Share

Chapter 1

Bismillah ...

Aku duduk di tengah ruangan mengamati para tamu undangan di sekitar, beserta Pak Penghulu yang berada di depan. Mereka terlihat gelisah, sama sepertiku. Mulai hilang kesabaran dan bosan menunggu. Keluarga yang duduk dekat denganku pun, raut wajahnya terlihat tegang dan khawatir.

Suasana pernikahan yang seharusnya berlangsung sacral dan khusyuk, kini riuh dan ribut. Bagaimana tidak kacau? Acara akad yang mestinya dimulai sejak satu jam lalu, terancam batal.

Calon besan dan mempelai perempuan belum kunjung muncul. Aku merasa kalau ada sesuatu yang janggal. Namun ... ah, jangan berpikir yang bukan-bukan. Bisa saja ada suatu hal yang membuat mereka sedikit terlambat.

Aku masih mengamati kacaunya keadaan di sekitar. Hingga jawilan di tangan ini, membuatku menoleh pada seseorang yang duduk di samping. Oma.

Beliau berbisik, "Kamu mau jadi pengantin penggantinya?"

Deg!

Rasanya jantungku berhenti berdetak sesaat. Kemudian berdegup cepat. Aku terbungkam, masih mencerna pertanyaan Oma yang berhasil membuatku tersentak.

Apa tadi beliau bilang? 'Pengantin pengganti?'

“Maksud Oma, gimana? Manda ganti’in mempelai perempuan buat nikah sama Mas Ivan?” Sebisa mungkin aku menekan suara agar tidak menjadi pusat perhatian.

“Huum. Manda bisa?”

“Oma bercanda?!” sentakku tak percaya. Membuat beberapa tamu menatap kami, kepo mungkin.

Hingga tamu yang duduk di depanku bertanya, "Kenapa, Mbak?" Aku cuma menanggapi dengan gelengan samar.

Oma berdesis, seraya menekan telunjuk di depan bibir. Sementara aku masih menatap wanita paruh baya tersebut. Berusaha mencari arti ucapan beliau dari sorot mata yang sama sekali tak menyiratkan gurauan. Kali ini Oma tampak seserius itu.

Aku mengembus panjang, seraya menatap mempelai laki-laki di depan sana.

Dia adalah saudara sepupuku. Masih teringat jelas, bagaimana dulu kami sempat tumbuh dan besar dalam satu atap. Seperti kakak dan adik pada umumnya, kami dekat. Sangat dekat. Hingga hampir semua kekurangan diri, kami saling mengetahui.

Bahkan saat ini, aku tengah membayangkan bagaimana Mas Ivan tersenyum kala berbalas chatt dengan calon istrinya kemarin. Wajah oval itu memiliki hidung yang mancung. Alis yang lebat, menaungi sepasang mata hazelnya. Bibir yang tidak terlalu tipisnya mengembang, serasi dengan dagu yang membelah. Dia … manis. Siapa pun pasti bersedia mendampinginya.

Dan lagi, dia seorang manajer di suatu perusahaan pengembangan properti. Paket komplit, bukan? Hingga aku sangsi, kalau dia mau memperistriku yang tak lain adiknya sendiri.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Ke mana perempuan yang harusnya jadi mempelai perempuannya?

“Gimana, Nda?” desak beliau lagi.

“Kenapa harus Manda?”

"Kamu jawab aja, iya atau enggak?" Oma bertanya sekali lagi, kilat matanya menatap tajam. Seakan menuntut jawaban sesegera mungkin.

Aku menggigit bibir, masih mencari jawaban dalam diri. Keputusan ini harus dipertimbangkan, karena pernikahan bukan untuk main-main. Cukup sekali seumur hidup.

"Amanda, Tante Yasmin sendiri yang minta kamu untuk mendampingi Ivan.” Oma mengangkat ponselnya. “Kalau enggak, Oma akan tawarkan ini pada Alisa."

Masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, tapi ketika itu pula bimbang melandaku. Di satu sisi merasa kasihan dengan Mas Ivan. Tentu saja aku sangat menyayangi saudaraku itu. Juga, ada keluarga yang harus dijaga kehormatannya. Di sisi lain, hati ini sudah mencintai seseorang.

Sesaat, aku menoleh pada lelaki yang duduk di belakang. Lelaki yang kini duduk di sisi Alisa.

Hingga kuhela nafas, dengan yakin dan mantap menjawab ....

"Iya, Amanda bersedia, Oma."

"Bagus. Ayo, ikut Oma!"

