NORMAL TIME
Masih tergambar jelas di benak Kiara, bagaimana Ray dengan seenaknya saja melecehkannya tadi malam. Segala scene kejadian itu terus memenuhi memori otaknya. Sangat baru dan tak bisa dilupakan.
"Semua kenangan menjijikkan itu memenuhi otakku. Berjejalan, berhimpitan, dan memaksa diingat meski kapasitas memori otakku menipis. Aku ingin membakar semua ingatan itu. Aku ingin memusnahkannya. Enyahlah dari pikiranku! Enyahlah! Enyahlah!"
Kiara menenggelamkan tubuhnya ke dalam air di dalam bak mandi. Ia juga menenggelamkan kepalanya, lalu memejamkan kedua matanya.
Semakin ia memejamkan matanya, semakin ia mengingat kejadian yang ia harapkan sebagai mimpi belaka. Sayangnya itu hanya harapan saja, itu nyata terjadi padanya.
Dirinya yang cantik itu telah dilecehkan oleh Ray!
"Memudarlah! Menghilanglah! Melenyaplah! Enyahlah dari pikiranku! Aku mohon, pergilah! Pergilah dan jangan pernah kembali lagi!"
Cukup lama Kiara bertahan di dalam air. Nafasnya yang mulai tak tahan membuatnya harus keluar dari dalam air. Hidungnya terasa sangat sakit karena air masuk ke dalamnya. Ia marah, kesal, sakit, kecewa, dan shock.
"Rena itu siapa? Siapa? Kenapa saat kau melakukan itu kau memanggilku dengan sebutan 'Rena'? Bodoh, dia hanya melampiaskan nafsu saja kepadaku. Menjijikkan!"
Kiara memukul-mukul air dengan menggila. Ya, ia kacau dan rasanya seperti orang tak waras. Ia hancur dan hina. Rasa frustasi yang tak memiliki ujung. Rasa frustasi yang tak tahu kapan akan berlabuh. Terombang-ambing tanpa tujuan di tengah-tengah lautan keputus asaan.
"Kenapa aku tidak bisa membela diri? Kenapa aku tidak melawannya? Kenapa dia dengan mudahnya menghancurkanku? Kenapa aku tidak bisa melakukan apa-apa? Kenapa? Kenapa kau melakukannya, Ray? Kenapa? Aku salah apa padamu, hah? Salah apa?" Kiara hanya bisa merancau tidak jelas.
Kiara tidak bisa menerima kenyataan yang saat ini ia alami. Ini terlalu cepat, bahkan tanpa ia duga sama sekali. Kejadian itu terjadi begitu saja. Terjadi tanpa seizinnya.
Kenapa kejadian itu harus terjadi pada dirinya? Dari sekian banyak manusia di bumi ini, kenapa harus dirinya yang mengalaminya?
Merasa sangat kesal pula karena ia juga tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikannya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela diri.
.
.
.
Kiara menyalahkan shower, ia membasuh tubuhnya dengan sangat kasar. Mengusap-usapnya berkali-kali. Berharap semua noda akan hilang. Meski ia tahu, itu hanya sia-sia saja.
"Kumohon hilanglah! Kumohon! Hilanglah! Hilanglah! Hilanglah! Ini sangat menjijikkan! Arggghh!"
Kiara tertunduk lemah sambil memeluk tubuhnya sendiri. Sabun tidak akan bisa membantunya menghilangkan segala noda menjijikkan di sekujur tubuh indahnya.
"Hanya kebodohanku yang berharap jika apa yang aku lakukan ini bisa membersihkan segala noda yang menempel. Noda hina dan menjijikkan ini akan selalu ada dalam kehidupanku ke depan. Tuhan, apa aku bisa? Apa aku akan mampu bertahan? Tuhan, rasanya aku ingin mati saja."
Setelah selesai berendam dan membersihkan diri, Kiara kembali ke kamar. Ia baru ingat jika kamar yang ia pakai bukan kamarnya. Itu kamar Ray!
