Keesokkan harinya, Abe terlihat sedang menyisir rambutnya yang sudah klimis dan tak lupa aroma parfume ciri khasnya sudah menyeruak ke seantero penjuru rumah. Pagi ini, Abe akan berangkat ke Desa Sukamekar untuk meninjau lokasi hotel yang akan didirikannya. Sedangkan Mariana sudah pergi sejak sejam lalu untuk mengurusi urusannya yang sudah mendesak. Dirasa sudah cukup dengan penampilannya, Abe keluar dari kamar bernuansa light grey dan menuruni anak tangga dengan santai. Kebetulan perjalanan kali ini memang tak dikejar waktu. Langkah lebarnya langsung tertuju ke ruang makan yang telah tersedia beraneka ragam menu sarapan seperti disiapkan untuk sepuluh orang. Berdiam sejenak, Abe menarik nafasnya lelah, lalu menarik kursi, dan duduk seorang diri menikmati sarapannya. Sesekali Bik Atun datang sekedar melihat Abe yang sibuk mengunyah makanannya tanpa suara. Tak lama waktu berselang, seorang pria dengan pakaian santai datang menghampiri Abe yang tak menghiraukan kedatangannya dan tetap melanjutkan sarapannya dalam diam.
“Sepi banget nih rumah, Tante Ana ke mana, Be?” ucapnya kencang sambil berdiri menoleh kiri kanan.
“Sudah berangkat sejam yang lalu,” sahut Abe datar. Pria itu duduk menarik kursi dan ikut sarapan bersama Abe seperti orang tak makan seminggu, hingga membuat Abe menatapnya heran.
“Berapa hari gak makan?” tanya Abe tajam dengan wajah mengernyit.
“Sehari,” sahutnya cepat.
“Sehari tak makan saja sampai lahap begitu, bagaimana jika seminggu?” sambung Abe tak habis pikir.
“Aku tahan tak makan seminggu, Be, tapi aku tak tahan kalau tak goyang pinggul walau sehari. Rasa mau mati diri ini,” sahutnya sambil terkekeh.
“Jangan mulai deh! Masih pagi!” ucap Abe yang sudah paham ke mana arah kalimat lawan bicaranya.
“Justru karena pagi, Be. Bisa segarin otak kita bahas gituan, apalagi langsung exercise. Alamak!” cerocosnya dengan mulut penuh makanan gratis.
“Serah!” sahut Abe judes.
“Be Be, aku dengar dari Tante Ana, cewek di Desa Sukamekar cantik-cantik ya. Masih polos tanpa polesan. Benarkah?” ucapnya penasaran.
“Terakhir aku ke sana tak terlalu perhatikan hal itu. Namanya cewek pasti cantik, masa ganteng, dan balik lagi juga tergantung sudut pandang kita juga sih! Cantik itu relatif.” papar Abe yang menghentikan suapannya.
“Jadi tak sabar ingin cepat sampai di sana. Siapa tahu ada yang bikin hati abang kepincut. Ow yeah ...,” serunya mendesah sambil meliukkan tubuhnya.
Abe yang melihat kelakuan sepupunya tersebut hanya bergidig tak perduli. Sudah hafal dengan sifat sepupunya yang terkenal playboy cap teh pucuk. Sekali gerak ke ujung langsung habis masa depan pohon teh.
“Eh, Be Be!” panggilnya lagi tak bisa diam.
“Ya Tuhan, sekiranya malaikat pencabut nyawa sedang tak ada kerja, perintahkan dia untuk mencabut nyawa dedemit ini agar hidupku lebih damai tanpa gangguan, Amin.” Mendengar doa tulus tersebut, pria itu menganga dan tersadar ketika makanan di mulutnya jatuh mubazir.
“Ishh, tega sekali doamu saudaraku. Tuhan tak akan kabulkan doa yang buruk-buruk dari hambanya macam doa barusan!” beonya dalam sekali sembur.