Oma pun beranjak dari tempat duduknya. Aku pun mengikuti beliau yang berjalan menuju sebuah ruangan dalam gedung besar ini. Sampai di dalam ruangan, sudah ada Om Wahyu dan Tante Yasmin yang sedang berbicara. Mereka tampak tegang, sangat khawatir.

"Amanda," lirih Tante Yasmin. Mata adik dari ayahku itu seakan memohon menatapku.

Aku pun memeluk Tante Yasmin, mengerti tentang kegundahan hatinya. Mencoba menenangkan, membisikkan semua akan baik-baik saja. Walau sesungguhnya aku tidak mengerti, apa yang sudah terjadi.

Aku menoleh ke arah pintu yang dibuka dari luar, Mas Ivan baru saja masuk ke dalam ruangan. Wajahnya merah padam, dengan tangan mengepal dan bibir yang mengatup rapat. Terlihat jelas bahwa ia sangat geram.

Oma bergegas menghampirinya, berbisik. Apa yang sedang mereka katakana? Entah. Sepertinya bernegosiasi. Mas Ivan menoleh padaku, yang masih menenangkan Tante Yasmin. Raut wajahnya tampak putus asa. Tatapan kami bertemu beberapa saat, lalu setelah itu Mas Ivan berbicara pada Oma. Kemudian ia keluar lagi dari ruangan.

Oma berjalan ke arahku. "Siap-siap, Amanda. Pernikahan akan segera dilangsungkan."

Dengan mantap, dan tanpa keraguan aku mengangguk. Isyarat bahwa aku menyanggupi pernikahan ini.

Bismillah ....

**

Aku yang mengenakan kebaya berwarna hijau tua, duduk di belakang mempelai laki-laki. Dengan jantung yang berdebar dan keringat yang membasahi telapak tangan. Demi apa pun, aku gugup.

Namun, pikiran masih tertuju pada perempuan yang posisinya kugantikan saat ini. Tidak menyangka kalau di balik wajah polosnya, dia ternyata seorang penipu. Perempuan macam apa yang lari dari akad nikahnya? Aku masih tidak habis pikir.

Keputusan ini memang sangat gila. Bahkan tamu undangan pun semakin riuh saja, meski akad nikah akan segera dilangsungkan.

Walau tidak membungkam mulut mereka, tapi pernikahan ini adalah pilihan terbaik. Daripada harus membubarkan mereka karena acara yang batal, pasti akan lebih memalukan lagi.

"Saya terima nikahnya Amanda Salsabila binti Adrian Bagus dengan mas kawin tersebut, tunai!" Mas Ivan mengucapkannya dengan sekali tarikan nafas.

"Sah!"

Dengan berwalikan Om Heru, kini aku sah menjadi seorang istri. Ada rasa haru bersama sesak menyelimuti hati. Harusnya Almarhum Papa yang menjadi waliku saat ini.

Setetes bulir bening meluncur sesaat aku memejamkan mata. Aku beringsut, duduk menghadap Mas Ivan. Tertunduk, tak berani menatap matanya. Sebab debaran di dada kian mengencang saja saat berhadapan dengannya yang kini telah menjadi suamiku.

Aku terpaku, lagi gugup. Hingga bingung apa yang harus aku lakukan.

Mas Ivan meraih tangan kananku, seperti mengerti kecanggungan yang mendera. Ia memasangkan cincin di jari manis. Tak ayal membuat tangan yang sedari tadi terasa dingin jadi gemetaran.

Aku melihat ada lengkung di bibirnya, tapi ... senyumnya hampa. Ia seolah berusaha menutupi luka, yang semua orang di sini pun tahu bahwa ia sedang berpura-pura kuat. Berlagak tegar. Padahal sebenarnya dia sangat rapuh, juga hancur. Kasihan.

"Salim dulu, Nak!" perintah Pak penghulu.

Mas Ivan mengulurkan tangan bersamaan aku yang meraih lalu mencium tangannya, takzim. Blitz pun menyala berulang kali mengabadikan adegan demi adegan pernikahan yang tak terduga ini.

Juru foto meminta Mas Ivan mencium keningku, seperti pasangan pengantin yang normal. Demi kepentingan dokumentasi, begitu katanya.

Aku memejamkan mata, saat bibir sepupuku mendarat di kening. Ya Tuhan, apa ini? Dicium kening sama sepupu itu kayak ada geli-gelinya gitu.

Aku membuka mata, sekaligus mempersiapkan diri melewati serangkai acara pernikahan ini. Tak pernah menduga, kalau hari ini aku yang menikah dan menjadi istrinya sepupu sendiri. Begitulah takdir Tuhan, bukan? Kadang memang seluar biasa ini!

