Rayyan terus menerus menyunggingkan senyumnya ketika kami mulai berjalan beriringan keluar dari area pemakaman kedua orang tuaku. Aku justru merasa lucu melihatnya selalu tersenyum-senyum seperti itu. Hal itu membuatku tanpa sadar juga ikut tersenyum hingga kami semua kembali ke dalam mobilnya.“Temanin aku ke rumah sakit, ya,” pintanya sambil menghela napas berat. Aku menautkan alisku melihat perubahan ekspresinya.“Ke rumah sakit? Maksud kamu ke Health Hospital?” tanyaku.Ia menoleh padaku sesaat, kemudian menatap tangannya sendiri yang sedang mencengkeram setir mobilnya.“Iya. Bantu aku membereskan ruanganku di lantai 7, ya. Aku harus segera mengosongkan ruangan itu,” ucapnya lagi dengan napas berat.“Membereskan ruangan? Apa maksud kamu, Ray?’” tanyaku makin penasaran. Ingatanku melayang pada ruangan pribadi dr. Rayyan di mana aku menitipkan Zayn di sana saat aku sedang mengunggu Zaid yang sedang dirawat di rumah sakit itu. Aku pun ikut menghela napas berat mengingat semua kejadia
PoV DewiKejadian sebulan yang lalu di rumahku membuat Mas Randy benar-benar berubah padaku. Sejak kejadian di mana Mas Randy memergokiku sedang berhubungan badan dengan asistennya di kamar kami, ia selalu memperlakukanku dengan kasar. Aku tak berani lagi bermanja-manja padanya sejak kejadian itu, aku justru selalu merasa ketakutan jika ia sedang berada di rumah. Parahnya lagi, ia tak lagi mengizinkanku kembali ke Jayapura, hingga aku merasa sedang terkurung di rumahku sendiri.Aku sungguh tak berani menentangnya, aku takut ia benar-benar nekat dan menghabisi kami semua. Aku tau ia punya watak yang keras, terlebih didikan militernya selama ini semakin membuatnya tak memiliki rasa takut sedikitpun. Aku hanya akan merasa tenang jika ia sedang berangkat bekerja di perusahaan ayahku. Namun sayang, Mas Randy pun kadang pulang ke rumah di siang hari. Ketika Mas Randy pulang, aku selalu kembali merasa ketakutan, karena aku tau ia akan kembali memperlakukanku dengan kasar.Sejak pergumulanku
PoV Hannan.Hari ini Rapat Umum Pemegang Saham di Health Hospital diadakan. Memang 3 hari ini Ray tak pernah muncul entah itu di toko roti maupun di rumahku. Ia mengatakan tengah berkonsentrasi dengan bahan pemaparannya di rapat nanti. Rayyan masih menjadi salah satu kandidat calon direktur di sana, dan ia berniat akan terus berjuang meski sebagian besar pemilik saham berada di pihak Pak Bram, Papi Nadine.Pagi ini aku berdandan rapi, aku sudah meminta izin pada Bu Sri untuk libur hari ini. Bu Sri pun mengabulkan, meski aku kadang merasa tak enak dengan rekan-rekanku yang lain karena Bu Sri seolah mengistimewakanku. Ternyata Bu Sri pun mengenal Pak David, ayah Rayyan. Menurutnya, Pak David adalah dokter langganan almarhum suaminya dulu. Pantas saja waktu itu Bu Sri menyuruhku ikut Pak David saat pertama kali ayah Rayyan itu mencariku ke toko roti, sedangkan Ray sendiri bahkan sempat mengkhawatirkanku saat aku ikut Pak David tanpa mengabarinya.“Kita mau ke mana, Bunda?” tanya Zayn yan
“Ayah!!” Zayn turun dari gendongan Rayyan dan berlari kecil ke arah sepasang manusia yang sedang berjalan ke arah kami.‘Randy dan Dewi,’ gumamku dalam hati sambil memandangi punggung Zayn yang masih terus berlari ke arah ayahnya.“Hati-hati, Nak!” pekikku tertahan tak ingin Zayn terjatuh akibat berlari.Kulihat di sana Randy tersenyum saat melihat putranya berlari ke arahnya kemudian membungkukkan badannya menyambut Zayn. Randy mendekap tubuh mungil Zayn setelah itu, kemudian menggendongnya sama seperti saat Rayyan menggendongnya tadi. Dari posisiku berdiri, aku melihat Zayn menciumi wajah ayahnya bertubi-tubi, sepertinya putra bungsuku itu sedang merindukan ayahnya.Aku bertatapan dengan Ray sejenak, lelaki itu tersenyum padaku, tatapan matanya seolah mengatakan semua baik-baik saja. Aku membalas senyumnya, kemudian mendekap jas hitamnya lebih erat ke dadaku. Entah mengapa aku merasa membutuhkan kekuatan untuk kembali bertemu Randy dan istrinya.“Hai! Apa kabar, Pak Randy?” Inilah y
