah ibu tampak begitu merana. Tak heran, karena yang kutahu dia memang sangat menyayangi Runa bukan lagi seperti menantu. Bahkan Laras saja sebagai anak kandungnya, terkadang masih sering cemburu dengan perlakuan ibu pada istriku itu.

"Berdoalah semoga istri dan bayimu baik-baik saja. Ibu nggak tahu harus bagaimana menjelaskannya pada orangtua Runa saat mereka tiba nanti."

"Mereka sudah dikabari?" tanyaku.

"Sudah. Sekarang lagi perjalanan naik kereta. Kasihan mereka, harus jauh-jauh datang ke sini mendadak. Hal seperti ini kan harusnya nggak perlu terjadi," ujar ibu lagi.

Aku menarik nafas berat. Segala sesuatu tentang Runa memang akulah yang akan selalu disalahkan.

"Namanya juga musibah, Bu. Siapa sih yang mau ini terjadi?" Aku mulai membela diri.

Ibu kini malah menatapku tajam. "Tapi kan sebagai suami seharusnya kamu lebih siaga di masa-masa kehamilan istrimu seperti sekarang ini, Tam."

"Iya iya, Bu. Nggak usah diulang-ulang. Tama kan juga sudah minta maaf. Jangan disalahin terus dong," kataku sedikit bersungut.

Aku baru akan melanjutkan pertanyaan saat pintu ruang di sebelah kami terbuka. Kemudian terlihat dokter keluar diikuti seorang perawat di belakangnya.

"Keluarganya Ibu Runa?" tanya si perawat.

Aku, ibu, dan Laras langsung berdiri menghampiri mereka. Perawat itu kembali masuk ke ruangan meninggalkan dokter bicara pada kami.

"Anda suaminya?" tanya lelaki berperawakan sedang itu padaku. Dari penampilannya, sepertinya usia dokter ini tak terpaut jauh denganku.

Aku pun segera mengangguk mengiyakan. "Benar, Dok."

Bukannya langsung menjelaskan, dia justru terlihat menghela nafas cukup panjang, membiarkan kami sedikit menunggu dan bertanya-tanya.

"Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik yang kami bisa, tapi mohon maaf karena …."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fati Ma
bagus banget aku suka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status