Vernon memegang tangan Adisti kuat dan melangkah dengan cepat keluar kantor. "Pak, ada apa?" tanya Adisti. Dia penasaran kabar apa yang Vernon barusan dapat dari kakaknya. "Papa masuk rumah sakit. Aku harus ke sana. Mama masih di luar kota," kata Vernon sambil mempercepat menuju mobil di tempat parkir. "Pak, saya ga bisa ikut. Ini urusan keluarga Pak Vernon." Adisti menolak pergi dengan Vernon. Vernon melepas tangan Adisti dan membuka pintu mobil bagian depan, sisi sebelah kursi sopir. "Masuk," perintah Vernon. "Mas, please ...." Adisti menghiba. "Papa akan jadi papa kamu. Kamu harus kenal dia. Kamu harus menunjukkan kamu care dengan yang terjadi." Vernon bicara tegas. Adisti terdiam. Vernon benar. Adisti pun tahu soal itu. Masalahnya Adisti belum diperkenalkan kepada orang tua Vernon. Apakah ini saat yang tepat? "Mas, aku rasa ...." "Masuk, Adisti. Aku harus cepat pergi," sela Vernon. Adisti tidak meneruskan ucapannya. Berdebat tidak ada gunanya. Vernon harus segera berangk
Varen menatap Adisti seakan ingin menghafal setiap bagian wajah wanita muda di depannya. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, Varen mangamati. "Saya asli dari Semarang, Pak. Saya ke Malang enam tahun yang lalu. Orang tua saya masih di Semarang." Dengan dada berdebar, Adisti mengungkapkan satu sisi hidupnya yang selama ini sudah dia simpan rapat-rapat. "Semarang? Semarang mana?" Varen mengejar. "Pa, ngapain tanya Semarang? Dia udah tinggal di Malang sini. Tanya di Malang tinggal di mana, itu lebih afdol." Vernon menyahut. "Kamu ga usah ikut campur. Aku mau bicara dengan Adistya, bukan kamu." Varen mengalihkan pandangan tajam pada Vernon. Virni yang duduk dan memperhatikan mereka kembali terkikik. Tidak menyangka, ayah dan adiknya bisa jadi lucu begitu tingkahnya gara-gara pacar baru Vernon. "Maaf, Pak, saya Adisti, bukan Adistya. Adistya itu nama ibu saya." Adisti meluruskan sebutan Varen yang salah. "Benarkah? Dia ibumu?" Varen kembali menoleh pada Adisti. "Iya, Pak." Adisti me
Mendengar pertanyaan Adisti, Vernon mengulum senyum di ujung bibirnya. Tangannya meraih jemari Adisti dan memandang dengan lembut pada dua bola mata bening kekasih hatinya. "Sayangku, Matahariku ... Aku mengerti yang kamu rasa. Aku minta maaf, Mama masih belum bisa menerima kamu. Sabar, ya?" Hati Adisti makin tak bisa berdetak normal. Perlakuan Vernon yang begitu manis, membuat dia merasa sangat istimewa. Kalau selama ini dia menilai diri sangat buruk, karena masa lalunya, semua itu luntur. Vernon melihat Adisti dengan hati, melihat utuh, dan menerima apa adanya. Itu sungguh luar biasa. "Tetapi, Mas, hubungan harus direstui orang tua. Jika tidak, ke depan akan terus ada hambatan. Aku ga mau ...." "Sayangku, Matahariku ...." Vernon menyela ucapan Adisti. Setiap Vernon mengucapkan kata-kata romantis, hati Adisti berdesir, dia merasa seperti tokoh utama dalam sebuah sinetron saja. "Percaya padaku. Orang tuaku akhirnya akan mengerti. Mereka perlu waktu mengenal kamu. Oke? Jika mereka
Adisti tak bisa percaya rasanya melihat pria itu, yang selama ini dia anggap mati. Dia berdiri mematung seolah tak mampu menggerakkan anggota tubuhnya. "Ternyata aku benar. Ini kamu. Adistiku yang manis dan cantik. Jadi, kamu sekarang di Surabaya? Wow, terang saja. Kamu seperti hilang dari peredaran semesta. Senang bertemu, Adisti. Dan kamu ..." Pria itu maju selangkah. "... semakin manis. Apa kamu ga rindu sama Om?" Dada Adisti bergejolak luar biasa. Ini pertemuan yang tak dia harapkan. Tidak pernah sama sekali. "Kamu terpesona? Ga nyangka kita bertemu di sini? Ini juga kejutan buatku, Manisku." Senyum pria itu melebar. Senyum yang susah dijabarkan. Adisti tidak bisa berkata-kata. Dia segera berbalik dan berjalan dengan cepat menjauh. Dia meletakkan mangkuk yang dia pegang di meja, lalu keluar dari ruangan itu. Kamar kecil yang dia tuju. Sepertinya di situasi ini, tempat itu yang paling tepat untuknya bersembunyi. Di bilik paling ujung, Adisti berdiri bersandar pada dinding sambi
