Hari Sabtu datang. Dengan penuh semangat Vernon menjemput Felicia dan Adisti. Seperti janjinya, Vernon akan mengajak mereka berjalan-jalan. Dia akan buat Felicia sebahagia mungkin. Felicia harus melekat dengannya, sehingga meskipun dia tahu Ramon adalah ayah kandungnya, hati gadis cantik itu tidak akan beralih. Dia akan tetap memilih Vernon. "Sudah siap?" Vernon berdiri di depan pintu, melihat ke ruang tamu. Felicia mengangguk dengan senyum lebar. "Udah. Tunggu Ibu, dikit lagi pasti selesai." "Ibu dandan, ya? Biar cantik, biar Ayah tambah sayang," ucap Vernon. "Haa ... haa .... Ibu sama Ayah pacaran! Kayak yang di sinetron!" Felicia tertawa lepas. Tepat di belakang Felicia muncul Adisti. "Apa? Cia bilang apa?" Adisti kaget juga mendengar celotehan Felicia. "Iya, kan? Aku bener! Haa ... haa ...." Makin keras Felicia tertawa. Vernon ikut ngakak melihat tingkah Felicia. Adisti mesem sambil melirik ke arah Vernon. Perjalanan hari itu dimulai. Vernon membawa Felicia dan Adisti ke a
Mata Virni beralih ke Adisti dan Felicia. Masih tidak percaya rasanya, Adisti sudah punya anak sebesar itu? Siapa sebenarnya Adisti? Dan Vernon begitu akrab dengan gadis kecil yang cantik itu, yang terus saja menggelayut di sisi Vernon. "Oke. Aku mau kita bicara, secepatnya. Aku takut ...." Virni tidak melanjutkan kalimatnya. Dia segera berbalik dan mengejar Savitri yang terdengar memanggilnya lagi. Adisti maju dua langkah dan memegang lengan Vernon. Hatinya mulai pedih dan merasa ciut. "Mas, Mas yakin masih mau lanjut sama aku?" Suara sendu yang terdengar dari kata-kata Adisti. "Tentu saja. Kamu pikir aku akan mundur gara-gara semua ini?" Vernon menggenggam tangan Adisti. Adisti merasa campur aduk di hatinya. Ada keraguan, tapi di sisi lain dia tahu, mendapatkan pria seperti Vernon adalah anugerah tiada tara. Jika dia mau menunggu yang lain, mungkinkah akan ada lagi? "Ayah, kenapa Oma itu marah-marah? Ayah punya salah sama dia?" Felicia menarik ujung baju Vernon. "Sayang, Ayah
Adisti masih belum tenang. Dia telah berbicara pada Virni dan Alfred. Entah apa yang mereka pikirkan tentang Adisti. "Well ... thank you for your honest." Alfred yang menbuka suara. Pria blasteran itu tampak tenang, memandang pada Adisti. "Buat aku, siapapun pasti pernah melakukan kesalahan di dalam hidup. No body is perfect. Tapi kita selalu bisa menjadi lebih baik di hari esok, in the future." Logat Alfred terasa masih belum Indonesia banget, tetapi bahasanya sangat baik. Virni tersenyum dan memegang tangan suaminya. "Aku setuju dengan yang Alfred katakan." Vernon sangat lega mendengar itu. Dia benar. Dia bisa mengandalkan kakaknya yang satu ini. Virni sangat terbuka. Dia tidak melihat orang lain dari bungkusnya, dia siap menerima orang lain apa adanya. "Aku yang berterima kasih pada Kak Virni dan Kak Alfred. Kalian mau mendukung aku dan Adisti. Perjuanganku belum usai. Papa mungkin sudah tahu tentang Cia. Aku tidak tahu apa yang akan dia katakan. Tapi aku tidak akan mundur. Set
Ketakutan Adisti makin melebar. Dia tidak tahu harus ke mana mencari Felicia. Adisti terduduk lemas, bersandar pada dinding di kamarnya dengan air mata yang masih terus mengalir. "Sayang, aku akan cari nomor Ramon. Lalu aku akan hubungi dia. Aku akan minta dia bawa Cia balik," kata Vernon. "Iya, Mas. Aku tunggu." Adisti menutup telpon. Dia menunduk dan menangis sesenggukan. Mengapa Ramon setega itu? Apa yang dia mau sampai membawa kabur Felicia diam-diam? "Tuhan, aku mohon, jangan sampai terjadi hal buruk pada Cia, kumohon," doa Adisti di dalam hati. Dengan rasa tak menentu, Adisti bangun dan mengambil botol minum yang ada di meja kamar. Dia duduk di kursi dan meneguk beberapa kali air untuk melegakan kerongkongannya dan berusaha kembali tenang. Tubuhnya masih gemetar dan rasa cemas belum juga berkurang. Adisti menatap ponselnya, berharap segera ada pesan masuk atau panggilan dari Vernon dan membawa kabar baik. Beberapa menit berikutnya, Vernon mengirim nomor. Pesannya dia coba ko
