Share

Bab 5. Bantuan Sagara

“Loh, kita ngapain ke sini?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut Nara begitu mobil hitam Sagara memasuki basement sebuah gedung bertingkat. Perempuan itu menatap sangsi laki-laki di sebelahnya. “Mas Saga nggak niat nyulik saya, kan?”

“Memangnya muka saya mirip penculik, ya?” Sagara balik bertanya. Ia mematikan mesin mobil, kemudian melepas sabuk pengamannya. “Tenang saja, Nara. Saya nggak akan nyulik kamu. Sekarang, ayo turun,” lanjutnya.

Meski ragu, Nara tetap mengikuti Sagara turun dari mobil. Tak lupa ia mengambil tas ranselnya di kursi belakang. Mereka lalu naik lift menuju lantai tujuan. Tidak ada pembicaraan tercipta selama di dalam lift. Nara masih merasa waswas, sementara Sagara sendiri tampaknya juga belum mau mengatakan apa-apa soal tempat yang mereka tuju sekarang.

“Ini apartemen saya,” aku Sagara saat mereka akhirnya sampai di depan sebuah pintu yang tertutup. Laki-laki itu membuka pintu tersebut, lalu mempersilakan Nara masuk. “Maaf kalau agak berantakan. Apartemen ini jarang saya tempati.”

“Justru ini jauh lebih rapi daripada kamar Adik laki-laki saya,” sahut Nara jujur. Matanya memandang sekitar.

Didominasi warna putih dan cokelat kayu, unit apartemen Sagara memiliki sebuah ruang keluarga yang langsung menyambut begitu masuk unit. Di sebelahnya, terdapat pintu geser kaca yang langsung terhubung ke balkon yang dilengkapi kursi santai. Bergeser ke kanan, ada dapur, ruang laundry, serta toilet. Sementara di seberang dapur, terdapat dua kamar tidur yang saling berhadapan.

Meski tampak menenangkan, tapi Nara bisa merasakan sepi jauh lebih mendominasi keseluruhan unit ini. Terlebih hanya ada furnitur-furnitur utama tanpa pajangan apa pun di sini, seolah si pemilik tidak ingin mengekspresikan diri lebih jauh lagi.

“Oh ya? Jadi, kamu punya adik?” Sagara muncul dari arah dapur sambil membawa sebotol air mineral dingin. Ia menghampiri Nara yang duduk di sofa panjang dan mengulurkan botol itu ke arah Nara. “Maaf, cuma ada ini di kulkas. Nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa, ini sudah lebih dari cukup. Makasih, Mas Saga” jawab Nara seraya menerima botol itu. Matanya berbinar. Akhirnya, dahaganya bisa terobati. Namun sialnya, botol itu malah tidak bisa diajak kompromi. Tutupnya sulit dibuka.

Melihat hal itu, Sagara segera mengambil alih botol dari tangan Nara. Satu kali putar dan botol itu terbuka. Nara mengucapkan terima kasih untuk ke sekian kalinya kepada Sagara sambil menerima kembali botolnya. Perempuan itu lalu meneguk isinya hingga rasa hausnya teratasi.

“Iya, saya punya adik, satu. Tapi dia nyebelin banget dan kadang suka nggak tahu diri, padahal keadaan ekonomi keluarga kami jauh dari kata mewah. Astaga, maaf, maaf saya jadi kebablasan. Anggap saja Mas Saga nggak pernah dengar omongan saya barusan. Maaf.”

Nara gelagapan. Ia tak menyangka sampai kebablasan curhat colongan kepada Sagara. Bagaimanapun juga Sagara tetaplah orang asing bagi Nara, terlepas mereka sudah saling kenal nama dan beberapa kali laki-laki itu membantunya. Ia hanya tidak ingin masalah keluarganya menjadi konsumsi publik.

“Oke, saya paham. Hanya saja kalau saya boleh tahu, kenapa orang-orang tadi mengejar-ngejar kamu? Apa ada sesuatu yang terjadi?” tanya Sagara. Namun, menyadari kelancangannya barusan, ia buru-buru melanjutkan, “Tapi kalau kamu nggak mau jawab, juga nggak apa-apa kok. Saya bisa paham.”

Hening menyelimuti, hingga suara hujan di luar sana akhirnya menginterupsi keheningan yang tercipta di antara mereka. Nara menoleh ke pintu kaca geser. Di luar, hujan semakin deras. Pemandangan itu tanpa sadar mengingatkannya dengan keadaan rumah yang pasti sama kacaunya dengan efek hujan yang tiba-tiba turun di tengah cuaca terik.

