Share

Pembully Anakku

"Apa Ibu bilang? Ibu minta aku punya anak lagi?"

"Enggak, ibu bercanda, kok, 4 cucu sudah cukup. Tapi nanti kalau Aurora sudah besar gak apa-apa, kan, kalau ibu minta cucu lagi?"

Aku hanya tersenyum getir, karena sebenarnya aku sudah menggunakan KB IUD setelah melahirkan anak keempat. Sebenarnya niat tersebut sudah kurencanakan setelah melahirkan anak kedua, tapi ibu mertua bersikeras agar aku memberikan 4 orang cucu untuknya. Bahkan ia pernah mengancam akan bunuh diri jika keinginannya tidak dituruti.

Ibu mertua memang sangat berbeda, disaat banyak mertua membenci menantunya yang memiliki banyak anak karena dinilai akan menyusahkan anak lelakinya, ibu mertua malah memaksaku untuk memiliki banyak anak. Disaat banyak mertua menginginkan menantu yang bekerja, ibu mertua malah bersikeras agar aku selalu di rumah. Dan yang lebih anehnya lagi adalah aku, dengan semua keegoisannya itu aku malah sangat menyayangi ibu mertuaku.

"Kalau begitu aku masak dulu ya, Bu."

"Iya, silahkan, biar ibu jaga anak-anak kamu," ujarnya sembari menemui kedua anakku yang tengah anteng bermain boneka.

"Nenek akan menceritakan dongeng mau, gak?" tanyanya sembari duduk di sebelah anakku yang berusia 3 dan 5 tahun itu.

Keduanya tampak antusias, lalu berebut ingin duduk di pahanya. Ibu mertua memang sangat lembut, hingga keempat anakku sangat dekat dengannya. Tiba-tiba aku teringat doaku saat aku masih remaja. Aku pernah berdoa diberikan ibu mertua yang bisa menyayangiku seperti putri kandungnya sendiri, juga menyayangi anak-anakku. Saat itu aku sering mendengar banyak yang mengatakan bahwa kebanyakan mertua hanya menyayangi cucu dari anak perempuannya, sementara cucu dari anak lelaki selalu dipilih kasih.

"Ya Allah berikanlah aku mertua yang menyayangiku juga anak-anakku, karena memiliki mertua yang menyayangiku merupakan rejeki yang tak terkira."

Begitulah doa yang kupanjatkan kala itu, andai saja saat itu aku meminta mendapatkan suami dan mertua konglomerat, mungkin saat ini aku telah bergelimang harta.

"Tempenya gosong, tuh," ujar mertua hingga membuyarkan lamunanku.

"Astaghfirullah, Ibu ngagetin aja, tempenya gak gosong, kok."

"Hahhaha, habisnya kamu melamun terus," ujarnya sembari bergegas mendekati tempat mencuci piring.

"Anak-anak kok gak ada suaranya, Bu?"

"Mereka sudah tidur," ujarnya sembari mencuci piring.

"Biar aku aja, Bu."

"Gak apa-apa," ujarnya sembari tersenyum ke arahku.

Menjelang siang, kedua anakku yang duduk di kelas 5 dan 3 SD telah pulang. Seketika aku langsung terhenyak saat melihatnya basah kuyup dan bau pesing. Tak hanya itu, pakaiannya dipenuhi noda hitam yang tampaknya oli.

"Astaghfirullah, apa yang terjadi?" tanyaku dengan mata membelalak.

"Gak usah kaget begitu, Bu, sebagai anak yang paling miskin kami biasa dibully seperti ini."

"Siapa yang melakukannya?"

"Hendrik, si anak paling kaya di sekolahku. Ayahnya adalah donatur terbesar, jadi Ibu gak akan mungkin mampu melawannya."

Aku langsung mengajak mereka ke kamar mandi, lalu segera mencuci pakaiannya. Air mataku tak berhenti mengalir saat mengingat penderitaan yang harus dialami kedua anakku. Sementara aku tak sanggup untuk berbuat apa-apa. Selain itu aku juga tak memiliki pegangan untuk membeli seragam baru. Karena uang nafkah dari suamiku selalu pas-pasan untuk makan, tabungan untuk bayar kontrakan, juga kebutuhan lainnya.

"Mulai besok, aku gak usah sekolah aja, Bu. Aku tahu, kok, Ibu gak punya uang buat beli seragam, kan?" ucap Aldi lagi, sementara Arka sejak tadi hanya menangis tanpa mampu berkata sepatah katapun.

Mendengar ucapannya, air mataku kembali mengucur dengan deras, karena memang aku tak memiliki uang sepeser pun. Selembar uang berwarna merah yang semalam diberikan suamiku sudah habis dibelikan lauk, gas juga jajan anak-anak.

"Ini anting ibu, jual aja buat beli seragam," ujar mertua tiba-tiba.

"Bukankah anting itu sangat berharga karena itu satu-satunya peninggalan dari orangtuanya Ibu?"

