Kesunyian melanda Aleena dan Asher malam ini. Setelah Theo tertidur beberapa menit yang lalu, kini tinggal Aleena dan Asher berdua di sana. Aleena tampak merapikan barang-barang milik Theo karena besok pagi Theo sudah diizinkan pulang. Asher menarik lengan istrinya dengan perlahan hingga Aleena menatapnya. "Kenapa?" tanya wanita itu. "Sudah besok pagi saja, sekarang istirahatlah," ujar Asher. "Kau bisa sakit kalau kelelahan." Mendengar hal itu, Aleena pun meletakkan kembali tas besar berisi pakaian milik Theo ke atas meja. Aleena duduk di sebuah sofa di samping Asher. Mereka saling diam selama beberapa detik sebelum Asher merangkul dan mengusap-usap pucuk kepala Aleena. "Besok pulang ke rumahku, apa kau setuju?" tawar Asher dengan nada penuh penawaran. "Bagaimana dengan Papaku?" lirih Aleena. "Aku tidak tega meninggalkan Papa sendirian." "Papa akan baik-baik saja, Aleena." Asher merangkul hangat istrinya. "Theo sangat membutuhkanmu, aku tidak enak hati bila Theo tinggal denga
Setelah kondisi Theo membaik, pagi ini pun dokter memperbolehkan Theo untuk pulang. Aleena tampak sibuk merapikan beberapa barang-barang milik Theo di sana. Sedangkan Theo kini bersama dengan sang Kakek. Dengan Liam, anak itu banyak tertawa dan ada saja yang bisa membuat Theo gembira. "Kakek, Theo mau gendong! Theo mau pulang ke rumah Kakek!" seru anak itu dengan wajah berseri-seri memeluk leher Liam. "Iya, kita pulang ke rumah Kakek, Sayang. Kakek sudah meminta Bibi memasak yang banyak," seru Liam sambil mengusap pucuk kepala Cucunya. "Wahhh ... nanti Theo juga mau lihat kelinci di taman belakang ya, Kek," ujar anak itu. Liam mengangguk mengiyakan permintaan cucunya. Mendengar ocehan Theo yang antusias, Aleena pun tersenyum. Wanita itu sudah siap dengan membawa satu tas berisi pakaian milik Theo. Lalu, Aleena menyerahkan pada Jordan untuk dibawa ke dalam mobil. Tak lama setelah itu, tampak Asher muncul. Laki-laki itu baru saja keluar dari ruangan dokter, Asher mel
Asher bersungguh-sungguh ingin mengajak Aleena pergi bersamanya malam ini. Dengan keberanian penuh, Asher menemui Liam dan meminta izin pada Papa mertuanya. Liam yang kini tengah duduk bersantai di teras bersama Theo yang asik bermain dengannya. "Pa," sapa Asher mendekati Liam. Laki-laki tua itu hanya menoleh sekejap dan mengangkat dagu. "Hm, ada apa?" "Emm ... malam ini saya ingin mengajak Aleena pergi bersama, saya ingin mengajaknya makan malam bersama di luar, Pa," ujar Asher dengan sopan. Liam menatap Asher dengan tajam, sebelum akhirnya laki-laki tua itu menyergah napasnya panjang dan bosan. Asher sudah was-was, entah kenapa biasanya ia menghadapi musuh bisnis dengan tenang, tapi berbeda dengannya saat menghadapi Liam. "Asher ... Asher, itu terserah kau! Kau bilang sendiri anakku itu istrimu, kan?!" tegas Liam. "Bawa saja, senangkan Aleena. Tapi jangan macam-macam kau, ya! Aku mengizinkanmu karena kau dan Aleena masih memiliki status, dan ... aku kasihan saja padamu. Sepe
Setelah kembali dari kediaman Aleena, Asher pun segera pulang. Saat ia sampai di rumah, di sana tampak mobil merah milik kedua orang tuanya terparkir di depan. Asher menduga, Mama dan Papanya pasti datang mencari Theo saat ini. Asher berjalan menaiki anak tangga teras, ia langsung disambut oleh Devon. "Tuan Asher," panggilnya lirih. Laki-laki dengan balutan kemeja berwarna hitam itu menghentikan langkah Asher. "Tuan dan Nyonya besar ada di dalam. Beliau mencari Tuan Kecil." Asher mengangguk dan melewati Devon tanpa mengatakan sepatah kata. Ajudannya itu paham, mungkin Asher akan sedikit mengabaikan orang tuanya karena Asher tidak ingin lagi Mama dan Papanya ikut campur urusannya dan juga Aleena. Langkah Asher memasuki rumah keluarga, laki-laki itu ditatap lekat oleh Mama dan Papanya. "Asher, mana Theo?" tanya Camelia sambil beranjak dari duduknya. "Jangan bilang kau meninggalkan Theo di rumah Aleena?!""Kenapa?" Asher segera duduk di hadapan Mama dan Papanya. "Theo di rumah Mama
