"Kami tidak bisa menyelamatkan bayi Anda."
"Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji'un." Ibu langsung terisak. Aku sendiri tak paham dengan apa yang kurasakan saat ini."Mbak Runa bagaimana, Dok?" Justru Laras yang bertanya seperti itu pada dokter di depanku."Ibu Runa masih ditangani saat ini. Mungkin beberapa jam ke depan baru bisa ditemui setelah kondisinya stabil."Dokter itu pun kemudian berpamitan setelah mengungkapkan bela sungkawanya kepada kami.Kulihat ibu langsung mendudukkan diri lagi dengan lemas di samping Safitri. "Semoga Runa segera pulih." Aku masih sempat mendengar gumaman lirihnya.Aku bermaksud mendekatinya saat tiba-tiba ponsel di saku celana panjangku bergetar. Refleks segera kuraih benda pipih itu untuk kuperiksa.[Gimana istrimu, Mas?] Dewi mengirimiku pesan. Sepertinya dia sudah tak sabar ingin mendengar kabar kondisi Runa.Tanganku baru mulai akan mengetikkan balasan untuknya saat kudengar suara Laras mengagetkanku."Nggak usah macem-macem, Mas! Istrimu sedang kena musibah."Aku pun urung membalas pesan Dewi. Kudongakkan kepala ke arah adik perempuan semata wayangku yang tengah duduk di samping ibu itu. Wanita paruh baya itu juga langsung ikut menatapku gara-gara kalimat Laras."Kamu ngomong apa sih, Ras?" tanyaku kesal.Kulihat mulut Laras berkomat-kamit seperti ingin mengucapkan sesuatu. Tapi saat matanya bergerak ke arah ibu, gadis itu mendadak diam. Dia baru membuka mulut lagi saat tatapanku tak juga kupalingkan darinya, meminta penjelasan."Pikir aja sendiri! Udah tua juga masih nggak bisa mikir kamu, Mas?""Sudah, sudah. Kalian jangan ribut di sini. Kita lagi di rumah sakit." Ibu menengahi.Aku masih dibuat penasaran dengan kalimat yang dikatakan Laras, hingga sepanjang penantian menunggu kondisi Runa stabil, berkali-kali kupandangi dia dari tempat dudukku dengan penuh tanya. Apa sebenarnya yang sedang ada dalam pikiran adikku itu?Ponselku terus bergetar di dalam saku celana setelah itu. Tapi aku enggan memeriksanya. Aku yakin itu Dewi yang sedang kesal karena pesannya tidak aku balas.***Malam itu aku dan Ibu kembali ke rumah sakit usai membawa pulang jenazah bayi kami dan memakamkannya dibantu warga di kompleks perumahan. Safitri kami tinggalkan sendiri untuk menunggui rumah.Runa sudah dipindahkan ke kamar perawatan saat kami datang. Tangis Ibu langsung pecah memeluk menantunya yang sedang terbaring lemah di ranjang perawatan. Saat Laras bergabung, ketiganya bertangisan seperti dikomando. Padahal mata adikku itu sudah sangat sembab, sepertinya sudah menangis sebelum kami datang."Sabar ya, Run. Allah tidak akan menguji hambanya dengan sesuatu yang tidak dia sanggupi." Ibu mengelus-elus kepala istriku dengan penuh kasih, sementara Laras menggenggam tangan kakak iparnya itu seolah ingin memberi kekuatan."Maaf ya Bu, Runa nggak bisa menjaga cucu ibu." Runa kembali terisak usai mengucapkan itu."Tidak. Itu bukan salah kamu, Run. Insya Allah nanti secepatnya kalian akan diberikan momongan lagi. Kamu harus kuat ya?"Kulihat Runa hanya diam. Bibirnya mengatup rapat tak berkomentar apapun dengan kalimat terakhir ibu. Kini matanya justru beralih menatapku yang masih