Haruskah ia keluar dari kamar Ray hanya dengan menggunakan handuk mandi? Apa yang akan dipikirkan para pelayan rumah paruh waktu Ray? Mereka semua pasti akan menghamikiminya sebagai wanita murahan yang rela naik ranjang milik Tuannya untuk bertahan hidup! Atau mengasihaninya karena ini seperti kewajiban membayar biaya hidup selama menumpang di mansion milik Ray?
Konyol.
Jujur saja, Kiara sama sekali tidak berminat keluar kamar untuk menampakkan diri. Ia tidak memiliki keberanian itu setelah apa yang baru saja ia alami. Ia merasa malu dan jijik pada dirinya sendiri. Apalagi saat ia melihat noda merah di badcover warna putih ranjang Ray. Ia semakin jijik.
Tak tahan melihatnya, dengan kasar ia menarik badcover itu dalan melipatnya sembarang. Ia kesal dan duduk di pojok ranjang. Sekali lagi, ia menangis.
"Sekujur tubuhku terasa meremuk." Batin Kiara.
"Kau sudah mandi?" Tanya Bibi Willy yang tiba-tiba datang dengan membawa setumpuk pakaian di tangannya.
"..." Kiara hanya menoleh tanpa menjawab pertanyaan bibi Willy.
Bibi Willy berjalan menuju almari yang ada di kamar itu dan meletakan pakaian yang ia bawa ke dalamnya.
"Tuan Ray bilang, mulai sekarang kau boleh menggunakan kamar ini." Lanjutnya.
"..." Kiara tetap terdiam.
"Aku sudah memindahkan semua pakaianmu."
Bibi Willy menghampiri Kiara yang tengah duduk terdiam. Lalu ia menghembuskan nafasnya dan duduk di samping Kiara.
"..."
"Kiara, menangislah jika kau ingin menangis!" Kata Bibi Willy lembut.
Kiara kembali menangis. Sangat keras sampai terisak-isak. Ia sampai kesulitan bernafas karena sesak di dada akibat tangisannya. Ia juga terbatuk-batuk berkali-kali.
Bibi Willy memeluk Kiara. Ia mencoba memahami perasaan Kiara yang sudah ia anggap seperti putrinya sendiri.
"Apa Tuan Ray mengatakan sesuatu padamu? Tanya Bibi Willy. Kiara menggeleng. "Anak itu benar-benar."
"Saat aku bangun, dia sudah tidak ada di sampingku. Kurasa dia pergi begitu saja."
Bibi Willy menepuk-nepuk pelan bahu Kiara, berharap Kiara akan kuat dan tegar menghadapi semua masalahnya.
"Bibi tidak tahu harus bagaimana. Bibi tidak menyangka jika Tuan Ray akan melakukan hal seperti itu padamu. Dia sebenarnya orang yang baik. Bibi sangat mengenalnya."
Bibi Willy berkata apa adanya. Baginya, Ray tidaklah seburuk itu.
"Maafkan aku Bibi, kurasa aku sudah tidak bisa mengganggapnya sebagai orang baik lagi. Dia sudah mengambil segalanya dalam hidupku. Aku sudah tidak memiliki apapun." Air mata Kiara selalu keluar jika ia mulai meratapi betapa malang nasibnya.
"Kau masih memiliki Bibi dan Paman. Bibi yakin kau itu anak yang kuat. Lihatlah dirimu, bagaimana usaha kerasmu untuk bertahan sampai saat ini?"
"..."
"Kau bisa bertahan saat kau kehilangan ibumu, ayahmu, bahkan seluruh hartamu."
"..."
"Kiara, jangan pernah menyerah meski banyak luka yang kau dapat! Berjuanglah, karena kau pasti bisa! Percayalah, jangan pernah menyesali apa yang sudah terjadi padamu! Siapa tahu itu awal dari kebahagiaan yang akan kau dapat suatu saat nanti. Kita tidak akan tahu bagaimana waktu akan menjawabnya."