Setelah Aleena menunggu, Asher pun tiba malam ini. Laki-laki tampan berbalut tuxedo hitam itu datang tepat di pukul tujuh malam. Kedatangan disambut oleh Aleena dan Theo. Tampak Asher terpana melihat Aleena yang begitu cantik dengan dress biru muda yang wanita itu pakai malam ini. "Papa sudah datang..." Theo melambaikan tangannya melihat Asher sudah datang. Pandangan Asher tertuju pada si kecil yang hangat menggunakan baju hangat, berdiri menggandeng tangan sang Mama. Pemandangan ini membuat Asher tersenyum, betapa bahagianya ia melihat anak dan istrinya menyambutnya seperti ini. Ini semua adalah hal yang ia impikan dan dambakan selama ini. Begitu Asher mendekat, Theo langsung berlari ke arahnya dan memeluk Asher dengan erat. "Papa..." "Iya, Sayang," jawab Asher sambil mengecup pipi Theo dengan gemasnya. "Wangi sekali anak Papa, hm?" "Iya dong, kan Mama yang mandikan Theo!" seru anak itu sambil memiringkan kepalanya dan tersenyum berseri-seri. Asher terkekeh mendengarnya, ia
Acara makan malam ini mengingatkan Aleena saat ia diajak makan malam pertama oleh Asher beberapa tahun yang lalu. Mengingat saat itu, Asher adalah sosok laki-laki yang kaku dan dingin. Berbeda dengan laki-laki yang kini berada di depannya sekarang. Memperhatikan Aleena yang tengah senyum-senyum sendiri diam-diam membuat Asher mengerutkan kening. "Kenapa, Sayang?" tanya Asher tiba-tiba. "Hm?" Aleena mengangkat wajahnya. "Kenapa senyum-senyum sendiri? Apa yang membuatmu tersenyum seperti itu, hm?" tanya Asher. Aleena meletakkan sendok dan garpunya di atas meja, gadis itu tersenyum tipis menatap Asher dengan lekat. "Kau ingat, tidak ... saat dulu kita pergi makan malam bersama? Kau memintaku memesan makanan yang paling rekomended, tapi saat itu ... aku sangat takut padamu," ujar Aleena. Asher menghentikan kunyahannya. "Aku padahal tidak mengerikan sama sekali, tapi heran saja ... kau takut padaku." "Kau tidak sadar, ya? Kau kan sangat galak," ujar Aleena cemberut. "Aku masih dua
Sampai hari sudah malam, Asher masih berada di kediaman Aleena. Theo tidak kunjung tidur malam ini, anak ini malah mengajak Mama Papanya bermain dan bercanda. Suara gelak tawa Theo terdengar begitu seru. Asher menemaninya bermain di ruang tengah, dengan Aleena yang tampak mengantuk. "Papa, Papa ... ayo lagi, dinosaurusnya naik ke mobil itu!" seru Theo menarik-narik lengan Asher. Asher sendiri kini melirik Aleena yang meletakkan kepalanya di bantal dengan kedua lengannya memeluk perut Asher dari samping. "Pa ... ayo main lagi," seru Theo menarik-narik lengan Papanya. "Sssttt..." Asher meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Theo pun langsung diam, anak itu menoleh ke arah telunjuk tangan Asher yang mengarah ke telunjuk Aleena. Anak itu mengerjapkan kedua matanya saat tahu Mamanya tertidur. "Jangan ramai, Sayang. Mama mengantuk ... kasihan Mama lelah, seharian Mama menjaga Theo," ujar Asher pada si kecil. Anak itu pun langsung mengambil bantal, Theo meletakkan satu bantal d
Keesokan paginya, Asher kembali dari kediaman Aleena saat hari masih sangat pagi. Laki-laki itu tampak bersiap, hari ini ia akan pergi, Asher akan kembali menemui Marsha.Kini, Asher tampak bersiap-siap di dalam kamarnya. Sampai tiba-tiba pintu kamarnya pun terbuka, dan muncul Jordan masuk ke dalam kamar Asher. "Selamat pagi, Tuan Asher..." "Pagi," jawab Asher, ia menoleh ke belakang. "Ada apa, Jordan? Apa Pengacara Hensen sudah ke sini?" "Sudah, Tuan. Beliau meninggalkan berkasnya pada saya." Asher mengangguk. "Hm, baiklah," jawabnya. Jordan lalu mengulurkan tangannya yang tengah membawa ponsel dan memberikan pada Asher. "Tuan juga mendapatkan pesan dari Tuan Darren, malam ini mereka ingin mengajak Tuan dan Tuan Kecil makan malam bersama," ujarnya. Kegiatan Asher hendak mengancingkan tuxedo hitamnya pun terhenti. Laki-laki itu menoleh dan menatapnya dengan tatapan tak biasa. "Tumben sekali," ucap Asher."Entahlah, Tuan. Saya harus menjawab bagaimana?" "Katakan pada Papa, aku
