Share

Bab 2

Penulis: Reinee
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-26 00:42:03

"Aku … aku nggak bisa, Sayang. Aku harus balik sekarang." Kutepis lembut tangannya yang sudah mulai bergelayut manja di bahu kiriku. Dia nampak kaget karena memang tak biasanya aku menolak keinginannya yang satu itu.

"Kenapa sih?" tanyanya sedikit ketus.

"Istriku masuk rumah sakit, Wi," jawabku cepat.

"Oh ya?" Matanya langsung membulat. Entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang. Tapi itu terlihat seperti luapan kegembiraan.

"Sori ya, aku nggak bisa lama-lama lagi. Doakan Runa nggak kenapa-napa, jadi besok aku bisa ke sini lagi. Oke?" ujarku menghibur.

"Kenapa-napa juga nggak apa-apa to? Itu kan yang kita inginkan?" Dia terkekeh.

Hatiku langsung berdesir mendengar itu. Kalimat Dewi seolah sedang menyindirku. Sejujurnya beberapa bulan ini aku memang sering berandai-andai, bagaimana jika Runa tak ada lagi dalam hidupku. Pastilah saat itu Dewi yang akan menggantikan posisinya untuk menjadi istriku. Rasa sesal memang seringkali datang akhir-akhir ini dalam hatiku. Kenapa aku harus terlambat dipertemukan dengan wanita menyenangkan ini?

Aku sejenak berpikir. Mungkinkah apa yang terjadi pada Runa sekarang akibat harapan-harapanku beberapa bulan ini? Selama ini sering kudengar orang berkata bahwa apa yang kita ucap dan pikirkan tak ubahnya seperti sebuah doa.

"Sudah ya, aku pergi dulu." Aku mencium lembut tangannya sebelum akhirnya dia turun dari mobil dengan tingkah kesal. Mungkin karena tak kutanggapi kalimat terakhirnya.

Meski sebenarnya masih sangat ingin bersamanya, tapi aku tak mau menjadi bulan-bulanan keluargaku karena terlihat tak peduli dengan kondisi Runa.

Saat kutinggalkan Dewi, kulihat dia masih berdiri mengawasiku di parkiran dengan muka masam dan sulit diartikan.

***

Tiba di rumah sakit, Laras langsung mengomeliku tanpa ampun. Sementara ibu terlihat tengah duduk tertunduk sedih dengan dengan lengan digamit oleh Safitri - pembantu rumah tangga di rumah kami.

"Gimana bayiku?" tanyaku setelah menghampiri mereka

Laras langsung melotot mendengar pertanyaanku. Aku tak tahu kenapa dia semarah itu padaku.

"Mbak Runa masih ditangani dokter di dalam." Dia malah menjawab menyebutkan kondisi Runa.

"Bayiku, gimana?" tanyaku lagi.

"Berdoa saja Mbak Runa baik-baik saja, Mas," katanya singkat, tapi langsung memalingkan wajah dariku. Sepertinya dia begitu kesal denganku.

"Lain kali kalau sedang di luar, jangan dimatikan HPnya, Le. Kalau di rumah terjadi apa-apa seperti ini, apa kamu nggak merasa menyesal? Untung saja tadi Laras sudah pulang kerja. Gimana kalau tidak? Tidak ada orang yang bisa dimintai tolong," protes ibu panjang lebar.

"Iya maaf Bu, aku kan juga nggak tahu bakal begini. Tadi ada tugas luar, sinyalnya blank di tempat itu." Aku pun mulai beralasan.

Kulihat wajah ibu tampak begitu merana. Tak heran, karena yang kutahu dia memang sangat menyayangi Runa bukan lagi seperti menantu. Bahkan Laras saja sebagai anak kandungnya, terkadang masih sering cemburu dengan perlakuan ibu pada istriku itu.

"Berdoalah semoga istri dan bayimu baik-baik saja. Ibu nggak tahu harus bagaimana menjelaskannya pada orangtua Runa saat mereka tiba nanti."

"Mereka sudah dikabari?" tanyaku.

"Sudah. Sekarang lagi perjalanan naik kereta. Kasihan mereka, harus jauh-jauh datang ke sini mendadak. Hal seperti ini kan harusnya nggak perlu terjadi," ujar ibu lagi.

Aku menarik nafas berat. Segala sesuatu tentang Runa memang akulah yang akan selalu disalahkan.

"Namanya juga musibah, Bu. Siapa sih yang mau ini terjadi?" Aku mulai membela diri.

Ibu kini malah menatapku tajam. "Tapi kan sebagai suami seharusnya kamu lebih siaga di masa-masa kehamilan istrimu seperti sekarang ini, Tam."

