"Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih mau mengunjungi Cia. Saya hanya tidak ingin Adisti tidak fokus bekerja." Meity mencermati wajah Vernon. Dia bisa melihat ada kesedihan yang coba pria itu tutupi dengan senyumnya. "Ah, tidak, Bu. Aku juga baru datang dari kantor. Tidak sama-sama Pak Vernon." Dengan cepat Adisti bicara. Meity menglihkan pandangan pada Adisti. "Oh ...." Senyum Meity muncul, senyum kecil saja di sana. "Kurasa Cia sudah lapar. Adisti, bantu aku menyiapkan makan malam. Bisa?" ujar Meity. "Bisa, Bu." Adisti mengangguk. "Pak, maaf, saya ajak Adisti ke dalam. Saya harap tidak lama." Meity kembali memandang Vernon. "Tentu, Bu. Tidak masalah. Silakan," kata Vernon. Meity dan Adisti masuk terus ke belakang menuju ke ruang dapur. Meity sengaja mengajak Adisti ikut dengannya karena ingin bicara soal Vernon. "Kenapa bisa bos kamu datang lagi?" tanya Meity. "Dia lagi ada masalah, Bu. Lumayan berat, meskipun aku juga ga tahu jelas seperti apa. Dia pergi meninggalkan kantor seb
"Cia! Ayo, makan! Sudah disiapkan sama Ibu." Meity muncul dan mengajak Felicia makan malam. "Iya, Nek." Felicia tidak jadi menjawab pertanyaan Vernon. Dia melompat turun dari kursi. "Om, aku mau makan. Aku lapar sekali." "Oya, oke." Vernon tersenyum. "Pak, mari, kita makan sekalian, sama-sama." Meity mengajak Vernon ikut serta. "Ya, kami siapkan buat Pak Vernon juga," kata Meity lagi. Vernon ikut masuk, kembali ke ruang dalam. Di ruang makan, meja penuh hidangan yang siap disantap. Sederhana, tetapi terlihat lezat. Vernon memilih duduk di sebelah Adisti. Felicia dan Meity di seberang mereka. Makan malam segera mulai. Hanya tempe dan tahu goreng, dengan sup, sambal, dan kerupuk. Felicia makan dengan lahap. Sesekali mulutnya bicara padahal penuh dengan makanan. Vernon tidak bosan-bosan memperhatikan bocah kecil itu. Rasa iba melebar di hati Vernon. Anak semanis Felicia, cerdas, dan lincah. Namun, dia tidak hidup dengan kasih sayang lengkap. Lalu pandangan Vernon ke sebelahnya. Adi
"Aduh, Disti, kamu ngomong apa?" Dalam hati Adisti merasa konyol bisa mengeluarkan pertanyaan itu. "Aku tidak mungkin menjalani hidup dengan pasangan yang tidak setia. Aku masih berpegang penuh mengenai pentingnya kesetiaan tanda pasangan kekasih. Jika itu dilanggar, aku tidak akan melanjutkan hubungan." Vernon menjelaskan lagi alasan kenapa dia memilih memutuskan Rima. Adisti tidak bicara apa-apa. Dia sangat mengerti yang Vernon katakan. Rasanya tidak adil, pria sebaik Vernon dipermainkan. Adisti tidak begitu kenal Rima, tapi sejak awal melihat wanita itu, Adisti memang tidak menyukainya. "Ah, bagus juga aku tahu semua ini sebelum pernikahan. Seandainya sesudah aku dan Rima menikah, pasti lebih hancur hidupku." Vernon tersenyum getir. Lagi-lagi Adisti hanya memandang Vernon, tidak ingin menimpali apapun. "Apartemen. Tempat itu akrab dengan Rima. Kupikir tempat dia berkumpul dengan teman-teman sosialitanya. Ternyata ...." Vernon menggeleng kesal. "Kukira, di apartemen itu dia ket
Vernon memarkir mobil di depan rumah orang tuanya. Di seberang mobilnya, mobil Rima masih terparkir di sana. "Dia belum pulang juga?" gumam Vernon kesal. Kejadian siang saat dia tiba di apartemen, seketika muncul di bayangan Vernon. Pria yang membuka pintu disusul Rima yang tergopoh-gopoh muncul di belakang pria itu, jelas terpampang di pikirannya. "Ah, kamu mau apa lagi, Rima?" ujar Vernon. Dengan langkah cepat dia masuk dan terus melangkah ke ruang dalam. Seperti dugaannya, Rima ada di ruang tengah bersama mamanya. Rima duduk di sebelah mama Vernon dengan wajah merah dan mata sembab. "Akhirnya kamu pulang juga. Apa saja yang kamu lakukan sampai harus mematikan ponsel? Kalau ada yang penting seperti ini, semua tertunda, Vernon!" Savitri, mama Vernon memandang putranya dengan tatapan kesal. "Aku perlu menenangkan diriku, Ma. Masih shock melihat calon istriku bersama pria lain." Vernon menekan rasa marah yang mulai membuat kepalanya berat dan panas. Dia berusaha tetap bicara dengan
