PoV Rayyan.Satu lagi penyesalan terbesar dalam hidupku. Aku gagal menyelamatkan Zaid, si calon dokter yang menggemaskan dan begitu mengagumiku. Selama menjadi dokter, ini adalah tindakan medis terberat yang pernah kulakukan. Aku harus menyaksikan di depan mataku ketika tubuh mungil itu perlahan-lahan menyerah pada ganasnya sel kanker yang makin menyebar luas menggerogoti organ-organ vital tubuhnya. Beberapa perawat dan asisten yang membantuku melakukan penanganan pada pasien cilik itu bahkan ikut tegang ketika melihatku tak seperti biasanya.Tubuhku gemetar hebat ketika menyaksikan detik-detik putra sulung Hannan menyerah kalah. Hal yang benar-benar baru pertama kali kualami, padahal aku sudah sering menghadapi situasi seperti ini. Namun kali ini berbeda, asistenku bahkan harus menopang tubuhku ketika aku histeris di dalam ruang tindakan.“Bangun, Nak! Bangun! Kamu pasti bisa! Om Dokter sudah berjanji akan mengajarimu banyak hal! Om Dokter janji akan membantumu menggapai cita-citamu
Pov Hannan.“Nggak kerja, Ray?” tanyaku saat melihat pria itu masih duduk sambil menemani Zayn bermain. Bang Randy serta kedua orangtuanya sendiri sudah pulang meski kulihat dari tatapan matanya, mantan ibu mertuaku seakan masih tak rela berpisah dengan cucunya Zayn.“Kamu sendiri?” Ray balik bertanya.“Oh iya, sepertinya aku tak bisa lagi bekerja di sana, Ray. Berada di sana pasti akan selalu mengingatkanku pada Zaid. Aku juga tak bisa meninggalkan Zayn bekerja seharian, ia masih terlalu kecil. Aku akan mengajukan pengunduran diriku segera pada Bu Yana HRD. Semoga kamu nggak keberatan, ya. Terima kasih sudah memberiku kesempatan bergabung di Health Hospital walau hanya beberapa minggu.”“Aku pun berpikiran seperti itu, Han. Tak akan baik bagimu jika berada di sana. Tak perlu mengajukan pengunduran dirimu, aku yang akan bicara pada Bu Yana. Gajimu dan pesangonmu juga akan ditransfer oleh bagian keuangan.”“Ck!! Kamu ini ngaco deh, Ray. Mana ada sih karyawan kerja nggak sampai sebulan
Baru saja aku hendak memesan ojek online melalui applikasi di gawaiku ketika kudengar suara Zayn menyambut seseorang yang muncul di depan pintu toko roti.“Om Dokter jemput Zayn?” Suara Zayn terdengar manja. Tanpa melihat dengan siapa ia berbicara, aku sudah bisa menduganya.“Ngapain repot-repot jemputin kami sih, Ray? Kamu nggak sibuk? Nggak ada pasien?”“Ihh ... Bundanya Zayn ge er ya. Orang Om Dokter ke sini buat jemputin Zayn. Iya kan jagoan?” Ia pura-pura ngobrol dengan Zayn.Aku mencebikkan bibirku kesal. “Ya udah, aku mau pesan ojek dulu.”“Eh ... jangan dong. Gitu aja ngambek. Aku kesini buat jemput Zayn dan juga bundanya,” ucapnya sambil menarik lenganku.“Jangan seperti ini, Ray. Aku nggak enak,” ucapku sambil mengarahkan pandanganku pada lenganku yang sedang dicengkramnya.“Ah, maaf, Han. Ayo kuantar pulang, sekalian bersiap-siap menghadiri undangan tadi.”“Jagoan kita mau duduk di depan atau di belakang nih?” tanyanya pada Zayn yang sedari tadi bergelayut manja dalam gendo
Pov Randy.Malam ini aku dan Dewi menggelar pesta syukuran atas keberhasilan operasi transplantasi kornea mata yang telah dilalui Dewi. Wajar memang jika Dewi menggelar acara syukuran ini, karena ia memang telah lama mencari pendonor kornea mata untuknya, bahkan sebelum ayahnya meninggal. Secara kebetulan Dewi mendapatkan kabar dari dr. Willy tentang adanya pendonor kornea tepat ketika putra sulungku Zaid juga tengah menjalani perawatan di rumah sakit pada saat itu.Beberapa kali aku menghadapi dilema ketika aku harus menemani Dewi yang sama sekali tak mau kutinggalkan saat menjalani rangkaian pemeriksaan matanya sebelum operasi dan panggilan hatiku sebagai seorang ayah yang harus menemani putraku yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Namun akhirnya aku lebih sering memilih menemani Dewi, karena kupikir Hannan pasti akan selalu mendampingi putra sulungku itu. Sedangkan Dewi, ia benar-benar sendirian dan sangat tergantung padaku sekarang.Maka ketika Zaid kemudian menyerah terhadap