berdiri terpaku di belakang ibu."Mas," panggilnya dengan suara lirih. Ibu dan Laras pun menyingkir untuk memberiku ruang mendekatinya.Kuraih tangan dan kuelus dahinya dengan lembut. Namun kurasakan gerakan halusnya menolak sentuhanku. Saking halusnya, aku yakin ibu dan Laras tak menyadari akan hal itu."Istirahatlah, jangan banyak bicara dulu," ucapku selayaknya seorang suami yang sedang mengkhawatirkan istrinya."Aku nggak apa-apa kok, Mas. Anak kita insya Allah juga sudah ada di tempat terbaiknya." Walau terdengar tegar, suaranya terasa bergetar saat mengucapkan itu."Iya Run, Aamiin. Yang penting sekarang kamu harus cepat pulih. Kita bisa mencobanya lagi lain kali. Masih banyak waktu. Kamu jangan sedih ya?"Entah apa yang ada dalam pikiranku saat mengatakan itu. Mungkin aku ingin terlihat seperti suami yg baik di mata ibu dan Laras. Atau bisa jadi karena aku hanya kasihan saja melihat kondisinya yang sekarang, karena sejujurnya aku sudah tidak memiliki hasrat apapun lagi pada Runa setelah kedekatanku dengan Dewi."Enggak Mas. Mas Tama tidak perlu repot-repot." Kalimat itu terlontar lirih dari mulut Runa, tapi terdengar begitu aneh di telingaku. Bahkan aku sampai menoleh pada ibu dan Laras yang sepertinya juga sama bingungnya denganku."Repot kenapa, Run?" Aku tak bisa menyembunyikan rasa penasaranku, hingga kemudian bertanya.Dia menatapku cukup lama sebelum akhirnya berkata. "Anak kita sudah tidak ada, jadi Mas Tama bebas sekarang.""Kamu ngomong apa sih, Run?" Aku tak bisa menyembunyikan kekagetanku. Kutatap mata sembab itu dengan lekat, tapi Runa justru memalingkan wajah dan berurai air mata lagi. "Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu ngomong seperti itu? Coba bilang sama aku." Kulembutkan suara agar dia mau bicara. Tapi nihil, dia malah menutup rapat mulutnya kali ini. "Sudah Mas, biarkan Mbak Runa istirahat dulu." Laras mendekati kami dan mengisyaratkan padaku untuk menyingkir. Kulihat Laras membenarkan letak bantal Runa saat aku beranjak. Tiba-tiba kalimat terakhir Runa terngiang-ngiang di kepalaku. Kenapa dia mendadak bicara seperti itu? Apakah ini ada hubungannya dengan Dewi? Tapi mana mungkin? Runa tidak mungkin tahu hubunganku dengan Dewi. Selama ini dia terlihat baik-baik saja dan tak pernah mengatakan hal-hal yang aneh padaku, apalagi sampai mencurigaiku. Pagi itupun, dia masih bermanja-manja saat melepasku berangkat kerja. Ada apa dengan Runa?Merasa terganggu dengan pikiran itu, aku bermaksud ke luar k
"Apa yang kamu lakukan di sini? Kalau ada yang lihat gimana?" Aku mengoceh sambil mengikuti langkah cepatnya."Memangnya kenapa? Kita kan nggak ngapa-ngapain." Dia terus melangkah sambil menjawab ucapanku sebelum akhirnya berhenti di samping bangunan gedung rumah sakit yang cahayanya sedikit remang dan sepi."Kamu jangan keterlaluan dong, Mas! Kok aku sama sekali nggak direspon sih? Kan aku khawatir," omelnya kemudian."Ya ampuun Wi, kamu kan tahu aku lagi ada musibah. Ngertiin dulu dong." Kutatap wajah cemberut di depanku itu. Kini dia bersedekap menatapku, seolah aku adalah anak kecil yang pantas dimarahi karena pergi tidak pamit."Iya, tapi setidaknya kan kasih kabar, jangan pesanku malah cuma dibaca doang. Siapa yang nggak mikir aneh-aneh coba kalau kayak gitu?" protesnya."Iyaa, maaf. Ini aku tadinya juga mau nelpon kamu, Wi. Ibu sama adekku di dalam. Nggak mungkin kan aku telponan atau kirim-kiriman pesan sementara istriku lagi kayak gitu?""Memangnya gimana keadaannya?" Dewi te