**

Di rumah Oma, aku duduk di ruang tamu berdiskusi dengan keluarga besar.

Tak ada kehangatan seperti biasanya. Sangat dingin, khasnya ekspresi orang setelah ditimpa kesialan besar. Yah ... ini bencana, sebab kejadian tadi benar-benar memalukan. Citra keluarga pasti sangat buruk, di sosial media pun sedang panas diperbincangkan.

"Amanda benar serius, sama pernikahan ini?" Om Wahyu bertanya sembari melihatku.

"Mana ada nikah yang main-main? Pernikahan mereka sah dan halal menurut syari'at agama," sanggah Om Heru.

Hening beberapa saat, hanya hela napas panjang yang terdengar.

"Tolong, pernikahan mereka didaftarkan agar sah juga di mata hukum." Kali ini Oma yang angkat bicara.

"Kalau memang serius, pasti akan saya daftarkan, Bu. Tapi takutnya mereka nggak cocok. Kita tahulah kalau mereka ini adik dan kakak," kata Om Wahyu lagi.

"Lah, terus untuk apa mereka dinikahkan, kalau untuk dipisahkan lagi? Beri kesempatan dulu untuk mereka menjalani pernikahan ini. Jangan asal bilang nggak cocok." Lelaki yang jadi waliku itu menyanggah lagi.

Masih terus berdiskusi alot, memikirkan nasib pernikahan ini ke depannya. Hingga kesimpulannya, pernikahanku akan didaftarkan. Untuk memperkuat ikatan, sehingga tak mudah untuk berpisah dikemudian hari.

"Aku baru tahu, kalau sepupu itu boleh nikah." Pelan Alisa yang duduk di sisiku berucap.

"Nggak kebayang, gimana rasanya tidur bareng sama Mas sendiri." Sekarang Mbak Vita yang berbisik pada Alisa.

"Kasian banget kamu, Nda."

Aku hanya menghela napas, lalu melihat ke arah Mas Ivan yang tertangkap sedang menatapku. Namun dengan cepat, ia mengalihkan pandangan. Tampak dari gelagatnya ia juga terpaksa menikahiku.

Ah, nasib macam apa yang Engkau takdirkan ini Ya Allah?

**

Malam pertama berada di kamar pengantin, dengan taburan mawar di atas kasurnya. Harum bunga menguar, memanjakan penciuman. Bercumbu mesra, saling mencurahkan cinta dan kasih. Itu adalah impian sepasang pengantin baru.

Kenyataannya sekarang aku tidur di kamarku, sendirian. Masih di rumah Oma. Memandangi cincin yang kini menghiasi jari manis, kekecilan pula. Ngenes banget.

Pernikahan ini, pasti tak diinginkan oleh Mas Ivan. Makanya aku menolak tawaran Tante Yasmin, pulang bersama mereka. Mencoba memahami keadaan, bahwa aku tidak diinginkan suamiku.

Aku menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka. Ternganga, melihat Mas Ivan yang masuk dan menghempaskan tubuhnya di kasur. Namun, seakan menjaga jarak denganku.

Dia tidak merasa canggung sama sekali, berbeda denganku yang seketika berdebar-debar.

"Ngapain ke sini? Mas mau tidur di sini?"

"Iya. Keberatan?"

Aku mengerutkan kening, menatapnya. Mencoba menelisik apa yang ia pikirkan. Namun nihil, aku tak mendapat apa-apa.

"Yakin banget, Mas? Di kamarku nggak ada AC, nggak ada kamar mandi. Cuma ada itu." Aku memonyongkan bibir ke arah kipas angin kecil. "Tapi nanti malam dingin, sih. Eh ... selimutnya cuma ada satu."

Mas Ivan berdecak, "minta dulu sama Oma, sana."

"Mas aja yang minta sana. Aku, nggak enak lah. Apa nggak mikirin gimana sama perasaan Oma? Pengantin baru pakai selimut satu-satu. Ya, seenggaknya kita terlihat baik-baik aja di depan mereka."

Mas Ivan menghela napas, "hm ... serah deh."

Aku mengamatinya lekat. Saat ini ia berbaring di sisi, tengah memainkan ponsel. Tampak santai, seolah baik-baik saja. Sekuat mungkin lelaki ini menyembunyikan kerapuhannya, semata untuk melindungi harga diri. Harga diri yang sudah dikoyak orang terkasih. Kan kasian.

"Aku tahu ini berat banget buat Mas. Mas, beneran serius sama pernikahan ini?"

Mas Ivan hanya memejamkan mata, enggan menjawab. Mungkin sama sepertiku, bingung.

"Apa untuk menghargai keluarga aja, kita harus bertahan?"

