Share

ISTRIKU MEREGANG NYAWA SAAT KU BERZINA
ISTRIKU MEREGANG NYAWA SAAT KU BERZINA
Penulis: Reinee

Bab 1

Kutatap tubuh molek dengan balutan pakaian tipis didepanku tanpa berkedip. Sudah sepuluh bulan ini, saat bersamanya aku selalu tak pernah bisa berkutik. Selama itu pula sama sekali tak kurasakan bosan kala memandanginya.

Dewi Ayuni namanya. Meski mungkin bagi sebagian orang nama itu terlalu biasa, tapi bagiku dia benar-benar seperti sesosok dewi yang turun dari langit untuk memberiku kebahagiaan. Dia sungguh ayu dan mempesona. Sangat berbeda jauh dengan Aruna yang kini tubuhnya bertambah gendut dan makin membuatku tak berselera.

"Mas, ponselnya bunyi tuh. Pasti istrimu deh. Nyebelin banget, gangguin aja," katanya dengan muka cemberut sambil mencelos tak mau menatapku lagi.

Kuraih ponsel yang sudah kuletakkan di atas nakas sejak kedatanganku di apartemen dengan malas. Dari nama yang tertera di layar sudah terlihat bahwa Aruna yang sedang menelponku. Malas sekali rasanya untuk menerima panggilan itu. Paling-paling istriku itu cuma mau nitip dibeliin ini itu saat aku pulang nanti. Calon anak kami lah yang selalu dia jadikan alasan untuk merengek tiap hari.

"Ah, merepotkan," gerutuku.

"Nggak diangkat dulu?" Dewi masih cemberut saat kembali kudekati. Sepertinya dia ngambek karena kesenangan kami harus terhenti akibat bunyi telepon dari Aruna. Salahku juga tidak mengatur senyap dulu ponsel sebelum melancarkan aksiku bersamanya.

"Udah aku matiin HPnya, jangan marah. Maaf ya, aku lupa senyapin tadi. Ayo dong, Sayang," bujukku.

"Mas nih kebiasaan deh." Dewi pun langsung membalikkan badan dengan pipi bersemu merah usai mendengar penjelasanku.

Beberapa menit kemudian, kami pun sudah larut dalam hasrat membara lagi.

*****

Tepat pukul 5 sore kuputuskan untuk segera meninggalkan apartemen yang telah kusewa selama beberapa bulan ini untuk ditempati Dewi.

Langkahku sedikit tergesa melewati lobby menuju ke area parkir. Tentu saja aku takut ada seseorang yang kukenal melihatku berada di tempat ini.

Sesampainya di basement, aku bermaksud langsung melajukan mobil sportku saat tiba-tiba teringat sesuatu. Aku lupa belum menyalakan ponselku lagi. Kemudian dengan sigap kuraih benda pipih itu dan mulai memencet tombol powernya.

Sesaat setelah ponsel itu menyala, rentetan bunyi notifikasi segera terdengar tanpa henti.

"Apa apaan sih Aruna ini? Rewel banget,' umpatku dalam hati.

Belum sempat kuperiksa rangkaian notifikasi itu, tiba-tiba nada panggilan berbunyi. Ada nama adik perempuanku terpampang di layar.

"Halo Ras, kenapa?" sahutku cepat setelah menggeser icon telepon berwarna hijau.

"Mas Tama, ya Allah Maaas, Kamu lagi dimana sih? Susah sekali dihubungi," ujarnya dengan nada panik.

Tak sedikit pun curiga dengan kepanikan itu, aku malah mengomelinya. "Jam segini kok nanya dimana? Ya di kantor lah. Dimana lagi memangnya?"

"Di kantor mana, Mas? Jangan bohong deh. Aku udah telepon ke kantormu tadi dan katanya Mas Tama udah keluar dari jam 2."

"Aduh, si*l! Ngapain sih Laras pake nelpon ke kantor segala? Memangnya ada masalah penting apa?" batinku menyembunyikan kejengkelan

"Iyaa, maksudku … aku tadi ada tugas luar. Makanya nggak di kantor. Memangnya kenapa sih, Ras?"

"Mas ini keterlaluan banget. Udah tahu istrinya lagi hamil, HPnya malah dimatiin." Kali ini dia ganti mengomel. Kudengar nada amarah dalam kalimatnya. Adik semata wayangku itu memang terkenal sangat galak sejak dulu. "Tadi aku telpon bolak balik pake HPnya Mbak Runa lho. Nggak diangkat juga. Terlalu kamu, Mas!" lanjutnya.

"Sebentar to, Ras. Ini ada apa sih sebenarnya? Kenapa malah jadi ngomel-ngomel nggak jelas gitu? Memangnya mbakyumu kenapa?"

"Mbak Runa masuk rumah sakit, Mas. Tadi dia kepeleset dan jatuh di kamar mandi. Sampai pendarahan lho. Sekarang ini kita semua lagi ada di rumah sakit, eh kamu malah nggak jelas dimana. Mana susah banget dihubungi."

Aku tak terlalu mendengarkan lagi kalimat Laras selanjutnya. Mendengar Runa di bawa ke rumah sakit, pikiranku langsung melayang pada bayi kami.

"Apa?! Kamu jangan bercanda deh, Ras!" kataku sedikit menghardiknya.

"Ngapain sih Mas hal kayak gini dibecandain? Buruan ke sini. Mbak Runa masih belum sadar."

Aku baru merasa panik saat kudengar nada suara adikku itu melunak. "Ya udah, aku langsung ke situ sekarang, Ras. Kasih tau aku, kalian di rumah sakit mana. Aku udah di mobil ini," jelasku.

Kututup telepon dengan kasar usai mendengar informasi dari Laras, lalu kulempar benda pipih itu ke jok samping. Namun baru saja aku berniat menghidupkan mesin mobil, mendadak pintu penumpang dibuka dari luar dan Dewi melompat masuk.

"Wi, ngapain?" Dahiku sampai mengernyit melihat tingkahnya. Sementara dia malah tersenyum-senyum aneh menatapku.

"Sekali lagi yuk, Mas," ajaknya dengan nada menggoda. Mataku langsung membelalak mendengar itu.

"Tapi Wi, aku …."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status