"Tapi aku nggak bisa lama-lama ya, Wi. Aku nggak mampir. Nanti langsung pulang aja," kataku hati-hati, takut kalau-kalau dia akan marah lagi. Entah kenapa aku selalu lebih takut didiamkan oleh Dewi daripada istriku sendiri."Terserah kamu," ucapnya singkat. Lalu bergerak mengikutiku menuju ke tempat parkir. Kemudian aku pun melangkah sedikit lebih cepat agar tak sampai berjalan beriringan dengannya. Meski di malam hari, tetap saja tak bisa membuatku tenang berjalan berduaan di tempat umum seperti ini bersamanya. Jantungku selalu berdebar-debar saat kami sedang berada di tempat terbuka. Aku selalu takut seseorang akan melihat kami. Tapi anehnya, hal itu tak pernah bisa membuatku berpikir untuk menghentikan hubungan terlarangku dengan Dewi ini. Bahkan ini justru jadi seperti tantangan untukku. Takut, tapi tetap ingin menjalani. Sepanjang perjalanan, kulihat wanita keduaku itu membisu. Sepertinya ada yang sedang dipikirkannya saat ini. "Kenapa, Wi?" Kulirik wajah murung itu di sela-se
Wanita itu segera mengalihkan pandangan ke jendela saat bersitatap dengan mata suaminya. Entah kenapa, melihat wajah lelaki itu membuat luka kehilangan calon buah hatinya semakin terasa perih bagai ribuan pedang menusuk jantungnya. Aditama Wiguna adalah lelaki yang menikahinya satu setengah tahun lalu atas bujukan ibunya. "Jaman gini kok masih dijodoh-jodohin to, Bu? Enggak ah, Runa nggak mau," protesnya waktu itu pada sang ibu. Mendengar penolakannya itu, kedua orangtuanya langsung terkekeh "Kamu bilang begitu kan karena kamu belum ketemu saja sama anaknya Tante Farida itu, Run. Nanti kalau kamu sudah lihat orangnya, pasti beda lagi ceritanya. Ya kan, Pak?" Bu Ratna menoleh pada sang suami, yang hanya menanggapinya dengan seulas senyum."Bapak sih terserah Runa. Semantapnya dia saja. Kalau dia setuju dengan rencana kamu dan Farida untuk menjodohkan mereka ya bapak nggak ada masalah. Yang penting buat bapak itu Runa harus bahagia. Itu aja." Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara
"Mbak, Mbak Runa kenapa?!" Laras berteriak panik, membuat ibunya yang sedang tertidur di sofa terbangun karena kaget."Kenapa, Ras?" Bu Farida gelagapan mencari penutup kepalanya, lalu tergopoh-gopoh menghampiri Laras yang sedang kebingungan di samping ranjang Aruna."Mbak Runa, Bu!" Laras nyaris terisak saat mengadukan kondisi Runa pada sang ibu. "Panggil suster, Ras. Cepat!" Laras pun segera berlari ke luar ruangan menuju tempat jaga perawat, sementara Bu Farida terlihat langsung mondar mandir memeriksa suhu semua bagian tubuh menantunya. Kondisi Aruna drop. Beberapa menit kemudian setelah salah satu perawat datang untuk memeriksa, terlihat dia keluar lagi untuk memanggil bantuan dua orang temannya. "Mohon Ibu tunggu di luar dulu ya," pintanya pada Bu Farida yang wajahnya sudah pucat pasi melihat kondisi sang menantu. Orang tua itu pun berjalan ke luar ruangan dengan hati cemas. "Telpon masmu, Ras! Kemana sih dia nggak balik-balik dari tadi? Katanya cuma mau beli rokok," gerut
