Wirya ketakutan melihat Nella tidak sadarkan diri. Dengan hati-hati lelaki itu menuruni tangga untuk melihat sang istri lebih dekat. Ia dapat melihat dengan jelas pelipis Nella yang mengeluarkan darah. "Apa yang harus aku lakukan?" Wirya mengacak rambut frustrasi. Rumah sepi. Anak-anak masih di rumah nenek. "Jenny, Jenny, iya aku harus minta bantuan Jenny," kata Wirya. Tetapi, saat itu ia melihat ponselnya ikut terlempar saat Nella jatuh tadi. Dengan tangan gemetar, ia mengambil ponsel yang berada di posisi lumayan jauh dengan Nella. Mata Wirya melebar sempurna saat mendapati ponsel miliknya pecah dan tidak bisa dinyalakan. "Aduh, bagaimana ini?" Lelaki itu lalu kembali ke kamar untuk menelepon Jenny dengan mengggunakan ponsel Nella. "Apa?" seru Jenny setelah Wirya bercerita di telepon mengenai keadaan Nella dan apa tujuannya menelepon.Wanita itu menggeleng. "Tidak, Mas. Aku tidak mau datang ke rumah dan bantu kamu. Apa kata tetanggamu nanti kalau lihat aku ke rumah sekarang? L
Terpaksa Wirya keluar setelah Nella berteriak mengusirnya. Lelaki itu tidak mau istrinya terus berteriak yang dapat mengganggu pasien lain. Wirya mengambil ponsel milik Nella di saku celana lalu mencari nama Arum. Namun rupanya Nella tidak menyimpan nomor adik iparnya itu. Lalu ia berinisiatif menghubungi Erwin untuk meminta nomornya. Wirya segera menghubungi nomor Arum agar dapat berbicara dengan ibu mertuanya itu. "Bu, Nella jatuh dan ini semua karena Ibu!" kata Wirya langsung. Dahi Utami berkerut. "Apa? Nella jatuh? Di mana? Dan apa hubungannya dengan Ibu?"Wirya menghela napas mendapat rentetan pertanyaan dari sang mertua. "Tentu saja ada hubungannya, lah, Bu. Jika Ibu tidak lapor ke Nella apa yang kalian lihat waktu itu di mall, pasti Nella tidak akan curiga dan dia tidak akan kepo dengan ponselku sehingga semua ini tidak akan terjadi!" kata Wirya dengan nada tinggi. Tangannya mengepal dan rahangnya mengeras. Utami menggelengkan kepala. "Kamu yang salah, tetapi menyalahkan o
Air mata bahagia tiada henti membasahi pipi seiring rasa haru dan syukur saat keluarga Nasrul berkemas untuk pindah ke rumah Nur. Terutama Utami yang merasa semua ini seperti mimpi baginya. Nasrul tidak mendapatkan apa-apa darinya, tetapi sekarang Allah memberikan yang lebih banyak. "Ya Allah, sungguh janji--Mu akan memberikan kemulyaan pada orang yang sabar dan ikhlas itu sungguh nyata adanya." Utami berucap lirih. Pipi wanita itu memang basah oleh air mata karena cairan bening itu terus mengalir meski sudah ditahan dengan sekuat tenaga, tetapi itu bukan air mata kesedihan melainkan air mata kebahagiaan.Rumah yang dulu ia tinggali bersama suaminya tidak ada apa-apanya jika dibanding rumah Nur. Sawah yang seharusnya menjadi hak Nasrul, tetapi tidak pernah ia terima, kini lelaki itu mendapat ganti berupa kios di pasar dan toko sembako yang tentu saja nilainya jauh lebih banyak. "Ibu, do'a apa yang telah Ibu panjatkan untukku sehingga aku bisa dapat karunia sebesar ini?" tanya Nasr
Kepala Diana terasa panas, dadanya bergemuruh hebat. Wanita itu merasa sangat lelah membujuk anak-anak agar mau pulang bersamanya. "Bawa sini hapenya kalau nggak mau nurut sama Mama!" Diana mengambil paksa ponsel dari tangan Fara dan Deva. Bukannya menurut, dua anak yang usianya berjarak lima tahun itu malah menangis kencang memekakkan telinga. "Ada apa, sih, Di? Anak-anak anteng dari tadi, tapi saat kamu datang malah jadi ribut," ucap Ambar dengan muka masam. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah lebih dari setengah abad itu mengerucutkan bibir. "Aku kesel, Bu. Mereka nggak mau pulang kalau bukan papanya yang jemput seperti biasa," "Itu salah kamu sendiri, sudah tahu kalau anak-anak hanya mau sama Erwin, tapi malah kamu jemput sendiri." Ambar menatap wajahnya di depan cermin kecil di atas meja. "Aku mau menginap sini bersama anak-anak. Boleh, kan, Bu?" tanya Diana dengan suara bergetar. Sejak menikah dengan Erwin, ia memang jarang, bahkan tidak pernah menginap