"Anggap aja begitu."

Hidup memang sebuah pilihan, bukan? Ada kalanya kita memilih mengorbankan diri, demi perasaan banyak orang. Seperti aku dan Mas Ivan saat ini, mengabaikan perasaan sendiri demi menjaga perasaan orang tua. Juga demi martabat dan nama baik keluarga.

"Sebenarnya aku bermimpi punya rumah tangga seperti Mama dan Papa, sampai maut memisahkan sekali pun Mama tetap setia."

Hening, Mas Ivan menoleh padaku.

"Sayang ... aku malah menikah mendadak kayak gini. Yang sama sekali nggak pernah aku duga sebelumnya." Aku tersenyum kecut. "Aku nggak yakin, Mas, kalau pernikahan kita akan sesuai dengan harapanku. Biasanya kan begitu, realita nggak seindah ekspektasi."

Mas Ivan tetap bungkam, entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Aku tak mengerti.

Aku memandangi cincin di tangan. Namun aku tersentak, saat tiba-tiba lelaki itu meraih tanganku. Memutar cincin di sana.

"Kekecilan, ya?"

"Hu'um, agak sesak, sih."

Wajar saja, kan? Mahar pernikahan yang sekarang melingkar di jari manis ini, memang bukan disiapkan untukku.

"Lepas, ya." Mas Ivan berusaha melepas cincin dari jari.

Eh.

"Jangan dilepas!" seruku, seraya menarik tangan.

"Nanti darah kamu nggak ngalir. Mana? Sini'in cincinnya!" Mas Ivan masih meraih tanganku.

Namun, aku kembali menariknya, "apapun yang terjadi, jangan dilepas!"

Mas Ivan memutar bola mata, "besok aku cari yang pas, sekarang lepas dulu. Mana cincinnya?"

"Nggak!"

"Amanda," lirihnya.

Aku menggeleng.

"Kamu gemesin ya, sini deket lagi." Mas Ivan menepuk-nepuk kasur di dekatnya.

"Mau ... a-pa?" Seketika aku bergidik, merasa ngeri sendiri. Kutelan ludah susah payah, sambil bergeser hingga ke ujung kasur.

Mas Ivan tersenyum geli, konyol memang.

"Aku suami kamu, mau ngapain aja kamu nggak boleh nolak!"

"A-aku belum siap, Mas."

Mas Ivan tertawa pelan, sepertinya ia memang sengaja menggodaku. Pipi ini seketika terasa menghangat, bersama jantung yang degupnya kian menggila saja. Ya ampun, ini benar-benar memalukan.

"Mama mau, kamu tinggal di rumah," kata Mas Ivan seolah mengusir kecanggungan. "Istri itu harus ikut ke mana pun suaminya."

Aku hanya mengangguk. Sekuat tenaga bersikap biasa, tapi aku ... mendadak kaku.

"Gimana perasaanmu sekarang?" tanya Mas Ivan.

"Aneh."

Mas Ivan berdehem, tanda ia juga merasakan hal yang sama.

"Kita terjebak, untuk menjalaninya sulit, mengakhiri pun nggak enak sama keluarga." Aku menghela nafas.

"Jalani aja. Seiring waktu, cinta datang sendiri karena terbiasa."

Eeaa ....

Entahlah, rasanya lucu membicarakan soal cinta bersama sepupu. Hal ini membuatku refleks membayangkan kemungkinan terburuk. Bagaimana kalau nanti hanya aku yang cinta dan dia tidak. Sebab tak akan mudah untuk Mas Ivan melupakan mempelai perempuan yang meninggalkannya. Perasaan yang tak terbalas itu sangat menyedihkan, bukan?

"Gimana kalau aku nggak kuat?"

"Harus kuat!"

"Gimana kalau aku menyerah."

"Gampang, tinggal lambaikan tangan ke kamera."

"Buuk!" Satu bantal kulempar ke wajahnya. Dia ini, orang lagi serius juga.

"Dosa loh, masmu sekarang sudah jadi suami kamu." Ia mengekeh dan itu semakin membuatku kesal.

"Nggak lucu, Mas." Aku mendelik melihat Mas Ivan.

"Nggak usah galak-galak, ntar cepet tua. Cepet keriput."

Asem! Nyebelin banget, memang.

Berbalik, aku tidur memunggunginya. Hanya keheningan yang mewarnai kami setelahnya.

Mata tertuju pada cincin yang tadi kuperjuangkan, masih terpasang di jari walau sesak. Bagiku ini sudah menjadi bukti, kalau aku tak mau main-main dengan pernikahan ini.