"Sabar ya, Rid. InsyaAllah Tama akan baik-baik saja. Dia laki-laki yang kuat." Bu Ratna memeluk sahabatnya erat. Beberapa saat setelah menerima telepon dari kepolisian, tangis Bu Farida pecah saat kembali ke dalam kamar. Semua jadi panik melihat itu. Apalagi setelah wanita itu menjelaskan apa yang terjadi pada putranya. Tangis Bu Ratna dan Laras pun pecah dan saling berangkulan. Hanya Runa yang tak bereaksi apa-apa. Di atas pembaringannya, wanita itu hanya diam menitikkan air mata tanpa suara."Kalau begitu, tinggalkan saja Runa. Biar aku dan bapaknya yang mengurus dia. Sekarang yang lebih penting Tama, Rid. Urus dulu Tama," kata Bu Ratna sembari mengelus punggung sang sahabat. Bu Farida dan Laras pun menyetujui usul itu."Kamu yang tenang ya, Run. Suamimu pasti nggak kenapa-napa. Ibu tinggal dulu ya? Kamu juga harus semangat dan harus cepat sembuh. Ibu tinggal ya, Sayang," pamit Bu Farida mengedup kening menantunya sebelum akhirnya meninggalkan rumah sakit bersama anak gadisnya. *
Niat awal ingin pulang untuk beristirahat, Laras justru dibuat sakit kepala dengan kedatangan Dewi. Walau akhirnya dia berhasil mengusir teman lamanya itu dari rumahnya, tetap saja gadis itu jadi tak bisa beristirahat dengan tenang. Wajah ibunya terus saja terbayang di pelupuk mata. Tidak mungkin rasanya dia ceritakan masalah itu sekarang pada wanita itu. Ibunya yang sedang bersedih karena sakitnya putra dan menantunya pasti akan bertambah terpuruk jika harus mendengar berita buruk itu juga. Tapi jika tidak disampaikannya, kasihan sekali nasib kakak iparnya. Mbak Runa-nya pasti sangat sengsara jika tahu bahwa suaminya telah berkhianat."Bagaimana ini?" Gadis itu kini nampak hanya berjalan mondar mandir saja di dalam kamarnya. Laras benar-benar bingung harus berbuat apa. ***Sore itu di rumah sakit, Runa nampak sangat gelisah. "Apa sudah ada kabar soal Mas Tama, Bu?" tanyanya pada Bu Ratna. Tak segera menjawab pertanyaan putrinya, Bu Ratna malah bersiap untuk menyuapinya.Runa meng
"Kamu ngapain sih ke sini lagi, hah?!" Pagi itu, Laras dikejutkan lagi oleh kedatangan Dewi yang tiba-tiba. Gadis itu baru hendak masuk ke mobil untuk berangkat kerja saat Dewi datang dan mencegahnya menutup mobil. "Ras, tolong Ras, bilang sama aku dimana Mas Tama sekarang!" Ekspresi Dewi sama sekali berbeda dari saat datang di hari sebelumnya. Kali ini dia begitu panik. Entah apa yang telah terjadi pada wanita itu. Laras menatapnya dari kursi kemudi di dalam mobil dengan keheranan. "Ngapain lagi sih kamu nyari kakakku? Kalian itu bukan suami istri. Ingat itu!" ketus Laras."Tapi aku nggak bisa hubungin Mas Tama dari kemarin, Ras. Dia dimana sih? Dia ada di rumah kan? Iya kan, Ras?" tebak wanita itu, padahal dia ragu dengan pernyataannya sendiri karena tak dilihatnya mobil Tama di garasi."Nggak ada! Apa kamu nggak lihat rumah sudah aku kunci semua gitu? Nggak ada siapa-siapa di rumah, Wi. Pergi kamu! Nggak usah dateng-dateng ke sini lagi!" bentaknya."Tapi Ras, aku butuh ketemu M