Pov : Gaza Aku tak pernah menyangka jika gantungan kunciku yang hilang beberapa waktu lalu kini berada di tangan ummi. Satu hal yang jauh lebih membuatku tak percaya, bisa-bisanya ummi menuduhku sengaja membakar outlet martabak milik Azka dan Rania. "Ummi nggak habis pikir, Za. Teganya kamu menghancurkan usaha adikmu sendiri." Ummi benar-benar terlihat shock, menangis tergugu di atas ranjang sementara abah hanya bisa geleng-geleng kepala saat ummi menjelaskan duduk perkaranya. Sungguh, baru kali ini aku mendengar kekecewaan ummi dan abah. Baru kali ini juga kudengar mereka begitu memuji Azka yang rela banting tulang mengurus usaha dari nol hingga semaju sekarang. Biasanya ummi tak pernah seperti ini. Dia selalu memujiku di setiap hal bahkan hampir tak pernah kudengar pujian ummi dan abah untuk adik kembarku itu. Entah mengapa sekarang berbalik. Justru aku yang membuat abah dan ummi kecewa, sementara Azka membuat mereka begitu bangga. Bangga karena Azka dan Rania cukup sabar
POV : AZKA "Kamu percaya kalau bukan aku pelakunya, Ka?" Mas Gaza dengan wajah duka menatapku cukup lekat. Tanpa kedip RFbeberapa saat lamanya. Aku tersenyum membalas tatapannya saat itu. "Aku percaya, Mas. Percaya kamu tak akan seceroboh itu. Aku yakin kamu tak tega menghancurkan usaha yang kurintis dengan keringat dan air mata," jawabku lirih namun cukup meyakinkan. Mas Gaza tersenyum tipis lalu menganggukkan kepalanya. "Aku paham jika semua orang tak yakin dengan ucapanku. Wajar karena memang gantungan kunci milikku ada di lokasi itu. Besok aku antar Haikal ke sini, biar dia ikut menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi." Kembali hening. Aku dan Mas Gaza tenggelam dalam pikiran masing-masing. Detik yang ditunggu pun datang. Mas Gaza benar-benar membawa Haikal ke rumah. Keluarga besar dikumpulkan dalam satu ruang, sama-sama ingin tahu bagaimana penjelasan Haikal meski kami sudah percaya bukan Mas Gaza pelakunya. "Haikal sudah datang, biar dia yang menjelaskan," ucap Mas Gaz
POV : AZKA Kunci mobil sudah berada di tangan Rania. Dia kembali tersenyum menatapku. Ada binar bahagia di wajahnya yang ayu. Hadiah ini mungkin bisa sedikit mengobati rasa kecewa di hatinya karena outlet yang terbakar. Meski dia selalu berusaha menutupi, namun aku tahu ada nyeri dan sesak dalam dada yang sengaja disimpannya sendiri. "Mobilnya mana, Mas? Kuncinya doang nih?" tanyanya lagi, mengintip garasi dari jendela kamar yang masih kosong tak berpenghuni. "Ada. Sebentar lagi datang diantar pihak dealernya," jawabku sembari mengusap pelan pucuk kepalanya yang terbungkus jilbab coklat. Aku tahu Rania sangat menginginkan mobil karena memang tak terbiasa ke mana-mana menaiki roda dua apalagi vespa butut seperti milikku. Aku tahu dia sangat ingin memiliki kendaraan satu itu, apalagi sekarang hamil tua, lumayan susah untuk duduk di atas vespa, ditambah sering bolak-balik rumah sakit untuk kontrol kandungan. Aku sengaja menunggu permintaannya, barangkali saat dia benar-benar membu
Pov : GAZA |Ka ... aku tak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi padamu bahwa bukan aku pelaku pembakaran outletmu itu. Soal Haikal, aku sendiri tak paham mengapa dia bisa bersandiwara demikian. Aku akan menyelidikinya. Tak akan kubiarkan dia menghancurkan nama baikku begitu saja| Kukirimkan sebuah pesan untuk Azka. Aku tak akan pernah rela jika namaku tercoreng atas apa yang tak pernah kulakukan. Sejak pertemuan keluarga dengan Haikal seminggu lalu, aku memang sedikit menghindar. Bukan karena takut, hanya saja ingin kembali berkumpul nanti saja setelah semua bisa kubuktikan kebenarannya. Aku malu. Terutama pada keluarga ibu yang begitu mempercayaiku. Tak mungkin kukecewakan mereka kedua kalinya. Apalagi pada Rania. Tiap kali dia dan Azka berkunjung ke rumah ummi, aku hanya menyapa sekenanya. Bukan karena sombong namun karena malu. Malu dengan sikap-sikapku dulu yang terlalu kekanakan, ditambah pengakuan Haikal yang tak sesuai kenyataan. |Aku percaya sama kamu, Mas. Aku yakin um
Pov : Gaza |Pelakunya sudah ditangkap, Za. Abah sudah di kantor polisi, kamu langsung ke sini ya. Rania dan Azka juga sudah datang| Pesan Abah baru saja kubaca setelah pesan itu terkirim sepuluh menit yang lalu. Sejak Abah mulai kecewa dengan keterpurukanku kala itu, aku memang mulai berbenah lagi. Tak enak rasanya membuat Abah dan Ummi kecewa. Aku pun mulai merintis kembali apa yang pernah kuperjuangkan, mulai menata kembali masa depan dan akan kubuktikan pada abah dan ummi kalau aku masih bisa dibanggakan. Sebenarnya aku hanya butuh waktu untuk menyembuhkan luka, tapi sepertinya persoalan bisnis tak bisa ditangguhkan dulu hanya demi menyembuhkan hati yang patah. Bisnis tetap saja berjalan. Tak bisa semudah itu berhenti lalu kembali berjalan. Tak lantas keluar masuk seenaknya ataupun maju mundur sesukanya, apalagi sekadar ingin menepi beberapa saat hanya karena patah hati. Mungkinkah benar yang dikatakan Ummi? Tak pantas aku terus menyesali apa yang telah terjadi bahkan teru
Pov : Gaza Jam dinding menunjuk angka delapan malam. Abah dan Ummi memintaku untuk duduk bersama, menceritakan tentang masalah kantor hingga akhirnya berujung dengan persoalan asmara. "Rania sudah bahagia bersama adikmu, Za. Apa kamu masih terus menunggunya?" Pertanyaan Abah memang biasa, tapi rasanya cukup mengganggu hati dan menyesakkan dada. Entahlah. Masih saja ada debar aneh tiap kali kudengar nama Rania. Sosok itu memang sulit kulupakan. Berulang kali mencoba tetap saja gagal. Di satu sisi aku sadar, jika dia mungkin memang bukanlah jodoh terbaik yang dikirimkan Allah untukku. Hanya saja, di sisi lain aku belum juga menerima kenyataan jika dia telah dimiliki adik kembarku sendiri. Aku benar-benar tak menyangka jika patah hati rasanya sesakit ini. Aku yang tak biasa terluka, tak biasa tersisih, tak biasa dipandang sebelah mata, akhirnya kini mengalaminya juga. Bahkan disingkirkan oleh adik kembarku sendiri yang selama ini tak pernah kuanggap ada karena tak ada power berarti
Pov : Rania Waktu terus bergulir. Semakin lama, perutku pun semakin membesar. Trimester pertama yang cukup melelahkan dan menguras tenaga karena sering mual dan lemas beralih ke trimester kedua yang mulai biasa saja. Makan cukup enak, tidur pun cukup nyaman. Mual dan lemas berkurang drastis. Lahap dengan buah maupun aneka camilan dan susu. Dan kini memasuki trimester tiga yang mulai balik nggak nyaman. Tidur mulai nggak enak. Rasa sesak di d4da yang menyerang tiba-tiba. Kadang ada rasa gatal di seputar perut yang amat sangat tak mengenakkan. Miring ke kanan dan ke kiri pun sedikit kesusahan. Insomnia berkepanjangan dan susah jalan. Ah masa-masa yang begitu mendebarkan dan penuh dengan tantangan, hingga tak terasa tiba di penghujung bulan kehamilan. Iya, sudah sembilan bulan lebih malaikat kecil itu terlelap di rahimku. Kini, sepertinya dia ingin segera bertemu dengan ayah bundanya. Kulihat jarum jam menunjuk angka satu dini hari. Perutku rasanya seperti diremas-remas, mules tak k
Kebahagiaan menyelimuti keluarga kecilku. Anak dan cucu pertama dalam keluarga yang begitu dinantikan kehadirannya. Laki-laki yang ada di sekelilingku --Mas Azka, Mas Alif lalu Abah-- pun mengumandangkan adzan ke telinga malaikat kecilku. Bayi mungil yang kami beri nama Althaf Ghifari Alfarizi. Nama yang indah. Ada banyak doa dan harapan saat kami memilihkan nama itu untuknya. Berharap kelak menjadi anak yang lembut hatinya, pemaaf dan rajin bekerja untuk mencari rejeki halalNya. Mas Azka terlihat begitu bahagia menggendong putra pertama kami. Dia begitu bersemangat menceritakan detik-detik kelahiran Althaf yang begitu mendebarkan dan menegangkan. Berulang kali mengucapkan terima kasih padaku karena telah memberinya seorang putra yang tampan dan kelak InsyaAllah bisa menjadi pelita untuk kedua orang tuanya. Pelita kecil yang memancarkan cahaya untuk banyak orang. Ummi dan ibu asyik bercengkerama di sofa, bergantian menggendong cucu pertama mereka. Kulihat senyum bahagia di b