Share

Bab 3

"Kami tidak bisa menyelamatkan bayi Anda."

"Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji'un." Ibu langsung terisak. Aku sendiri tak paham dengan apa yang kurasakan saat ini.

"Mbak Runa bagaimana, Dok?" Justru Laras yang bertanya seperti itu pada dokter di depanku.

"Ibu Runa masih ditangani saat ini. Mungkin beberapa jam ke depan baru bisa ditemui setelah kondisinya stabil."

Dokter itu pun kemudian berpamitan setelah mengungkapkan bela sungkawanya kepada kami.

Kulihat ibu langsung mendudukkan diri lagi dengan lemas di samping Safitri. "Semoga Runa segera pulih." Aku masih sempat mendengar gumaman lirihnya.

Aku bermaksud mendekatinya saat tiba-tiba ponsel di saku celana panjangku bergetar. Refleks segera kuraih benda pipih itu untuk kuperiksa.

[Gimana istrimu, Mas?] Dewi mengirimiku pesan. Sepertinya dia sudah tak sabar ingin mendengar kabar kondisi Runa.

Tanganku baru mulai akan mengetikkan balasan untuknya saat kudengar suara Laras mengagetkanku.

"Nggak usah macem-macem, Mas! Istrimu sedang kena musibah."

Aku pun urung membalas pesan Dewi. Kudongakkan kepala ke arah adik perempuan semata wayangku yang tengah duduk di samping ibu itu. Wanita paruh baya itu juga langsung ikut menatapku gara-gara kalimat Laras.

"Kamu ngomong apa sih, Ras?" tanyaku kesal.

Kulihat mulut Laras berkomat-kamit seperti ingin mengucapkan sesuatu. Tapi saat matanya bergerak ke arah ibu, gadis itu mendadak diam. Dia baru membuka mulut lagi saat tatapanku tak juga kupalingkan darinya, meminta penjelasan.

"Pikir aja sendiri! Udah tua juga masih nggak bisa mikir kamu, Mas?"

"Sudah, sudah. Kalian jangan ribut di sini. Kita lagi di rumah sakit." Ibu menengahi.

Aku masih dibuat penasaran dengan kalimat yang dikatakan Laras, hingga sepanjang penantian menunggu kondisi Runa stabil, berkali-kali kupandangi dia dari tempat dudukku dengan penuh tanya. Apa sebenarnya yang sedang ada dalam pikiran adikku itu?

Ponselku terus bergetar di dalam saku celana setelah itu. Tapi aku enggan memeriksanya. Aku yakin itu Dewi yang sedang kesal karena pesannya tidak aku balas.

***

Malam itu aku dan Ibu kembali ke rumah sakit usai membawa pulang jenazah bayi kami dan memakamkannya dibantu warga di kompleks perumahan. Safitri kami tinggalkan sendiri untuk menunggui rumah.

Runa sudah dipindahkan ke kamar perawatan saat kami datang. Tangis Ibu langsung pecah memeluk menantunya yang sedang terbaring lemah di ranjang perawatan. Saat Laras bergabung, ketiganya bertangisan seperti dikomando. Padahal mata adikku itu sudah sangat sembab, sepertinya sudah menangis sebelum kami datang.

"Sabar ya, Run. Allah tidak akan menguji hambanya dengan sesuatu yang tidak dia sanggupi." Ibu mengelus-elus kepala istriku dengan penuh kasih, sementara Laras menggenggam tangan kakak iparnya itu seolah ingin memberi kekuatan.

"Maaf ya Bu, Runa nggak bisa menjaga cucu ibu." Runa kembali terisak usai mengucapkan itu.

"Tidak. Itu bukan salah kamu, Run. Insya Allah nanti secepatnya kalian akan diberikan momongan lagi. Kamu harus kuat ya?"

Kulihat Runa hanya diam. Bibirnya mengatup rapat tak berkomentar apapun dengan kalimat terakhir ibu. Kini matanya justru beralih menatapku yang masih berdiri terpaku di belakang ibu.

"Mas," panggilnya dengan suara lirih. Ibu dan Laras pun menyingkir untuk memberiku ruang mendekatinya.

Kuraih tangan dan kuelus dahinya dengan lembut. Namun kurasakan gerakan halusnya menolak sentuhanku. Saking halusnya, aku yakin ibu dan Laras tak menyadari akan hal itu.

"Istirahatlah, jangan banyak bicara dulu," ucapku selayaknya seorang suami yang sedang mengkhawatirkan istrinya.

"Aku nggak apa-apa kok, Mas. Anak kita insya Allah juga sudah ada di tempat terbaiknya." Walau terdengar tegar, suaranya terasa bergetar saat mengucapkan itu.

"Iya Run, Aamiin. Yang penting sekarang kamu harus cepat pulih. Kita bisa mencobanya lagi lain kali. Masih banyak waktu. Kamu jangan sedih ya?"

Entah apa yang ada dalam pikiranku saat mengatakan itu. Mungkin aku ingin terlihat seperti suami yg baik di mata ibu dan Laras. Atau bisa jadi karena aku hanya kasihan saja melihat kondisinya yang sekarang, karena sejujurnya aku sudah tidak memiliki hasrat apapun lagi pada Runa setelah kedekatanku dengan Dewi.

"Enggak Mas. Mas Tama tidak perlu repot-repot." Kalimat itu terlontar lirih dari mulut Runa, tapi terdengar begitu aneh di telingaku. Bahkan aku sampai menoleh pada ibu dan Laras yang sepertinya juga sama bingungnya denganku.

"Repot kenapa, Run?" Aku tak bisa menyembunyikan rasa penasaranku, hingga kemudian bertanya.

Dia menatapku cukup lama sebelum akhirnya berkata. "Anak kita sudah tidak ada, jadi Mas Tama bebas sekarang."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fati Ma
sangat mudah untuk di basa dan bagus nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status