Share

IYM 1

Gemercik air terdengar dari kamar mandi yang ada di bagian paling belakang rumah. Sedangkan di dapur, Yulia sedang sibuk menggoreng berbagai jenis jajanan untuk dijualnya bersamaan dengan nasi uduk yang dia gelar di meja depan rumahnya. Tak berapa lama, Ayumi keluar dari kamar mandi dengan handuk biru yang melilit di tubuhnya sebatas paha. Yulia yang sibuk menggoreng hanya melirik anak gadisnya yang tumbuh menjadi gadis cantik juga penurut. Benar, Ayumi adalah gadis penurut yang tak pernah membantah orang tua, baik saat ayahnya masih hidup atau pun tidak. Ayumi tetaplah anak gadisnya yang sangat dia sayangi.

“Bu, Ayu sholat dulu bentar, ya,” ucap Ayu berhenti sejenak di depan pintu.

Yulia tanpa menoleh hanya mengucapkan kata “Ya” dan Ayu melangkahkan kaki untuk masuk ke kamarnya yang ada di sebelah dapur. Kecil ya rumah Ayu? Iya, rumah Ayu memang kecil. Hanya ada dua kamar. Kamar paling besar ada di bagian paling depan dekat pintu masuk, sedangkan dua kamar lainnya lebih kecil yang digunakan sebagai kamar Ayu, dan ruang kotor untuk menyetrika pakaian.

Selesai dengan urusannya di kamar, Ayumi kembali ke dapur membantu Yulia mempersiapkan segalanya, hingga selesai menata semuanya di depan rumah. Ketika waktu menunjukkan jam 7 pagi, Ayumi akhirnya pamit untuk bekerja. Jarak dari rumah ke tempat Ayumi bekerja sekitar 1 km, dan kadang-kadang pergi menggunakan sepeda, jika sedang tak digunakan oleh ibunya. Sekitar 10 menit mengayuh sepeda, akhirnya Ayumi sampai juga bersamaan buruh lainnya yang mulai berdatangan. Ayumi memarkirkan sepedanya di tempat yang sudah disediakan dan bergegas menghampiri teman-temannya yang sedang sibuk sarapan di kantin kecil pabrik tersebut.

“Ay, sini!” teriak salah satu temannya yang bernama Tiwi sambil melambaikan tangan. Melihat lambaian tangan orang yang dikenal, Ayumi bergegas menghampiri kedua temannya yang terlihat begitu menikmati menu sarapan nasi goreng juga lontong sayur.

“Kamu gak makan?” tanya Ita tak jelas karena mulut yang dipenuhi makanan.

“Sudah tadi di rumah,” sahut Ayumi singkat dan langsung ambil posisi duduk di sebelah Tiwi.

“Eh, eh ... aku ada gosip loh!” cicit comel Tiwi mewarnai adegan makannya.

“Apa, apa? Aku semangat kalau urusan gosip mah!” timpal Ita semangat. Melihat kedua temannya sang duo kompor mledug sejak lahir, Ayumi hanya tersenyum tanpa berkata sepatah kata pun.

“Aku dengar Pak Jamal nikah lagi loh dengan janda muda di kampung sebelah, kalau tak salah namanya itu ... hmm ... Mirna. Yaya benar, Mirna.”

“Kamu serius, Wi? Jangan salah ucap kamu! Kalau Pak Jamal dengar bisa marah loh!” sungut Ita yang tak ingin percaya begitu saja dengan bualan Tiwi. Pasalnya, Tiwi Ratu Gosip sejak masa SMP.

“Aku serius, aku dengar dari tetanggaku semalam yang datang ke acara nikahan mereka. Nikahnya diam-diam alias nikah siri,” lanjut Tiwi yang begitu meyakinkan.

“Ya Allah, kasihan sekali istri Pak Jamal, dia dimadu sekarang,” gumam Ita iba tanpa menghentikan suapan lontong sayur ke mulutnya.

Ayumi yang menyimak hanya diam. Selain memang dikenal sebagai gadis pendiam, Ayumi juga tak ada kepentingan untuk berkomentar karena itu bukan urusannya.

“Ay, gimana menurutmu?” ucap Ita melirik Ayumi yang sejak tadi bungkam.

“Tak ada,” jawab Ayumi singkat.

