Muhammad Azka Ramadhan. Saudara kembar Mas Gaza yang tiba-tiba membuat hatiku bergetar seketika. Laki-laki sederhana yang mau menerimaku apa adanya, tanpa pernah mencela apalagi mengungkit video panas yang Mas Gaza bilang akulah pelakunya.
Kedua mataku mulai menghangat lagi. Ada perasaan yang tak bisa kugambarkan di sana. Sementara Mas Gaza terpaku dari tempatnya. Berdiri di ambang pintu, sesekali melirikku tanpa kata.
"Bagaimana Rania? Apa kamu bersedia?" tanya laki-laki itu lagi.
Semua orang yang masih berdiri di halaman rumah cukup mewah ini pun terdiam beberapa saat lamanya. Saling pandang tak mengerti, bahkan Umi kembali dalam tangisnya.
"Ah iya, aku lupa memperkenalkan diri padamu. Aku Azka, adik kembar Mas Gaza. Tak banyak hal yang dapat kuceritakan padamu, Rania. Karena aku memang bukan seorang yang istimewa. Aku jauh berbeda dengan Mas Gaza. Karena itu pula, aku tak memaksamu untuk menerima pinanganku."
Kepalaku mendongak ke arahnya. Banyak pertanyaan yang lalu lalang di benakku detik ini. Kenapa dia bilang sangat berbeda? Apanya yang beda? Bahkan wajah mereka pun terlihat sama.
"Aku hanya punya cinta. Cinta untuk umi sebagai kunci surga dan cinta untukmu, karena kamulah kunci ummi bahagia. Tak ada yang patut dibanggakan dariku, Rania. Tak ada. Namun satu hal yang kamu harus tahu, aku tak akan mengingkari janjiku untuk setia. Itu saja."
Bulir bening kembali menetes di kedua sudut mataku. Kugenggam erat jemari ibu yang sedari tadi berusaha menguatkan dan menenangkan. Entah apa yang laki-laki ini sembunyikan. Mengapa dia terlihat berbeda? Sedikit tertutup, tak banyak bicara bahkan baru kali ini kudengar dia mengucapkan banyak kata.
"Jika kamu bersamaku, aku tak menjanjikan kemewahan dunia. Karena lagi-lagi aku tak punya apa-apa. Hanya sebatas cinta yang akan terus kuperjuangkan selama masih mampu membuka mata. Terdengar konyol memang. Tapi begitulah kenyataannya. Tak banyak yang bisa kulakukan untuk membuat hidupmu nyaman dan mapan karena aku hanya seorang penjual martabak dengan penghasilan tak seberapa. Aku juga tak punya mahar khusus untuk meminangmu, sekadar cincin biasa yang tak terlalu mahal harganya. Itu pun hasil dari menabung sekian minggu dari hasil penjualan martabakku."
Air mataku kian deras menitik. Kenapa? Kenapa dia menceritakan semuanya? Kenapa dia berbeda dengan kakak kembarnya? Apa yang salah?
Kutatap lekat wajah sayu ummi. Dia yang sudah luruh ke lantai. Sementara Abah, masih terus berusaha menenangkannya. Ibu kembali menatapku beberapa saat, namun tak kutemukan jawaban dalam sorot matanya.
Sepertinya ibu menyerahkan semua keputusan di tanganku.
Kini, aku terjebak dalam dua pilihan membingungkan. Memilih Mas Azka dengan segala kesederhanaannya atau keluar dari rumah ini dengan menanggung malu. Pasti berita talak itu akan tersebar dengan cepat.
Namun, jika aku menerima lamaran Mas Azka, berita miring yang ada akan terbungkam dengan sendirinya. Hilang begitu saja seperti terkena hembusan angin.