"Iya iya, Bu. Nggak usah diulang-ulang. Tama kan juga sudah minta maaf. Jangan disalahin terus dong," kataku sedikit bersungut.

Aku baru akan melanjutkan pertanyaan saat pintu ruang di sebelah kami terbuka. Kemudian terlihat dokter keluar diikuti seorang perawat di belakangnya.

"Keluarganya Ibu Runa?" tanya si perawat.

Aku, ibu, dan Laras langsung berdiri menghampiri mereka. Perawat itu kembali masuk ke ruangan meninggalkan dokter bicara pada kami.

"Anda suaminya?" tanya lelaki berperawakan sedang itu padaku. Dari penampilannya, sepertinya usia dokter ini tak terpaut jauh denganku.

Aku pun segera mengangguk mengiyakan. "Benar, Dok."

Bukannya langsung menjelaskan, dia justru terlihat menghela nafas cukup panjang, membiarkan kami sedikit menunggu dan bertanya-tanya.

"Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik yang kami bisa, tapi mohon maaf karena …."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fati Ma
bagus banget aku suka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • ISTRIKU MEREGANG NYAWA SAAT KU BERZINA   Bab 20

    Meski telah sangat paham dengan perasaan Runa, Bu Farida tetap tak rela melihat apa yang menimpa menantu kesayangannya itu. Namun apapun yang dikatakan oleh ibu mertuanya kali ini, sepertinya sudah tak bisa berpengaruh pada keputusan Runa. Malam itu, Runa memutuskan untuk tidur terpisah dari Tama. Tama yang masih terjaga tampak kaget melihat istrinya menenteng bantal guling dan bersiap meninggalkan kamar usai membersihkan diri seperti biasa. “Mau kemana?” tanyanya kaku, berusaha menghilangkan rasa penasaran. Sambil sedikit merendahkan gengsinya, tentu saja.“Oh iya, aku belum pamit ya, Mas?” Runa pun menghentikan langkah. Wanita dengan setelan piyama panjang itu kembali berjalan mendekat ke arah suaminya yang tadinya sudah bersiap untuk memejamkan mata. Hati Tama tiba-tiba berdesir kala Runa mulai duduk di tepi ranjang, sangat dekat sekali dengan tempatnya berbaring. “Aku sudah memutuskan, Mas,” ujarnya kemudian, usia menghela nafas berat. Tama mengerutkan dahi mendengar itu. “Me-m

  • ISTRIKU MEREGANG NYAWA SAAT KU BERZINA   Bab 19

    Nama itu seperti tak asing di telinga Runa. Dia sepertinya telah beberapa kali mendengarnya disebutkan dalam perbincangan ibu mertua dan adik iparnya belum lama ini. "Ada perlu dengan saya?" tanya Runa hati-hati usai mendudukkan diri di kursi tamu. Sepertinya dia agak sedikit waspada dengan maksud dan tujuan wanita di depannya itu menemuinya. Wanita itu malah tertawa kecil dengan nada seperti meremehkan. "Kalau tidak ada perlu, aku nggak akan ke sini mencarimu, Nyonya Tama," katanya. Runa sedikit terkejut. Mereka berdua baru pertama kali bertemu, tapi gelagat wanita itu seolah sudah mengenal Runa lama. Sikapnya, bagi Runa juga kurang sopan. "Maaf, tapi sepertinya kita belum pernah bertemu," ucap Runa dengan dahi berkerut. Sepertinya dia pun mulai mencoba mengingat-ingat siapa gerangan wanita di hadapannya saat ini. "Suamimu sudah banyak cerita soal kamu, Runa." Jantung Runa rasanya langsung berhenti berdetak mendengar kalimat itu. Suaminya? Itu berarti Tama? Jadi, wanita inikah

  • ISTRIKU MEREGANG NYAWA SAAT KU BERZINA   Bab 18

    Seminggu setelah Runa kembali bekerja, Tama semakin sering uring-uringan. Entah kenapa dengan lelaki itu. Padahal biasanya dia tak terlalu peduli dengan kehadiran istrinya itu di sampingnya. Namun semenjak tak dilihatnya Runa hingga beberapa jam di rumah, Tama merasa ada yang kurang. Tak ada yang bolak balik keluar masuk ke dalam kamar mereka dan menanyakan makan seperti biasa. Pun tak ada yang bisa dia suruh- suruh ini dan itu beberapa hari ini. Meski Dewi tak pernah absen mengirimkan pesan setiap hari, bahkan jika Bu Farida sedang keluar, Tama dengan berani menelpon wanita simpanannya itu hanya untuk mengobrol tak jelas di kamarnya. Safitri satu-satunya orang yang kerap jadi sasaran amarahnya sekarang. Jelas dia tak akan berani marah pada sang ibu.Seperti hari ini, Tama begitu rewel minta ini dan itu pada asisten rumah tangga itu sambil marah-marah tak jelas, membuat Safitri hampir kehilangan kesabarannya. Namun sebagai seorang pembantu, wanita itu tak bisa berbuat banyak. Akhirny

