Share

PART 5

Aku tak menyangka bahkan seakan masih tak percaya jika keputusan Mas Gaza untuk bercerai denganku benar-benar sudah bulat. Siapa pun termasuk Abah dan Umi tak bisa mencegah keinginannya.

Dia tetap bersikukuh untuk berpisah. Tak peduli berulang kali kukatakan bahwa aku tak bersalah dalam hal ini. Mau tak mau aku juga harus merelakan semuanya. Aku pun harus ikhlas pergi dari sini karena tak lagi menjadi menantu dalam keluarga ini. 

Air mata tak jua terhenti meski berulang kali aku menyekanya. Sesak di dada belum jua sirna meski aku sudah berulang kali berusaha menata hati untuk lapang dada. Perih yang tertoreh tak bisa hilang begitu saja. Benar-benar sakit selaksa tertusuk sembilu berkali-kali.

Berulang kali kucoba menghela napas panjang seraya beristighfar, berharap semua hilang perlahan. Namun nyatanya sakit ini seolah makin terasa menyesakkan.

"Ran, kita pulang saja. Sepertinya hati Gaza memang sudah membatu. Tak perlud itangisi, Mas percaya kamu akan jauh lebih bahagia jika pergi dari laki-laki seegois ini," ucap Mas Alif kemudian.

Abah dan umi tak bisa berbuat banyak. Karena bagi mereka, Mas Gaza sudah dewasa yang harusnya bisa mengambil keputusan terbaik, tidak grusa-grusu atau buru-buru meski kenyataannya Mas Gaza tak sedewasa usianya.

Aku tahu, Abah dan Umi juga sudah berusaha meyakinkan Mas Gaza untuk menimbang kembali keputusannya namun nyatanya sia-sia. Mas Gaza tak pernah mau menarik kembali apa yang sudah diucapkannya. Karena itu pula Abah dan Umi angkat tangan, tak ingin terlalu ikut campur soal pernikahanku dengan anak sulungnya.

Berulang kali Abah dan Ummi minta maaf pada ibu, Mas Alif dan aku. Berulang kali umi memintaku untuk tinggal sementara di rumahnya, namun Mas Alif tak mengijinkan. Dia tetap memintaku untuk pulang karena aku sudah bukan bagian dari keluarga ini, katanya.

"Kamu tak hanya menyakiti hati Rania dan keluarganya, Za. Tapi juga menyakiti hati Abah dan Ummi," ucap Ummi di sela isaknya.

"Kamu tahu sendiri, kan? Dari dulu Ummi sangat berharap kamu bisa menikah dengan Rania. Ummi ingin memiliki menantu seperti Rania tapi apa nyatanya? Kamu justru melukai hatinya. Ummi yakin ini fitnah, Za. Kamu pasti akan menyesal nantinya," ucap Ummi lagi. 

"Kenapa Ummi justru membela Rania? Kenapa Ummi tak membela anak Ummi sendiri? Bagaimana jika video itu memang benar? Apa Ummi masih tetap begitu ingin memiliki menantu seperti Rania yang memiliki video panas di luar sana?"

Plakkk. Abah kembali menampar pipi anak lelakinya, membuat Ummi kembali ternganga.

"Sudah cukup, Za. Makin lama kata-katamu makin nggak jelas. Menyakitkan dan memalukan!" Bentak Abah kemudian.

"Kamu bilang akan melakukan apa pun untuk kebahagiaan Ummi, kan, Za? Bagaimana kalau Ummi bilang bahwa Rania lah kebahagiaan Ummi?" Mas Gaza menoleh cepat lalu menggelengkan kepalanya.

"Nggak, Ummi. Jangan itu, tolong minta yang lain saja. Karena sampai kapan pun Gaza nggak bisa membuat Ummi bahagia jika kebahagiaan Ummi adalah Rania," ucap Mas Gaza lagi.

"Tapi Ummi ingin Rania menjadi menantu di rumah ini, Za. Kenapa kamu mengambil keputusan sepihak begini, tanpa mau cari tahu kebenaran video itu lebih dulu?" Ummi kembali tergugu di sebelahku.

Mas Alif keluar dari kamar dengan membawa koperku. Sementara ibu masih begitu lemas di samping Ummi.

"Ayo pulang, Ran. Jikalaupun dia mau rujuk kembali, Mas sudah mati rasa. Nggak rela kamu memiliki suami seegois dia," ucap Mas Alif sembari menarik pergelangan tanganku perlahan.