#Romance_Humor

Pengantin Pengganti

MENIKAH DENGAN SEPUPU

BAB 1

Bismillah ...

Aku duduk di tengah ruangan mengamati para tamu undangan di sekitar, beserta Pak Penghulu yang berada di depan. Mereka terlihat gelisah, sama sepertiku. Mulai hilang kesabaran dan bosan menunggu. Keluarga yang duduk dekat denganku pun, raut wajahnya terlihat tegang dan khawatir.

Suasana pernikahan yang seharusnya berlangsung sacral dan khusyuk, kini riuh dan ribut. Bagaimana tidak kacau? Acara akad yang mestinya dimulai sejak satu jam lalu, terancam batal.

Calon besan dan mempelai perempuan belum kunjung muncul. Aku merasa kalau ada sesuatu yang janggal. Namun ... ah, jangan berpikir yang bukan-bukan. Bisa saja ada suatu hal yang membuat mereka sedikit terlambat.

Aku masih mengamati kacaunya keadaan di sekitar. Hingga jawilan di tangan ini, membuatku menoleh pada seseorang yang duduk di samping. Oma.

Beliau berbisik, "Kamu mau jadi pengantin penggantinya?"

Deg!

Rasanya jantungku berhenti berdetak sesaat. Kemudian berdegup cepat. Aku terbungkam, masih mencerna pertanyaan Oma yang berhasil membuatku tersentak.

Apa tadi beliau bilang? 'Pengantin pengganti?'

“Maksud Oma, gimana? Manda ganti’in mempelai perempuan buat nikah sama Mas Ivan?” Sebisa mungkin aku menekan suara agar tidak menjadi pusat perhatian.

“Huum. Manda bisa?”

“Oma bercanda?!” sentakku tak percaya. Membuat beberapa tamu menatap kami, kepo mungkin.

Hingga tamu yang duduk di depanku bertanya, "Kenapa, Mbak?" Aku cuma menanggapi dengan gelengan samar.

Oma berdesis, seraya menekan telunjuk di depan bibir. Sementara aku masih menatap wanita paruh baya tersebut. Berusaha mencari arti ucapan beliau dari sorot mata yang sama sekali tak menyiratkan gurauan. Kali ini Oma tampak seserius itu.

Aku mengembus panjang, seraya menatap mempelai laki-laki di depan sana.

Dia adalah saudara sepupuku. Masih teringat jelas, bagaimana dulu kami sempat tumbuh dan besar dalam satu atap. Seperti kakak dan adik pada umumnya, kami dekat. Sangat dekat. Hingga hampir semua kekurangan diri, kami saling mengetahui.

Bahkan saat ini, aku tengah membayangkan bagaimana Mas Ivan tersenyum kala berbalas chatt dengan calon istrinya kemarin. Wajah oval itu memiliki hidung yang mancung. Alis yang lebat, menaungi sepasang mata hazelnya. Bibir yang tidak terlalu tipisnya mengembang, serasi dengan dagu yang membelah. Dia … manis. Siapa pun pasti bersedia mendampinginya.

Dan lagi, dia seorang manajer di suatu perusahaan pengembangan properti. Paket komplit, bukan? Hingga aku sangsi, kalau dia mau memperistriku yang tak lain adiknya sendiri.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Ke mana perempuan yang harusnya jadi mempelai perempuannya?

“Gimana, Nda?” desak beliau lagi.

“Kenapa harus Manda?”

"Kamu jawab aja, iya atau enggak?" Oma bertanya sekali lagi, kilat matanya menatap tajam. Seakan menuntut jawaban sesegera mungkin.

Aku menggigit bibir, masih mencari jawaban dalam diri. Keputusan ini harus dipertimbangkan, karena pernikahan bukan untuk main-main. Cukup sekali seumur hidup.

"Amanda, Tante Yasmin sendiri yang minta kamu untuk mendampingi Ivan.” Oma mengangkat ponselnya. “Kalau enggak, Oma akan tawarkan ini pada Alisa."

Masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, tapi ketika itu pula bimbang melandaku. Di satu sisi merasa kasihan dengan Mas Ivan. Tentu saja aku sangat menyayangi saudaraku itu. Juga, ada keluarga yang harus dijaga kehormatannya. Di sisi lain, hati ini sudah mencintai seseorang.

Sesaat, aku menoleh pada lelaki yang duduk di belakang. Lelaki yang kini duduk di sisi Alisa.

Hingga kuhela nafas, dengan yakin dan mantap menjawab ....

"Iya, Amanda bersedia, Oma."

"Bagus. Ayo, ikut Oma!"