  • ISTRIKU MEREGANG NYAWA SAAT KU BERZINA   Bab 17

    "Run! Runaaa!"Terdengar suara teriakan Tama dari kamarnya. Bu Farida yang sedang membantu Safitri membereskan jemuran di halaman belakang sampai kaget mendengar itu. Wanita paruh baya itu pun bergegas masuk ke rumah. "Ada apa, Tam? Kenapa teriak-teriak gitu?" tanya sang ibu."Ini lho, Tama mau ambil buku itu. Runa kemana sih?" tanya lelaki itu gusar. "Kamu ini gimana? Tadi pagi bukannya kamu sudah dipamiti sama istrimu kalau hari ini dia mulai kerja. Kok sudah lupa to." Tama merengut. Dia sebenarnya bukan lupa, tapi dia memang hanya ingin berteriak saja karena kesal dengan kondisinya yang tidak bisa apa-apa. "Kalau butuh apa-apa kan bisa panggil ibu. Jangan teriak gitu. Nggak enak didengar tetangga," jelas sang ibu."Nanti ibu capek ngurusin Tama." Lelaki itu merajuk, melengos ke arah lain."Yo ndak apa-apa to capek, namanya juga ngurus anak." Bu Farida terkekeh kecil, menertawakan tingkah sulungnya."Lagian kenapa sih Runa pakai kerja segala. Padahal aku kemarin udah larang dia,

  • ISTRIKU MEREGANG NYAWA SAAT KU BERZINA   Bab 16

    [Aku udah kangen banget, Mas. Aku ke situ ya?] Wanita itu menuliskan kalimat bernada rengekan yang langsung membuat muka Tama merah padam. [Jangan Sayang, sabarlah sedikit. Plis, jangan ke sini.] Di tengah kepanikan, Tama membalas. Dia tahu bagaimana watak Dewi. Terkadang wanita itu bisa sangat nekat jika tak dibujuk pelan-pelan.[Sampai kapan, Mas? Aku udah nggak tahan pengen ketemu kamu.] Wanita di seberang sana terus saja merengek dalam tulisannya.[Wi, tolong jangan kasih aku masalah. Meskipun saat ini kita masih belum bisa ketemu, tapi aku tetep berusaha selalu kasih kamu jatah loh. Jadi tolong mengerti ya, Sayang?][Kamu kapan dong sembuhnya, Mas? Kan waktunya belum jelas. Aku udah nggak tahan. Aku kangen.] Lagi-lagi Tama menghela nafas membaca itu. Sebenarnya dia pun sama tidak tahannya dengan selingkuhannya, tapi apa daya kondisinya tak memungkinkan untuk saling bertemu.[Ya sabar lah, Wi. Sakitku ini kan bukan masuk angin yang sebentar aja udah sembuh. Aku bisa diamuk orang

  • ISTRIKU MEREGANG NYAWA SAAT KU BERZINA   Bab 15

    Hari itu Laras membuat Runa bisa melupakan sedikit masalahnya. Meski sebenarnya tetap saja wanita itu tak bisa begitu saja menikmati momen jalan-jalan mereka dengan segala kerumitan hidup yang sedang dialaminya. "Ras, mbak boleh minta tolong nggak sama kamu?" Runa tiba-tiba bertanya saat keduanya sedang berhenti untuk makan di foodcourt sebuah mall. Laras yang baru saja menata beberapa paperbag belanjaannya di kursi samping, langsung menatap Runa dengan antusias. Biasanya Runa jarang mau minta bantuannya jika tidak sedang sangat terpaksa selama ini. "Apa itu, Mbak? Bilang saja. Laras pasti bantu kalau bisa," katanya. "Ini Ras, mbak kayaknya pengen kerja lagi deh. Mbak kangen kerja kayak dulu," ucap wanita itu hati-hati. Bukannya dia takut Laras tidak akan suka dengan keputusan itu, tapi dari awal sebelum menikah dengan Tama, Runa memang sudah berjanji untuk menjadi ibu rumah tangga saja dan menemani Bu Farida di rumah. Laras pun tahu akan hal itu. "Mbak Runa mau kerja? Serius, Mb

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status