"Padahal udah nyiapin baju banyak, kirain mau nginap seminggu." ucapku yang merasa sedikit sedih.
"Ya gimana dek besok harus datang, pekerjaan mas penting demi kita." Aku hanya menarik nafas panjang, tak menjawab karena sedikit kesal dengan bos mas Rama, yang selalu meminta mas Rama kerja di luar jam kerjanya atau lembur. "Gapapa nak, lain kali nginap lagi, ibu juga ga jauh dari kamu," ucap ibuku menenangkan. "Tapi Bu, Hana cuma mau nginap sama ibu, Hana rindu sama ibu!" terangku membantah. "Han, ini kan udah ketemu, kalau sudah jadi istri kamu harus patuh sama suami kamu, lain kali nginap lagi." Aku sedikit kecewa dengan perkataan ibu yang meminta ku untuk pulang. Apa ibu mengusir ku atau terusik dengan kedatangan ku? Tapi yang jelas ibu hanya ingin hubungan aku dan suami ku tetap baik-baik. Dengan berat hati terpaksa harus kembali pulang ke rumah mertua ku. "Mas pergi lagi ya dek, nanti kalau pulang mas kabarin, soalnya mas jadi orang penting untuk proyek ini." "Mas, aku ikut boleh?" tanyaku yang berharap di ia kan oleh suamiku. "Ga boleh dek, mas takut kamu ga nyaman." "Aku akan nyaman mas, atau aku juga ikut kerja biar kita bisa banyak nabung, jadi tukang nyuci atau masak pun gapapa!" seru ku yang berharap mas Rama setuju dengan ku. "Ga dek, biar mas yang kerja kamu cukup di rumah berdandan, dan rawat diri, urusan uang biar mas yang berusaha mencari kamu doakan saja rezeki kita lancar, lagian jam kerja di tempat mas ga nentu dan ada banyak lelaki disana." Aku hanya diam, padahal sebenarnya aku hanya tak ingin berada di rumah mertua ini. "Nanti banyak laki- laki tergoda mas takut kamu selingkuh." ucap mas Rama yang diiringi dengan cubitan di hidung ku. Aku hanya tersenyum berusaha untuk terlihat bahagia, tak mengapa harus menghadapi ujian pernikahan berupa mertua yang sering membicarakan keburukan tentang ku. "Kalian belum lihat kamarnya, ya Allah berantakan banget, udah gitu sampah makanan berserakan, kerjaan cuma dikamar kirain beres-beres ternyata kamarnya mau dijadiin sarang ular."Ucapan yang terdengar di telingaku berasal dari teras belakang, suaranya seperti suara ibu mertua. Tapi demi kewarasan dan kesehatan mental aku memilih untuk masuk ke kamar saja, padahal baru juga pulang sudah disuguhi pendengaran yang tidak baik tentang ku.
Saat ku dapati kamarku tidak berantakan, hanya saja beberapa baju dilemari tidak sepenuhnya tersusun rapi. "Tapi kenapa ibu mertua ku bilang kamar ini seperti sarang ular? apa ibu masuk di kamar ini?" tanyaku dalam hati. Kamar ini memang tidak dikunci, karena aku sungkan mengunci kamar sebab masih menumpang dirumah mertua. Takut dengan berbagai tanggapan yang tidak-tidak jika kamar ini harus ku kunci. Aku sibuk melipat baju yang tadi berserakan di lemari, karena kemarin terburu-buru mengambil beberapa lembar baju untuk menginap. Tapi rupanya hanya satu hari saja aku bisa menginap di rumah ibuku. "Menantu bisu ga tau malu ditumpangi hidup malah santai-santai saja dirumah ini." suara ibu mertua terdengar jelas saat aku membuka pintu kamar.Walaupun ibu mertua belum menyebutkan namaku tapi aku yakin kalimat itu tertuju padaku, karena hanya aku istri mas Rama yang masih menumpang dirumah ini.
