Gemercik air terdengar dari kamar mandi yang ada di bagian paling belakang rumah. Sedangkan di dapur, Yulia sedang sibuk menggoreng berbagai jenis jajanan untuk dijualnya bersamaan dengan nasi uduk yang dia gelar di meja depan rumahnya. Tak berapa lama, Ayumi keluar dari kamar mandi dengan handuk biru yang melilit di tubuhnya sebatas paha. Yulia yang sibuk menggoreng hanya melirik anak gadisnya yang tumbuh menjadi gadis cantik juga penurut. Benar, Ayumi adalah gadis penurut yang tak pernah membantah orang tua, baik saat ayahnya masih hidup atau pun tidak. Ayumi tetaplah anak gadisnya yang sangat dia sayangi.
“Bu, Ayu sholat dulu bentar, ya,” ucap Ayu berhenti sejenak di depan pintu.
Yulia tanpa menoleh hanya mengucapkan kata “Ya” dan Ayu melangkahkan kaki untuk masuk ke kamarnya yang ada di sebelah dapur. Kecil ya rumah Ayu? Iya, rumah Ayu memang kecil. Hanya ada dua kamar. Kamar paling besar ada di bagian paling depan dekat pintu masuk, sedangkan dua kamar lainnya lebih kecil yang digunakan sebagai kamar Ayu, dan ruang kotor untuk menyetrika pakaian.
Selesai dengan urusannya di kamar, Ayumi kembali ke dapur membantu Yulia mempersiapkan segalanya, hingga selesai menata semuanya di depan rumah. Ketika waktu menunjukkan jam 7 pagi, Ayumi akhirnya pamit untuk bekerja. Jarak dari rumah ke tempat Ayumi bekerja sekitar 1 km, dan kadang-kadang pergi menggunakan sepeda, jika sedang tak digunakan oleh ibunya. Sekitar 10 menit mengayuh sepeda, akhirnya Ayumi sampai juga bersamaan buruh lainnya yang mulai berdatangan. Ayumi memarkirkan sepedanya di tempat yang sudah disediakan dan bergegas menghampiri teman-temannya yang sedang sibuk sarapan di kantin kecil pabrik tersebut.
“Ay, sini!” teriak salah satu temannya yang bernama Tiwi sambil melambaikan tangan. Melihat lambaian tangan orang yang dikenal, Ayumi bergegas menghampiri kedua temannya yang terlihat begitu menikmati menu sarapan nasi goreng juga lontong sayur.
“Kamu gak makan?” tanya Ita tak jelas karena mulut yang dipenuhi makanan.
“Sudah tadi di rumah,” sahut Ayumi singkat dan langsung ambil posisi duduk di sebelah Tiwi.
“Eh, eh ... aku ada gosip loh!” cicit comel Tiwi mewarnai adegan makannya.
“Apa, apa? Aku semangat kalau urusan gosip mah!” timpal Ita semangat. Melihat kedua temannya sang duo kompor mledug sejak lahir, Ayumi hanya tersenyum tanpa berkata sepatah kata pun.
“Aku dengar Pak Jamal nikah lagi loh dengan janda muda di kampung sebelah, kalau tak salah namanya itu ... hmm ... Mirna. Yaya benar, Mirna.”
“Kamu serius, Wi? Jangan salah ucap kamu! Kalau Pak Jamal dengar bisa marah loh!” sungut Ita yang tak ingin percaya begitu saja dengan bualan Tiwi. Pasalnya, Tiwi Ratu Gosip sejak masa SMP.
“Aku serius, aku dengar dari tetanggaku semalam yang datang ke acara nikahan mereka. Nikahnya diam-diam alias nikah siri,” lanjut Tiwi yang begitu meyakinkan.
“Ya Allah, kasihan sekali istri Pak Jamal, dia dimadu sekarang,” gumam Ita iba tanpa menghentikan suapan lontong sayur ke mulutnya.
Ayumi yang menyimak hanya diam. Selain memang dikenal sebagai gadis pendiam, Ayumi juga tak ada kepentingan untuk berkomentar karena itu bukan urusannya.