Pesan yang Vernon baca membuat jantung Vernon makin kuat berdetak. - Masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang. Yakin, Tuhan akan menolong. Vernon membaca beberapa kali pesan itu. Vernon sangat tahu yang Adisti kirim adalah sebuah ayat dari kitab suci. Detak jantung Vernon belum kembali normal. Sesuatu yang beda merambah hati Vernon. "Ver, kenapa?" Virni menatap adiknya. Karena membaca pesan di ponsel, Vernon jadi terdiam. Vernon mengangkat mukanya, melihat pada Virni. "Tuhan pasti menolong. Kurasa kebenaran mulai Tuhan buka di depanku. Rima bukan wanita yang tepat buat aku.""Setelah sekian tahun kalian menjalani hubungan, dan segera akan menikah, kamu baru sadar?" Virni masih menatap lurus pada adiknya. "Kak, aku menerima Rima karena orang tua kita yang mau, bukan? Aku tidak mengelak memang. Kita sama-sama tahu Rima baik, dari keluarga yang baik, dan hubungan orang tua kita dengan orang tua Rima juga makin baik dengan menjadi keluarga. Khususnya buat bisnis." Vern
"Ga usah terlalu terkejut, Sayang." Hanny menonjok dahi Adisti dengan telunjuk. "Dirimu pegawai baru berkualitas. Sangat malah. Cepat dikenal dan semua penasaran sama kamu. Apalagi makin ke sini, makin cantik dan oke penampilan kamu." "Ah, Kak Hanny. Mereka terlalu berlebihan menilai kalau memang kayak gitu. Mereka belum tahu siapa aku, kan?" Adisti memandang Hanny. "Hm, buat apa pusing? Dinikmati saja, Dis. Udah, yuk, lanjut kerja. Aku ambil dua potong, ya?" Hanny memungut dua potong kue dari kotak, lalu dia balik ke mejanya. Adisti menutup kotak kue dan mulai lagi dengan deretan pekerjaan yang menunggu. Hingga setengah jam sebelum makan siang, Adisti fokus dengan pekerjaannya. Setelah itu dia bersiap menuju ke ruangan Syeilla. Sebelum itu, Adisti membagi-bagikan kue pemberian Ryan kepada teman-temannya. Baru dia berangkat untuk melakukan wawancara lanjutan dengan Syeilla. Dua minggu lagi Adisti harus membuat laporan pada Prof. Hamdani. "Ah, tepat waktu. Aku suka dengan pegawai y
Di depan Adisti, berdiri salah satu teman kantor Adisti. Dia seruangan dengan Lestia. Wanita itu menatap heran pada Adisti. "Hei, mau diapain juga udah kayak gitu muka kamu. Masih kurang cantik? Terima aja kenyataan." Kata-kata wanita berbadan bongsor dengan rambut sebahu berwarna pirang itu terasa sinis. "Hee ... Iya, Mbak Nena. Aku sudah, kok. Duluan, ya?" Adisti tersenyum lebar. Dia melangkah menuju ke pintu. "Pegawai baru sok tebar pesona. Awas saja kamu dekat-dekat Pak Ryan. Udah dapat kiriman kue segala. Pakai jimat apa, sih?" Nena bicara dengan posisi membelakangi Adisti, seolah-olah bicara sendiri. Tapi jelas, Adisti tahu, Nena menyindir Adisti. Adisti merasa panas di telinganya. Satu lagi yang ternyata tidak suka kehadirannya di kantor itu. Adisti berjalan menuju ke ruangannya. Tidak ada Hanny. Pasti cowok itu sedang makan siang di luar. Adisti duduk dan membuka bekal makanannya. Sederhana. Hanya telur dadar dengan sayur kangkung. Tapi tetap saja nikmat buat Adisti. Ting
Tangan Adisti refleks memegang dada. Degupan makin kuat melanda. "Cia, kamu bicara apa?" Adisti mendekati Felicia dan duduk di sebelah putrinya. Felicia menoleh cepat. "Ibu ... Aku minta ayah datang." Wajah polos itu memandang Adisti. "Cia, ayah kamu ga mungkin datang. Jangan bicara aneh-aneh. Ibu ga suka Cia bicara soal ayah terus." Adisti memasang wajah kesal. Felicia membalas juga memandang Adisti sambil cemberut. "Ibu, kenapa aku ga boleh pengin punya ayah? Kenapa ayah ga pernah telpon aku? Apa dia ga suka aku? Jadi betul, aku yang buat ayah pergi?" Rupanya Felicia menyimpan banyak pertanyaan tentang ayahnya. Dia pendam selama ini dan akhirnya tumpah hari itu. Adisti menarik napas dalam. Apa yang akan dia katakan? Tidak mungkin dia bilang pada bocah semanis Felicia bahwa dia memang tidak diinginkan ayahnya. Bahkan, Felicia pun jauh dari pikiran Adisti, bahwa akan ada seorang anak bagi dirinya. Hati Felicia pasti akan hancur. "Ibu, kenapa aku ga boleh tahu ayah? Kasih tahu ak