Hutan masih menelan mereka dalam gulita. Gonggongan anjing terdengar semakin dekat, membuat setiap langkah serasa dihantui bayangan kematian. Nafas Ravika berat, tubuhnya lelah, tapi ia terus memanggul Arven di punggungnya.“Sedikit lagi,” kata Darman sambil menyibak semak berduri. Wajahnya serius, penuh konsentrasi.Arven yang digendong Ravika mulai merintih pelan. “Bu… maaf, saya jadi beban…”Ravika menunduk, mencium rambut basahnya, lalu berbisik tegas. “Kau bukan beban. Kau alasan aku bertahan.”Kata-kata itu membuat Arven terdiam. Matanya berair, tapi juga menguat.---Setelah hampir satu jam berjalan tanpa henti, akhirnya mereka melihat sesuatu di kejauhan: bangunan tua dengan atap seng karatan, sebagian dindingnya ditelan lumut. Pondok itu berdiri miring di tepi bukit, seperti rahasia yang sengaja disembunyikan alam.“Itu dia,” ujar Darman sambil menunjuk.Ravika menahan langkah, kecurigaan muncul. “Apa kau yakin ini aman?”Darman menoleh, tatapannya mantap. “Percayalah. Tempat
Hutan malam itu bagai labirin hitam. Pohon-pohon menjulang, ranting-ranting bergoyang diterpa angin, dan suara serangga bercampur dengan derap langkah tergesa.Ravika berlari di depan, menggenggam erat tangan Arven. Nafasnya memburu, tapi ia tak berani berhenti. Darman menyusul di belakang, sesekali menoleh memastikan tak ada musuh yang terlalu dekat.“Cepat, ke arah barat!” seru Darman setengah berbisik. “Di sana ada sungai!”Suara motor makin jelas dari belakang. Lampu-lampu senter menembus kegelapan, menari di antara pepohonan.Arven terengah-engah, kakinya beberapa kali nyaris tersandung akar pohon. “Bu… saya nggak kuat lagi…”Ravika meremas tangannya, suara lirihnya penuh tekad. “Kau harus kuat, Arven. Kita nggak punya pilihan.”---Tiba di tepi sungai, mereka terhenti. Arus deras berkilau pucat diterangi cahaya bulan. Air dingin itu berisik, seolah memperingatkan bahaya.“Masuk,” kata Darman singkat.Arven terbelalak. “Masuk? Arusnya kenceng banget—”“Kalau kita tetap di sini, m
Hening malam itu pecah saat kaca jendela rumah kayu bergetar oleh bentakan keras.“Keluar, Ravika! Atau kami bakar tempat ini!”Suara pria asing menggema dari luar. Dua bayangan besar tampak di bawah cahaya bulan, senjata api berkilat di tangan mereka.Ravika menahan napas, berdiri di sisi jendela sambil merapatkan pistol ke dadanya. Arven berjongkok di sampingnya, wajahnya pucat tapi matanya penuh tekad. Sementara Darman sudah bersiap di dekat pintu, pisaunya siap melayang kapan saja.“Kalau mereka tahu nama Ibu, berarti Bayu udah pasti di belakang ini,” bisik Arven.Ravika menatapnya sekilas, memberi anggukan singkat. “Kau benar. Kita nggak bisa kabur lagi. Sekarang cuma ada dua pilihan: bertahan atau mati.”---Ketukan keras mengguncang pintu.BRUK!Kayu tua itu hampir jebol dengan sekali hantaman. Arven tersentak, tapi Ravika cepat meraih tangannya, memberi kekuatan lewat genggaman. “Tenang. Dengarkan aba-aba ku.”Darman mendekat, wajahnya serius. “Aku bisa keluar lewat belakang d
Langkah-langkah kaki mereka menyusuri jalan setapak yang semakin sepi. Sawah hijau terbentang di kiri, sementara deretan pohon jati menjulang di kanan. Udara pedesaan terasa lebih ringan dibanding kota, tapi Ravika tahu betul: Bayu bisa muncul di mana saja.Darman berjalan paling depan, sesekali menoleh ke belakang. Ia memerhatikan tanah becek yang mereka lewati. “Kita harus hati-hati. Setiap jejak bisa diikuti. Bayu punya orang-orang yang ahli memburu.”Arven menghela napas keras, wajahnya masih menyimpan sisa emosi semalam. “Jadi kita harus terus sembunyi kayak tikus? Nggak ada cara lain?”“Diam, Arven,” Ravika menegur lembut, meski matanya tetap menatap sekitar. “Ini bukan soal mau atau tidak. Ini soal hidup atau mati.”Arven menggertakkan gigi, tapi tidak menjawab. Ia hanya menunduk, berjalan lebih cepat hingga sejajar dengan Darman. Ravika memperhatikan anak itu dengan hati gelisah. Sejak percakapan mereka tadi malam, Arven semakin terlihat dewasa—tapi juga semakin rapuh.---Mer
Mobil hitam itu berhenti di tikungan, lampunya sengaja dipadamkan. Dari balik kaca gelap, Bayu duduk bersandar, wajahnya setengah tertutup topeng kain. Di tangannya, sebuah ponsel menyala, menampilkan rekaman kamera dari salah satu anak buahnya yang baru saja mengintai Ravika, Arven, dan Darman di pasar.“Lucu,” gumam Bayu, bibirnya melengkung membentuk senyum dingin. “Mereka pikir bisa lari. Padahal setiap langkah mereka sudah ada dalam catatanku.”Ia menekan tombol, mengirim pesan singkat. “Jangan bunuh mereka dulu. Biarkan merasa aman. Rasa takut yang panjang lebih menyakitkan daripada peluru.”---Di sisi lain pasar, Ravika tak bisa tidur. Angin malam menusuk kulitnya, sementara kepalanya penuh dengan pikiran kacau. Ia menoleh ke samping, melihat Arven yang tertidur bersandar di bahunya. Anak itu masih menggenggam tangannya, seolah takut kehilangan.“Dia masih muda sekali,” bisik Ravika, hampir tanpa suara.Darman yang duduk tak jauh darinya membuka mata. “Itu justru alasan kenapa
Langkah kaki Ravika, Arven, dan Darman berpacu dengan detak jantung mereka sendiri. Suara deru motor semakin mendekat, lampu sorotnya menyapu dinding-dinding kusam di sepanjang lorong sempit. Mereka tak punya banyak waktu.“Ke kiri!” seru Darman sambil menarik Ravika. Mereka menyeberang cepat, melewati gang kecil yang hanya cukup untuk satu orang berjalan miring. Arven terhuyung, hampir terjatuh, tapi Ravika meraih tangannya, menopang tubuhnya agar tidak menabrak dinding.Di belakang mereka, suara motor berhenti. Terdengar langkah-langkah berat, teratur, seperti lebih dari dua orang. Arven menoleh sekilas, wajahnya pucat. “Mereka turun! Mereka ngejar kita jalan kaki!”Darman merunduk, menempelkan tubuhnya ke dinding bata, matanya menyapu sekitar. “Ini buruk. Lorong ini buntu.”Ravika merasakan dadanya mencelos. “Lalu kita harus gimana?”Darman menatap dinding di sebelah kanan, setengah roboh, dengan pintu kayu reyot yang hampir terlepas dari engselnya. “Sini.” Ia menendangnya keras. K