"Aku hanya lulusan sekolah menengah atas, Rania. Tak seperti Mas Gaza yang sarjana. Kamu jangan mencurigai Abah dan Ummi apalagi menganggap mereka pilih kasih. Bukan ... bukan karena itu. Namun karena aku memang tak sanggup mengenyam pendidikan yang lebih daripada itu. Sepertinya memang aku tak layak. Aku tak memiliki prestasi khusus di sekolah, aku juga tak pernah membuat Abah dan Ummi bangga. Karena itulah Rania, aku ingin membuat mereka bangga kali ini. Aku ingin menggantikan Mas Gaza untuk menikah denganmu. Aku ingin membuatmu bahagia. Karena hanya kamu yang diharapkan Ummi menjadi menantunya."
Entah mengapa tiap kali Mas Azka mengucapkan sebaris kalimat sederhananya, tiap itu juga Ummi menangis histeris. Kenapa? Aku tak paham apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka.
Kulihat Mas Azka mengangguk pelan lalu tersenyum saat tak sengaja beradu pandang denganku. Mas Alif mengusap pundakku pelan.
"Terserah kamu, Rania. Semua keputusan ada di tanganmu. Kalau memang kamu belum yakin, bisa istikharah dulu."
"Kamu nggak salah akan menikahi Rania?" Pertanyaan Mas Gaza membuyarkan berbagai pertanyaan yang sedari tadi bersemayam dalam benak. Mas Azka menoleh lalu mengangguk yakin.
"Bahkan di saat aku sudah menolaknya? Kamu mempercayainya?" tanyanya lagi begitu datar.
Kulihat tak tampak keakraban dan rasa persaudaraan diantara mereka. Mungkinkah selama ini dua saudara kembar itu memang sekaku ini?
"Ummi percaya jika Rania tak mungkin melakukan itu, Mas. Apalagi yang harus kuragukan? Aku percaya ucapan Ummi adalah benar," ucap laki-laki di hadapanku itu lagi. Mas Gaza menggeleng pelan seolah tak percaya.
"Terserah. Aku tak peduli, yang pasti aku sudah mengingatkanmu, Ka."
Mas Gaza kembali masuk ke dalam rumah, sementara Umi masih saja terisak di pelukan Abah. Entah mengapa Ummi bisa sehisteris ini.
"Ummi ... apa Ummi setuju jika Rania menikah dengan Mas Azka? Apa Ummi masih yakin jika dalam video itu bukan Rania?" Aku duduk di samping Ummi yang masih sesenggukan di pelukan Abah. Ummi mendongak lalu membingkai wajahku. Dia mengangguk perlahan.
"Ummi yakin itu bukan kamu, Nak. Ummi yakin," ucapnya lagi. Isak itu pun masih saja terdengar.
"Kalau Ummi yakin, bolehkah Rania menikah dengan Mas Azka?" Ummi menoleh ke arah anak lelakinya. Bulir-bulir bening itu pun kembali meluncur deras.
"Ummi kenapa? Apa yang salah?" tanyaku lagi, tapi lagi-lagi Ummi hanya menggeleng perlahan.
"Azka tahu Rania adalah calon menantu pilihan Ummi dan Ummi ingin Mas Gaza lah yang menikahi Rania, bukan Azka. Tapi--
Laki-laki itu tak melanjutkan kalimatnya.
"Tapi Mas Gaza tak menginginkan Rania, Mi. Mas Gaza menolak pernikahan ini. Bolehkah Mas Azka yang menggantikan posisi kakaknya?" tanyaku lagi.
Kuseka air mata yang berjatuhan ke pipi. Entah bagaimana rasanya hatiku detik ini. Campur aduk tak karuan. Aku sendiri tak menyangka jika pada akhirnya kisah cintaku akan serumit ini.
"Apa kamu mencintai Azka, Nia?" Aku terdiam sejenak lalu kembali menatap wajah Ummi.
"Bukankah Ummi dan Ibu pernah bilang, jika cinta akan datang karena terbiasa bersama?" Kulihat Ummi dan Ibu saling pandang. Hanya isyarat mata yang mereka tunjukkan.
"Kamu benar mau menerima Azka? Meski Azka--
"Azka tak seistimewa Gaza?" tanyaku lagi. Ummi hanya diam saja tak menjawab. Sepertinya memang benar ucapan Mas Azka, sejujurnya Ummi ingin Mas Gaza yang menikah denganku bukan dia.