Oma pun beranjak dari tempat duduknya. Aku pun mengikuti beliau yang berjalan menuju sebuah ruangan dalam gedung besar ini. Sampai di dalam ruangan, sudah ada Om Wahyu dan Tante Yasmin yang sedang berbicara. Mereka tampak tegang, sangat khawatir.

"Amanda," lirih Tante Yasmin. Mata adik dari ayahku itu seakan memohon menatapku.

Aku pun memeluk Tante Yasmin, mengerti tentang kegundahan hatinya. Mencoba menenangkan, membisikkan semua akan baik-baik saja. Walau sesungguhnya aku tidak mengerti, apa yang sudah terjadi.

Aku menoleh ke arah pintu yang dibuka dari luar, Mas Ivan baru saja masuk ke dalam ruangan. Wajahnya merah padam, dengan tangan mengepal dan bibir yang mengatup rapat. Terlihat jelas bahwa ia sangat geram.

Oma bergegas menghampirinya, berbisik. Apa yang sedang mereka katakana? Entah. Sepertinya bernegosiasi. Mas Ivan menoleh padaku, yang masih menenangkan Tante Yasmin. Raut wajahnya tampak putus asa. Tatapan kami bertemu beberapa saat, lalu setelah itu Mas Ivan berbicara pada Oma. Kemudian ia keluar lagi dari ruangan.

Oma berjalan ke arahku. "Siap-siap, Amanda. Pernikahan akan segera dilangsungkan."

Dengan mantap, dan tanpa keraguan aku mengangguk. Isyarat bahwa aku menyanggupi pernikahan ini.

Bismillah ....

**

Aku yang mengenakan kebaya berwarna hijau tua, duduk di belakang mempelai laki-laki. Dengan jantung yang berdebar dan keringat yang membasahi telapak tangan. Demi apa pun, aku gugup.

Namun, pikiran masih tertuju pada perempuan yang posisinya kugantikan saat ini. Tidak menyangka kalau di balik wajah polosnya, dia ternyata seorang penipu. Perempuan macam apa yang lari dari akad nikahnya? Aku masih tidak habis pikir.

Keputusan ini memang sangat gila. Bahkan tamu undangan pun semakin riuh saja, meski akad nikah akan segera dilangsungkan.

Walau tidak membungkam mulut mereka, tapi pernikahan ini adalah pilihan terbaik. Daripada harus membubarkan mereka karena acara yang batal, pasti akan lebih memalukan lagi.

"Saya terima nikahnya Amanda Salsabila binti Adrian Bagus dengan mas kawin tersebut, tunai!" Mas Ivan mengucapkannya dengan sekali tarikan nafas.

"Sah!"

Dengan berwalikan Om Heru, kini aku sah menjadi seorang istri. Ada rasa haru bersama sesak menyelimuti hati. Harusnya Almarhum Papa yang menjadi waliku saat ini.

Setetes bulir bening meluncur sesaat aku memejamkan mata. Aku beringsut, duduk menghadap Mas Ivan. Tertunduk, tak berani menatap matanya. Sebab debaran di dada kian mengencang saja saat berhadapan dengannya yang kini telah menjadi suamiku.

Aku terpaku, lagi gugup. Hingga bingung apa yang harus aku lakukan.

Mas Ivan meraih tangan kananku, seperti mengerti kecanggungan yang mendera. Ia memasangkan cincin di jari manis. Tak ayal membuat tangan yang sedari tadi terasa dingin jadi gemetaran.

Aku melihat ada lengkung di bibirnya, tapi ... senyumnya hampa. Ia seolah berusaha menutupi luka, yang semua orang di sini pun tahu bahwa ia sedang berpura-pura kuat. Berlagak tegar. Padahal sebenarnya dia sangat rapuh, juga hancur. Kasihan.

"Salim dulu, Nak!" perintah Pak penghulu.

Mas Ivan mengulurkan tangan bersamaan aku yang meraih lalu mencium tangannya, takzim. Blitz pun menyala berulang kali mengabadikan adegan demi adegan pernikahan yang tak terduga ini.

Juru foto meminta Mas Ivan mencium keningku, seperti pasangan pengantin yang normal. Demi kepentingan dokumentasi, begitu katanya.

Aku memejamkan mata, saat bibir sepupuku mendarat di kening. Ya Tuhan, apa ini? Dicium kening sama sepupu itu kayak ada geli-gelinya gitu.

Aku membuka mata, sekaligus mempersiapkan diri melewati serangkai acara pernikahan ini. Tak pernah menduga, kalau hari ini aku yang menikah dan menjadi istrinya sepupu sendiri. Begitulah takdir Tuhan, bukan? Kadang memang seluar biasa ini!