“Ay, gimana menurutmu?” ucap Ita melirik Ayumi yang sejak tadi bungkam.
“Tak ada,” jawab Ayumi singkat.
“Ya Allah Ya Robbi, panjangan sedikit kalau komentar gak bisa, Ay. Jawab apa gitu!” oceh Tiwi yang diangguki Ita.
“Itu urusan dia, bukan urusan kita. Sejauh tak mengganggu kita, biarkan saja!” Jawaban panjang Ayumi akhirnya terlontar juga dan membuat keduanya hanya menarik nafas lelah.
“Gak asik banget jawabannya.”
“Bikin buntu materi gibahan kita terus!”
Gerutu keduanya bersahutan, sedangkan Ayumi hanya tersenyum geli menatap mereka yang kembali sibuk dengan sarapannya, hingga tak lama berselang, bel masuk akhirnya terdengar. Semuanya bergegas masuk untuk memulai pekerjaannya masing-masing.
Seorang pria dengan celana training berwarna abu serta kaos putih polos sedang menuruni anak tangga. Wajahnya terlihat begitu segar sehabis mandi dengan rambut yang masih sedikit basah. Aroma maskulin dari tubuhnya menyeruak ke ruangan yang dilaluinya, dan membuat Mariana menoleh ke arah sumber wangi tersebut.
“Wangi sekali kamu, seperti duda genit saja!” ucapan tajam meluncur bebas dari bibirnya.
“Ya Allah, Ma, anak sendiri dibilang duda. Nikah saja belum apalagi kawin!” sungutnya sambil menarik kursi, lalu duduk.
“Ya lagian kamu wangi betul. Wangi ayam goreng mama kalah sama wangi minyak duyungmu itu!” celetuk Mariana sambil mengangkat sepotong ayam goreng dengan penjepit.
Mendapat teguran dari sang mama, dia hanya menarik senyum simpul, dan mulai meneguk teh hangat yang ada di meja. Mariana melangkahkan kakinya menghampiri anaknya yang terlihat asik membaca koran, dan meletakkan sepiring ayam goreng panas beserta menu lainnya dibantu seorang pembantu yang sejak tadi hanya tersenyum geli melihat sang nyonya memarahi anaknya.
“Apa sih, Bik Atun, senyum-senyum lagi!” sungutnya kesal.
Pembantu yang dipanggil hanya membalas senyuman tanpa kata dan berlalu meninggalkan ruang makan yang hanya berisikan Mariana dan putra semata wayangnya, Alfandy Benjamin Bakkas yang sering dipanggil Abe. Abe adalah seorang pria tampan berumur 30 tahun dengan ciri fisik tinggi menjulang bak tiang listrik karena memiliki darah bule yang menurun dari sang kakek. Bermata coklat terang, rambut hitam seklimis model shampoo, diiringi kekayaan yang diwarisi oleh almarhum papanya yang sudah meninggal serta hasil dari jerih payahnya bekerja selama ini mengembangkan perusahaannya di bidang perhotelan, dan real estate.
“Oya, kamu jadi berkunjung ke Desa Sukamekar untuk memantau lokasi berdirinya hotelmu selanjutnya?” tanya Mariana membuka pembicaraan. Sebelum menjawab, Abe terlihat melirik ke arah Mariana dan menelan makanan yang dikunyahnya.
“Insaallah jadi, Ma. Mama mau ikut?” ucap Abe balik bertanya.
“Tidak, besok mama ada perlu. Berapa lama kamu stay di sana?” lanjut Mariana lagi.
“Kurang lebih seminggu, Ma. Abe ingin refresh otak juga di sana. Kebetulan tempat itu sangat indah karena masih pedesaan, dan Abe ingin muter-muter daerah sekitarnya,” jelas Abe yang diangguki Mariana.
“Ya sudah kalau begitu. Jika urusan mama sudah selesai, nanti mama akan menyusul deh!” sahut Mariana lagi.
