Share

Bab 6. Ibu Sambung

Sagara baik.

Begitu penilaian Nara sejak pertama kali Sagara menolongnya. Namun yang tidak ia sangka, setelah pertemuan ketiga mereka, Sagara ternyata sama saja seperti kebanyakan laki-laki di dunia ini.

Apa tadi katanya? Jadi ibu untuk anaknya? Astaga, yang benar saja! Baru juga kenal, sudah berani gombal. Dasar buaya!

“Kalau Mas Saga mau ngegombal, mending gombal ke cewek lain saja, jangan ke saya. Saya sama sekali nggak tertarik,” sinis Nara. Ia kembali menatap ke luar pintu geser. Hujan masih deras, bahkan jauh lebih parah.

“Gombal?” Sagara kontan mengangkat alis. Sedetik kemudian, ia paham. “Maaf, saya nggak bermaksud gombalin kamu, Nara. Apa yang saya katakan tadi serius. Saya akan bantu melunasi semua utang Ayah kamu, kalau kamu juga bisa bantu jadi ibu untuk anak saya.”

Mendengar nada serius Sagara, Nara kembali menoleh. “Tunggu, ini maksudnya gimana, ya? Jadi ibu untuk anaknya Mas Saga? Gimana sih, Mas? Saya nggak paham,” sahut Nara. Ia sudah mengubah posisi duduknya menghadap Sagara.

Laki-laki di sofa tunggal itu memajukan tubuhnya, menumpu tangan di atas paha. “Saya punya anak berumur tiga tahun dan dia sedang aktif-aktifnya, tapi sejak kecil dia belum pernah merasakan bagaimana kasih sayang seorang ibu.”

“Sama sekali?” Sagara mengangguk. “Maaf, kalau boleh tahu, memang ibunya ke mana?” Takut-takut, Nara akhirnya bertanya.

“Istri saya meninggal setelah melahirkan anak kami.”

Jawaban Sagara berhasil mengubah atmosfer di ruangan. Perasaan bersalah pun seketika menyusup dalam hati Nara, karena sudah tanpa sengaja membangkitkan kembali luka lama yang disimpan Sagara.

“Mas, maaf, saya nggak—”

It’s okay, Nara. Kamu nggak perlu minta maaf. Itu sudah takdir,” potong Sagara.  

“Jadi maksudnya, saya harus jadi ibu sambung untuk anaknya Mas Saga gitu?”

“Iya, semacam itu.”

Nara mendesah. Otaknya terasa berasap. Rasa lega yang semula menyelimuti karena ia sudah berhasil kabur dari pernikahan gila itu, langsung lenyap tak bersisa setelah mendengar tawaran Sagara barusan. Bisa-bisanya laki-laki itu memintanya menjadi ibu sambung untuk anaknya. Gila! Bahkan ini jauh lebih gila lagi daripada tawaran Pak Johan kemarin.

“Terus kalau misalnya saya terima tawaran Mas, apakah itu berarti kita juga harus ... menikah?” selidik Nara. Suaranya pelan di akhir kalimat. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa hari lalu.

Dalam hati, Nara berharap semoga pernikahan bukanlah ujung dari tawaran tak terduga ini. Sebab kalau iya, itu sama saja ia jatuh di kubangan yang sama. Dan seolah nasib baik sedang berpihak padanya, pertanyaan itu kemudian dibalas gelengan kepala oleh Sagara.

“Kita nggak perlu menikah, Nara. Kamu hanya perlu menjalankan peran selayaknya ibu untuk anak saya. Setidaknya, untuk mengisi kekosongan posisi ibu yang seharusnya diisi oleh almarhumah istri saya. Kamu harus selalu bersama anak saya dan mau nggak mau, kamu juga harus—”

“—berhenti dari pekerjaan saya sekarang?” tukas Nara. Sagara mengiakan. Wah! Gila!

Nara menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Kepalanya pusing. Bagian ini benar-benar tidak ada dalam rencananya. Jujur, ia bingung sekarang. Di satu sisi, Nara senang utang ayahnya akan segera lunas karena Sagara mau membantunya. Namun di sisi lain, ia juga ragu menerima tawaran tersebut. Tawaran Sagara terdengar lebih berisiko baginya.

 “Oke, ini pasti kedengaran konyol. Kita baru saja kenal dan saya tiba-tiba nawarin kamu banyak hal. Tapi sama seperti kamu, saya juga nggak punya pilihan lain, Nara. Kenzo, anak saya sebentar lagi ulang tahun dan satu-satunya hadiah yang dia mau adalah mama. Dia pengin menghabiskan waktu bareng mama di hari ulang tahunnya, tapi itu nggak mungkin. Saya juga belum ingin menikah lagi. Jadi, satu-satunya harapan saya adalah kamu.

“Kamu tenang saja, saya akan gaji kamu berapa pun yang kamu minta. Saya juga akan tetap melunasi semua utang Ayah kamu seperti kesepakatan kita. Bagaimana, Nara? Kamu bisa kan bantu saya?”

Yang ditanya tak langsung menjawab. Nara berusaha memikirkan ulang semuanya. Hingga setelah beberapa saat hanya diselimuti keheningan, ia menghela napas dan berkata, “Oke, saya mau.”

Ada kelegaan yang terpancar di wajah laki-laki itu. Seolah baru saja menemukan oase di tengah padang pasir. Seulas senyum tercipta di bibir Sagara, senyum yang membuat lesung pipit di pipi kanannya tercipta.

“Terima kasih, Nara. Kalau begitu, besok kita temui bos Ayah kamu dan bayar utangnya. Sekarang, saya harus segera ke kantor. Nanti saya akan suruh orang untuk antar makanan buat kamu. Oh satu lagi, saya minta nomor kamu.”

Laki-laki itu lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana bahannya dan mengulurkannya pada Nara. Nara menerimanya. Diketiknya sederet angka yang sudah ia hafal di luar kepala, lalu mengembalikan ponsel itu pada Sagara. Sagara kemudian menekan ikon panggil.

“Sudah masuk,” ujar Nara seraya menunjukkan layar ponselnya yang kini menampilkan panggilan masuk dari nomor asing.

Sagara mengangguk, kemudian pamit pergi. Pintu unit tertutup dan hening kembali menyergap lantaran hujan sudah reda sejak beberapa menit lalu.

Perempuan itu kembali menjatuhkan tubuh di sofa. Berniat meredam segala kerumitan yang terjadi, ketika ponselnya kembali bergetar. Ia berdecak, tapi tetap meraih ponsel itu.

“Halo. Kenapa, Mas? Ada yang ketinggalan, ya?” tanya Nara langsung sambil matanya setengah terpejam.

“Mas? Mas-mas pala lo gemas. Ini gue Salma. Lo di mana sekarang, Ra? Bokap-Nyokap lo neleponin gue mulu nih, dikira gue nyembunyiin lo!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status