Di malam pernikahan Kavi dan Nadiya, Sarah datang dengan membawa kabar bahwa dirinya sedang mengandung anak Kavi. Malam pernikahan yang seharusnya hanya tinggal menghitung jam untuk bahagia, berubah menjadi hujan air mata. Orang tua Nadiya murka dan memilih mencarikan calon suami yang lain untuk Nadiya. Dira, pemuda dari kota yang dipaksa orang tuanya untuk menikahi gadis desa yang sama sekali tak dikenalnya. Bagaimana perjalanan mereka, yukk baca..
View MoreBab 1
"Pernikahan ini bukan mainan, Mas! Bapak bisa murka kalau dengar kabar ini!" Nadiya berucap dengan pandangan tak lepas dari laki-laki di depannya. "Aku ngga bermaksud seperti itu, tapi Sarah tiba-tiba datang pada Mas dengan membawa kabar itu," balas Kavi, laki-laki yang sudah menyiapkan sebuah pernikahan untuk Nadiya esok pagi. "Kalau Mas tidak merasa ya sudah. Jangan dihiraukan ucapan perempuan itu." Nadiya berusaha tenang meskipun hatinya timbul gelisah. "Semoga saja Sarah tidak nekat datang ke rumah kamu. Mas sudah katakan padanya kalau Mas tidak percaya tapi dia mengancam." "Datang atau tidak, selama Mas tidak melakukannya pernikahan ini akan tetap berjalan. Aku percaya penuh padamu, Mas," sambung Nadiya percaya diri. Namun malam itu, Sarah benar-benar datang ke rumah Nadiya untuk mengadukan semuanya. "Tolong batalkan pernikahan ini, Pak. Di dalam rahim saya ada benih Mas Kavi," ucap perempuan berambut panjang itu dengan raut penuh kesedihan. "Jangan ngawur kamu kalau bicara! Lihatlah, tenda pernikahan sudah berdiri kokoh. Pelaminan sedang dipasang, bahan makanan sudah diolah semuanya, bagaimana mungkin kamu meminta saya membatalkan pernikahan yang sudah tinggal menghitung jam?" Suradi berusaha menepis semua perkataan perempuan di depannya itu. Hati Suradi mulai gusar. Ia tahu bahwa kabar ini menyakitkan untuk dirinya, terlebih untuk putrinya. Akan tapi membatalkan pernikahan yang sudah didepan mata ini rasanya terlalu mendadak dan ia tak bisa mempercayai kabar ini begitu saja. "Saya bisa buktikan kalau ini memang benar anak Mas Kavi." Seolah tahu bahwa Suradi meragukan ucapannya, perempuan itu meraih sesuatu dari dalam tasnya, lalu menunjukkan selembar kertas di hadapan lelaki berkaca mata yang sedang diliputi emosi. Tangan Suradi terulur menerima kertas itu. Matanya melotot sempurna. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya ini. Akan tetapi, untuk mengelak pun rasanya tak mungkin sebab di dalam foto itu jelas terlihat ada wajah calon menantunya di sana. Suradi melepas kaca mata yang menempel di wajahnya. Ia tak sanggup lagi berkata-kata. Pandangannya menyapu sekitar, menatap para pekerja dekorasi yang sedang mengerjakan tugas mereka. Mau tak mau, suka tak suka, pernikahan ini memang harus dibatalkan. Suradi tak mau menikahkan putrinya dengan lelaki yang sudah menghamili perempuan lain. "Pak, itu semua ngga benar, Pak! Mas Kavi ngga mungkin melakukan itu! Dia lelaki baik-baik, Mas Kavi tahu mana yang boleh dan tak boleh dilakukan!" Nadiya berucap dengan kencangnya setelah langkahnya terhenti di depan sang bapak. Ia tak terima calon suaminya dituduh melakukan hal keji. "Mau mengelak gimana, lihatlah foto ini," ucap Suradi seraya menunjukkan foto itu pada Nadiya, putrinya. Wajahnya berubah muram. Nadiya meraih foto itu. Ia melihat dengan seksama foto yang ada di hadapannya. Mata yang bening itu tiba-tiba saja berair. Hati yang tak percaya, perlahan berubah jadi sesak sebab apa yang dilihat itu terkesan nyata dan bukan foto hasil editan. Namun, Nadiya tahu bagaimana Kavi. Lelaki yang sudah menjalin hubungan dengannya selama beberapa tahun itu tidak berani menyentuhnya lebih dari sekedar hal yang wajar. Sayangnya, foto yang dipegang Suradi itu membuat apa yang dirasakannya seolah hanyalah ilusi. "Kamu pikir aku bohong? Lihatlah, itu Mas Kavi. Kami tak sengaja