"Kamu yakin nggak mau pulang, Mas?" tanya Jenny dengan menggelayut manja di lengan Wirya. Wirya mengambil bajunya yang berceceran di lantai lalu memakainya. "Malas. Lebih baik di sini saja agar bisa terus berduaan dengan kamu, Sayang. Di rumah, Nella terus marah-marah karena bayi yang dikandungnya tidak dapat diselamatkan. Padahal aku biasa saja. Toh, kami sudah punya dua orang anak, kan?"Wirya membungkuk lalu mendaratkan bibirnya di bibir Jenny yang sedang duduk di atas ranjang dengan berselimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Kedua insan yang baru saja memadu kasih tanpa memiliki hubungan yang sah sebagai suami istri itu kembali larut dalam adegan panas. "Aku sama sekali tidak sedih Nella kehilangan anaknya. Yang penting aku masih memiliki kamu yang selalu membuatku puas. Sekarang kita makan dulu, yuk." Wirya bangkit dari duduknya. "Makan?" tanya Jenny. "Aku pikir kamu sudah kenyang dengan memandangku, Mas?" Wirya tertawa lalu menjulurkan tangan mencubit hidung Jenny yang
Erwin dan Nella akhirnya mendapatkan alamat dari wanita itu setelah berjanji tidak akan menyakiti ibunya lagi. Iya, mereka ingin bertemu dengan wanita yang sudah melahirkan mereka berdua itu memang karena ingin minta maaf bukan karena ada tujuan lain. Panggilan dari ibunya agar segera pulang karena anak-anak mulai mencarinya tidak ia hiraukan. Yang ada di pikiran Nella saat ini hanyalah ingin bertemu Utami dan minta maaf. Dua kakak beradik itu telah sampai di depan sebuah rumah besar dan mewah dengan halaman yang sangat luas. Aneka tanaman bunga yang sedang bermekaran begitu memanjakan mata serta ditumbuhi rumput gajah mini yang tertata rapi laksana karpet hijau. Rumah berlantai dua dengan cat warna cokelat itu tampak sepi, tetapi beberapa jendelanya terbuka dan terlihat ada besi sebagai pengaman. Dahi Nella berkerut melihat pemandangan di depannya yang sangat jauh dari ekspektasi. Wanita itu mengambil secarik kertas dari tetangga Nasrul yang berisikan alamat itu. "Benar nggak si
Tangisan Erwin dan Nella menular pada Utami hingga menjadi pusat perhatian banyak orang, termasuk Nasrul dan Arum serta Nur.Utami meraih pundak Nella dan membimbingnya untuk berdiri. Posisi keduanya kini berhadapan. "Ibu sudah memaafkan kamu, La. Jauh sebelum kamu minta maaf," ucap Utami dengan suara parau. Tangan wanita tua itu terulur ke atas untuk mengusap pipi Nella. Ia harus sedikit mendongak karena badan sang anak lebih tinggi darinya. Nella meraih tangan ibunya yang sedang berada di pipinya. "Ibu sekarang tinggal di mana? Aku dan Mas Erwin mencari-cari dari tadi. Minta alamat sama tetangga kontrakan lama Nasrul malah dibohongi dengan memberikan alamat palsu," ucap Nella dengan bibir mengerucut. Dahi Utami berkerut. "Alamat palsu? Siapa yang tega memberi alamat palsu?" "Itu, Bu. Tetangga kontrakan Nasrul. Kami diberi alamat dan tenyata kami malah sampai di sebuah rumah besar dengan halaman yang sangat luas." Nella cerita dengan semangat. Utami dan Nasrul saling pandang.
"Aku mohon maafkan aku, Sayang," ucap Wirya dengan mata berkaca-kaca. Nella menatap lelaki yang sudah memberinya dua anak itu. Dilema mulai melanda hatinya. Wanita itu mende s@h pelan. Dimainkannya jari tangannya sendiri. "Yang kamu lakukan itu fatal, Mas. Kamu telah menodai pernikahan kita. Luka ini begitu dalam dan menganga. Tentu butuh waktu untuk bisa sembuh." Wirya meraih tangan Nella dan wanita itu hanya bisa pasrah saat tangannya dici um oleh suaminya itu. "Aku mohon beri aku kesempatan kedua, Sayang. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi dan akan menjadi suami yang baik untukmu dan ayah bagi anak-anak kita," ucap Wirya penuh harap. Nella menggeleng. "Beri aku waktu untuk memikirkannya, Mas. Wirya mengangguk. "Baik. Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk memikirkannya. Satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan, asal jangan sampai satu tahun. Aku pasti akan sabar menunggu."Nella tersenyum sinis. "Seperti luka yang juga butuh waktu untuk sembuh, Mas. Aku nggak bis