"Aku … aku nggak bisa, Sayang. Aku harus balik sekarang." Kutepis lembut tangannya yang sudah mulai bergelayut manja di bahu kiriku. Dia nampak kaget karena memang tak biasanya aku menolak keinginannya yang satu itu.
"Kenapa sih?" tanyanya sedikit ketus."Istriku masuk rumah sakit, Wi," jawabku cepat."Oh ya?" Matanya langsung membulat. Entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang. Tapi itu terlihat seperti luapan kegembiraan."Sori ya, aku nggak bisa lama-lama lagi. Doakan Runa nggak kenapa-napa, jadi besok aku bisa ke sini lagi. Oke?" ujarku menghibur."Kenapa-napa juga nggak apa-apa to? Itu kan yang kita inginkan?" Dia terkekeh.Hatiku langsung berdesir mendengar itu. Kalimat Dewi seolah sedang menyindirku. Sejujurnya beberapa bulan ini aku memang sering berandai-andai, bagaimana jika Runa tak ada lagi dalam hidupku. Pastilah saat itu Dewi yang akan menggantikan posisinya untuk menjadi istriku. Rasa sesal memang seringkali datang akhir-akhir ini dalam hatiku. Kenapa aku harus terlambat dipertemukan dengan wanita menyenangkan ini?Aku sejenak berpikir. Mungkinkah apa yang terjadi pada Runa sekarang akibat harapan-harapanku beberapa bulan ini? Selama ini sering kudengar orang berkata bahwa apa yang kita ucap dan pikirkan tak ubahnya seperti sebuah doa."Sudah ya, aku pergi dulu." Aku mencium lembut tangannya sebelum akhirnya dia turun dari mobil dengan tingkah kesal. Mungkin karena tak kutanggapi kalimat terakhirnya.Meski sebenarnya masih sangat ingin bersamanya, tapi aku tak mau menjadi bulan-bulanan keluargaku karena terlihat tak peduli dengan kondisi Runa.Saat kutinggalkan Dewi, kulihat dia masih berdiri mengawasiku di parkiran dengan muka masam dan sulit diartikan.***Tiba di rumah sakit, Laras langsung mengomeliku tanpa ampun. Sementara ibu terlihat tengah duduk tertunduk sedih dengan dengan lengan digamit oleh Safitri - pembantu rumah tangga di rumah kami."Gimana bayiku?" tanyaku setelah menghampiri merekaLaras langsung melotot mendengar pertanyaanku. Aku tak tahu kenapa dia semarah itu padaku."Mbak Runa masih ditangani dokter di dalam." Dia malah menjawab menyebutkan kondisi Runa."Bayiku, gimana?" tanyaku lagi."Berdoa saja Mbak Runa baik-baik saja, Mas," katanya singkat, tapi langsung memalingkan wajah dariku. Sepertinya dia begitu kesal denganku."Lain kali kalau sedang di luar, jangan dimatikan HPnya, Le. Kalau di rumah terjadi apa-apa seperti ini, apa kamu nggak merasa menyesal? Untung saja tadi Laras sudah pulang kerja. Gimana kalau tidak? Tidak ada orang yang bisa dimintai tolong," protes ibu panjang lebar."Iya maaf Bu, aku kan juga nggak tahu bakal begini. Tadi ada tugas luar, sinyalnya blank di tempat itu." Aku pun mulai beralasan.Kulihat wajah ibu tampak begitu merana. Tak heran, karena yang kutahu dia memang sangat menyayangi Runa bukan lagi seperti menantu. Bahkan Laras saja sebagai anak kandungnya, terkadang masih sering cemburu dengan perlakuan ibu pada istriku itu."Berdoalah semoga istri dan bayimu baik-baik saja. Ibu nggak tahu harus bagaimana menjelaskannya pada orangtua Runa saat mereka tiba nanti.""Mereka sudah dikabari?" tanyaku."Sudah. Sekarang