Adisti sama sekali tidak menoleh ke belakang. Dia mengalihkan kegelisahannya dengan membuka berkas yang dia bawa di dalam folder. Meskipun sebenarnya itu tidak ada gunanya. Beberapa menit berikut, Vernon kembali dan duduk di sisinya. Acara segera berlangsung lagi. "Thank God. Tinggal sesi penutupan. Setelah ini pulang. Fine, kurasa aman." Dalam hati Adisti merasa lega. Hingga acara usai, memang tidak tampak lagi batang hidung Ramon. Vernon mengajak Adisti dan kedua pegawainya meninggalkan ruangan besar itu, terus keluar hotel menuju ke tempat parkir. Mereka masuk ke dalam mobil lalu segera kendaraan Vernon berlalu dari sana. "Bagaimana? Kalian siap beraksi? Tiga minggu lagi expo di buka di Malang. Sangat cukup waktunya kita mengatur semuanya." Vernon berkata sambil tetap memperhatikan jalanan. "Siap, Pak. Saya excited banget." Anton tampak bersemangat. Pembicaraan di antara pria itu berlanjut. Adisti memilih diam, menempelkan tubuh ke belakang, dia pejamkan mata, seolah-olah tidur
Suasana di ruangan itu semakin tegang. Semua mata melihat pada Savitri dan Adisti yang berhadapan. Tatapan Savitri jelas penuh kebencian pada Adisti. Sedang Adisti, dengan hati berdebar tidak karuan, memberanikan diri memandang Savitri. "Kamu dengar baik-baik, ya? Orang itu harus sadar diri di mana tempatnya. Aku peringatkan kamu, jika kamu masih terus mengejar anakku, aku ga akan segan-segan membuat perhitungan denganmu. Camkan itu!" Mata Savitri menyala dengan amarah membara memandang Adisti. Lestia dan Hanny sangat gusar dengan kejadian itu. Mereka ingin melakukan sesuatu, tapi mereka sedang menghadapi ibunda dari pimpinan perusahaan. "Terima kasih, Bu. Saya akan mengingat yang Ibu katakan. Tetapi saya minta maaf, saya tidak mungkin mundur dan melepaskan Pak Vernon." Dengan suara gemetar Adisti menjawab. "Kurang ajar!" Savitri maju dengan tangan terangkat. Dia siap menampar pipi mulus Adisti. Hanny secepat kilat maju dan menghadang Savitri, hingga tangan wanita itu jatuh ke kep
Duduk berdua berhadapan dengan Vernon. Gemuruh di hati Adisti tak bisa dicegah. Mata bagus dan kuat itu begitu lekat menghujam manik indah bening milik Adisti. "Aku minta maaf untuk kejadian pagi ini di kantor. Aku sangat marah sama Mama. Aku ga nyangka dia bisa berbuat seperti itu. Aku sungguh-sungguh minta maaf," ucap Vernon serius. Pandangan matanya menyiratkan dia sedih bercampur marah. Adisti tersenyum, manis. Dia mengulurkan tangan dan memegang jemari Vernon. Vernon kaget Adisti melakukan itu. Mata Vernon melebar dan makin kuat memandang Adisti. "Mas, aku bisa mengerti mengapa Ibu Savitri berbuat begitu. Dia ibu yang melahirkan dan membesarkan seorang anak yang tampan, cerdas, berjiwa pemimpin, dan penuh tanggung jawab. Tentu dia mau anaknya mendapatkan wanita terbaik. Aku memang ga bisa dibilang orang yang pantas di sisi Mas," kata Adisti. "Kamu bicara apa?" Vernon mengerutkan kening. Dia eratkan genggaman tangannya, seakan mau berkata dia tidak suka dengan pernyataan Adisti
Tangan Adisti sedikit gemetar saat membaca tulisan Meity. Surat itu tidak panjang, ditulis dengan tangan. Bentuk tulisannya tidak begitu rapi. Jelas, Meity memaksa menuangkan pesan di sana dalam kondisi fisiknya yang lemah. Dengan hati berdetak, Adisti mulai membaca. 'Teruntuk putriku, Anugerah sangat istimewa saat Tuhan mengantarkan kamu di depanku. Membawamu pulang dan ikut menanti kehadiran Cia ke dunia ini, juga berkat tak terhingga buatku. Adisti, terima kasih telah hadir dakam hidupku. Aku merasa begitu berarti sebab bisa mendampingimu hingga saat terakhir aku mengembuskan napasku. Aku memang tidak lagi bersama denganmu dan Cia. Tetapi cintaku tidak akan pernah layu dan usang. Bahagialah, bersemangatlah. Ada saat-saat terbaik menunggu di hari depan. Aku tidak punya apapun untuk aku tinggalkan. Rawatlah rumah kos tempat tinggal kita. Semua berkas dan surat aku serahkan padamu. Ini milikmu. Bukan benda berharga. Hanya kenangan bahwa kita telah menikmati kebersamaan di sana. S