Abe hanya memutar kedua bola matanya malas, malas menghadapi sepupunya, Ayman yang banyak bicara. Lelah mungkin yang dirasa Abe sepanjang hidupnya karena lahir bersamaan dengan Ayman 30 tahun lalu serta ruang persalinan berdampingan. Bedanya, Ayman sosok pria yang tak bisa diam dan ramai, belum lagi jajaran wanita yang siap membuka kedua kaki untuknya selalu mengisi tujuh hari full dalam hidupnya yang sibuk dengan pekerjaan. Sedangkan Abe adalah sosok pria yang dingin, sedikit bicara, dan tak mudah didekati, terutama wanita.
“Lagi sejak datang Ba Be Ba Be terus kamu! Dikira aku Babe?” beo Abe kesal dengan kebiasaan Ayman yang memanggilnya begitu sejak kecil, Babe.
“Yeeee, itu panggilan sayang, Be. Saking sayangnya aku tuh jadi sepupumu. Harusnya kamu bahagia dapat panggilan special dari aku,” timpal Ayman tak mau kalah yang semakin membuat Abe ingin menggantungnya di jemuran.
“Capek aku!” seru Abe menyerah meladeni orang gila numpang makan.
Ayman hanya terbahak melihat Abe yang seketika bad mood dengan ulah usilnya. Itu adalah hobi Ayman mengganggu Abe sejak kecil yang pendiam dan dingin. Hanya dengannya, Abe banyak bicara dan berkeluh kesah tentang dirinya. Di balik debat yang sering terjadi, tak ada dendam di antara keduanya, karena itulah cara mereka saling menyayangi sebagai keluarga.
Setengah jam sudah berlalu, saatnya Abe dan Ayman bergegas menuju Desa Sukamekar. Mereka berangkat menggunakan penerbangan siang yang menempuh waktu kurang lebih dua jam. Tak banyak barang yang dibawa keduanya, hanya koper kecil yang memuat beberapa berkas karena pakaian ganti sudah ada di rumah peristirahatan yang Mariana bangun setahun lalu.
Waktu sudah menunjukkan jam 4 sore, dan sekitar 30 menit lalu mereka tiba di bandara. Seorang sopir menjemput mereka tepat waktu dan meluncur tanpa hambatan ke rumah peristirahatan yang berdiri di sebuah kaki bukit. Di sepanjang perjalanan, Ayman membuka jendela mobil untuk menikmati suasana indah pedesaan yang sangat asri dengan kabut yang mulai turun. Dingin, itulah udara yang masuk menyapa paru-paru, berbeda dengan udara perkotaan yang sudah sangat tercemar dengan polusi, baik polusi udara juga polisi mata. Abe tersenyum tipis melihat Ayman yang begitu menikmati suasana di luar jendela. Tak heran, ini memang kali pertama baginya datang ke desa ini karena selalu sibuk dengan urusannya mengelola perusahaan ayahnya yang kini jadi tanggung jawabnya. Tak ada waktu bagi Ayman berlibur ke pedesaan karena selama ini dia hanya akan menghabiskan akhir pekannya dengan wanita-wanita langganannya di sebuah club.
“Gila lo, Be, gilaaaa!” tiba-tiba suara Ayman mematahkan senyum manis Abe yang terukir cukup lama di bibirnya.
“Mulai lagi udah!” gumam Abe dengan suara yang mungkin tak didengar Ayman.
“Kok bisa, ya, Be, Tante Ana dapat tempat seindah ini? Tahu dari lama, aku sering ikut berkunjung ke sini bawa cewek seksih!” beonya yang malah membuat wajah Abe kesal.
“Sembarangan kamu! Jangan harap kamu bisa bawa gundikmu datang ke sini. Aku kebiri kamu yang ada!” ancam Abe yang dibalas kekehan mengejek oleh Ayman.
“Serem sekaleeee ancamanmu, Babeku!” ejek Ayman melirik sebentar ke arah Abe yang sudah emosi.
“Serah!” sahutnya malas dan menyibukkan diri menatap handphone di tangannya.