Ummi semakin histeris saat aku menyalaminya. Apalagi saat ibu memeluk dan mengusap punggungnya perlahan. Ibu terlihat jauh lebih tegar, meski kekesalan bercampur kepedihan tetap tampak di raut wajahnya.

"Rania memang tak lagi menjadi menantumu, Nad. Tapi dia tetap menjadi anakmu," ucap Ibu di sela isaknya.

Ummi mencoba mengangguk pelan. Aku tahu maksud ibu. Selama ini, Ummi memang selalu menganggap aku dan Mas Alif sebagai anaknya juga. Anak angkatnya. Ummi seringkali mengirimkan makanan atau pun pakaian untuk kami tanpa kami minta. Ummi bilang, hanya ingin membelikan sesuatu untuk anak-anaknya. Ya ... anak Ummi lainnya, aku dan Mas Alif.

"Bagaimana tanggapan orang kalau aku pergi dari rumah ini, Mas. Aku takut mendapat bullyan banyak orang." Kututup wajahku lagi. Ketakutan ini kembali menyesaki hati.

Ya Allah ... kupikir, hari ini adalah awal dari kebahagiaanku. Namun ternyata, inilah awal dari kepedihan dalam hidupku. Pernikahan yang kuharap akan berujung bahagia, tapi ternyata hanya meninggalkan luka.

Hanya dalam hitungan jam aku mengecap bahagia, namun akan bertahun-tahun kutelan luka dan nestapa karena ditalak saat malam pertama itu benar-benar menyakitkan. Apalagi jika ditalak tanpa tahu apa kesalahannya. Ditalak karena fitnah yang sengaja dibuat untuk menghancurkan pernikahanku dengannya. Entah siapa pelakunya.

Kulihat Mas Gaza masih diam di sofa sembari menatap layar ponselnya. Entah dengan siapa dia bertukar pesan, namun sejak tadi kulihat dia tak jua berhenti mengetik. Atau mungkin dengan pengirim video itu? Entahlah. Aku sudah tak ingin tahu lagi urusannya.

"Abah dan Ummi akan mengantar Rania pulang. Kamu nggak ikut, Za?" tanya Ummi dengan tatapan penuh kecewa pada anak sulungnya.

"Sudah malam, Mi. Apa nggak besok saja dia pergi?"

"Nggak. Aku nggak akan membiarkan Rania di sini. Biar dia beradaptasi dengan status dan hidupnya yang baru. Itu lebih baik daripada harus diundur besok pagi."

Mas Alif menimpali. Aku tahu Mas Alif adalah sosok yang tegas. Dia nggak akan rela adiknya direndahkan oleh siapa pun termasuk suaminya sendiri.

Sebelum membuka pintu mobil, kulihat tangan kekar seseorang menahan pintu yang akan kubuka. Seketika aku menoleh ke arahnya. Dia tersenyum tipis menatapku lalu menundukkan wajahnya.

Laki-laki pendiam yang sejak tadi sedikit pun tak mengeluarkan suaranya. Dia hanya diam, mendengarkan kekisruhan yang ada. Tanpa bicara atau bahkan sekadar memberi saran.

"Umi, Ibu, izinkan Azka menikahi Rania. Sejak dulu Azka belum pernah membuat Ummi dan Abah bangga. Ijinkan kali ini Azka sedikit membuat Ummi bahagia. Meski tetap saja itu tak seberapa dibandingkan kebahagiaan dan kebanggaan yang pernah Mas Gaza berikan," ucap laki-laki itu begitu yakin.

Laki-laki yang wajahnya begitu mirip dengan Mas Gaza itu pun menganggukkan kepalanya padaku begitu sopan. Umi dan Abah membelalakkan mata seolah tak percaya jika anak lelakinya yang selama ini begitu pendiam itu ikut angkat bicara. Menengahi permasalahan yang ada.

"Tapi, Ka. Apa kamu mencintai Rania?"

"Iya. Azka mencintainya, jikalau pun belum sepenuhnya, Azka akan berusaha menyayanginya dan membuat dia bahagia dengan cara Azka sendiri, meski mungkin sangat sederhana. Karena mulai saat ini, kebahagiaan Rania sama halnya dengan kebahagiaan Ummi, yang menjadi impian pertama Azka di tiap bergantinya hari."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status