lagi perjalanan naik kereta. Kasihan mereka, harus jauh-jauh datang ke sini mendadak. Hal seperti ini kan harusnya nggak perlu terjadi," ujar ibu lagi.Aku menarik nafas berat. Segala sesuatu tentang Runa memang akulah yang akan selalu disalahkan."Namanya juga musibah, Bu. Siapa sih yang mau ini terjadi?" Aku mulai membela diri.Ibu kini malah menatapku tajam. "Tapi kan sebagai suami seharusnya kamu lebih siaga di masa-masa kehamilan istrimu seperti sekarang ini, Tam.""Iya iya, Bu. Nggak usah diulang-ulang. Tama kan juga sudah minta maaf. Jangan disalahin terus dong," kataku sedikit bersungut.Aku baru akan melanjutkan pertanyaan saat pintu ruang di sebelah kami terbuka. Kemudian terlihat dokter keluar diikuti seorang perawat di belakangnya."Keluarganya Ibu Runa?" tanya si perawat.Aku, ibu, dan Laras langsung berdiri menghampiri mereka. Perawat itu kembali masuk ke ruangan meninggalkan dokter bicara pada kami."Anda suaminya?" tanya lelaki berperawakan sedang itu padaku. Dari penampilannya, sepertinya usia dokter ini tak terpaut jauh denganku.Aku pun segera mengangguk mengiyakan. "Benar, Dok."Bukannya langsung menjelaskan, dia justru terlihat menghela nafas cukup panjang, membiarkan kami sedikit menunggu dan bertanya-tanya."Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik yang kami bisa, tapi mohon maaf karena ….""Kami tidak bisa menyelamatkan bayi Anda.""Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji'un." Ibu langsung terisak. Aku sendiri tak paham dengan apa yang kurasakan saat ini. "Mbak Runa bagaimana, Dok?" Justru Laras yang bertanya seperti itu pada dokter di depanku."Ibu Runa masih ditangani saat ini. Mungkin beberapa jam ke depan baru bisa ditemui setelah kondisinya stabil."Dokter itu pun kemudian berpamitan setelah mengungkapkan bela sungkawanya kepada kami.Kulihat ibu langsung mendudukkan diri lagi dengan lemas di samping Safitri. "Semoga Runa segera pulih." Aku masih sempat mendengar gumaman lirihnya.Aku bermaksud mendekatinya saat tiba-tiba ponsel di saku celana panjangku bergetar. Refleks segera kuraih benda pipih itu untuk kuperiksa. [Gimana istrimu, Mas?] Dewi mengirimiku pesan. Sepertinya dia sudah tak sabar ingin mendengar kabar kondisi Runa.Tanganku baru mulai akan mengetikkan balasan untuknya saat kudengar suara Laras mengagetkanku."Nggak usah macem-macem, Mas! Istrimu sedang kena
"Kamu ngomong apa sih, Run?" Aku tak bisa menyembunyikan kekagetanku. Kutatap mata sembab itu dengan lekat, tapi Runa justru memalingkan wajah dan berurai air mata lagi. "Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu ngomong seperti itu? Coba bilang sama aku." Kulembutkan suara agar dia mau bicara. Tapi nihil, dia malah menutup rapat mulutnya kali ini. "Sudah Mas, biarkan Mbak Runa istirahat dulu." Laras mendekati kami dan mengisyaratkan padaku untuk menyingkir. Kulihat Laras membenarkan letak bantal Runa saat aku beranjak. Tiba-tiba kalimat terakhir Runa terngiang-ngiang di kepalaku. Kenapa dia mendadak bicara seperti itu? Apakah ini ada hubungannya dengan Dewi? Tapi mana mungkin? Runa tidak mungkin tahu hubunganku dengan Dewi. Selama ini dia terlihat baik-baik saja dan tak pernah mengatakan hal-hal yang aneh padaku, apalagi sampai mencurigaiku. Pagi itupun, dia masih bermanja-manja saat melepasku berangkat kerja. Ada apa dengan Runa?Merasa terganggu dengan pikiran itu, aku bermaksud ke luar k