melakukan itu bulan lalu dan sekarang, aku mengandung anaknya," ucap Sarah, perempuan yang mengaku sedang hamil anak calon suami Nadiya. Seulas senyum penuh kemenangan terbit di wajahnya yang cantik setelah melihat reaksi perempuan berambut panjang di depannya itu. "Di dalam sini, sudah bersemayam benih Mas Kavi dan dia harus bertanggung jawab," sambung Sarah sembari memegang perutnya yang masih rata. Nadiya menatap Sarah dengan tatapan geram. "Jangan fitnah kamu!" sentak Nadiya penuh emosi. "Nak sudah!" Halimah, istri Suradi turut bersuara. Ia memegangi tangan putrinya agar tak melayang di wajah perempuan yang mengaku tengah hamil itu. "Sebaiknya kamu pergi. Saya akan urus semuanya." Suradi kembali bersuara. Sebagai seorang bapak, ia harus tegas dengan semua ini. Anak adalah penyambung orang tua sampai kapanpun dan ia tak mau anaknya menjadi penghalang antara bayi dalam kandungan Sarah dengan bapaknya. Sarah pun pergi. Senyum penuh kelegaan hadir di wajahnya yang penuh dengan riasan mekap. Tak butuh waktu lama, Kavi datang dengan tergesa. Ia tak mau pernikahan yang sudah diimpikannya gagal hanya karena ucapan Sarah yang menyakitkan. "Saya minta maaf, Pak. Saya tidak tahu apa yang terjadi malam itu. Saya tidak sadarkan diri," ucap Kavi dengan raut penuh penyesalan. Ia tak tahu apa yang terjadi malam itu. Yang ia tahu, pagi itu memang ia bangun dalam kondisi tubuh tanpa busana dan hanya tertutup selimut. Kavi mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tahu ia ceroboh. Tapi semua itu terjadi karena sebuah ketidaksengajaan. "Kalau begitu, maafkan saya. Saya tidak bisa menikahkan kamu dengan putri saya," ucap Suradi penuh penyesalan. "Pak, tolong beri kami kesempatan untuk membuktikan bahwa tuduhan itu salah!" ucap Nadiya turut bersuara. Ia tak bisa percaya begitu saja pada kabar yang dibawa oleh Sarah. Kavi tak berani bicara. Ia tahu apa yang terjadi itu sudah kelewat batas dan tidak menyalahkan jika Suradi murka hingga membatalkan pernikahannya. "Tidak bisa, Nak. Meskipun nasab anak diluar nikah tidak berada di garis bapaknya, Kavi tetap harus bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukannya." Mendapati ucapan bapaknya, Nadiya merasa tertampar. Hatinya tiba-tiba saja terasa sesak. Kebahagiaan yang harusnya di depan mata tiba-tiba lenyap begitu saja. Nadiya berteriak histeris. Air matanya membanjiri wajah yang baru saja selesai menjalani perawatan demi mendapatkan hasil mekap terbaik di hari spesial. Ia tak peduli pada beberapa orang diluar sana yang menyaksikan pertikaian ini. Tangan yang sudah dihiasi dengan henna maroon itu berontak dari genggaman ibunya, lalu berlari menuju dapur untuk mengambil sesuatu. "Pak, Nadiya lebih baik mati saja, Pak! Nadiya tidak bisa menerima semua ini!" ucap Nadiya sambil meletakkan pisau di atas pergelangan tangannya. Ia tak bisa berbuat apapun. Rasa sakit dan rasa malu akan batalnya pernikahan sungguh mencekik kewarasannya. "Nak jangan main-main!" sentak Halimah berusaha meraih benda di atas pergelangan tangan putrinya itu. "Tidak, Ibu. Jika Tuhan tidak mengizinkan Nadiya menikah dengan Mas Kavi karena anak itu, maka biarkan Nadiya mati saja!" sambung Nadiya lagi. "Sayang, jangan begini. Berikan pisaunya," ucap Kavi berusaha mendekati Nadiya. Ia tak sampai hati melihat Nadiya sekacau ini. "Sudahlah, Nak Kavi! Kamu sebaiknya pulang saja. Pernikahan ini seharusnya dibatalkan dan kamu harus bertanggung jawab pada perempuan itu!" ucap Suradi lagi. "Tapi, Pak," sela Kavi sambil terus menatap Nadiya yang tengah menangis memandangi benda di pergelangan tangannya. Saat Nadiya lengah, Kavi meraih benda yang sudah menempel di atas pergelangan tangan perempuan yang dicintainya itu. Ia tak peduli jika tangannya berlumuran darah. Yang ia tahu, perempuan yang sangat dicintainya itu tak