"Jika Rania menerima segala kekurangan dan kelebihan Mas Azka, apa Ummi setuju pernikahan ini nantinya?"
Ummi kembali mendongak. Ada gurat kecewa di wajahnya, tapi lagi-lagi dia kembali menitikkan air mata. Perempuan yang berusia lebih dari setengah abad itu tak menjawab pertanyaanku. Dia hanya menatapku dan Mas Azka bergantian lalu kembali menyeka kedua pipinya hang basah.
Akankah Ummi setuju aku menikah dengan Mas Azka? Atau Ummi justru akan menolaknya?
***
~ Beberapa Bulan Kemudian ~ Gerimis pagi mulai datang mengguyur, membuat banyak orang makin malas beranjak dari tempat tidurnya termasuk Aisyah dan Gaza, meski denting alarm sebagai tanda waktu menunjukkan pukul empat pagi sudah berbunyi. Biasanya Aisyah segera bangun, membuat sarapan sembari menunggu adzan subuh berkumandang. Tapi kali ini dia berbeda. Lebih nyaman tenggelam dalam dekapan suaminya dan mengirup wangi tubuhnya dibandingkan harus ke luar kamar dan berkutat dengan perabot dapur. "Sayang ... nggak bangun?" tanya Gaza lirih. Lengan kekarnya masih terus memeluk Aisyah di dalam selimut tebalnya. "Hujan, Mas. Malas masak," balas Ais pelan tanpa membuka kedua matanya. "Oohh ... ya sudah sarapan roti panggang aja nanti. Buat makan malam mah gampang bisa gofood," jawab Gaza santai. Dia memang sosok suami tersantai kalau soal makanan. Istrinya rajin masak oke, nggak mau masak pun nggak masalah. Bisa beli di luar. "Mas ... tapi perutku tiba-tiba mulas," bisik Ais lagi. Ga
Pagi menjelang siang. Perempuan yang selalu usil dan kesal dengan Ais itu pun diizinkan pulang dari rumah sakit. Kaki kirinya patah, butuh waktu cukup lama agar bisa pulih kembali. Sekarang tak ada yang bisa dia sombongkan, karena kaki jenjangnya bisa bergerak juga atas bantuan kruk. "Ndah, kamu di mana? Aku udah pulang dari rumah sakit," ucap Jesy melalui sambungan teleponnya. Dia begitu kesal dengan Andah yang hanya menjenguknya di hari pertama masuk rumah sakit, sedangkan rencana itu memang dilakukan berdua. Jesy berpikir Andah lepas tangan dan pergi begitu saja saat dia membutuhkan pertolongan. "Ke Jakarta, Jes. Nggak balik Jogja lagi," jawab Andah lesu. Dia menghela napas lalu menyandarkan badan ke sofa. Sejak omelan dan ancaman Gaza tempo hari, Andah memang masih cukup shock bahkan tak ada semangat untuk melakukan aktivitas apa pun. Salon di Jogja resmi dihandle Budhenya, sementara yang di Jakarta masih digarap sepupu dan karyawannya. Dia hanya sesekali datang untuk cek la
"Ketemu Arif, kan?" tanya Gaza cepat saat melihat istrinya memasuki ruang tamu. Sudah sejak setengah jam lalu dia menunggu Ais dengan perasaan tak menentu. Ais pun mulai berdebar tak karuan, tapi dia akan jujur apa yang dia bahas dengan dosen tampannya itu. Tadi dia sengaja mematikan panggilan suaminya karena tak ingin terjadi kesalahpahaman lagi. Ais hanya ingin menjelaskan secara langsung apa yang dia lakukan bersama dosennya. Setidaknya jika dijelaskan di rumah, saling tatap berdua akan lebih meminimalisir curiga. Bohong pun percuma sebab suaminya tahu kedua matadan gestur tubuhnya tak bisa diajak berdusta. "Iya, Mas. Aku bertemu Kak Arif. Kamu tahu, kan? Kemarin kamu juga sudah baca chatnya," ucap Ais sambil tersenyum. Gaza sedikit kaget mendengar ucapan istrinya. "Ngintip, ya? Pura-pura tidur," ucap Gaza sembari mengacak pelan pucuk kepala Ais yang tertutup jilbab merah tua. Ais hanya terkikik melihat ekspresi terkejut dari Gaza. "Jadi ngapain kalian di sana? Ngobrolin a
|Ais, sepertinya kita harus bertemu. Aku harus ngomong sesuatu sama kamu. Sekalian tanya suatu hal agar tak ada lagi ganjalan dan penasaran| Pesan dari Kak Arif kembali dibaca Ais. Tak hanya sekali dua kali namun berulang kali. Mungkin memang kini saatnya dia bertemu dan bicara soal pernikahannya dengan laki-laki itu agar semua sama-sama bahagia. Tak ada ganjalan berarti nantinya. |Baik, Kak. Kita ketemu di mana? Nanti aku ajak Nur, supaya nggak ada fitnah di antara kita| Akhirnya Ais mengirimkan balasan itu untuk Kak Arif setelah berpikir cukup panjang. Ais berpikir, semoga pertemuan nanti bisa membuat persoalan hati itu selesai dan sama-sama ikhlas untuk menerima semuanya. |Di warung steak dekat candi Prambanan, besok jam empat sore, ya. Aku tunggu di sana| Ais menghela napasnya lalu memejamkan mata perlahan. Terdengar suara Gaza dari lantai bawah, menaiki tangga dengan tergesa. Dia sedikit jongkok saat sampai di depan pintu kamarnya yang terbuka. "Ngapain lari-lari begitu si
"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar. Entah siapa tamu yang datang sore-sore begini. Ais masih duduk santai di samping jendela sembari membaca buku saat terdengar bel dan salam dari luar."Wa'alaikumsalam," ucap Ais kemudian. Dia segera meletakkan novel kesayangannya ke atas meja lalu melangkah perlahan ke pintu utama. Gaza masih sibuk di kamarnya untuk membersihkan badan karena baru saja pulang dari kantor. "Aissss ... menantu ummi yang cantik!" ucap ummi tiba-tiba saat pintu terbuka. Ais pun membelalak seketika saat melihat ummi dan mamanya tiba-tiba datang ke rumah. Tak memberi kabar terlebih dahulu, berasa benar-benar kejutan spesial. Mama pun memeluk dan mencium keningnya beberapa saat untuk melepas kerinduan."Ayo masuk dulu, Ma, Mi. Mas Gaza ada di atas, baru saja pulang ngantor. Mungkin istirahat atau bersih-bersih," ucap Ais lagi. Ummi dan Mama saling pandang seketika."Gaza di atas, Is? Kamu bilang sama ummi waktu itu katanya enak tidur di bawah? Jadi kalian-- Lagi
|Baiklah kalau memang itu maumu. Kita bersaing secara sehat, Rif. Tapi ingat, jika Aisyah lebih memilih aku maka kamu harus mundur. Aku akan memperjuangkan pernikahan ini, dan aku juga akan memperjuangkan cintaku padanya. Aku tak akan membiarkan dia berpaling dariku. Ingat itu!| Gaza kembali mengingat pesan yang dikirimkannya sendiri untuk Arif. Dosen tampan dan pintar di kampus Ais yang kini benar-benar menyatakan perang padanya. Dia yang nyatanya masih begitu mencintai Aisyah, sementara Gaza yakin Ais masih cukup bingung akan cintanya sendiri. Bertahan dengan kebimbangan atau pergi dengan kepincangan. Gaza ke luar kamarnya mendapati Ais yang masih termenung di anak tangga paling bawah. Sudah seminggu belakangan mereka memang kembali tidur di kamar masing-masing, meski baju masih tetap di tempat semula. Nggak berpindah, sebagian baju Aisyah ada di lemari Gaza di kamar atas pun sebaliknya. Sebagian baju Gaza ada di kamar bawah-- kamar milik Aisyah. Aisyah masih memikirkan Andah ya