Ingin rasanya Kiara menyerah pada takdir hidup yang harus ia jalani. Tapi ia bisa apa? Mengakhiri hidupnya? Ia tidak sebodoh itu, ia tidak mau mengikuti jejak kedua orang tuanya dalam hal satu ini. Ia akan mencoba bertahan.
Ia memantapkan hatinya lagi. Bertahan adalah pilihannya.
Mendengar kata-kata Bibi Willy membuatnya mulai berpikir jernih. Benar kata bibi Willy, ia pasti bisa! Ia mampu bertahan dari kehilangan kedua orang tua yang sangat ia sayangi, kenapa ia tidak bisa bertahan dengan masalah yang jauh lebih ringan dari kematian kedua orang tuanya? Ia hanya cukup percaya jika suatu saat ia pasti akan menemukan kebahagiaan lagi. Siapa tahu, kan?
"Sepertinya, masih terlalu sayang jika aku menyerah saat ini."
Apa yang baru saja dikatakan oleh Ray? Rena di luar negeri menggugurkan kandungan? Kiara yakin dengan sangat pasti bahwa dirinya dapat mendengar dengan jelas ucapannya Ray. "K-Kau..." Rena mulai terbata." Ray menatap intan ke arah Rena. "Tidak perlu berbohong kepadaku, Rena. Aku tidak sebodoh itu untuk berdiam diri dan seolah-olah tidak tahu apa-apa." "..." "Aku tahu kau ke luar negeri untuk menggugurkan kandunganmu. Aku tahu jika kau membuka selangkanganmu untuk pria-pria di luar sana. Aku tahu kau adalah wanita murahan yang selalu saja tidak cukup bermain dengan satu pria." Tubuh Rena gemetaran setelah mendengar ucapan dari Ray. "I-Itu tidaklah benar Ray. Mana mungkin aku seperti itu." Ujar Rena. Sementara itu, Kiara hanya bisa mematung di sampingnya Ray. Ia bahkan kesulitan untuk mengedipkan matanya ketika mendengar ucapan dari sang suami ini. Rena pergi ke luar negeri untuk menggugurkan kandungan? Rena bermain dengan banyak pria? Apakah Ray ini tidak asal b
Time skip... "Saya tidak paham dengan apa yang terjadi. Apa maksudnya Anda meminta saya untuk kembali bertemu dengan Anda lagi? Apakah Anda sama sekali tidak puas dengan jawaban saya tempo hari? Jawaban saya akan selalu sama dan tidak akan pernah berubah! Saya tidak akan pernah mengembalikan Alvaro Rayvansha kepada Anda!" Ujar Kiara dengan sangat tegas. Ia bahkan sampai menyilangkan kedua tangannya. "Aku sudah habis kesabaran. Sepertinya memang sulit berbicara baik-baik dengan dirimu, ya? Padahal, di sini dirimu lah orang ketiga di antara aku dan juga Ray. Seharusnya kamu itu sadar diri, harusnya kau pergi setelah pemilik hati asli Ray kembali!" Kata Rena tak mau kalah. "Pemilik asli hati Ray?" Kiara menaikkan sebelah alisnya sebelum akhirnya tertawa lebar setelahnya. "Ha hahahah, jangan bercanda! Mantan kekasih Anda itu sudah mengganti pemilik hatinya. Pemilik hatinya bukan lagi Anda, tetapi saya, istri sahnya!" Rena mencengkram kain pakaiannya. "Itu jelas tidak mungkin!" "Terse
Beberapa waktu kemudian...Dapur mansion milik Ray..."Bibi Willy, tolong jangan berpikiran yang tidak-tidak, ya? Aku sendiri benar-benar kesulitan untuk mengusir diri Tuan Ray..." Ujar Kiara.Mengusir Ray?Yang benar saja!Namun, mengusir di sini bukanlah mengusir dalam artian yang buruk. Jadi ceritanya, usai sore yang panas tadi, Kiara memutuskan untuk ikut membantu memasak makan malam. Meskipun bisa dikatakan dirinya sekarang sudah menjadi nyonya rumah dari mansion mewah ini, tetapi dirinya masih sering melakukan aktivitas seperti yang biasa dirinya lakukan sebelum menikah dengan Ray.Ketika ia sedang memasak, suaminya yang seenaknya saja itu selalu saja mengikuti dirinya, terhitung sejak mandi bersama tadi. Ray bagaikan perangko yang tidak mau lepas dari amplopnya. Lalu, lihat apa yang dilakukan oleh Ray saat ini. Pria iblis ini sedang memeluk Kiara dari belakang, tak mau melepaskannya, padahal di situ Kiara sedang memasak dan ada bibi Willy juga!"Tidak masalah Kiara... Tuan Ray