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk pergi bersamanya. Malam ini adalah malam yang sangat dinanti-nantikan oleh Arabelle. Perayaan tahun baru yang sudah dari lama ia tunggu-tunggu. Meskipun rencana Arabelle dari awal gagal total, dari ingin menemani Theo bertanding basket, sampai kini mereka pergi ingin melihat pesta kembang api, tapi Arabelle berharap kali ini tidak boleh gagal. "Hemmm ... sepertinya bahagia sekali," tanya Theo melirik Arabelle, sebelum kambali fokus mengemudikan mobilnya. Gadis cantik itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Tentu saja," jawab Arabelle. "Aku hampir berpikir tidak ada harapan lagi untuk melihat perayaan pesta kembang api malam ini, Kak. Tapi ternyata, Tuhan berkata lain..." Theo tersenyum. "Aku selalu berdoa sepanjang hari agar apapun yang kau harapkan bisa Tuhan kabulkan, Arabelle," ucap Theo. "Benarkah?" Arabelle tersenyum menatapnya. Theo terkekeh gemas tanpa menjawabnya, ia mengulurkan satu tangannya dan mengu
Theo datang seperti biasa. Kedatangannya kali ini disambut oleh Jordan, laki-laki yang selalu ia panggil Paman sejak kecil itu kini menjadi lebih dekat dengan Theo. Mereka berdua duduk di ruang tamu, menunggu Arabelle yang tengah bersiap, karena Theo bilang kalau Arabelle diminta oleh Aleena datang untuk makan malam bersama. "Beberapa hari ini Paman jadi jarang melihatmu, Theo," ujar Jordan sambil menyalakan sebatang cerutu di tangannya. Theo tersenyum tipis. "Iya, Paman. Paman terlalu sibuk, aku juga sibuk," jawab Theo. "Heem. Paman membantu Papamu mengurus proyek yang ada di Palonia," jawab Jordan. "Paman yakin, dengan kepintaranmu, kau bisa ikut campur dalam proyek itu andai kau tidak sibuk dengan sekolahmu. Paman selalu mengajarimu nanyak hal, bukan?" Mendengar ucapan Jordan, Theo hanya terkekeh saja dan mengangguk. "Untuk beberapa bulan ini aku akan fokus pada pendidikanku dulu, Paman. Setelah itu, aku akan fokus membantu Papa," jawabnya. "Aku mungkin tidak akan mau lanjut
Puas berputar-putar mengelilingi kota dengan bus kota sambil menikmati hujan salju yang turun malam ini. Arabelle dan Theo bernostalgia mengenang masa kecil mereka saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak saat bus melewati sekolah mereka. "Kau sudah pamit pada Ayahmu kalau akan pulang terlambat?" tanya Theo menatap Arabelle. Gadis cantik itu mengangguk. "Iya, Kak. Aku sudah pamit," jawabnya. "Baguslah." Theo mengusap pucuk kepala Arabelle. Arabelle duduk diam menatap salju yang turun, gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Sedangkan Theo merangkulnya dengan satu lengannya. Mereka sama-sama menatap hujan salju di luar yang sangat indah malam ini. "Kak Theo, aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Arabelle menoleh menatap Theo. "Sesuatu apa?" Theo menaikkan kedua alisnya. "Emm ... besok Kak Theo tanding basket, kan?" cicitnya. "Hm." Theo bergumam, ia masih terus menatap wajah cantik Arabelle. "Kenapa?" "Mungkin aku tidak bisa datang," ucap Arabelle jujur. "Besok pagi
Satu Minggu kemudian.Arabelle tampak murung siang ini di sekolah. Gadis itu menatap ke arah jendela luar di sekolahnya. Pandangan mata Arabelle sudah pulih, meskipun ia tidak bisa memandang jarak jauh, namun setidaknya Arabelle sudah bisa menatap sesuatu di dekatnya. "Arabelle, hmm ... kau kenapa diam saja? Ayo, kita ke super market di depan, kita beli cemil," ajak Vivian menarik lengan Arabelle. "Uang sakuku tertinggal di kamar, Vian," jawab Arabelle menatap Vivian. "Yahh, bagaimana bisa?" Vivian mengerjapkan kedua matanya. "Pakai uangku saja, ayolah..." Arabelle mendengus pelan. Mau tidak mau Vivian sudah menarik lengannya lebih dulu. Arabelle pun ikut beranjak dari duduknya. Gadis itu merapatkan kembali jaket seragam berwarna biru dan putih yang ia pakai kini. Kedua gadis itu berjalan di taman sekolah. "Huhh ... hari ini sangat dingin, Arabelle. Semoga malam ini saljunya turun, besok ada pertandingan basket anak-anak kelas sebelas. Aku akan berangkat dan membawa banner yang
Sekolah pulang pukul sembilan, itu terlalu pagi untuk bersantai-santai di rumah. Theo pun berkumpul dengan teman-temannya di warung belakang sekolah. Semua teman-temannya berada di sana. Tetapi Theo sedang menyusul Arabelle di sekolah, ia mengajak gadis itu ikut dengannya dulu, karena Ayahnya belum bisa menjemputnya. "Si Bos ke mana?" tanya Gerald sambil mengambil gitarnya di atas kursi. "Tuh, lagi jemput Arabelle," jawab Vero. "Tidak menyangka ya, cowok ajaib seperti Theo setia sama satu cewek," ujar Adam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dari bayi lagi!" sahut Gery. Semua teman-temannya pun tertawa mendengar hal itu. Hingga kini Theo melangkah masuk ke dalam tempat itu bersama dengan Arabelle. Tampak Ibu pemilik warung tersenyum saat melihat Theo bersama Arabelle ke sana. "Diajak duduk di dalam saja, Theo. Kasihan kalau di luar panas," ujar wanita itu. "Iya, Bu." Theo mengangguk. Arabelle duduk di sebuah bangku, dia terus memegangi lengan Theo karena gadis itu tidak
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Gadis itu datang lebih pagi kali ini. Di depan pintu gerbang, Vivian sudah menunggu Arabelle. "Arabelle ... hai!" pekik Vivian langsung memeluknya, tampaknya gadis itu sangat kegirangan pagi ini. Arabelle menyipitkan kedua matanya. "Hemm, ada apa ini? Rasa-rasanya bahagia sekali," ujar gadis itu pada temannya. "Iya! Aku sangat senang sekali!" seru Vivian menganggukkan kepalanya penuh antusias. "Ada apa, Vian? Tidak mau bilang-bilang sama Arabelle?" tanya Arabelle sambil berjalan dengan bantuan Vivian yang memeluk lengannya. "Iya, aku akan memberitahumu. Tapi jangan kaget, ya," ujar Vivian. "Oke, siap!" Arabelle mengangguk patuh. Vivian pun menarik pundak Arabelle dan ia membisikkan sesuatu pada Arabelle saat itu juga. Sampai tiba-tiba langkah Arabelle terhenti, gadis itu terdiam mematung seketika. Ekspresi Arabelle sontak membuat Vivian tertawa terpingkal-pingkal."Vian!" pekik Arabelle. "Iya. Aku dan si Dugong sudah
Arabelle dan sang Ayah kini pergi ke rumah sakit ibu kota. Hari ini adalah jadwal Arabelle untuk cek up terkait kondisi kesehatannya. Bersama Jordan yang selalu menemaninya, Arabelle tampak duduk di samping sang Ayah yang kini menunggu hasil pemeriksaan oleh dokter. "Ayah, Ara pasti sembuh, kan?" bisik Arabelle memeluk lengan sang Ayah. Jordan menoleh dan tersenyum, laki-laki itu mengecup pucuk kepala putri kesayangannya. "Pasti, Nak. Ayah akan mengusahakan yang terbaik untuk anak Ayah," jawab Jordan. "Kalau biayanya mahal, bagaimana, Ayah?" tanya gadis itu. "Biar saja meskipun Ayah harus menjual ginjal asal anak Ayah sembuh," jawab Jordan. Kedua mata Arabelle membola. "A-Ayah tidak menjual ginjal, kan?" pekik gadis itu. Jordan tertawa pelan. "Tentu saja tidak, Sayang. Uang Ayah sangat banyak, jangan khawatir. Bahkan Ayah bisa membeli rumah sakit ini." Arabelle langsung terkikik geli. "Ayah tahu tidak, nanti kalau Arabelle sudah lulus sekolah, Arabelle ingin meneruskan ke per
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle