Pov Randy.Aku segera meninggalkan puskesmas setelah mengantar Sherin dan lelaki yang menggendongnya tadi. Dari gelagatnya, kurasa lelaki itu adalah kekasih Sherin, karena saat di mobilku tadi ia berkali-kali menepuk-nepuk pipi Sherin untuk menyadarkan Sherin dan sesekali memanggilnya dengan kata “sayang”.Kulirik mereka berdua yang berada di kursi belakang lewat kaca spion di atas kepalaku. Aku merasa seperti seorang supir yang sedang mengantar sepasang kekasih. Seharusnya aku kesal, namun rasa bersalahku pada Sherin membuatku tak protes apapun lagi.“Terima kasih, Pak. Oiya, perkenalkan nama saya Tian, pacar Sherin. Boleh tau nama Anda? Saya dengar dari Ibu tadi katanya Anda adalah atasan Sherin.” Lelaki itu memperkenalkan dirinya.“Sama-sama. Iya saya atasan Sherin, dan nama saya Randy.”“Sekali lagi terima kasih, Pak Randy,” ucapnya lagi kemudian membopong tubuh Sherin.Aku memandang punggungnya yang menjauh sambil membopong Sherin. Lelaki itu adalah kekasih Sherin, apa yang akan
Aku kembali menghela napas. Sebenarnya ucapan Dewi ada benarnya. Aku menolaknya bukan hanya semata karena ia tengah hamil. Tapi aku baru saja merasakan kepuasan batin sebelumnya saat menembus Sherin, maka aku belum membutuhkan pelampiasan saat ini. Aku bahkan masih terbayang-bayang nikmatnya sensasi semalam.“Mas, ingat ya. Kamu berada di posisi ini sekarang karena aku dan Almarhum Ayah memberi kepercayaan padamu. Aku tak akan segan-segan mencabut itu semua jika Mas Randy macam-macam.”“Kenapa selalu mencurigaiku, Wi?”Sebenarnya aku tersinggung, tapi aku membiarkannya. Dewi selalu mengancamku seperti itu padahal ia tak pernah tau apa saja yang telah kulakukan untuk perusahaan Pak Nugi. Aku sudah memenangkan beberapa tender penting dan mambawa perusahaannya semakin maju. Maka aku juga sudah mengamankan beberapa aset yang berhasil kuperoleh selama aku berjuang di sana. Aku memang harus melakukannya karena tak ada jaminan untukku untuk terus berada di bawah bayang-banyang Pak Nugi. Aku
PoV Hannan.Sejujurnya aku merasa risih ketika bertemu dengan Randy dan istrinya di bandara. Bagiamana tidak, Zayn melihatnya tepat di saat Randy berciuman di depan pintu masuk. Sungguh aku tak mengerti kenapa pria itu sekarang menjadi seperti itu, padahal saat bersamaku dulu, kami selalu menyembunyikan kemesraan kami di depan umum, bahkan di depan anak-anak. Kami hanya menikmatinya ketika sedang berdua. Tapi lihatlah sekarang, Randy tanpa risih mempertontonkan ciumannya di tempat umum, dan sialnya lagi Zayn melihat semuanya. Aku belum sempat memalingkan wajah Zayn ketika bocah balitaku itu sudah berteriak memanggil ayahnya.Randy pun terlihat sedikit grogi ketika tau kami ada di sana. Seperti biasa pria itu menyambut Zayn dengan pelukan hangat seorang ayah ketika Zayn berlari menghampirinya. Namun tiba-tiba saja ia mendekatiku dan mengajakku bicara. Aku melirik Ray untuk meminta izin pada pria yang sudah menjadi imamku itu, dan ternyata Ray mengangguk mengiyakan.“Kamu apa-apaan, Bun
“Kamu kenapa senyum-senyum?” tanya Ray saat kami berdua sudah berada di dalam pesawat yang akan membawa kami ke Bali.“Oh, nggak. Zayn itu loh bisa-bisanya ia ngomong pada Ayahnya kalau Bunda dan Papinya mau bulan madu. Pasti Papa yang ngajarin.” Aku terkekeh.’“Hah? Zayn bilang pada Ayahnya kita akan bulan madu?.” Ray pun ikut terkekeh. “Pantas saja muka Pak Randy sampai ketekuk gitu tadi. Rupanya Zayn yang manas-manasin ayahnya,” lanjutnya masih dengan tawanya.“Maksudnya?”“Kamu nggak liat wajah Pak Randy tadi? Dia kelihatan nggak suka liat kita, apalagi aku. Kurasa ia cemburu.”“Ngaco ah! Ngapain juga dia cemburu, kamu nggak liat di sampingnya ada istrinya. Bahkan tadi mereka ciuman panas gitu di tempat umum.” Aku bergidik.“Aku laki-laki, Bun. Aku tau tatapan cemburunya tadi. Oiya, apa kamu mau kita ciuman di tempat umum juga kayak mereka tadi? Sepertinya seru.” Ray menaikkan sebelah alisnya.“Ih, kayak nggak ada tempat lain aja. Risih tau liatnya. Sayangnya Zayn juga sempat mel
