Share

Ibu Mertua Melarang BerKB
Ibu Mertua Melarang BerKB
Author: Widya Yasmin

Permintaan Ibu Mertua

"Banyak anak banyak rezeki itu omong kosong, yang ada kalau banyak anak tapi keadaan belum mapan itu namanya nyiksa anak."

Langkahku terhenti saat mendengar suara obrolan ibu-ibu yang sedang mengelilingi tukang sayur. Aku mengurungkan niat untuk berbelanja karena pasti aku akan jadi bahan obrolan di sana. Topik mereka setiap harinya hanya akan membahas diriku yang hobby beranak seperti kelinci dan tidak mempedulikan masa depan anak-anakku.

"Kenapa balik lagi?" tanya ibu mertua saat melihatku kembali tanpa membawa sayuran.

"Aku capek, Bu, jadi bahan omongan mereka."

"Mereka siapa?"

"Ya Bu Susi, Bu Ratna dan Bu Sumiatun."

"Memangnya mereka ngomong apa sama kamu sampe kamu gak mau berbaur gitu?"

"Ya apalagi selain membahas anakku yang banyak padahal usiaku baru 32 tahun, tapi anakku sudah 4."

"Bilang sama mereka, mau punya anak 4, kek, mau punya anak 5, kek, masalahnya apa buat mereka, toh kita gak pernah minta makan sama mereka!"

Aku hanya menghela napas, lelah rasanya harus beradu argumen dengan para tetangga. Sebenarnya aku setuju dengan ucapan mereka yang mengatakan bahwa seharusnya aku menggunakan KB. Setidaknya jika memiliki dua orang anak saja, aku masih bisa mengurus badanku. Setidaknya hidup ini tidak terlalu sulit, karena kebutuhan hidup tidak sebanyak sekarang.

Alasan aku tidak menggunakan KB adalah permintaan ibu mertua. Ia bersikeras agar aku memberikan banyak cucu untuknya. Aku tidak masalah memiliki banyak anak jika kehidupan kami serba berkecukupan atau setidaknya memiliki rumah pribadi, tapi kenyataannya, rumah saja kami masih ngontrak.

Bayangkan, kami tinggal bertujuh dalam satu rumah yang hanya memiliki dua buah kamar.

"Kan kamu bisa pakai KB diam-diam." Itu yang disarankan para tetangga.

Betul sekali, aku memang pernah berniat melakukannya. Namun, belum sempat niat itu terlaksana, ibu mertua sudah mengatakan kalimat yang membuat mulutku seketika menganga.

"Kalau kamu diam-diam menggunakan KB, maka saya akan menyuruh Andre buat menceraikan kamu."

Nahasnya suamiku adalah seorang lelaki yang selalu mendengarkan ucapan ibunya, apapun yang ibunya katakan akan dia turuti termasuk menceraikanku. Lalu yang lebih bodohnya lagi adalah aku. Karena aku terlalu cinta mati pada suamiku hingga akan melakukan apapun demi mempertahankan rumah tangga kami. Bucin dan bodoh, itu yang para tetangga katakan padaku, terserah mereka berkata apa, karena perasaan ini tidak bisa mereka rasakan.

"Kalau aku berKB, setidaknya aku kan bisa membantu Mas Andre bekerja, Bu."

"Pekerjaan kamu itu ngurus cucu-cucu ibu dan menemani ibu di rumah."

Apakah ibu mertuaku egois? Iya, bisa dibilang begitu. Namun, ia selalu membantuku mengurus keempat anakku jika aku sedang mengerjakan pekerjaan rumah. Jujur saja terkadang aku merasa iba padanya, di usianya yang sudah tak muda lagi, dia harus repot mengurus anak-anakku yang tidak bisa diam.