"Cepat, Kak. Aku tidak mau terjadi sesuatu pada Cia." Adisti meminta Hanny segera berangkat. "Bagaimana bisa Cia dibawa Ramon?" tanya Ernita masih belum hilang rasa terkejut. Sambil mobil mulai bergerak meninggalkan rumah, Adisti bertutur. Adisti pun tak mengira, Ramon segila itu. "Wah, ga bisa dibiarin. Pokoknya kita mesti bawa Cia balik. Alamatnya, Dis." Hanny meminta Adisti memberitahu tujuan mereka. Sebuah villa di daerah Batu. Hanny kurang begitu hafal di daerah yang menjadi lokasi tempat Ramon membawa Felicia. Untungnya mereka bisa mencari dengan pertolongan internet. "Kita harus hati-hati. Pria itu bukan orang biasa. Kalau kita salah langkah, gampang saja dia panggil polisi dan memperkarakan kita." Hanny memberi awasan "Kak, cius? Aku takut, nih!" sahut Ernita. "Makanya sambil jalan kita ngatur strategi." Hanny mempercepat laju mobilnya. Ponsel Adisti berdering. Vernon yang menghubungi. Seperti sebelumnya dia tampak cemas. "Aku pergi, Mas, aku nyusul Cia. Udah dikasih a
Hanny berdiri tegak dengan dada dibusungkan. Sisi feminim dari pria itu benar-benar lenyap. Adisti sama sekali tidak mengira bisa melihat Hanny dari sisi yang lain di situasi itu. “Aku tidak akan ke mana-mana. Silakan, kalian bicara saja. Aku hanya mau memastikan Adisti akan baik-baik saja,” kata Hanny menegaskan lagi. Ramon tersenyum di ujung bibir, seakan mengejek Hanny. “Baiklah. Terserah padamu,” ujar Ramon, lalu mengarahkan pandangan pada Adisti. “Adisti, aku butuh ruang dan tempat tenang untuk kita bicara dari hati ke hati.” Ramon berbalik dan berjalan menjauh. Dia memilih duduk di kursi yang ada di ujung balkon, di dekat pagar. Adisti menoleh pada Hanny, memandangnya dengan tatapan yang gamang, kemudian meneruskan langkah menyusul Ramon. Adisti duduk di kursi seberang Ramon. Dia memilih posisi di mana Hanny pasti bisa melihat ekspresinya dan juga Ramon saat bicara. “Adisti … kamu lihat bukan, putri kita begitu gembira dengan apa yang aku bisa berikan padanya. Dia seharusnya
Adisti dan Ramon dengan cepat memalingkan wajah pada Hanny. Pria ceking yang sedari tadi duduk mengawasi itu berdiri dan segera menjajari Adisti. "Dis, Pak Bos mau aku bawa kamu dan Cia pulang. Hari ini. Aku ga salah dengar?" ujar Hanny. Kedua alisnya mengkerut hampir menyatu. Dia masih terkejut dengan yang dia dengar. "Kamu tidak salah dengar. Adisti akan tinggal di sini, malam ini." Ramon yang menjawab. "Adis?" Tatap tatapan Hanny pada Adisti. "Kak, please, percaya aku, oke?" ujar Adisti. "Kita ketemu Cia dan tanya padanya saja. Kurasa itu akan lebih fair." Ramon berani mengusulkan. Adisti dan Hanny ganti memandang pada Vernon. "Yeah, oke. Kita tanya saja pada Cia." Adisti pun setuju. Hanny yang tidak lega. Tetapi dia tidak bisa mendesak Adisti mengikuti kemauannya. Ketiganya meninggalkan balkon dan turun ke lantai satu. Felicia dan Ernita ada di ruang tengah yang sangat luas. Mereka duduk menonton film kartun. Felicia tampak sangat senang. Bahkan tidak terlihat dia lelah. "
Ernita dan Hanny makin merapat ke dinding agar suara Ramon lebih jelas terdengar. "Aku yakin semua akan berjalan lancar." Suara Ramon kembali terdengar. Dengan sigap otak Hanny berjalan. Dia keluarkan ponsel dan merekam kejadian itu. "Aku sudah punya cukup bukti untuk aku tunjukkan. Aku benar-benar punya anak, dan aku bisa mendapatkan hakku, bagianku lebih banyak. Kalau Adisti berhasil menerimaku, sebenarnya juga ada hitungannya. Sayang, dia terlanjur jatuh cinta sama bisnisman baru itu." Hanny dan Ernita mengerutkan kening. Apa yang Ramon maksud dengan hak? Bagian? Hitungan? "Seharusnya aku dapat empat porsi dari warisan orang tuaku. Nasibku memang sial. Istri dan anakku meninggal mendadak. Siapa yang tahu, sekarang ayahku mulai mengatur pembagian warisan. Kalau aku hanya dapat porsiku, aku ga bisa bergerak banyak." Mata Hanny dan Ernita kembali bertemu. Mereka sangat kaget. Ini alasannya Ramon mengejar-ejar Felicia. "Untung, sangat beruntung, aku bertemu Adisti waktu itu. Aku