“Tapi, Pak Randy. Ini sudah melanggar peraturan kepegawaian di kantor kita. Beberapa karyawan lain bahkan sudah mulai berspekulasi mengenai Mbak Sherin karena merasa perusahaan memperlakukannya istimewa. Apalagi rekomendasinya dari Pak Randy langsung.”“Sudahlah. Jangan membahas Sherin dulu. Sekarang tolong tempatkan salah satu karyawan yang berkompeten yang bisa menggantikan Sherin untuk sementara waktu. Banyak jadwalku yang terbengkalai beberapa hari ini karena tak ada yang mengaturnya.”“Baik, Pak Randy.”“Untuk urusan Sherin, nanti setelah meeting dengan klien perusahaan aku akan mengurusnya,” lanjutku, kepalaku rasanya semakin pening.Aku merasa heran ketika Bu Cici masih belum beranjak dari hadapanku. Ia justru sedang menatap heran padaku.“Kenapa harus Pak Randy yang turun tangan langsung untuk urusan Sherin? Padahal Bapak bisa menginstruksikannya pada kami,” tanya Bu Cici heran.Hufftt! Aku menggaruk tengkukku.“Kembalilah bekerja dan pastikan menempatkan salah satu karyawan s
PoV Sherin“Kamu belum masuk kerja, Nak?” Suara Ibu membuyarkan lamunanku pagi ini.“Eh, Ibu. Iya, Bu. Sherin masih dapat izin beberapa hari dari kantor,” jawabku kembali dengan alasan yang sama dengan yang kemarin-kemarin.Lalu aku kembali menunduk ketika ibu menatapku. Aku tau, Ibu pasti merasa aneh melihatku. Ibu pun pasti merasa jika alasanku ini hanya kubuat-buat. Tapi, aku tak punya cara lain. Aku pun masih merasa bingung dengan apa yang harus kulakukan saat ini. Aku tak punya keberanian untuk datang ke kantor seperti biasanya. Aku tak punya keberanian untuk bertemu Pak Randy, aku takut aku akan kembali gemetar saat melihat atasanku itu.“Kamu ada masalah di kantor, Nak?” Itu adalah pertanyaan yang paling sering ditanyakan Ibuku sejak aku memilih tak masuk kerja. Jawabanku pun tetap sama, hanya gelengan kepala dengan senyum yang kupaksakan.“Enggak ada, Bu.”“Kamu masih menganggap Ibu ini Ibumu kan, Nak? Ceritalah pada Ibu. Ibu yakin ada sesuatu yang kamu sembunyikan.” Aku kemb
Mataku bisa melihat semuanya, namun aku tak mampu menguasai tubuhku. Sayup-sayup kudengar suara lembut Ibu memanggil namaku, kemudian mengucap istighfar lagi disertai dengan isakan tangis tertahan. Ya Tuhan! Ibu ... Ibu jangan menangis! Ibuku tak boleh memangis! Apalagi menangis karenaku. Perlahan-lahan indera penciumanku pun mencium aroma tajam minyak kayu putih. Dengan susah payah aku berusaha mengumpulkan semua sisa tenaga yang masih kumiliki. Aku harus bisa menguasai tubuhku! Hingga akhirnya perlahan-lahan aku mulai bisa menggerakkan tanganku.Yang pertama kulakukan adalah meraih tangan keriput milik Ibuku.“Ibu ....” Kutatap wajah sembab itu. Ibuku mengangguk, kemudia menyusut matanya.“Iya, Nak. Ibu di sini. Ibu selalu ada di samping Sherin,” lirih suara Ibuku.“Sherin ... kenapa?”“Jangan banyak bicara dulu, Nak. Sherin istirahat dulu, ya. Biar Ibu buatkan teh hangat.” Ibuku melepas genggaman tanganku padanya, namun aku segera meraih tangan Ibu dan kembali menggenggamnya.“Jang
“Aku kangen kamu, Ti ...” lirihku.Tian merah tanganku dan menggenggamnya erat.“Aku juga kangen, Sher. Mengapa beberapa hari ini aku merasa kamu menghindariku? Apa ada sesuatu yang terjadi?”Aku menggeleng.“Ya sudah. Kamu istrirahat yang banyak, ya. Tidak usah mikirn kerjaan dulu. Kalau perlu biar nanti aku yang memintakan izin pada atasanmu. Kurasa ia pasti akan memberimu izin. Kalau enggak salah namanya Pak Randy kan? Yang waktu itu ngantar kita ke puskesmas saat kamu pingsan.”‘Jangan menyebut namanya, Tian!' pekikku dalam hati. Kukepalkan tanganku yang sedang berada dalam genggaman tangannya. Tian menatapku heran ketika merasa aku mengeratkan genggaman tanganku padanya.“Kenapa, Sher?” tanyanya.“Enggak apa, Ti. Kamu enggak perlu ke kantorku. Aku sudah mengurus cutiku.”Tian mengangguk.“Bersabarlah, Sayang. Aku akan segera meminangmu setelah urusan pemberkasanku untuk pengangkatan ASN selesai. Kamu enggak perlu kerja lagi jika kita sudah menikah nanti. Biar kamu di rumah aja, n