"Tapi dia emang pendiam kayaknya Bu Jihan bukan bisu haha." sahut yang lain diiringi gelak tawa berbarengan. Bingung juga bagaimana cara memberitahukan semua ini pada mas Rama, sebab kami juga terbilang baru menikah. Yang ada nanti mas Rama menjadi tak suka padaku karena sampaian ku padanya menceritakan tentang ibunya. Dering telepon genggam berbunyi, dengan tertera nama Billa di layar. Ia merupakan sahabat akrabku, kami memulai persahabatan di bangku Sekolah Menengah Pertama. "Halo, Bil. apa kabar?" sapaku di balik telpon. "Halo, Han. aku baik-baik saja! kabar mu gimana?" Bila berbalik tanya. "Aku juga baik-baik saja Bil!" "Ngomong-ngomong maaf ya Han, tak sempat datang di hari pernikahan mu sama Rama. Sebab aku sibuk, ga ada cuti kerja jadi maaf ya ga datang!" Bila memang tak datang di hari pernikahanku, padahal kedatangan adalah yang paling aku tunggu. "Tidak masalah Bil, aku ngerti banget!" "Kamu memang paling ngerti sih Han hehe, eh ngomong-ngomong gimana rasanya menikah? bahagia ya?" tanya Billa padaku. Aku menarik nafas dalam. Harus ku jawab dengan kalimat bagaimana? aku juga tak bisa bercerita panjang tentang perlakuan mertuaku, lagipula aku juga belum lama menikah. "Kan cuma satu hari acaranya, jadi ga masalah kamu ga datang Bil. asal kadonya saja yang jangan lupa!" candaku pada Billa, untuk menutupi pertanyaan Billa barusan agar ia teralih dengan topikku. "Soal kado aman Han, beberapa hari lagi sampai kok! eh, kamu kok ga jawab aku nanya tadi?" Billa masih ingin bertanya tentang rumah tanggaku, lebih tepatnya tentang kebahagiaan ku. Saat asik berbicara via telepon dengan Billa tiba-tiba terdengar suara keras berulang kali dari dapur. "Maaf ya, Bil. nanti aku hubungi lagi!" bergegas ku matikan telepon dan menuju sumber suara."Mas kapan beli perlengkapan bayi? sekarang sudah mau mendekati hari perkiraan lahir!" ucapku pada mas Rama yang sibuk bermain ponsel. "Sabar, jangan terburu-buru! sekarang mas lagi tak punya uang!" Bagai petir di siang bolong ucapan mas Rama membuat badan bergetar hebat, bagaimana mungkin seorang mas Rama pekerja proyek yang digaji jutaan rupiah bahkan puluhan juta itu berkata tak punya uang. "Pakai uang tabungan dulu mas! kasian anak kita ntar lahir ga pakai baju!" "Mas bilang sabar ya sabar. Lagian bayi pun belum lahir nunggu saja kau tak bisa!" Betapa geram hati ini, mendengar perkataan mas Rama ia begitu berubah tak semestinya karena kehamilan ini juga atas permintaannya padaku. Jika tau begini mana mungkin aku mau mengandung benih darinya. "Mas punya kebutuhan yang lain dek, jadi sabar nanti mas sediakan keperluan anak kita!" "Sabar aja dulu lagian anak itu kan belum lahir!" ucap mas Rama lagi. Aku hanya mengusap dada, menahan sabar, selain menjaga mentalku aku j
Bulan demi bulan aku lalui hingga perutku sedikit membuncit menampakkan bahwa Hana tengah hamil. "Aku sudah muak melihat tingkah lakumu, jangan mentang-mentang kamu hamil kamu selalu bermalas-malasan begini!" ucap ibu mertua yang mengedor pintu kamar Hana. Tanpa memperdulikan ibu mertuanya justru Hana sibuk memainkan ponselnya mencari cara agar secepatnya ia menghasilkan uang agar nanti ia bisa menghidupi anaknya tanpa harus bergantung pada suaminya. "Hana apa kamu tuli? Ibu memanggil mu dari tadi! cepat bangun dan datangi ibu! jangan pemalas seperti ini!" ucap mas Rama yang juga ikut mengguncang tubuh Hana yang sibuk bermain hp membelakanginya. "Kaki ku kram, ototku mengencang aku tak ingin bekerja berat, aku lagi hamil!" "Selalu saja hamil menjadi alasanmu, apa kamu tak tau jika ibuku juga pernah hamil!" mata mas Rama menajam bahkan tangannya bergerak begitu kuat menarik Hana. Semasa kehamilan Hana hingga sekarang ia sama sekali tak berisitirahat menunaikan tugas rumah. Dan ta