**

Di rumah Oma, aku duduk di ruang tamu berdiskusi dengan keluarga besar.

Tak ada kehangatan seperti biasanya. Sangat dingin, khasnya ekspresi orang setelah ditimpa kesialan besar. Yah ... ini bencana, sebab kejadian tadi benar-benar memalukan. Citra keluarga pasti sangat buruk, di sosial media pun sedang panas diperbincangkan.

"Amanda benar serius, sama pernikahan ini?" Om Wahyu bertanya sembari melihatku.

"Mana ada nikah yang main-main? Pernikahan mereka sah dan halal menurut syari'at agama," sanggah Om Heru.

Hening beberapa saat, hanya hela napas panjang yang terdengar.

"Tolong, pernikahan mereka didaftarkan agar sah juga di mata hukum." Kali ini Oma yang angkat bicara.

"Kalau memang serius, pasti akan saya daftarkan, Bu. Tapi takutnya mereka nggak cocok. Kita tahulah kalau mereka ini adik dan kakak," kata Om Wahyu lagi.

"Lah, terus untuk apa mereka dinikahkan, kalau untuk dipisahkan lagi? Beri kesempatan dulu untuk mereka menjalani pernikahan ini. Jangan asal bilang nggak cocok." Lelaki yang jadi waliku itu menyanggah lagi.

Masih terus berdiskusi alot, memikirkan nasib pernikahan ini ke depannya. Hingga kesimpulannya, pernikahanku akan didaftarkan. Untuk memperkuat ikatan, sehingga tak mudah untuk berpisah dikemudian hari.

"Aku baru tahu, kalau sepupu itu boleh nikah." Pelan Alisa yang duduk di sisiku berucap.

"Nggak kebayang, gimana rasanya tidur bareng sama Mas sendiri." Sekarang Mbak Vita yang berbisik pada Alisa.

"Kasian banget kamu, Nda."

Aku hanya menghela napas, lalu melihat ke arah Mas Ivan yang tertangkap sedang menatapku. Namun dengan cepat, ia mengalihkan pandangan. Tampak dari gelagatnya ia juga terpaksa menikahiku.

Ah, nasib macam apa yang Engkau takdirkan ini Ya Allah?

**

Malam pertama berada di kamar pengantin, dengan taburan mawar di atas kasurnya. Harum bunga menguar, memanjakan penciuman. Bercumbu mesra, saling mencurahkan cinta dan kasih. Itu adalah impian sepasang pengantin baru.

Kenyataannya sekarang aku tidur di kamarku, sendirian. Masih di rumah Oma. Memandangi cincin yang kini menghiasi jari manis, kekecilan pula. Ngenes banget.

Pernikahan ini, pasti tak diinginkan oleh Mas Ivan. Makanya aku menolak tawaran Tante Yasmin, pulang bersama mereka. Mencoba memahami keadaan, bahwa aku tidak diinginkan suamiku.

Aku menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka. Ternganga, melihat Mas Ivan yang masuk dan menghempaskan tubuhnya di kasur. Namun, seakan menjaga jarak denganku.

Dia tidak merasa canggung sama sekali, berbeda denganku yang seketika berdebar-debar.

"Ngapain ke sini? Mas mau tidur di sini?"

"Iya. Keberatan?"

Aku mengerutkan kening, menatapnya. Mencoba menelisik apa yang ia pikirkan. Namun nihil, aku tak mendapat apa-apa.

"Yakin banget, Mas? Di kamarku nggak ada AC, nggak ada kamar mandi. Cuma ada itu." Aku memonyongkan bibir ke arah kipas angin kecil. "Tapi nanti malam dingin, sih. Eh ... selimutnya cuma ada satu."

Mas Ivan berdecak, "minta dulu sama Oma, sana."

"Mas aja yang minta sana. Aku, nggak enak lah. Apa nggak mikirin gimana sama perasaan Oma? Pengantin baru pakai selimut satu-satu. Ya, seenggaknya kita terlihat baik-baik aja di depan mereka."

Mas Ivan menghela napas, "hm ... serah deh."

Aku mengamatinya lekat. Saat ini ia berbaring di sisi, tengah memainkan ponsel. Tampak santai, seolah baik-baik saja. Sekuat mungkin lelaki ini menyembunyikan kerapuhannya, semata untuk melindungi harga diri. Harga diri yang sudah dikoyak orang terkasih. Kan kasian.

"Aku tahu ini berat banget buat Mas. Mas, beneran serius sama pernikahan ini?"

Mas Ivan hanya memejamkan mata, enggan menjawab. Mungkin sama sepertiku, bingung.