boleh mati. "Mas!" pekik Nadiya keras. Ia kaget dengan apa yang dilakukan Kavi. "Auww!" Kavi meringis setelah berhasil merebut benda tajam itu dari tangan Nadiya. Sisi tajam benda panjang itu tak sengaja menggores telapak tangan Kavi. Tangan yang semula bersih itu, kini penuh dengan darah. Wajah Kavi meringis kesakitan menahan nyeri. "Sudahlah, sebaiknya kamu pergi saja. Jangan lagi datang ke rumah ini!" sentak Suradi tak peduli pada luka di tangan Kavi. "Tidak, Pak! Tangan Mas Kavi berdarah! Ini harus diobati!" Nadiya mengabaikan hatinya dan segera berlari menuju ruang tengah untuk mengambil kotak P3K. "Nadiya! Sudah! Biarkan dia pergi! Pernikahan kalian tak seharusnya terjadi!" sentak Suradi kencang. "Tapi, Pak, tangan Mas Kavi terluka!" sengit Nadiya lagi. Matanya menatap sang bapak dengan tatapan sengit. Suradi tertegun melihat wajah putrinya. "Sudah berani membantah Bapak kamu, hah?!" pekik Suradi kencang. Namun, tiba-tiba saja Suradi memegangi dadanya yang terasa nyeri. Badannya tiba-tiba saja kaku. Wajahnya meringis menahan sakit. "Pak, Bapak kenapa?" Halimah berlari mendekati suaminya. Suradi yang sedang menahan nyeri di dadanya segera dibawa ke rumah sakit. Kondisinya mengkhawatirkan. "Bu, ca-ca-rikan la-laki-laki lain untuk Nadiya. Bapak tidak ridho jika Nadiya menikah dengan Kavi yang sudah menghamili perempuan lain," ucap Suradi terbata ditengah-tengah keadaannya menahan sakit. Nadiya tercengang dengan apa yang diucapkan bapaknya. Untuk menolak pun ia tak punya hati sebab melihat kondisi bapaknya yang sedang sakit.Bab 77Di depan sebuah makam, Dira mengajak Nadiya untuk duduk, lalu mengangkat kedua tangannya demi mendoakan mendiang yang bersemayam di bawah sana.Tak banyak bicara, Nadiya mengikuti perintah suaminya. Laki-laki itu memimpin doa yang lantas diamini oleh wanita di belakangnya.Diam-diam Nadiya terharu. Laki-laki yang ia kira jauh dari agama, rupanya paham tentang doa yang dipanjatkan untuk manusia bergelar almarhum. Wajah itu tampak khusuk dalam bermunajat hingga membuat Nadiya tak melepas pandangannya untuk beberapa saat.Usia berdoa, Dira mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia lantas memegang ujung nisan itu."Maafkan aku, Rin. Aku ngga bermaksud membuatmu seperti ini," lirih Dira. Matanya menatap nisan bertuliskan nama mantan kekasihnya dulu."Aku hanya ingin memberimu pelajaran tapi kamu malah pergi menjemput ajal." Dira masih berkata tanpa peduli ada Nadiya di sisinya.Nadiya tidak berkomentar. Ia hanya mengusap lembut punggung lelaki yang masih menatap dalam nisan
Bab 76Nadiya kembali membaik setelah Kavi memberinya air putih. Wajah yang pucat itu sirna, berganti dengan raut tenang."Ada apa dengan dirimu?" tanya Kavi lagi. Ia penasaran dengan wajah Nadiya yang mendadak berubah pucat seperti itu."Aku juga pernah kecelakaan di situ, Mas. Denger kata kecelakaan, rasanya aku seperti kembali pada saat kejadian itu terjadi. Apalagi benar-benar melihat atau mendengar suara keras karena kecelakaan." Nadiya meremas gelas dalam tangannya. Matanya memejam sejenak, lalu kembali terbuka dan menatap raut di depannya dengan tatapan dalam."Kecelakaan? Bagaimana bisa?" Kavi mulai penasaran. Selama ini ia tak pernah mendengar kabar Nadiya kecelakaan."Iya. Pacar Mas Dira yang menabrak." Nadiya menunduk, merasai sakit yang kadang kala masih timbul tenggelam karena perbuatan Karina.Kavi tersentak mendengar cerita Nadiya."Laki-laki itu masih jalan sama pacarnya? Kenapa kamu bertahan sampai sejauh ini kalau mereka masih pacaran?" protes Kavi tak setuju. Ia mem