Keduanya kembali melanjutkan sarapannya tanpa bicara dan hanya dentingan sendok juga garpu yang terdengar bersahutan. Sesekali mata Mariana menatap Abe yang sibuk dengan makanannya dan hampir habis tanpa tahu jika sang mama menatapnya sendu melihat putranya sudah menjadi pria dewasa nan tampan. Harapan kecil tiba-tiba muncul di benaknya. Harapan yang belum sempat Mariana ungkapkan selama ini kepada Abe.
“Semoga kamu temukan seseorang di sana.”
Tangannya menggenggam erat benda panjang yang masih lembek dengan ujung masih runcing, tapi lembut. Perlahan gerakan pada mulutnya terhenti, bahkan terlepas dari benda bulat nan besar serta keras yang sejak tadi dia emut kasar seperti tuyul kehausan."Pisang?" gumamnya menebak dengan mata mendongak menatap wanita cantik yang ada di bawahnya dengan dress yang sudah berantakan sedang mendesah keenakan."Kenapa berhenti? Sedot lagi!" rengek wanita itu manja dan menggoda. Kiki menggeleng keras dan dengan cepat melepas pisang jadi-jadian yang digenggamnya serta bangkit dari tubuh wanita itu sambil bergidig.'Hueeek hueeek'Kiki mendadak mual terlebih ketika matanya menangkap pisang yang tadi masih sedikit lembek kini sudah mengacung di balik semvak berwarna merah senada dengan dress yang wanita itu kenakan. Kiki bergidig dan tanpa menoleh, tangannya langsung menyentuh handle mobil agar bisa keluar dan jauh-jauh dari dedemit yang menyamar untuk menggodanya."Sialan, gue nyedot nenen siluman
Seminggu akhirnya dilewati dan dua jam lalu, Abe serta Ayman sudah terbang ke Kalimantan ikut penerbangan pagi. Saat ini, Ayumi sedang di kamarnya mengambil pakaian kotor untuk segera dicuci oleh Bik Tina. Sesampainya di ruang kotor, tampak dia sudah menggiling pakaian di mesin cuci dan sedang menjemur sebagian yang sudah dicuci."Letakkan saja di situ, Neng!" kata Bik Tina menoleh pada Ayumi yang baru datang.Ayumi hanya tersenyum dan meletakkannya sesuai permintaan. Langkahnya pelan menuju teras di mana Mariana sedang duduk santai membaca koran. Mengulum senyum, Ayumi pun menghampirinya dan duduk berhadapan."Oya, Nak. Abe banyak kasih wejangan tidak saat berangkat tadi?" tanya Mariana penasaran akan otak lemot anaknya."Tidak, Ma. Kak Abe hanya bilang agar Ayu tak keluar rumah sendirian dan menyerahkan kartu ATM tadi," jawab Ayumi apa adanya."Hmm, begitu toh. Kirain tak kasih uang untuk istri yang ditinggalkan. Mau Mama pecat jadi anak kalau dia pelit dengan istri!" ujar Mariana m
Menunggu setengah jam, akhirnya Ayumi tiba sambil membawa nampan berisi teh panas. Dengan hati-hati, Ayumi meletakkannya di meja. Sedangkan, Abe terus memandang Ayumi yang tak menatapnya sedikit pun, berbeda dengan Mariana yang sumringah sepanjang hari."Duduk di sini, Nak!" ucap Mariana menepuk kursi di sebelahnya.Ayumi mengulas senyum dan duduk di sebelah Mariana dengan tatapan Abe tak pernah lepas darinya. Setelah duduk, Ayumi membuang pandangannya pada layar tv yang kini sedang menayangkan film asing."Ma, minggu depan Abe akan ke Kalimantan bersama Ayman untuk seminggu. Mama di sini saja bersama Ayumi!" kata Abe membuka pembicaraan dan seketika mata Ayumi beralih pada Abe yang sudah menantinya sejak tadi."Iya dong. Kebetulan Mama sedang tak ada jadwal urus ina inu dan bisa dikerjakan di rumah. Kalau pun ada, bisa Mama kerjakan dari rumah," jawab Mariana santai. Ayumi yang tak paham hanya menyimak. Walaupun Abe sudah urus perusahaan, tapi Mariana masih memantau dan sesekali ikut