"Gak apa-apa, yang penting cucu-cucu ibu bisa kembali sekolah," ujarnya.

"Apa kita cari kontrakan yang lebih murah lagi aja, Bu, biar aku bisa nabung."

"Mau semurah apa lagi? Kontrakan di Jakarta itu paling murah satu juta. Apa kamu mau kita tinggal di rumah petak yang gak ada kamarnya?"

Aku hanya terdiam mendengar ucapannya, lalu segera memberikan pakaian untuk anak-anakku yang sudah kedinginan.

"Siapa tadi yang ngencingin kamu?" tanya ibu mertua pada Aldi.

"Hendrik, Nek."

"Nama orangtuanya?"

"Nama orangtuanya Wirawan Kusuma." Aku menyahut.

"Kok kamu tahu?"

"Sebelum ini, Aldi pernah dikencingi, makanya aku mendatangi sekolahnya untuk meminta bertemu dengan orang tua anak tersebut. Namun, bukannya minta maaf, aku malah diancam untuk diam, karena kalau tidak, Aldi dan Arka akan dikeluarkan dari sekolah."

"Miris," ujar ibu mertua dengan wajah masam.

"Ya, namanya juga orang miskin, kita harus menerima kenyataan bahwa kita harus selalu mengalah."

"Sudahlah, jangan berisik! Sana cepetan ke toko emas, jual anting ibu buat beli seragam."

"I..iya, Bu."

"Sepatuku juga sudah bolong, Bu. Sepatu itu kan pemberian tetangga," ujar Aldi dan Arka serentak.

"Sepertinya anting ibu cukup untuk membeli seragam dan sepatu." Ibu mertua menyahut.

"Maaf, ya, Bu, gara-gara anak-anak Melati, ibu harus kehilangan anting ini."

"Udahlah, gak usah lebay, dia juga cucu saya, kok," ujarnya dengan wajah masam.

Meskipun ekspresinya terlihat sangat judes, tapi aku tahu, dia sangat menyayangiku juga anak-anakku.

Setelah itu aku bergegas menuju toko emas. Aku langsung memberikan anting tersebut, lalu pemilik toko langsung memeriksanya terlebih dahulu karena anting tersebut tanpa surat.

"Laku 2 juta rupiah," ujar pemilik toko emas yang membuatku terhenyak.

Rupanya anting milik ibu mertua lumayan mahal juga, padahal terakhir kali aku membeli anting harganya hanya 300 ribu.

"Jual emas ya, kasihan banget," ujar Bu Ratna dan Bu Susi saat pemilik toko emas menyerahkan 20 lembar berwarna merah padaku.

Entah mengapa dua kuntilanak itu selalu saja muncul saat di mana pun.

"Kalau saya sih mau beli kalung yang 10 gram," ujar Bu Ratna.

"Yang 24 karat." Bu Susi menyahut.

"Oh, gitu, ya, Bu. Tapi saya gak tanya." Aku menjawabnya seanggun mungkin, tak lupa kusunggingkan senyum termanis untuk dua makhluk julid itu.

"Kasihan, gak pernah punya perhiasan emas, kan? Emas kawin aja dijual," ledek mereka.

Tanpa memedulikan ucapan mereka, aku bergegas menuju toko seragam juga sepatu. Setelah mendapatkan semua yang kubutuhkan, aku segera pulang.

"Kenapa wajahmu masam begitu?" tanya ibu mertua saat aku tiba di rumah.

"Tadi saat di toko emas, aku bertemu dengan Bu Ratna dan Bu Susi, mereka seperti biasa pamer karena mau membeli kalung emas, lalu aku diledek karena gak pernah memakai perhiasan emas."

"Kamu mau emas?" tanya ibu mertua tiba-tiba dengan wajah serius.

"Aku sadar diri, kok, Bu. Memiliki perhiasan emas sangat sulit bagiku."

"Melati, sebenarnya ibu ini punya emas seberat 65 kilo gram," ujarnya tiba-tiba hingga membuatku terhenyak.

"Ibu serius?"

"Tentu saja."

"Emas apa sampai sebanyak itu? Emas batangan?"

"Mas Andre," jawabnya sembari tertawa terpingkal-pingkal.

Sementara aku langsung mendengus kesal lalu bergegas menuju kamar.

Keesokan harinya kedua anakku pulang sekolah dengan wajah sumringah.

"Kalian kenapa?"

"Hendrik dan teman-temannya yang mengerjaiku kemarin dikeluarkan dari sekolah."

"Hah, kok bisa?"

Aku langsung terkejut karena aku, suamiku atau pun ibu mertua sama sekali tidak mendatangi sekolah untuk mengadukan perbuatan mereka. Aku sengaja membiarkannya karena aku masih ingat ucapan kepala sekolah yang mengatakan bahwa mereka tak bisa melakukan apapun untuk mencegah Hendrik berbuat nakal.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status