Share

Bab 3. Keputusan Nara

Ruang tamu terasa melegakan begitu kedua tamu itu pergi. Namun, kelegaan itu berbanding terbalik dengan kerumitan yang memenuhi isi kepala Nara. Penawaran Pak Johan adalah sebuah petaka baru bagi keluarganya yang tak bisa lagi disepelekan. Pria itu memberi waktu dua hari bagi Nara untuk memikirkan penawaran itu. Hal ini membuat Nara harus memikirkan semuanya matang-matang agar tidak salah langkah dan dirundung penyesalan.

Suara ibu yang menyuruh makan siang membuyarkan lamunan Nara. Ia menoleh dan mendapati ibu berdiri di sebelahnya. Ayah sudah tidak terlihat lagi, entah pergi ke mana. Namun, Nara menolak dan memilih kembali ke toko. Lagi pula bagaimana mungkin ia bisa makan di tempat yang baru saja membuat kepalanya pusing?

Sepanjang perjalanan ke toko, Nara tidak berhenti berpikir. Kenapa masalah datang bertubi-tubi begini? Tak adakah hari tenang untuknya barang sehari saja? Ia kan juga butuh—

“Awas!”

istirahat.

“Mbak nggak apa-apa?”

Pertanyaan itu sontak membuat Nara mengerjap. Matanya menyapu sekitar. Jalan raya. Satu kesadaran seketika menghantamnya. Bersamaan dengan itu, suara serak terdengar.

“Mbak baik-baik saja, kan? Ada yang luka, nggak?”

Nara menoleh dan mendapati seorang laki-laki bertubuh jangkung tengah menatapnya, tampak menunggu jawaban. “I-iya, saya nggak apa-apa. Nggak ada luka juga. Terima kasih sudah nolongin saya,” jawab Nara setelah berhasil menguasai keadaan. Ia tersenyum tipis. “Maaf, saya harus pergi. Sekali lagi, terima kasih.”

Tanpa menunggu respons si penolong, Nara berlalu pergi. Namun, tahu-tahu laki-laki berpakaian kantor tadi sudah berdiri di sebelah Nara, di bawah sebuah tiang lampu jalan beberapa langkah dari tempat awal mereka.

“Mas, ngikutin saya?” selidik Nara.

“Mbak mau ke sana, kan?” Alih-alih menjawab, laki-laki itu malah menunjuk minimarket 24 jam di seberang jalan. Nara mengangguk. “Kalau begitu, biar saya bantu seberangkan. Kelihatannya Mbak masih syok. Ayo, Mbak.”

Laki-laki itu turun ke jalan lebih dulu dan Nara mengikuti meski ragu. Sambil berjalan, sebelah tangan laki-laki itu terangkat guna memberi tanda kepada para pengendara yang akan lewat. Dibimbingnya langkah si perempuan hingga ke seberang jalan. Setelah tiba di depan minimarket, Nara kembali mengucapkan terima kasih.

“Terima kasih juga sudah nolongin saya tadi,” balas laki-laki itu. Menyadari kebingungan di wajah Nara, laki-laki itu pun melanjutkan, “Ingat tadi siang Mbak nabrak orang dan ponselnya jatuh? Dia sebenarnya copet yang ambil ponsel saya. Berkat Mbak, ponsel saya akhirnya kembali.”

Ah, pejalan kaki itu! Nara ingat sekarang. Walau agak terkejut juga karena sama sekali tak menyangka kepanikannya tadi siang justru membantu seseorang mendapatkan kembali ponselnya yang dicopet.

Laki-laki itu kemudian pamit, tapi Nara lebih dulu mencegatnya. “Tunggu! Saya Nara. Nama Mas siapa?”

“Sagara.” Laki-laki itu berbalik ke arah jalan.

“Terima kasih, Mas Saga!”

Sagara tersenyum. Tangannya terangkat. “Sampai jumpa lagi, Nara!” balasnya, lalu menyeberang kembali ke arah semula.

Dan sekali itu, Nara akhirnya sadar bahwa seburuk apa pun harinya dua hari terakhir ini, akan tetap ada hal-hal kecil tak terduga yang bisa memperbaikinya, seperti yang ia alami barusan.

Hatinya perlahan menghangat. Senyumnya tanpa sadar mengembang seiring punggung Sagara yang kian menjauh dan akhirnya hilang di antara mobil-mobil di parkiran seberang.

***

Nara menghela napas kasar ketika lagi-lagi ia menemukan Pak Johan dan Amar di ruang tamu rumahnya. Tanpa bertanya pun ia sudah tahu tujuan kedua orang itu datang ke sini. Ya, apalagi kalau bukan menagih jawaban Nara atas tawaran mereka dua hari lalu.

“Jadi bagaimana Nara, apa kamu sudah memikirkan ulang tawaran saya waktu itu?” tanya Pak Johan tanpa basa-basi, sesaat setelah Nara duduk.

Tawaran itu sebenarnya sudah Nara pikirkan matang-matang dan jawabannya sudah tentu berupa penolakan. Namun, ayahnya justru menginginkan sebaliknya. Berulang kali ayah meminta ia menerima tawaran itu, tak peduli seberapa keras ia menolak. Alasannya tentu saja demi keluarga, dan itu membuat Nara merasa dilema.