Ibu mertua berusia 57 tahun, sementara suamiku adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Kedua kakak suamiku tinggal di Kalimantan bersama istri masing-masing, setelah sebelumnya mereka menipu ibunya sendiri dengan menjual rumah peninggalan kakek dan nenek suamiku. Itulah alasannya kini ibu mertua tinggal bersama kami di kontrakan yang sempit, sementara ayah mertua telah lama meninggal bahkan sebelum aku dan Mas Andre menikah.

Suamiku pernah bercerita bahwa mereka dulunya adalah keluarga kaya raya. Namun, setelah suamiku wisuda, ayahnya meninggal dunia. Suamiku bilang, tidak lama setelah itu datang pengacara yang menyita semua harta kekayaan mereka karena katanya ayah mertua memiliki hutang yang sangat banyak. Setelah itu mereka semua menempati rumah peninggalan kakek dan nenek suamiku. Namun, rumah itu malah dijual diam-diam oleh para kakak ipar yang menurutku tidak memiliki hati.

Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, suamiku bekerja sebagai tukang angkot. Sebenarnya ia pernah bekerja di sebuah perusahaan, karena memang ia telah menjadi sarjana. Namun, karena difitnah oleh temannya menggelapkan uang perusahaan, suamiku tak hanya dipecat secara tidak hormat, ia juga jadi kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan lain. Itulah alasannya suamiku kini memilih menjadi seorang sopir angkot.

"Melati, mana sini uang belanja, biar ibu saja yang beli sayuran," ujarnya hingga membuat lamunanku buyar.

"Aku aja, deh, Bu. Aku gak mau ngerepotin."

"Kelamaan kalau nunggu mereka bubar," ujarnya.

Setelah itu aku langsung memberikan selembar uang berwarna biru padanya.

"Jangan lebih dari 30 ribu ya, Bu, belanjanya."

"Iya, ibu ngerti, kok," ujarnya lalu bergegas menghampiri kerumunan tetangga yang mengelilingi tukang sayur.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara ibu mertua yang begitu lantang. Karena penasaran, aku segera bergegas keluar, meninggalkan anak bungsuku yang berusia 3 tahun.

"Memangnya kenapa kalau menantu saya banyak anak? Ngaruh sama kalian?" ujar ibu mertua sembari bertolak pinggang.

"Saya cuma prihatin sama Andre, dia harus menafkahi ibunya yang sudah tua, ditambah istrinya yang gak bekerja, lalu anak 4 orang yang membutuhkan banyak biaya, mana rumah cuma ngontrak lagi."

"Andre itu anak saya, ngapain kamu repot-repot ngurusin anak saya!" bentak ibu mertua sembari membulatkan matanya.

"Udah, Bu, jangan diladenin."

Aku segera menarik tangannya untuk segera pulang. Sebelum itu aku segera membeli sayuran yang kubutuhkan terlebih dahulu, karena rupanya sejak tadi ibu mertua belum sempat berbelanja.

"Melati, kamu itu bodoh karena bertahan dengan mertua egois seperti dia, kamu itu bukan kelinci yang tugasnya hanya beranak terus," ujar Bu Susi.

"Hei Kuntilanak bermuka dua, tadi kamu jelek-jelekin Melati, sekarang kamu jelek-jelekin saya!" timpal ibu mertua.

"Sudahlah, Bu, abaikan saja dia," ujarku lalu menarik tangan ibu mertua untuk bergegas pulang.

"Dasar Kuntilanak, ikut campur aja sama hidup orang!" gerutu ibu mertua setibanya di rumah.

"Sebenarnya, apa yang mereka katakan benar, Bu. Seharusnya aku mencari kerja, agar bisa membantu Mas Andre."

"Gak perlu! Tugas kamu hanya mengurus anak dan menemani ibu. Sudah berapa kali ibu mengatakan hal tersebut, harusnya kamu gak usah lagi bertanya. Kalau perlu, kamu beri ibu satu cucu lagi."

"Apa?" Seketika mulutku langsung menganga saat mendengar penuturannya.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status