Seharian aku dikurung di kamar menunggu pintu kamar terbuka agar bisa keluar dari neraka mewah ini."Hei, Hana kamu jangan bego! kamu pikir dengan kamu kabur dari rumah kamu bisa bebas? justru semakin memperkeruh suasana." ucap ibu mertuaku yang membuka pintu kamar."Kamu harus sadar diri, harus tau posisi kamu disini! kamu itu hanya wanita miskin yang beruntung menjadi istri anakku. Seharusnya kamu patuh sama suamimu, apa dengan kabur dari sini hidupmu akan bersinar? tentu saja itu tidak mungkin" sambungnya lagi."Kemasi kembali barangmu, jangan bikin malu aku dan anakku! atau jika benar kamu ingin pergi sekalian saja kamu minta cerai dengan Rama. Dia sama sekali tak akan menyesal pisah dengan wanita kampung sepertimu!"Aku hanya menghela nafas, mulutku terasa kaku, bingung antara harus tetap diam atau menjawab perkataan ibu mertuaku. Setelah menikah aku pikir aku bisa mencapai titik bahagia itu, tapi ternyata aku harus banyak berlapang dada menghadapi satu persatu ujian rumah tangg
Saat diriku ingin bersembunyi didalam kamar, tapi aku tertangkap basah oleh Vika. "Ini orangnya, dari mana kamu?" tanya Vika membuat semua pasang mata menatap tajam kearah ku. "Nganterin makanan buat mas Rama!" jawabku kemudian ingin berlalu masuk kamar. "Mana mungkin Rama mau makanan dari rumah, makannya kan ditanggung proyek setempat, biasanya juga mereka catering makan enak-enak. Ga mungkin banget kalo Hana ngantar makanan buat Rama." timbal Vika. "Paling nganter ke rumah ibunya, mungkin ibunya udah kehabisan beras kali. Makanya saat kita ga ada dirumah dia buru-buru masakin!" sahut ibu mertuaku. "Ibunya kerja apa sih Bu?" tanya salah satu tetangga. "Jual badan, mungkin." timpal salah satunya. Aku menarik nafas panjang, membuka pintu kamar dengan keras, menghampiri sekumpulan ibu-ibu di teras dapur. "Enak aja, Ibuku ga serendah itu Bu tolong kalau ngomong mulutmu dijaga!" aku mengepalkan tangan ingin sekali ku tampar wanita tua yang membicarakan ibuku barusan. "Sia
Sebulan kemudian."Mas kamu suka kopi kan?" aku menyuguhkan secangkir kopi pada mas Rama. Akhir akhir ini aku memang jarang menyuguhkan kopi padanya, selain karena kesibukan masing masing juga karena mas Rama di pagi buta sudah berangkat kerja hingga kadang lupa meminum kopi buatanku."Suka dek, tapi mas ga bisa kalau terusan minum kopi, soalnya asam lambung mas sering naik. Kadang kambuh saat mas sedang sibuk dengan kerjaan sampai di marahin bos dibilang alasan belaka." mas Rama menyeruput kopi yang masih panas, iya dia penikmat kopi pahit dan panas."Kalau lagi kerja terus kamu sakit, izin aja mas. Biar aku bisa ngerawat mas. Urusan kerjaan bisa di kerjakan nanti yang penting kesehatan nomor satu!" aku memperingati mas Rama dan kemudian mendekatinya dan memijat bahunya. "Kamu baik banget dek, mas jadi makin cinta sama kamu." mas Rama menyium telapak tangan ku."Mas berangkat dulu ya, kamu jaga diri baik-baik!"Aku mengantar mas Rama tepat di depan pintu gerbang, akhir-akhir ini hat
Karena khawatir aku mengalihkan, permasalahan Vika dan Zian, aku berdalih keluar dan ingin memberikan uang pada Vika sesuai nominasi yang ia minta tadi."Vika!" aku berteriak memanggil Vika agar Zian dan ia berhenti bertengkar diruang tamu."Kak, Vika ada di kamar lagi istirahat." jawab Zian yang menunduk, seperti menutupi sesuatu, padahal aku sudah tau walau tak menyaksikan dengan mata langsung."Tolong kasi ini ke Vika ya, katanya tadi Vika mau uang 100 ribu." aku menyodorkan uang kertas bernominal 100 ribu itu pada Zian."Makasi kak, nanti aku berikan ke Vika." Zian menyunggingkan senyum ragu padaku.Tak ingin berlama aku pun kembali ke dapur,"Semoga Vika ga kenapa-kenapa kasian juga dengannya."batinku berbisik, Kemudian ku kerja kan semua tugas dapur, karena sudah tentu jika satupun yang kurang atau belum terselesaikan aku pasti bakal di cap menantu pemalas oleh ibu mertuaku."Dek, mas pulang," suami ku mas Rama mengagetkan ku, ia tiba-tiba saja memeluk ku dari belakang, membuat