“Terus kamu nggak kasihan sama Nara? Kamu nggak kasihan ngebiarin dia nikah sama orang yang sama sekali nggak dia cinta demi gantiin utang-utang kamu? Tega ya kamu, Mas.”

Suara kecewa ibu kembali terdengar di benak Nara. Membuat perempuan itu memejamkan mata karena yang terdengar berikutnya adalah suara ayah di dapur tadi. Tangannya tanpa sadar ikut terkepal.

“Bukannya aku nggak kasihan, tapi itu memang sudah tugasnya Nara. Dia anak sulung, jadi wajar kalau dia harus selalu siap bantuin orang tuanya. Sudahlah, nggak perlu dipermasalahkan lagi, toh Nara sendiri juga sudah setuju. Yang penting sekarang, kita sudah terbebas dari semua utang. Lagian, bukannya bagus kalau Nara jadi nikah sama Amar? Itu berarti sedikit banyak kita pasti juga akan kecipratan kekayaan keluarganya Amar nanti.”

“Nara!”

Panggilan itu sontak menyadarkan Nara dari lamunannya. Perempuan itu tersentak kaget dan buru-buru menoleh. Sebelum ia sempat membalas, suara Sagara sudah lebih dulu terdengar.

“Saya perhatikan dari awal kita bertemu sampai sekarang, kamu sering banget melamun, ya. Kamu baik-baik saja, Nara?”

Ditanya begitu, entah kenapa menimbulkan perasaan aneh dalam diri Nara. Ia tersenyum tipis. Belum pernah ada yang menanyakan pertanyaan semacam itu padanya. “Jujur, sebenarnya saya juga nggak tahu saya baik-baik saja atau nggak,” akunya kemudian.

Pikirannya terasa penuh dan mungkin tak ada salahnya sedikit berbagi cerita dengan orang asing. Jadi, Nara pun melanjutkan, “Ayah punya utang sama bosnya dan bosnya kasih penawaran. Utang-utang itu bakalan lunas kalau saya bersedia nikah sama anaknya, tapi kalau saya nolak, rumah kami bakalan ikut disita sama dia. Nggak adil banget, kan? Mentang-mentang orang kaya, terus dia seenaknya saja menindas orang kecil kayak keluarga saya. Keterlaluan banget kan, Mas?”

Sagara mengangguk. “Tapi bukannya dengan kamu kabur begini, itu malah bisa dimanfaatkan bos Ayah kamu buat menyita rumah kalian, ya?”

“Saya tahu, tapi saya nggak punya pilihan lain. Ada hal lain yang nggak bisa saya ceritakan ke Mas Saga,” sahut Nara, setengah frustrasi memikirkan semua masalah yang terjadi.

Perdebatan orang tuanya di dapur tadi adalah penyebab utama ia memutuskan kabur. Meski ulahnya itu bisa semakin membuat semuanya runyam, tapi ia sungguh berharap orang tuanya mendapat pelajaran juga dari sana, terutama ayah. Bukankah anak tidak seharusnya menjadi alat pengganti untuk membayar utang? Dan lagi, ia kecewa dengan sikap ayah yang terlalu sering mengagungkan adik laki-lakinya hingga tak boleh ikut menanggung masalah ini.

“Begini saja, Nara. Bagaimana kalau saya bantu melunasi semua utang Ayah kamu?”

Satu pertanyaan itu berhasil menarik perhatian Nara. Alisnya terangkat naik.

“Nara, saya tahu kita memang baru kenal dan mungkin itu juga yang bikin kamu ragu terima bantuan saya. Tapi saya benar-benar ingin membantu kamu, meski mungkin ini nggak sebanding dengan bantuan kamu yang sudah menyelamatkan ponsel saya dari copet kemarin. Data di ponsel ini sangat berharga bagi saya,” terang Sagara.

“Atau begini, kita bikin kesepakatan saja. Saya akan bantu kamu apa pun yang kamu minta, asal kamu juga bisa bantu saya. Bagaimana?”

Mendadak Nara seperti diingatkan kembali pada penawaran Pak Johan beberapa hari lalu. Alisnya terangkat. “Bantu ... apa, Mas?” tanyanya ragu. Ia sungguh tidak siap kalau misalnya tawaran kesepakatan yang diajukan Sagara ternyata sama seperti tawaran Pak Johan, apalagi ini juga berkaitan dengan uang.

“Kamu ... jadilah ibu untuk anak saya.”

“Apa?!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status