PoV Randy.Hari ini aku menemani Dewi untuk memeriksakan dirinya ke dokter kandungan setelah beberapa alat tes kehamilannya menunjukkan ia positif hamil. Aku mendapat rekomendasi dokter kandungan dari Bu Iin, karyawati divisi marketing di kantorku yang baru selesai menjalani cuti melahirkan. Ia merekomendasikan dr. Novia, Sp.OG sebagai dokter kandungan terbaik karena berhasil menjalani program kehamilannya di sana, mengingat Bu Iin sudah berusia 40 tahun namun belum dikaruniai anak waktu itu. Aku pun berselancar mencari informasi terkait dr. Novia dan ternyata Bu Iin memang benar. Dokter Novia meruapakan salah satu dokter terbaik di kota ini.Aku baru saja melangkahkan kakiku menyusuri koridor rumah sakit bersama Dewi ketika aku mendengar suara mungil Zayn memanggilku.“Ayah!!” Aku segera menajamkan nertraku dan menangkap pemandangan yang sungguh sangat tak ingin kulihat saat ini. Hannan dan dr. Rayyan berjalan beriringan dengan wajah tersenyum ceria, sementara Zayn dalam gendongan dr
PoV Randy.Zayn terus mendekapku erat ketika aku dan Dewi kembali berjalan beriringan ke ruangan dr. Novia. Sesekali bocah kecil itu mengintip dan melirik Dewi. Aku tak tau apa yang sedang dipikirkannya, mungkin ia merasa aneh melihat ayahnya bersama orang lain, bukan bundanya. Sayangnya Dewi pun tak begitu menggubris Zayn, ia hanya berjalan tanpa ekspresi. Ingin sekali aku menegurnya agar ia bersikap lebih ramah pada putraku, namun kuurungkan sebab kupikir ia sedang mengalami morning sickness. Padahal sebelumnya ia pernah menawarkan padaku agar Zayn tinggal di rumah kami.Dokter Novia menyambut kami dengan sangat ramah.“Wah, ini anak kedua ya?” tanya dr. Novia.“Iya, Dok,” jawabku.“Anak pertama, Dok,” jawab Dewi bersamaan.Dokter Novia terlihat bingung, kemudian melirik Zayn dalam pangkuanku.“Maaf, Dok. Ini anak ketiga bagi saya, tapi anak pertama bagi istri saya.” Aku berusaha menjelaskan, dr. Novia pun hanya tersenyum dan mengangguk. Kurasa ia juga tak ingin tau lebih banyak.“I
PoV Hannan.Sesampaiku dan Ray di rumahku seusai pembicaraan yang aneh dengan Rayyan dan Pak David tadi, kulihat mobil Randy pun sudah parkir di pinggir jalan tepat di depan rumahku. Rupanya ia menepati janjinya mengantarkan Zayn, bahkan mereka datang lebih awal dari dugaanku. Dari jauh kulihat Zayn sedang tertidur pulas di pangkuan Randy. Ada rasa bersalah dalam hatiku melihat putraku itu harus tertidur di teras karena aku sedang tak di rumah.“Maaf, ya. Zayn sampai tertidur gitu. Udah lama?” sapaku.“Lumayan, Bun eh ... Han. Sepertinya Zayn tertidur karena kecapean, tadi aku membawanya bermain di arena bermain,” jawabnya.Sedangkan Ray ikut duduk di salah satu kursi teras lainnya yang ada di depan rumahku. Tak ada percakapan antara kedua pria itu.“Biar kubawa Zayn ke kamar, ya, Han,” ucap Randy lagi.“Ng—nggak usah. Sini biar aku aja yang membawanya masuk,” jawabku sambil meraih tubuh Zayn dari ayahnya. Sekilas kurasakan punggung tanganku bersentuhan dengan lengan Randy, lalu aku b
“Nggak, Han. Aku bukan bermaksud seperti itu, kamu jangan salah sangka. Aku tak membencinya, aku tak punya urusan untuk membencinya, toh dia hanya masa lalu kamu. Aku tadi benar-benar hanya ingin menghargainya sebagai ayah Zayn. Aku menyampaikan rencana pernikahan kita padanya karena aku tak berniat untuk mengundangnya di acara kita demi menjaga suasana hatimu dan Zayn. Mengenai urusanmu dengannya di masa depan, aku tak akan pernah melarangnya jika itu menyangkut Zayn. Hanya saja aku minta nantinya jangan pernah menyembunyikan apapapun dariku meski itu adalah urusan Zayn yang harus melibatkannya. Maafkan aku jika sikapku tadi membuatmu ragu, Han. Aku tak akan menunda pernikahan kita yang sudah kita putuskan bersama tadi. Kamu akan segera menjadi Ny. Rayyan Al Fatih. Jangan pernah berpikir untuk menundanya.”***PoV Randy.Sesak kembali memenuhi dadaku setelah mendengar pengakuan dr. Rayyan tadi. Ia akan menikahi Hannan! Seminggu lagi! Gila! Ini benar-benar gila! Dulu aku bahkan memerl