Hening kembali menyapa isi mobil yang terus bergerak menembus kabut sore nan semakin tebal. Perlahan sang sopir melambatkan laju mobilnya ketika menemui jalan berliku hingga memasuki daerah yang cukup ramai. Tampak beberapa warga sekitar berlalu lalang berpapasan dengannya yang baru saja menjalani kesibukannya masing-masing, hingga suara Abe mengalihkan Ayman yang sedang meminum air mineral.
“Tuh, lihat!”
Mobil hitam yang membawa Abe dan Ayman akhirnya memasuki pekarangan cukup luas dan ditumbuhi banyak bunga-bunga serta pohon cemara. Di depan rumah, terlihat laki-laki dan wanita paruh baya sedang berdiri menyambut kedatangannya. Mobil pun berhenti tepat di depan mereka dan tak berapa lama pintu kursi penumpang terbuka. Dua orang pria dewasa dengan tinggi yang sama juga tegap melangkahkan kakinya menghampiri sosok yang lebih tua dari mereka sambil melemp
Tak ada jawaban dan hanya helaan nafas pelan terdengar lirih beradu dengan suara hujan yang turun semakin lebat diiringi kilatan petir. Menunggu dengan setia Ayman mengunyak pisang goreng sambil menatap wajah Abe yang nampak tenang.“Susah cari wanita pengertian, Man. Selama ini, wanita mencoba mendekat dan hanya menginginkan status sosial serta uang semata yang aku punya, sedangkan aku bukan mencari yang seperti itu. Aku juga ingin menikah, tapi sulit. Wanita sekarang rela membuka kedua kakinya demi uang. Kalau pun tidak, mereka rela melakukannya dengan kata yang disebut “Cinta.” Aku cari wanita yang bisa menjaga dirinya dengan baik hanya untuk suaminya,” papar Abe panjang lebar membuat Ayman menguap mendengar curhatannya.“Panjang banget sih permintaanmu, Be. Mana ada wanita seperti itu jaman sekarang. Wanita yang pernah aku pacari saja sudah tidak perawan lagi. Kalau pun ada, mungkin berasal dari pedesaan seperti di sini,” sahut A
“Hai, cewek cantik!”Sebuah suara bariton terdengar dari sebuah mobil dengan jendela kacanya dibuka. Ayumi yang melihatnya hanya diam tanpa mau perduli dan tetap mendorong sepedanya. Namun, pnaggilan genit dari pengendara di mobil tersebut bukannya berhenti malah semakin gencar menggodanya. Mendapati perlakuan demikian, tiba-tiba rasa cemas menggelayut di hati Ayumi, terlebih jalan yang dilalui kini telah sepi, dan di depannya jalan yang terlihat gelap tanpa penerangan, kecuali karena cahaya bulan yang kebetulan purnama. Dengan berat hati, Ayumi menghentikan langkahnya yang mulai gemetar.“Kalian siapa?” suara Ayumi berusaha tetap tenang dan tak kasar membalas sapaan genit pria tak dikenalnya.“Kami kumpulan cowok ganteng, manis. Sini masuk, kita siap anterin ke mana pun kamu pergi, bahkan ke surga sekali pun,” sahut pria yang ada tepat di sebelah Ayumi berdiri.“Surga dunia maksudnya, hahaha ...,” sambung p
Bersama para pekerja dan tim, saat ini Abe sedang memantau lokasi pendirian hotel. Sejak siang hari, Abe sudah berada di sana bersama Ayman. Namun, karena ada sedikit urusan mendesak, Ayman terpaksa undur diri dan meninggalkan Abe yang berencana akan menginap di bangunan hotel yang sudah jadi, dan memang sengaja dibuat untuk peristirahatan Abe jika berkunjung ke sana.Sejauh ini, pembangunan hotel tidak memiliki kendala yang berat dan berjalan sesuai rencana. Kalaupun ada, hal itu masih bisa diatasi dengan baik. Selain itu, bangunan hotel yang sudah rampung sekitar 50% dan benar-benar sudah terlihat indah di bagian belakangnya, di mana sebuah taman luas sudah ditumbuhi pepohonan dan bunga serta terasa sejuk nan memanjakan mata.Waktu sudah menunjukan jam 11 malam. Abe terlihat baru selesai berendam air hangat dan berganti pakaian untuk bersiap tidur. Sambil menggosok rambut basahnya dengan handuk kecil, Abe meraih handphone yang dia letakkan di atas nakas untuk membaca