"Apa yang kamu lakukan di sini? Kalau ada yang lihat gimana?" Aku mengoceh sambil mengikuti langkah cepatnya."Memangnya kenapa? Kita kan nggak ngapa-ngapain." Dia terus melangkah sambil menjawab ucapanku sebelum akhirnya berhenti di samping bangunan gedung rumah sakit yang cahayanya sedikit remang dan sepi."Kamu jangan keterlaluan dong, Mas! Kok aku sama sekali nggak direspon sih? Kan aku khawatir," omelnya kemudian."Ya ampuun Wi, kamu kan tahu aku lagi ada musibah. Ngertiin dulu dong." Kutatap wajah cemberut di depanku itu. Kini dia bersedekap menatapku, seolah aku adalah anak kecil yang pantas dimarahi karena pergi tidak pamit."Iya, tapi setidaknya kan kasih kabar, jangan pesanku malah cuma dibaca doang. Siapa yang nggak mikir aneh-aneh coba kalau kayak gitu?" protesnya."Iyaa, maaf. Ini aku tadinya juga mau nelpon kamu, Wi. Ibu sama adekku di dalam. Nggak mungkin kan aku telponan atau kirim-kiriman pesan sementara istriku lagi kayak gitu?""Memangnya gimana keadaannya?" Dewi te
"Tapi aku nggak bisa lama-lama ya, Wi. Aku nggak mampir. Nanti langsung pulang aja," kataku hati-hati, takut kalau-kalau dia akan marah lagi. Entah kenapa aku selalu lebih takut didiamkan oleh Dewi daripada istriku sendiri."Terserah kamu," ucapnya singkat. Lalu bergerak mengikutiku menuju ke tempat parkir. Kemudian aku pun melangkah sedikit lebih cepat agar tak sampai berjalan beriringan dengannya. Meski di malam hari, tetap saja tak bisa membuatku tenang berjalan berduaan di tempat umum seperti ini bersamanya. Jantungku selalu berdebar-debar saat kami sedang berada di tempat terbuka. Aku selalu takut seseorang akan melihat kami. Tapi anehnya, hal itu tak pernah bisa membuatku berpikir untuk menghentikan hubungan terlarangku dengan Dewi ini. Bahkan ini justru jadi seperti tantangan untukku. Takut, tapi tetap ingin menjalani. Sepanjang perjalanan, kulihat wanita keduaku itu membisu. Sepertinya ada yang sedang dipikirkannya saat ini. "Kenapa, Wi?" Kulirik wajah murung itu di sela-se
Wanita itu segera mengalihkan pandangan ke jendela saat bersitatap dengan mata suaminya. Entah kenapa, melihat wajah lelaki itu membuat luka kehilangan calon buah hatinya semakin terasa perih bagai ribuan pedang menusuk jantungnya. Aditama Wiguna adalah lelaki yang menikahinya satu setengah tahun lalu atas bujukan ibunya. "Jaman gini kok masih dijodoh-jodohin to, Bu? Enggak ah, Runa nggak mau," protesnya waktu itu pada sang ibu. Mendengar penolakannya itu, kedua orangtuanya langsung terkekeh "Kamu bilang begitu kan karena kamu belum ketemu saja sama anaknya Tante Farida itu, Run. Nanti kalau kamu sudah lihat orangnya, pasti beda lagi ceritanya. Ya kan, Pak?" Bu Ratna menoleh pada sang suami, yang hanya menanggapinya dengan seulas senyum."Bapak sih terserah Runa. Semantapnya dia saja. Kalau dia setuju dengan rencana kamu dan Farida untuk menjodohkan mereka ya bapak nggak ada masalah. Yang penting buat bapak itu Runa harus bahagia. Itu aja." Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara
"Mbak, Mbak Runa kenapa?!" Laras berteriak panik, membuat ibunya yang sedang tertidur di sofa terbangun karena kaget."Kenapa, Ras?" Bu Farida gelagapan mencari penutup kepalanya, lalu tergopoh-gopoh menghampiri Laras yang sedang kebingungan di samping ranjang Aruna."Mbak Runa, Bu!" Laras nyaris terisak saat mengadukan kondisi Runa pada sang ibu. "Panggil suster, Ras. Cepat!" Laras pun segera berlari ke luar ruangan menuju tempat jaga perawat, sementara Bu Farida terlihat langsung mondar mandir memeriksa suhu semua bagian tubuh menantunya. Kondisi Aruna drop. Beberapa menit kemudian setelah salah satu perawat datang untuk memeriksa, terlihat dia keluar lagi untuk memanggil bantuan dua orang temannya. "Mohon Ibu tunggu di luar dulu ya," pintanya pada Bu Farida yang wajahnya sudah pucat pasi melihat kondisi sang menantu. Orang tua itu pun berjalan ke luar ruangan dengan hati cemas. "Telpon masmu, Ras! Kemana sih dia nggak balik-balik dari tadi? Katanya cuma mau beli rokok," gerut
"Sabar ya, Rid. InsyaAllah Tama akan baik-baik saja. Dia laki-laki yang kuat." Bu Ratna memeluk sahabatnya erat. Beberapa saat setelah menerima telepon dari kepolisian, tangis Bu Farida pecah saat kembali ke dalam kamar. Semua jadi panik melihat itu. Apalagi setelah wanita itu menjelaskan apa yang terjadi pada putranya. Tangis Bu Ratna dan Laras pun pecah dan saling berangkulan. Hanya Runa yang tak bereaksi apa-apa. Di atas pembaringannya, wanita itu hanya diam menitikkan air mata tanpa suara."Kalau begitu, tinggalkan saja Runa. Biar aku dan bapaknya yang mengurus dia. Sekarang yang lebih penting Tama, Rid. Urus dulu Tama," kata Bu Ratna sembari mengelus punggung sang sahabat. Bu Farida dan Laras pun menyetujui usul itu."Kamu yang tenang ya, Run. Suamimu pasti nggak kenapa-napa. Ibu tinggal dulu ya? Kamu juga harus semangat dan harus cepat sembuh. Ibu tinggal ya, Sayang," pamit Bu Farida mengedup kening menantunya sebelum akhirnya meninggalkan rumah sakit bersama anak gadisnya. *
Niat awal ingin pulang untuk beristirahat, Laras justru dibuat sakit kepala dengan kedatangan Dewi. Walau akhirnya dia berhasil mengusir teman lamanya itu dari rumahnya, tetap saja gadis itu jadi tak bisa beristirahat dengan tenang. Wajah ibunya terus saja terbayang di pelupuk mata. Tidak mungkin rasanya dia ceritakan masalah itu sekarang pada wanita itu. Ibunya yang sedang bersedih karena sakitnya putra dan menantunya pasti akan bertambah terpuruk jika harus mendengar berita buruk itu juga. Tapi jika tidak disampaikannya, kasihan sekali nasib kakak iparnya. Mbak Runa-nya pasti sangat sengsara jika tahu bahwa suaminya telah berkhianat."Bagaimana ini?" Gadis itu kini nampak hanya berjalan mondar mandir saja di dalam kamarnya. Laras benar-benar bingung harus berbuat apa. ***Sore itu di rumah sakit, Runa nampak sangat gelisah. "Apa sudah ada kabar soal Mas Tama, Bu?" tanyanya pada Bu Ratna. Tak segera menjawab pertanyaan putrinya, Bu Ratna malah bersiap untuk menyuapinya.Runa meng