Bab 75Nadiya menatap rumah yang sudah dipenuhi perabotan dengan senyum sumringah. Ia senang melihat tiap sisi rumah yang barang-barangnya sesuai dengan keinginan hatinya. Rumahnya makin terasa nyaman dan menyenangkan."Benar juga apa kata Mas Dira, sebaiknya rumah memang diatur sendiri sama istri. Lebih bahagia rasanya," ucap Nadiya sambil menatap seluruh ruangan tengah yang disudut ruangan itu sudah terpasang smart TV."Kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Dira. Ia baru saja kembali dari depan mengantar kurir."Enggak. Aku baru merasa kalau apa yang Mas bilang itu memang benar. Sebaiknya, wanita yang mengatur barang-barang di rumah agar mereka betah dan nyaman. Aku nyaman di sini," jawab Nadiya. Matanya menyapu seluruh ruangan, lalu berakhir di wajah Dira."Alhamdulillah. Mas juga nyaman di rumah ini. Suasananya enak, apalagi ada kamu." Dira turut menyapu ruangan. Ruangan yang semula kosong, kini sudah penuh dengan barang-barang belanjaan mereka. Pandangan itu berakhir di wajah sang is
Bab 74Disebuah gerai furnitur, Dira sedang melihat-lihat beberapa macam kasur yang akan digunakan untuk mengisi rumah barunya. Ia membiarkan Nadiya memilih sendiri ukuran dan warna kasur yang disukainya."Kita beli yang kecil aja ya, Mas? Kan kamarnya ada dua, jadi kita beli ukuran kecil buat kamar masing-masing." Nadiya menatap Dira setelah melihat beberapa macam kasur yang digelar di lantai."Yang kecil? Kenapa ngga yang besar aja sekalian?" Dira tidak setuju dengan usulan Nadiya."Kebesaran Mas. Kan kita tidurnya sendiri-sendiri?" balas Nadiya mengingatkan.Dira tercengang mendengar jawaban Nadiya. "Oh tidur sendiri-sendiri ya? Mas kira tidurnya sekalian berdua," balas Dira sambil mengulum senyum."Jangan mulai deh, Mas!" kesal Nadiya lagi."Enggak. Tapi kan siapa tahu nanti kedepannya kita bakal terus sama-sama. Terus kasur yang satunya bisa dipakai buat anak-anak kita nanti. Ngga akan sia-sia kalau beli yang besar."Nadiya terdiam. Benar juga saran dari Dira. Akan tetapi, ia tid
Bab 73Sarah tak bisa lagi berbuat apapun sebab Edo selalu saja menunggunya di ruangan. Ia bak mati gaya. Dendamnya untuk Kavi masih tersimpan rapi dalam hati sedangkan Edo sudah menolak permintaannya berkali-kali.Siang itu, dokter sudah mengizinkan Sarah pulang. Kondisinya sudah lebih baik dan diperbolehkan sedikit beraktivitas. Meskipun masih harus banyak istirahat tapi tidak harus selalu bedrest seperti sebelumnya."Akhirnya kamu bisa pulang," ujar Edo senang. "Kita ke rumahku. Biar rencana pernikahan kita bisa langsung disiapkan."Sarah melengos. Ia tak tertarik dengan pernikahan. Yang ada dalam benaknya hanya bagaimana caranya untuk mencelakai Kavi, yang menurutnya bisa saja sewaktu-waktu mengejar Nadiya kembali."Kenapa? Kamu ngga suka kita nikah?" Edo menyahuti setelah melihat respon Sarah. Ia mendekat ke bibir ranjang, lalu duduk di sana."Terserah mau nikah apa enggak! Aku ngga tertarik!" ketus Sarah."Astaga kamu masih marah karena aku menolak mencelakai laki-laki itu? Apa
Bab 72Perjalanan kembali ke rumah Dira berubah suasana. Tidak ada lagi obrolan santai, apalagi bercandaan ringan, yang ada hanya kebisuan yang menyelimuti seluruh kabin mobil setelah insiden ciuman itu.Namun, Dira tak membiarkan hal itu terjadi. Ia kembali berusaha mencairkan suasana dengan mengajak Nadiya ngobrol santai."Kita mau ke apartemen apa langsung ke rumah baru?" tanya Dira memecah suasana. Ada rasa canggung sebenarnya, tapi Dira tak mau larut. Ia harus mengubah suasana yang dingin menjadi hangat kembali.Nadiya menoleh sekilas, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke luar jendela. "Terserah Mas aja.""Aku ada meeting habis ini. Kita ke apartemen dulu aja ya?"Nadiya terdiam sejenak. Tiba-tiba saja ia teringat akan kejadian mengerikan yang terjadi di apartemen itu. Ia lantas menggeleng cepat. "Tidak. Tidak mau! Aku mau ke rumah baru aja langsung."Dira tampak aneh dengan reaksi Nadiya. Tidak biasanya. "Kenapa kamu?"Nadiya menggeleng. "Aku takut." Ia meremas tangannya den
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments