Share

Bab 7. Perkara Makan Bareng

Gelap adalah hal pertama yang Nara dapati saat membuka mata. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari seleret sinar bulan yang menembus jendela yang tirainya tersingkap sedikit.

Perempuan itu seketika terlonjak bangun. Tangannya meraba-raba tempat tidur, mencari ponsel yang berhasil ketemu dalam hitungan detik dan langsung menyalakannya. Angka 18.20 tertera di layar kunci. Nara mendesah, sadar ia sudah tidur hampir lima jam di kamar Sagara.

Jangan tanya di mana Sagara sekarang, karena ia sendiri juga tidak tahu. Terakhir yang Nara ingat, siang tadi ia kedatangan tamu—seorang laki-laki berpakaian kantor yang mengaku sebagai asisten Sagara.

"Selamat siang, Bu. Perkenalkan saya Darwin, asisten Pak Sagara. Saya datang ke sini karena diminta Pak Sagara mengantarkan ini untuk Ibu." Darwin mengulurkan dua plastik belanjaan, yang lantas diterima Nara dengan ragu. Satu berisi makanan dari salah satu restoran cepat saji dan satu lagi berisi camilan serta minuman botol.

"Pak Sagara juga berpesan kalau Ibu bisa menggunakan kamar utama dulu selama di sini," lanjut Darwin, yang lagi-lagi berhasil membuat Nara heran. Kenapa Sagara sampai repot-repot melakukan ini semua?

Tidak, bukannya Nara tidak tahu terima kasih. Ia tahu dan ia sangat berterima kasih kepada Sagara atas semua hal yang sudah laki-laki itu lakukan untuknya hingga saat ini. Hanya saja, ia tidak ingin terlalu banyak berhutang budi kepada laki-laki itu. Bagaimanapun juga, mereka hanya orang asing, bukan?

Setelah berhasil mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya lagi, Nara bangkit. Sebenarnya Nara suka gelap, karena dengan begini ia bisa mengagumi titik-titik cahaya di langit malam dan lampu-lampu gedung yang tampak menakjubkan. Namun, tidak saat ini. Kegelapan di tempat asing bukanlah sesuatu yang bagus, jadi ia pun segera menyalakan lampu.

Nara lalu mengambil pakaian ganti di tas dan masuk kamar mandi. Ia butuh menyegarkan otak dan tubuhnya yang hari ini terasa lebih lelah daripada biasanya. Belasan menit kemudian, Nara keluar kamar mandi dengan mengenakan kaus oversize warna putih bergambar beruang dan celana jin selutut. Sebuah handuk warna pink bertengger di kepalanya, melilit rambutnya yang basah.

Bersamaan dengan itu, aroma wangi makanan menyapa indra penciumannya. Asalnya dari arah ruang tamu. Nara mengernyit bingung. Otaknya sudah nyaris berpikir macam-macam, andai seseorang tidak muncul tepat waktu di depan dapur.

"Mas Saga?"

Yang dipanggil sontak berbalik. Di tangannya ada secangkir minuman berwarna hitam. "Oh, halo, Nara. Saya mampir ke sini bawain kamu makan malam, tapi karena tadi kamu masih mandi, jadi saya taruh makanannya di ruang tamu," jelas Sagara. Sedetik kemudian, laki-laki itu mengangkat cangkirnya. "Kamu mau kopi? Saya bikinkan."

Nara menggeleng. "Saya nggak suka kopi," jawabnya. "Tapi omong-omong, terima kasih tadi Mas Saga sudah kirimin saya makan siang dan camilan lewat Pak Darwin. Terus sekarang dibawain malam juga. Maaf, jadi ngerepotin Mas terus-terusan."

Mereka mengambil tempat masing-masing di ruang tamu. Nara di sofa panjang dan Sagara di sofa tunggal. Di hadapan mereka, sudah ada sebuah plastik putih berisi sebungkus nasi goreng, serta sebotol minuman dingin.

"Selama kamu di sini, kamu jadi tanggung jawab saya, Nara. Jadi, kamu nggak perlu terus minta maaf begitu lagi. Sekarang, lebih baik kamu makan dulu. Saya mau selesaikan kerjaan saya sebentar."

Laki-laki itu meraih remote di atas meja dan menyalakan televisi. Setelah menemukan saluran yang diinginkan, ia kembali meletakkan remote dan beralih mengeluarkan laptop dari tas kerjanya.

Nara menghentikan gerakannya membuka bungkus nasi goreng. "Loh, saya kira Mas Saga juga ikut makan?"

"Enggak, kamu saja yang makan. Saya cuma perlu kopi ini saja," balas Sagara. Kemudian kembali fokus pada laptop.

Perempuan itu berdecak pelan. "Kopi mana bikin kenyang sih, Mas? Nggak dengar apa perut Mas barusan bunyi, gitu? Sudah, kerjanya nanti dulu, sekarang kita makan bareng. Lagian ini porsinya banyak banget, saya nggak akan bisa ngabisin."

"Kata siapa nggak bisa? Kan belum kamu coba."

"Tetap nggak akan bisa, Mas. Porsi makan saya dikit, kalau sebanyak ini bisa sampai besok siang habisnya. Pokoknya Mas Saga harus ikut makan. Kalau Mas nggak mau, saya juga nggak mau makan."

Nara menutup kembali bungkusan makanan itu dan memilih fokus pada tayangan televisi di hadapannya. Entah kenapa ia kesal pada Sagara. Pasalnya, ia sudah menuruti permintaan rumit Sagara, tapi kenapa laki-laki itu tidak mau menuruti permintaan sederhananya? Sekadar makan bareng—menghabiskan nasi goreng yang porsinya tidak sanggup ia habiskan sendiri—apa sih susahnya?

Hingga beberapa menit terlewati, tak ada suara selain suara televisi serta ketukan jari pada papan ketik. Nara masih tetap fokus menonton, pura-pura tak peduli juga ketika Sagara meletakkan laptop di ujung sofa panjang dan beranjak pergi.

Tak lama kemudian, Sagara kembali. Laki-laki itu meraih bungkusan nasi goreng itu dalam diam dan membukanya. Lalu menatap Nara.

"Ayo makan. Saya nggak mau kamu sampai sakit cuma gara-gara saya nggak mau diajak makan bareng," ucap laki-laki itu.

"Yes! Gitu dong, dari tadi. Saya sudah lapar banget, tahu!" Nara kemudian menyendok sesuap nasi goreng dan melahapnya.

"Salah kamu sendiri kenapa sok-sok ngambek kayak tadi."

"Biar Mas ngerasa bersalah."

"Astaga, dasar bocah."

Namun bukannya marah, Nara justru tertawa. Tawa lepas yang beberapa hari terakhir hanya terpendam di dasar dirinya. Tawa lepas yang entah kenapa mampu membuat laki-laki di sampingnya kesulitan mengalihkan pandangan dari perempuan itu.

Sudut bibir Sagara terangkat. Lucu, batinnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status