Kiara menata nafas dan detak jantungnya. Ia harus segera mengutarakan pertanyaan yang mengganjal di dalam otaknya ini. "A-Apakah kehadiran saya di dalam hidup Anda hanya untuk tempat buang sperma Anda?" Tanya Kiara hati-hati "Hah?" Ray cengo. Pertanyaan macam apa ini? "A-Ampun, m-maafkan saya... Tolong jangan marah dengan pertanyaan dari saya ini..." Kiara terlihat ketakutan.Ray menghela nafas."Tak bisakah kau menatapku dengan benar? Aku rasa kita seharusnya tidak seasing ini." Ujar Ray.Kiara mencoba menatap Ray, ragu-ragu. Cukup tak menyangka juga apabila Ray akan berkata seperti itu. Bahkan, nadanya terdengar cukup serius.Lalu, tangan kekar tapi kurus itu menyebut lembut pipi hangat Kiara."..." Kiara bingung harus menanggapinya seperti apa.Ray terlalu berbeda."Kalau kau butuh jawaban dari pertanyaanmu, seharusnya kau bisa menatapku dengan benar, kan?""Tapi Anda menyeramkan..."Jawaban polos Kiara hampir saja membuat Ray terjungkal."Dengar, aku memang tidak pandai bersik
"Gilaaa! Dosa apa kau ini sebenarnya, hah? Sudah keluarga hancur, jatuh miskin, diperkosa, kini giliran mau bahagia, malah mantan pacar suami muncul dan mengganggu... Tch, seharusnya aku menikah dengan seorang pria yang sudah selesai dengan masa lalunya! Sialan, sudah lama aku tak sekesal ini!" Kiara terus saja menggerutu usai pertemuannya dengan Rena. Bahkan, ia menjadi tak semangat untuk melanjutkan PKL nya di kantor. Alhasil, ia memilih untuk izin pulang cepat. Harusnya tidak boleh, tapi ia memanfaatkan koneksinya dengan sang pemilik perusahaan untuk bisa izin pulang. Tentu saja ia memakai alasan karena tidak enak badan. Sebenarnya bukan sebuah kebohongan, ia memang pusing, meski bukan pusing karena sakit medis. "Kiara kemana? Aku tidak melihatnya di meja kerjanya?" Tanya Ray pada Ken sehabis dari pertemuan bisnis di luar kantor. "Kau tidak dikirimi pesan sama Kiara?" "?" Ray menaikan sebelah alisnya tanda tidak tahu apa-apa. "Tadi usai jam istirahat siang, dia memint
"Jika aku bilang aku ingin kau mengembalikan Ray padaku, bagaimana?" Ujar Rena "Eh?" Permintaan apa ini? Kiara sampai harus memiringkan kepalanya ketika mendengar perkataan dari wanita yang dulu menjadi kekasihnya Ray. Harus menjawab seperti apa apabila diberi pertanyaan seperti itu? Di sini, yang diminta itu adalah dirinya yang merupakan istrinya Ray! Seorang mantan kekasih meminta kembali suaminya? Wah, sekonyol apa pemikiran dari Rena ini sebenarnya? "Kau pasti syok mendengar permintaan dari diriku, kan? Aku bisa mengerti karena dia sekarang sudah menjadi suamimu. Cukup tidak wajar bagi seorang mantan kekasih seperti diriku meminta suami dari istrinya seperti ini. Namun, aku benar-benar tidak bisa menyerah akan Ray.""Cukup tidak wajar?" Kiara kembali tidak habis pikir. "Permintaan dari Anda ini benar-benar sangat tidak wajar! Anda adalah wanita teraneh yang pernah saya temui di dalam hidup saya." Kata Kiara."Kau boleh menganggap diriku seperti apapun itu. Namun, Ray lebih