Berdiri sebentar, Abe mengayunkan langkahnya ke dalam rumah. Dia yakin benar jika ada orang yang datang dan masih berbincang di dalam. Selangkah memasuki pintu, tiba-tiba Abe dikagetkan oleh Ayman beserta lainnya yang muncul dengan tiba-tiba.“Eh, Be!” ucap Ayman menyapa lebih dulu sebagai pengalihan rasa cemasnya yang ketahuan Abe karena telah mendatangkan tamu tanpa seizinnya.Berkerut kening, Abe tak menjawab dan menatap kedua teman Ayman yang baru datang mengekori Ayman penuh selidik. Keduanya tampak sep
Waktu sudah menunjukkan jam 3 dini hari. Ayman dan lainnya sedang menuju arah pulang karena membatalkan rencana ke kota karena teringat dengan gadis tak dikenal yang diculik Adit dan Kiki, serta mereka tinggalkan di kamar. Melaju dengan kecepatan penuh, Ayman mengendarai mobil jeep seperti seorang sopir ingin buang hajat membuat yang lainnya berteriak karena ketakutan.“Anjirr, Man, pelan-pelan kamvrettt!” omel Adit yang duduk di sebelah Ayman yang mengemudi ugal-ugalan.“Diam lo, jangan banyak bacot.
Dengan tubuh kaku, Ayman berdiri menatap ke arah ranjang besar di depannya. Matanya menelisik tajam melihat pakaian berserakan di lantai dan bergulir pelan ke atas ranjang besar di mana nampak seorang pria dan wanita terbaring di sana. Seorang pria yang tak lain adalah Abe terlihat begitu pulas tertidur layaknya orang kelelahan, dan berbanding terbalik dengan seorang wanita yang meringkuk di tepi ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya.Tak berapa lama, duo kadal buntung sampai dan berdiri tepat di samping Ayman yang hanya bungkam. Keduanya melihat Ayman seperti sedang melihat hantu dan menggeser pandangan ke arah apa yang Ayaman lihat. Perlahan mata mereka yang awalnya biasa kini berubah melotot sempurna mendapati pemandangan yang sejak tadi tak diharapkannya. Namun, harapan tinggallah harapan. Apa yang mereka khawatirkan telah terjadi.“Gue kata juga apa, Man. Pasti Abe yang minum!” gumam Adit menarik lengan baju Ayman yang masih terpaku.“S
Setelah semuanya beres dan tak meninggalkan jejak apa pun, ketiga trio gundal gandul itu bergegas meninggalkan rumah Abe. Semua lampu di dalam rumah sudah dimatikan seolah Abe sudah mengecek kondisi rumah dengan baik sebelum dia beranjak tidur. Mobil membawa tubuh Ayumi tak sadarkan diri langsung bergerak meninggalkan pekarangan yang kembali sepi. Kiki melajukan mobil dengan kecepatan penuh, di sebelahnya tampak Adit sesekali melirik pada Kiki yang tentu merasa jika Kiki mengendarai mobil tergesa-gesa."Ki, hati-hati bawa mobilnya, anjir. Gak lucu kalau kita mati nyemplung ke jurang dalam keadaan belum kawin!" gerutu Adit yang berpegangan kuat pada pintu mobil."Lo diam saja, kupret. Kalau pelan-pelan gak keburu, bentar lagi warga mulai pada bangun!" beo Kiki menjawab kepanikan Adit."Baru jam 3, anjirr!" sambar Adit lagi."Heh, blegug. Ini tuh pedesaan alias pegunungan. Warganya rajin bangun pagi, kagak kayak kita dari kota yang tidur tengah malam