Adisti sangat kaget dengan pelukan tiba-tiba yang menyerangnya. Spontan Adisti mendorong Vernon agar melepasnya. "Pak, maaf." Adisti merasakan detak jantungnya seperti melompat-lompat. Tangan dan tubuhnya terasa panas dingin. Dia segera berbalik dan mendekati Felicia. Vernon tidak bergerak. Dia masih berdiri mematung, sambil memperhatikan Adisti. Adisti sama sekali tidak menengok lagi padanya. Vernon pun memutar tubuhnya dan berjalan keluar kamar. Dia berpamitan pada Meity dan Lani, lalu meneruskan langkah menuju ke tempat parkir. Di dalam mobil kembali Vernon termenung. Dia memandang wajahnya di kaca spion di atasnya. Galau, itu yang dia lihat. Seorang pria sukses, pemimpin sebuah perusahaan, tetapi sedang menyelam dalam kekacauan rasa. "Uufhh, kenapa aku ga bisa nahan diri di depan Adisti? Bahkan saat pertama datang, melihatnya menangis ... aku beneran ga tega. Ya ampun, ini ga bisa diteruskan!" Vernon bicara pada dirinya sendiri. "Buang jauh-jauh pikiran gila itu, Vernon. Fokus
Virni melotot dengan kedua tangan terkepal diacungkan di muka Vernon. Vernon sampai menarik badannya sedikit mundur. "Berani kamu mau mempermainkan perasaan wanita? Hah? Biar kamu adikku, aku bikin bengkak muka kamu!" sentak Virni kesal. "Kakak!" Vernon berdiri dan maju dua langkah. Dia dekap Virni dan memeluknya manja. Dia kecup kening Virni lalu mengajaknya duduk lagi. "Aku ga ada pikiran seperti itu, Kak. Benar, aku mulai merasa cinta yang muncul di hatiku. Tapi aku ga akan berbuat gila juga. Itu namanya aku menyusahkan diri sendiri, la!" Vernon tidak melepas kedua tangan kakaknya. "Sekarang, kamu mau gimana? Putuskan. Kalau kamu yakin dengan Rima, bersiaplah, apapun resiko dalam pernikahan kalian. Kalau nggak, kamu juga harus berani menentang papa dan mama. Dihujat keluarga besar, kolega, rekan bisnis, dan yang lain-lain." Virni memaparkan kenyataan yang ada di depan Vernon. "Kenapa hidupku serumit itu, sih?" Vernon mengusuk kasar rambutnya. "Vernon, aku sangat sayang kamu. A
"Kita pulang. Kakak-kakak ga sabar pingin ketemu Cia lagi." Adisti mengusap kepala Felicia. Gadis kecil itu duduk di tepi ranjang. Wajahnya terlihat segar, meskipun dia masih tampak sedikit lemas. "Iya, aku belum jadi main bareng Kak Erti sama Kak Melan," kata Felicia. "Yuk, mobilnya udah nunggu." Adisti mengangkat tubuh Felicia dan menggendongnya. Lalu dia turunkan di kursi roda dan membantu Felicia duduk di sana. "Aku naik kursi roda? Ah, seru!" Senyum lebar Felicia muncul. Tangannya segera menyentuh bagian-bagian dari kursi roda. "Oke, jalan, ya?" Adisti mendorong kursi roda itu. "Sudah semua, kan, tidak ada yang tertinggal?" Meity mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. "Sudah, Bu. Aman." Adisti menyahut. Meity mengangkat tas di kiri dan kanan tangannya, lalu mengikuti Adisti dan Felicia yang lebih dulu meninggalkan kamar. Meity mempercepat langkah agar bisa menjajari Adisti. "Pak Vernon tidak jadi datang?" Meity bertanya sementara mereka menuju ke halaman depan rumah sa
"Hei, keren. Sudah siap sekolah, nih. Mau Om antar?" tanya Vernon. "Mau! Asyikkk!" seru Felicia senang. "Cia!" panggil Adisti. Dia kaget dengan yang Vernon katakan. "Cia pergi sama Ibu." "Oh?" Felicia melihat Adisti, lalu menoleh pada Vernon dengan raut sedikit kecewa. "Kamu tega, baru sembuh sudah harus naik motor, di jalanan kena angin? Aku ga ada kesulitan apapun buat antar Cia. Dari sini juga searah kalau mau ke kantor." Vernon memandang Adisti. "Ibu ...," kata Felicia dengan suara sendu. Dia bingung juga antara ingin pergi dengan Vernon atau ikut naik motor dengan ibunya. "Apa aku berbahaya di dekat Cia? Kamu takut aku akan mencelakai dia lagi?" Vernon menatap Adisti. "Bukan begitu, Pak. Saya tidak ingin ada masalah dengan ... Bu Rima." Adisti sedikit ragu mengatakannya. Tapi mungkin itu lebih baik. "Terserah jika itu yang kamu pikirkan. Aku hanya mau memberi perhatian buat teman kecilku. Ayuk, Sayang." Vernon berdiri dan menggandeng tangan Felicia menuju ke mobil. Adisti