Waktu berganti, diketahui jika Rena pun sudah pergi dari kantornya Ray. Kiara sendiri, ia berpura-pura tidur sebentar dan keluar dari kamar setelahnya. Ia diajak makan siang bersama oleh Ray dan ia mengiyakan begitu saja. Tentu, ia tidak membahas apapun soal pembicaraan Ray dengan Rena. Lagipula, Ray sendiri juga bungkam akan hal itu. Ray bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Pria dingin ini juga tidak berniat membicarakan Rena pada Kiara. Jadi, buat apa Kiara mempertanyakannya, kan? "Saya akan kembali bekerja. Permisi..." Ujar Kiara. "Hn. Nanti pulang bersama." Kata Ray. "Ya." Dan waktu juga berlalu begitu saja. Hingga waktu bekerja selesai, lalu pulang setelahnya, tidak ada pembicaraan berarti di antara sepasang suami istri yang baru menikah ini. Malah, lebih banyak diamnya, terutama ketika mereka berdua dalam perjalanan pulang ke rumah. Ah, mobil pun terasa begitu sunyi. Itu tandanya memang tidak ada pembahasan apapun selama perjalanan pulang itu. Entahlah, keduanya s
Sebenarnya, Ray cukup kaget karena tiba-tiba saja wanita yang dulu pernah mengisi hari-harinya ini menampakan diri di hadapannya, tanpa diundang oleh dirinya tentunya. Hanya saja, pria tampan ini sangat pandai untuk mengendalikan ekspresi wajahnya, sehingga meskipun dirinya kaget, tetapi ekspresi seperti itu tidak akan terlihat oleh siapapun. Termasuk Rena.Ray terlihat mengendorkan kerah kemejanya yang sedari tadi terasa begitu mencekik leher. Mata sayunya yang penuh dengan tatapan dingin itu terus saja mengawasi Rena."Aku tidak suka diberi tatapan dingin seperti itu, Ray... Aku merasa tidak nyaman karenanya." Ujar Rena tanpa basa-basi langsung mengutarakan apa yang dirinya rasakan.Tentu saja Ray langsung mengabaikannya."Aku dapat mengingat dengan jelas bahwa aku tidak pernah sekalipun mengirim undangan pada dirimu untuk datang kemari." Kata Ray yang masih setia dengan mimik wajahnya yang datar.Darimana Rena tahu jika dirinya 'bekerja' di Syailendra Group?"Ayolah, tentu saja aku
"Hmm, laporan ini bisa diterima. Aku bisa memahaminya dengan baik karena ini lumayan mudah dimengerti. Kau sudah berhasil dalam membuat laporan, Kiara. Kau lulus!" Ujar Ray usai memeriksa laporan yang Kiara bawa untuk dirinya."...""Kenapa hanya diam saja? Bukankah aku baru saja memberikan pujian yang baik untuk dirimu? Kau tidak senang mendapatkan pujian dari diriku? Bahkan sekedar ucapan terima kasih saja, itu juga tidak keluar dari mulutmu. Sungguh, ini tidak seperti dirimu yang biasanya." Sambung Ray lagi.Sang istri, Kiara pun akhirnya menghela nafasnya, dan apa yang dirinya lakukan ini membuat suaminya tidak suka."Hei, perhatikan sikapmu, Kiara!""Yang seharusnya memperhatikan sikap itu adalah Anda, Tuan Ray!" Seru Kiara."Aku sudah bersikap dengan benar, tidak perlu diperhatikan lagi.""Sudah bersikap dengan benar apanya? Apa-apaan ini, Tuan Ray? Anda tidak mau melepaskan saya dari pangkuan Anda!"Kiara sebenarnya merasa risih karena sedari tadi dirinya berada di dalam pangku