“Apa Bapak benar-benar akan menganggap semua utang Ayah saya lunas kalau saya menikah dengan Anak Bapak?” Nara justru balik melempar pertanyaan. Semua orang di ruangan itu sontak menatapnya.

Pria berkemeja lengan pendek itu mengangguk. “Jadi bagaimana? Apa keputusan kamu sekarang, Nara?” tanya pria itu lagi.

Ruangan hening.

Yang ditanya tak langsung menjawab, seolah mencoba memikirkan semuanya lagi. Tapi pada akhirnya, Nara memang tidak punya pilihan lain. Orang tuanya jauh lebih penting daripada apa pun, jadi ia pun mengangguk. “Baik, saya bersedia menikah dengan Amar, asal Bapak benar-benar menepati janji untuk menganggap lunas semua utang Ayah saya dan tidak menyita rumah ini.”

“Oke. Deal.”

Begitu saja kesepakatan baru pun terjadi. Setidaknya, sebelum beberapa jam kemudian Nara menyesali semuanya. Membuat ia tidak bisa tidur karena gemuruh di kepala juga tidak berniat padam, sama seperti lampu kamar yang masih menyala.

Kepala Nara berisik. Penyesalan terus membayang di benak. Andai waktu bisa diputar, ia ingin kembali ke beberapa jam lalu dan menarik ucapannya lagi. Tidak apa-apa kalau akhirnya ia harus pinjam uang ke orang lain, asal pernikahan itu tidak terjadi.

Suara ketukan membuyarkan lamunan Nara. Ia membuka pintu dan ibu melangkah masuk sambil membawa segelas minuman berwarna kecokelatan. Asap putih tipis mengepul dari gelas.

“Ibu buatkan teh jahe panas. Akhir-akhir ini cuaca lagi nggak bagus.” Perempuan paruh baya itu lantas mengulurkan gelas yang dibawanya ke arah Nara.

Rasa hangat seketika menjalar di telapak tangan Nara begitu ia menerima gelas tersebut. Ia meniup dua kali, lalu meminumnya. Rasa hangat kini memenuhi mulut, kemudian perlahan mengalir ke perut. Kehangatan yang mampu meredakan hawa dingin yang sejak tadi ia rasakan.

“Ra ...,” panggil ibu seraya mendudukkan diri di tepi kasur Nara. “Apa kamu benar-benar serius dengan keputusan kamu tadi? Kamu serius mau menikah dengan Amar?”

Amar. Nama itu sebenarnya sudah tidak asing lagi di telinga Nara, yang asing hanyalah sosoknya. Nara pernah beberapa kali mendengar obrolan para tetangga tentang anak tunggal Pak Johan itu. Kata mereka, Amar adalah orang yang tertutup, jarang keluar rumah, dan hanya keluar untuk urusan tertentu saja entah sendiri atau bersama orang tuanya, apalagi laki-laki itu juga berkuliah di luar kota dan hanya pulang sesekali. Amar semakin tidak pernah kelihatan batang hidungnya sejak lulus kuliah. Dengar-dengar lagi, itu karena Amar sudah diterima kerja di sebuah perusahaan dan memiliki jabatan bagus.

Namun, entah kenapa semua hal tentang laki-laki itu, sama sekali tidak membuat Nara tertarik. Seolah ada sesuatu yang tidak ‘klik’ di hati Nara.

Nara mengembuskan napas, lalu menatap ibu yang juga tengah menatapnya. “Memangnya Nara punya pilihan lain, Bu?”

Ibu tersenyum tipis. Sadar bahwa apa yang dikatakan putrinya barusan adalah benar. Bahwa memang tidak ada pilihan lain bagi Nara untuk memilih. “Pernikahan kamu dan Amar akan dilaksanakan dua hari lagi,” katanya kemudian.

“Semua persiapannya akan diurus Pak Johan dan Amar, kamu hanya tinggal persiapkan diri saja. Jadi, mulai besok kamu nggak usah masuk kerja dulu. Izin saja, istirahat di rumah, karena nggak baik calon pengantin pergi-pergi menjelang hari pernikahannya.” Perempuan itu pun bangkit. “Ibu cuma mau bilang itu saja. Kamu habiskan tehnya, terus langsung tidur. Ibu juga mau tidur.”

Ibu lalu melangkah keluar kamar tanpa repot-repot menunggu respons Nara. Dan tepat setelah pintu ditutup, sesak yang Nara tahan sejak tadi pun meledak. Tangisnya pecah. Genggaman tangan pada gelas mengerat seiring air mata yang terus jatuh di pipi. Ada banyak hal yang terasa tumpang tindih di kepala Nara, seolah saling berebut ingin diselesaikan lebih dulu. Sementara yang bisa ia lakukan sekarang adalah meluapkan semuanya.

Namun, tanpa Nara tahu, seseorang di balik pintu kamar juga merasa tak kalah sesak saat mendengar tangisannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status