Kelas masih berjalan, tiba-tiba terdengar gemuruh di luar ruangan. Adisti dan beberaa mahasiswa lain spontan menoleh mleihat ke luar jendela. "Ya, hujan ...." ucap Adisti lirih. Masih pagi hujan sudah turun, sangat tidak menyenangkan. Tapi apa mau dikata, cuaca sesuka hati mengganti situasi. Ernita yang ada di sisi Adisti tidak memperhatikan sekeliling. Sejak masuk di kelas, dia lebih banyak diam, tidak seceria biasanya. Adisti menoleh pada Ernita, tapi tidak mengatakan apa-apa. Adisti sangat tahu, Ernita masih sedih dengan yang dia alami. "Kelas saya akhiri sampai di sini!" Dosen berkata dengan suara lantang. "Silakan sisa waktu yang ada kalian gunakan untuk meneruskan tugas proyek yang sudah saya jelaskan. Selamat pagi semuanya!" Para mahasiswa pun bergantian meninggalkan ruang kelas. Begitu pula Adisti, harus bergegas menuju ke kantor. "Kamu mau langsung pulang?" Adisti bertanya pada Ernita. "Aku mau bertapa di perpustakaan. Menenggelamkan diri dalam buku sejauh ini cukup efe
"Saya akan kirim beberapa file. Tolong kamu cek. Saya mau selesai sebelum kamu pulang," kata Cahyo. "Pak, tapi saya ...." "Asistenku kuwalahan. Sementara dia tidak sehat dan harus pulang lebih awal." Tanpa menunggu kesediaan Adisti, Cahyo berbalik dan berjalan meninggalkan tempat itu. Hanny melirik Adisti. "Ho hoo ... Ada yang cemburu. Kamu merasa tidak?" Hanny menggoda Adisti. "Kak Hanny, aku takut," bisik Adisti. "Takut apa?" ujar Hanny. "Sama Pak Cahyo," Adisti masih berbisik. "Takut apanya? Takut dipecat? Ga mungkin itu. Takut tatapan tajamnya? Ah, dia tuh pria tua dan ringkih disertai kurus. Ya, beda tipis sih, sama Kakak Hanny, ya? Tapi Kakak Hanny kan lebih berpenampilan, gitu loo ...." Hanny mengusap rambut kepalanya sambil mengedipkan sebelah mata. Adisti tersenyum kecut. Dia memang tidak mengatakan apa-apa tentang pernyataan cinta Cahyo pada siapapun. Semisal dia katakan, bisa jadi makin seru sampai habis Hanny menggodanya. "Mudah-mudahan pekerjaan yang dia minta ga
Cahyo menyeringai senang bercampur marah. Dia sudah kalap dibakar rasa cemburu dan sakit hati. "Lakukan saja! Tidak ada orang di lantai ini. Aku sangat hafal semua pegawaiku. Pilhanmu, ikuti kata-kataku atau aku akan memaksamu hingga tidak ada pilihan selain berkata iya." Mengakhiri kalimatnya, Cahyo mendorong Adisti ke lantai, dia menjatuhkan Adisti, dan segera menunduk di atas tubuh Adisti. "Pak, jangan! Tolong!!" Adisti seketika berteriak. Cahyo tidak peduli. Dia makin mendekap Adisti, mencoba melepaskan ciuman. Adisti sekuat mungkin menggerakkan semua bagian tubuh agar Cahyo melepaskannya. "Tolong!! Lepas!!" Adisti kembali berteriak. Tubuh Adisti panas dingin dan gemetar. Air mata sudah berderai di tengah ketakutannya. "Terus, berteriaklah. Pilihan ada di tanganmu," ucap Cahyo yang kembali mencoba mendekap Adisti. Adisti sekuat tenaga melawan, menghindari terus dari paksaan Cahyo. Sementara dalam hati dia berseru, minta siapa saja akan datang menolong. Braakkk!!! Pintu utam
Virni menatap Vernon dengan mata lebar, tak percaya dengan kabar yang dia dengar. "Ya, mana mungkin. Aku juga masih ga bisa percaya apa yang aku lihat dengan mataku sendiri. Di kantor, hampir terjadi perbuatan bejat. Yang sangat aku sayangkan justru dilakukan oleh orang yang selama ini sangat dipercayai perusahaan." Vernon kesal, tapi juga terdengar nada kecewa di sana. "Huh, apa yang terjadi dengannya? Kenapa dia bisa sampai segila itu?" Virni menggeleng-geleng keras. "Aku juga ga tahu. Selama dia kerja ga pernah ada sikapnya yang aneh sama karyawati. Aku benar-benar kalap melihat kelakuannya. Dasar pria tua ga laku!" sentak Vernon kesal. Virni tersenyum juga mendengar itu. Vernon masih bisa saja lucu meskipun sedang kesal. "Kamu sudah beritahu papa?" Virni mengambil gelas, membuatkan minuman untuk Adisti. "Ga kepikir, Kak. Aku ga bisa bayangin, papa akan kayak gimana kalau tahu. Dia sangat sayang Pak Cahyo, sangat percaya padanya," jawab Vernon. "Tapi kalau kejadiannya kayak gi