PoV Dewi.Malam ini benar-benar malam yang membuatku sangat bahagia, belum pernah selama hidupku aku merasakan kebahagiaan seperti ini. Dulu, di hari aku menikah dengan Mas Randy, aku juga bahagia. Namun kondisi penglihatanku yang masih gelap saat itu membuat kebahagiaan itu tak sesempurna malam ini. Malam di mana akulah yang menjadi bintangnya, sementara di sampingku Mas Randy dengan setia terus menggandeng tanganku. Jujur, aku semakin mencintai Mas Randy setelah duniaku sudah terang benderang. Ia adalah orang yang pertama kali kulihat meski waktu itu masih samar-samar saat perban mataku dibuka. Ia lelaki yang tampan, sesuai dengan yang ada di dalam benakku selama ini.Hanya satu hal yang membuatku sedikit kesal tadi, di saat aku memergoki Mas Randy dan Mbak Hannan sedang berdebat di balik tembok. Mereka hanya berdua. Apakah mereka sengaja menjauh dari pesta untuk berdebat? Aku menguping beberapa kalimat Mbak Hannan. Berani sekali wanita itu memaki suamiku yang juga adalah mantan sua
PoV Randy.“Kenapa harus balik ke Jayapura sih, Sayang?” tanyaku pada Dewi. Istriku itu terlihat sudah bangun dan menyiapkan trolly bag nya. Hari ini ia berencana akan kembali ke Jayapura. Sementara aku sendiri masih bergelung di dalam selimut dan masih dengan tubuh polos setelah aktivitasku dan Dewi semalam.“Aku nggak betah di Jakarta, Mas. Aku lebih senang di kota kelahiranku. Lagian Mas Randy kan juga bisa terbang ke Jayapura kapan aja Mas kangen,” jawabnya.“Tapi aku kadang lelah, Wi. Setelah seharian mengurus perusahaan dengan berbagai masalahnya, lalu harus terbang ke ujung timur Indonesia hanya karena kangen istriku. Waktuku untuk bertemu putraku Zayn juga jadi sangat terbatas." Dewi menghentikan aktivitasnya lalu menoleh padaku.“Bagaimana jika Zayn tinggal di sini aja bersama Mas Randy. Aku akan membayar baby sitter untuk mengurusnya, agar Mas bisa bertemu dengannya setiap hari tanpa harus datang ke rumahnya.”“Nggak, Wi. Mas nggak mungkin tega mengambil Zayn dari bundanya.
Mobil mewah yang membawaku dan Zayn berhenti tepat di salah satu deretan rumah mewah. Aku tau, ini adalah rumah yang kudatangi waktu itu bersama Ray ketika ia menjemput gadis bernama Nadine dari bandara. Ada sebersit rasa ragu di hatiku setelah membaca deretan pesan dan Ray tadi. Sekali lagi aku melirik pria paruh baya yang masih duduk di kursi depan, mungkin sedang menunggu sang supir membantunya untuk keluar. Lalu sang supir pun terlihat membuka pintu depan mobilnya.“Bukakan pintu untuk Hannan dan putranya dulu. Mereka adalah tamu istimewa kita hari ini. Aku belakangan saja,” perintahnya pada si supir.“Baik, Pak.” Lalu si supir pun beralih ke pintu belakang di mana aku dan Zayn duduk.“Silahkan, Nona,” ucapnya dengan sangat sopan sambil mengulurkan tangannya mempersilahkanku dan Zayn keluar. Naluri keibuanku membuatku mendekap Zayn dan keluar dari mobil dengan menggendongnya.“Panggil Bi Inah, suruh Bi Inah menyambut Hannan,” perintah Pak David lagi pada supirnya. Sementara aku m
“Nadine! Kamu tidak akan menjadi tinggi karena merendahkan orang lain. Om tak suka kamu berbicara seperti itu pada Hannan,” kata Pak David dengan penuh penekanan.“Oh, iya. Aku baru ingat namanya Hannan. Kamu kan yang menemani Ray menjemputku di bandara waktu itu? Kamu dibayar berapa sama Ray, hah?”“Nadine! Kamu sudah keterlaluan! Kamu ... kamu mabuk?” Rayyan tiba-tiba saja mendekati Nadine. Sebenarnya aku pun sedari tadi sudah merasakan aroma tajam alkohol dari gadis itu, tapi aku tak berani untuk menduga-duganya.“Ya Allah, Nadine. Kamu mabuk siang-siang begini? Apa kata Papamu nanti kalau tau kamu begini?”“Aku begini karenamu, Ray. Aku frustasi mencarimu, kamu sepertinya sengaja menghindariku.”“Maka tak perlu mencariku, Nad. Kamu sudah tau bagaiamana keputusanku tentang hubungan kita. Tak ada yang bisa dipertahankan, Nad.”“Tapi aku mencintaimu, Ray. Aku juga sudah meminta maaf atas kesalahanku waktu itu. Mengapa kamu sama sekali tak bisa memaafkanku?”“Aku tak bisa memaafkan se