Share

IVAN AMANDA (Pengantin Pengganti)
IVAN AMANDA (Pengantin Pengganti)
Penulis: Rizky Chintya

Prolog

Bismillah ...

"Undangannya elegan. Pestanya mewah. Pernikahan impian banget, ini, mah!" Salah satu sepupu perempuanku yang duduk di hadapan bergumam, antusias.

"Ciye, Alisa, pengeen!" Mbak Vita yang duduk di sebelah Alisa menggoda.

"Pengen banget, sebenarnya. Tapi Mbak Vit dulu aja, deh. Kan, nggak sopan, kalau adek ngelangkahin mbaknya."

"Ya, nggak papa juga, kalo emang udah ngebet banget." Mbak Vita menimpali lagi.

Kala itu, aku dan tiga sepupuku berkumpul di ruang tamu rumah saudara kami yang akan menikah minggu depan. Kami duduk di atas karpet tebal, mengitari meja kaca persegi panjang. Aku bertugas menulis nama tamu di label stiker yang sudah di tempel oleh Mbak Vita.

Pernikahan impian. Ah, ucapan Alisa tadi, membuatku menatap undangan pernikahan berwarna biru muda yang kini ada di tangan.

Ivan Pratama, S.Mn & Amira Dewi. Nama kedua mempelai yang tertulis dengan tinta emas, menambah kesan mewah. Elegan.

“Kira-kira, habis Mas Ivan siapa yang bakalan nyusul nikah?” Salah satu sepupu perempuanku memulai pertanyaan. Dia yang mengemas undangan ke plastik, melirik kami bergantian.

“Amanda paling.” Kali ini lelaki yang duduk di sampingku menjawab, seraya tersenyum tengil menatapku.

Eh.

“Kok, aku, sih?”

“Kamu pecicilan.” imbuh Mas Ivan kemudian. Diiringi kekehan geli beberapa sepupuku yang lain.

“Asem!” Kesal, aku pun meraih buku di meja dan menggulungnya asal. Kemudian aku memukul pelan bahu seseorang yang duduk di sampingku dengan gulungan buku tulis tersebut.

Dia cuma nyengir.

Emang nyebelin masku yang satu itu.

Aku kembali meluruskan buku yang melengkung di meja. Lalu, aku kembali menulis beralaskan buku.

“Kalau didoakan yang baik itu, ya, di-aminkan, Manda.” Sepupuku yang tadi memulai pertanyaan, menasihati sok bijak.

Aku hanya mengembus panjang. Jelas saja aku memprotes. Menikah itu harus punya pasangan. Lah, aku yang jomlo mau nikah sama siapa? Sementara saat ini, Si Jodoh masih belum kelihatan hilalnya.

Mungkin sekarang doi sedang tersesat, terus mampir ke hati orang lain. Mengsedih!

“Gamau emang, kamu nyusul nikah secepatnya?” tambah Alisa lagi.

Aku cuma berdecak. Terlalu malas menjawabnya.

“Manda, kalau nikah cepet juga, mau sama siapa? Sama bayangan mantan? Kan, gak mungkin!” Mbak Vita menyahut seraya tertawa pelan. Menularkan tawa riang pada sepupuku yang lain. Sedang aku cuma meringis.

Mungkin bagi mereka ucapan tersebut sekadar lelucon, terdengar lucu memang. Tapi sampai ke hati ini nyelekit. Pait, asli!

“Eh, iya juga, sih. Coba nanti Mas Ivan kasih bunga pengantinnya ke Manda. Biar dia cepet nyusul.” Alisa yang duduk di hadapanku memberi usul.

Lalu mereka beralih menceritakan seputar mitos bagaimana agar ketularan menikah. Tapi objeknya masih aku. Tetap aku. Dan entah, kenapa harus aku?

Duh, kok, jadi ngenes gini?

Hhh, aku meletakkan pulpen di meja hingga menimbulkan bunyi 'tuk' pelan, disertai mendesah, muak.

Gara-gara Mas Ivan ini, nih! Aku jadi menoleh, memperhatikan seseorang yang duduk di samping.

Mas Ivan tampak menatap ponselnya dengan kening yang mengerut. Telunjuknya mengetuk-ketuk meja, seakan tengah berpikir keras. Lantas, terdengar dia menghela napas panjang bersamaan dengan suara notif di ponselnya.

"Mas, Arya Alfikri ini nggak diundang sama istrinya juga?" Aku bertanya, tapi Mas Ivan tidak merespon. Sedang tidak fokus sepertinya.

"Mas." Kali ini, aku menyenggol tangannya.

Mas Ivan tampak terkesiap, tapi menjawab dengan santai. "Hm? Paan?"

"Mas dengar nggak, tadi aku nanya apa?"

"Apa?"

Dih, ditanya, dia malah balik nanya.

Aku berdecak malas, tapi tetap mengulang kembali pertanyaan tadi. Mas Ivan cuma menjawab, "Enggak ada istri. Dia single." Kemudian kembali menatap layar ponselnya.

Sebenarnya pertanyaan tadi cuma modus semata. Biar bisa membalas menggoda dia dengan ....

"Kenapa, Mas? Galau? Calon pengantin, kok, resah? Pengantin itu, jangan banyak melamun. Pamali kata orang tua."

"Soktau banget ini bocah!" Dia malah tertawa.

"Ciyee, Mas Ivan! Lagi kangen, kayaknya. Sabar, Mas, sabar! Bentar lagi halal, Mas. Bentaaar lagi ...." Aku makin semangat menggoda.

"Eiitt, cucunya Markonah satu ini!" Dia malah menyebut nama tetangga kami. Sepupu gada akhlak memang.

"Nenekku, Mardiana, bukan Markonah, wei!"

"Emang kamu sendiri cucunya Oma Mardiana?" Alisa mulai sinis.

"Sesama cucunya Mardiana ga boleh rusuh. Telkomseel!" Mas Ivan menengahi.

"Telkomsel? Kenapa jadi bawa-bawa povreder, eh, povraider segala?"

"Provider kali." Mbak Vita meluruskan.

Ah, iya, itu maksudnya. Mengucapkannya bikin belibet lidah.

"Telkomsel maksudnya: salam kompak selalu," jelas Mas Ivan.

Krik-krik!

Seketika kami tercengang, lalu secara bersamaan menyela, "Salkomsel, Mas!"

Dan kami semua ngakak sama-sama.

Luar biasa emang, cucunya Mardiana satu ini!

**

Lantas siapa yang akan menyangka, jika di hari sakral itu malah aku yang harus nenikah dengan kakak sepupuku?

Terkadang takdir memang selucu itu. Tak pernah terbayang sebelumnya, kalau jodohku cuma sejengkal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status