"Apa untuk menghargai keluarga aja, kita harus bertahan?"

"Anggap aja begitu."

Hidup memang sebuah pilihan, bukan? Ada kalanya kita memilih mengorbankan diri, demi perasaan banyak orang. Seperti aku dan Mas Ivan saat ini, mengabaikan perasaan sendiri demi menjaga perasaan orang tua. Juga demi martabat dan nama baik keluarga.

"Sebenarnya aku bermimpi punya rumah tangga seperti Mama dan Papa, sampai maut memisahkan sekali pun Mama tetap setia."

Hening, Mas Ivan menoleh padaku.

"Sayang ... aku malah menikah mendadak kayak gini. Yang sama sekali nggak pernah aku duga sebelumnya." Aku tersenyum kecut. "Aku nggak yakin, Mas, kalau pernikahan kita akan sesuai dengan harapanku. Biasanya kan begitu, realita nggak seindah ekspektasi."

Mas Ivan tetap bungkam, entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Aku tak mengerti.

Aku memandangi cincin di tangan. Namun aku tersentak, saat tiba-tiba lelaki itu meraih tanganku. Memutar cincin di sana.

"Kekecilan, ya?"

"Hu'um, agak sesak, sih."

Wajar saja, kan? Mahar pernikahan yang sekarang melingkar di jari manis ini, memang bukan disiapkan untukku.

"Lepas, ya." Mas Ivan berusaha melepas cincin dari jari.

Eh.

"Jangan dilepas!" seruku, seraya menarik tangan.

"Nanti darah kamu nggak ngalir. Mana? Sini'in cincinnya!" Mas Ivan masih meraih tanganku.

Namun, aku kembali menariknya, "apapun yang terjadi, jangan dilepas!"

Mas Ivan memutar bola mata, "besok aku cari yang pas, sekarang lepas dulu. Mana cincinnya?"

"Nggak!"

"Amanda," lirihnya.

Aku menggeleng.

"Kamu gemesin ya, sini deket lagi." Mas Ivan menepuk-nepuk kasur di dekatnya.

"Mau ... a-pa?" Seketika aku bergidik, merasa ngeri sendiri. Kutelan ludah susah payah, sambil bergeser hingga ke ujung kasur.

Mas Ivan tersenyum geli, konyol memang.

"Aku suami kamu, mau ngapain aja kamu nggak boleh nolak!"

"A-aku belum siap, Mas."

Mas Ivan tertawa pelan, sepertinya ia memang sengaja menggodaku. Pipi ini seketika terasa menghangat, bersama jantung yang degupnya kian menggila saja. Ya ampun, ini benar-benar memalukan.

"Mama mau, kamu tinggal di rumah," kata Mas Ivan seolah mengusir kecanggungan. "Istri itu harus ikut ke mana pun suaminya."

Aku hanya mengangguk. Sekuat tenaga bersikap biasa, tapi aku ... mendadak kaku.

"Gimana perasaanmu sekarang?" tanya Mas Ivan.

"Aneh."

Mas Ivan berdehem, tanda ia juga merasakan hal yang sama.

"Kita terjebak, untuk menjalaninya sulit, mengakhiri pun nggak enak sama keluarga." Aku menghela nafas.

"Jalani aja. Seiring waktu, cinta datang sendiri karena terbiasa."

Eeaa ....

Entahlah, rasanya lucu membicarakan soal cinta bersama sepupu. Hal ini membuatku refleks membayangkan kemungkinan terburuk. Bagaimana kalau nanti hanya aku yang cinta dan dia tidak. Sebab tak akan mudah untuk Mas Ivan melupakan mempelai perempuan yang meninggalkannya. Perasaan yang tak terbalas itu sangat menyedihkan, bukan?

"Gimana kalau aku nggak kuat?"

"Harus kuat!"

"Gimana kalau aku menyerah."

"Gampang, tinggal lambaikan tangan ke kamera."

"Buuk!" Satu bantal kulempar ke wajahnya. Dia ini, orang lagi serius juga.

"Dosa loh, masmu sekarang sudah jadi suami kamu." Ia mengekeh dan itu semakin membuatku kesal.

"Nggak lucu, Mas." Aku mendelik melihat Mas Ivan.

"Nggak usah galak-galak, ntar cepet tua. Cepet keriput."

Asem! Nyebelin banget, memang.

Berbalik, aku tidur memunggunginya. Hanya keheningan yang mewarnai kami setelahnya.

Mata tertuju pada cincin yang tadi kuperjuangkan, masih terpasang di jari walau sesak. Bagiku ini sudah menjadi bukti, kalau aku tak mau main-main dengan pernikahan ini.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status