Sekitar jam 9 malam, Ayman dan Cindy akhirnya keluar apartemen. Lebih tepatnya apartemen milik Cindy yang ada di kawasan Depok. Cindy adalah dokter kandungan yang bekerja di sebuah rumah sakit dan termasuk dari bagian Bakkas Group alias milik keluarga Abe serta ada Ayman tentunya. Cindy berasal dari keluarga sederhana, di mana orang tuanya adalah seorang PNS dan tinggal di Bandung. Kecerdasan Cindy telah mengantarkan dia hingga pada posisi ini dan terus merangkak naik karena telah memiliki beberapa restoran di beberapa kota yang dipantau oleh orang tuanya kini. Setiap akhir pekan, Cindy kadang pulang ke rumah orang tuanya di Bandung. Bahkan, Ayman sudah beberapa kali datang berkunjung."Cin, kamu yakin mau bawa mobil ke rumah sakit?" tanya Ayman yang berjalan di samping Cindy."Iya. Memang kenapa?" sahut Cindy."Enggak sekalian saja aku yang antar. Kebetulan searah denganku!" lanjut Ayman lagi."Gak usah. Aku bawa mobil saja, kebetulan besok mau langsung pulang ke Bandung." Ayman meno
Abe memanggil nama Ayumi dengan lidah teramat keluh. Biasanya dia akan dengan cepat menjawab panggilan Abe, tapi tidak kali ini. Ayumi diam dan tak menoleh. Ayumi justru sibuk meraih handuk kecil di kepala dan menggosoknya pelan. Abe yang merasa diacuhkan tak marah sedikit pun dan hanya menghela nafas berat karena sang istri benar marah kali ini."Ayumi!" panggil Abe lagi. Tanpa menjawab, Ayumi hanya menoleh. Di wajah itu, Abe bisa melihat gurat sedih tercetak akibat ucapannya tadi. Abe mendadak bungkam dan hatinya terasa sesak melihat wajah Ayumi yang menatapnya kosong."Aku ke dapur dulu bantu Bik Tina masak makan malam," ucap Ayumi pelan dan bangkit dari duduknya meninggalkan Abe yang mematung."Apa begini rasanya sakit diabaikan?"****Di sebuah kamar, terdengar desahan yang saling bersahutan. Jam dinding baru saja menunjukkan jam 7 malam, tapi dua anak manusia tanpa ikatan asik mengais lendir haram sudah didapatinya sejak sejam yang lalu."Ah … lebih cepat …," pinta seorang wanit
Dengan raut menyesal, Abe memandang kepergian Ayumi yang melewatinya. Ingin sekali Abe meraih tangan Ayumi dan memeluknya erat untuk membisikkan kata maaf di telinganya. Namun, itu hanyalah niat semata karena tak Abe lakukan, dan justru menatap kepergiannya tanpa kata."Aku bodoh!" gerutu Abe menjambak rambutnya yang sudah acak-acakan.Langkahnya sampai pada pintu kamar mandi dan membukanya pelan. Aroma sabun dan shampoo Ayumi menyeruak tajam pada indra penciumannya. Abe menarik nafas panjang dan melepasnya lelah. Perlahan tangan berotot yang tadi sempat menjamah tubuh Ayumi dia pandangi dengan sendu. Telapak tangan itu sudah menyentuh tubuh Ayumi yang sudah halal baginya justru dia hinakan dalam keadaan sadar."Aku bukan suami yang baik!" gumam Abe menatap nanar telapak tangannya yang besar. Abe memejamkan matanya. Masih bisa dia rasakan kulit halus Ayumi yang dia sentuh dan muncul desiran aneh di hatinya serta membuat alat vital di antara kedua pahanya menggeliat. Mata Abe terbuka l