“Ya Allah Ya Robbi, panjangan sedikit kalau komentar gak bisa, Ay. Jawab apa gitu!” oceh Tiwi yang diangguki Ita.

“Itu urusan dia, bukan urusan kita. Sejauh tak mengganggu kita, biarkan saja!” Jawaban panjang Ayumi akhirnya terlontar juga dan membuat keduanya hanya menarik nafas lelah.

“Gak asik banget jawabannya.”

“Bikin buntu materi gibahan kita terus!”

Gerutu keduanya bersahutan, sedangkan Ayumi hanya tersenyum geli menatap mereka yang kembali sibuk dengan sarapannya, hingga tak lama berselang, bel masuk akhirnya terdengar. Semuanya bergegas masuk untuk memulai pekerjaannya masing-masing.

Seorang pria dengan celana training berwarna abu serta kaos putih polos sedang menuruni anak tangga. Wajahnya terlihat begitu segar sehabis mandi dengan rambut yang masih sedikit basah. Aroma maskulin dari tubuhnya menyeruak ke ruangan yang dilaluinya, dan membuat Mariana menoleh ke arah sumber wangi tersebut.

“Wangi sekali kamu, seperti duda genit saja!” ucapan tajam meluncur bebas dari bibirnya.

“Ya Allah, Ma, anak sendiri dibilang duda. Nikah saja belum apalagi kawin!” sungutnya sambil menarik kursi, lalu duduk.

“Ya lagian kamu wangi betul. Wangi ayam goreng mama kalah sama wangi minyak duyungmu itu!” celetuk Mariana sambil mengangkat sepotong ayam goreng dengan penjepit.

Mendapat teguran dari sang mama, dia hanya menarik senyum simpul, dan mulai meneguk teh hangat yang ada di meja. Mariana melangkahkan kakinya menghampiri anaknya yang terlihat asik membaca koran, dan meletakkan sepiring ayam goreng panas beserta menu lainnya dibantu seorang pembantu yang sejak tadi hanya tersenyum geli melihat sang nyonya memarahi anaknya.

“Apa sih, Bik Atun, senyum-senyum lagi!” sungutnya kesal.

Pembantu yang dipanggil hanya membalas senyuman tanpa kata dan berlalu meninggalkan ruang makan yang hanya berisikan Mariana dan putra semata wayangnya, Alfandy Benjamin Bakkas yang sering dipanggil Abe. Abe adalah seorang pria tampan berumur 30 tahun dengan ciri fisik tinggi menjulang bak tiang listrik karena memiliki darah bule yang menurun dari sang kakek. Bermata coklat terang, rambut hitam seklimis model shampoo, diiringi kekayaan yang diwarisi oleh almarhum papanya yang sudah meninggal serta hasil dari jerih payahnya bekerja selama ini mengembangkan perusahaannya di bidang perhotelan, dan real estate.

“Oya, kamu jadi berkunjung ke Desa Sukamekar untuk memantau lokasi berdirinya hotelmu selanjutnya?” tanya Mariana membuka pembicaraan. Sebelum menjawab, Abe terlihat melirik ke arah Mariana dan menelan makanan yang dikunyahnya.

“Insaallah jadi, Ma. Mama mau ikut?” ucap Abe balik bertanya.

“Tidak, besok mama ada perlu. Berapa lama kamu stay di sana?” lanjut Mariana lagi.

“Kurang lebih seminggu, Ma. Abe ingin refresh otak juga di sana. Kebetulan tempat itu sangat indah karena masih pedesaan, dan Abe ingin muter-muter daerah sekitarnya,” jelas Abe yang diangguki Mariana.

“Ya sudah kalau begitu. Jika urusan mama sudah selesai, nanti mama akan menyusul deh!” sahut Mariana lagi.

Keduanya kembali melanjutkan sarapannya tanpa bicara dan hanya dentingan sendok juga garpu yang terdengar bersahutan. Sesekali mata Mariana menatap Abe yang sibuk dengan makanannya dan hampir habis tanpa tahu jika sang mama menatapnya sendu melihat putranya sudah menjadi pria dewasa nan tampan. Harapan kecil tiba-tiba muncul di benaknya. Harapan yang belum sempat Mariana ungkapkan selama ini kepada Abe.

“Semoga kamu temukan seseorang di sana.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status