Melody merasa tubuhnya kaku, seolah-olah darahnya berhenti mengalir begitu Barata muncul di ambang pintu. Senyumannya yang akrab namun terasa menakutkan menghiasi wajahnya, sementara matanya yang tajam terus menatap Melody tanpa berkedip, seolah-olah mencoba membaca setiap perasaan yang ada dalam dirinya."T-tuan Barata?" Suara Melody terdengar lebih kecil daripada yang ia harapkan, gemetar di antara bibirnya yang terkatup rapat.Barata hanya tersenyum lebih lebar, senyum yang seakan menandakan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ramah. "Iya, ini aku, Melody. Kenapa kamu gugup sekali? Apa kamu terkejut dengan kehadiranku?" tanya Barata, nadanya santai, tapi ada ketegangan yang tak bisa diabaikan.Melody hanya bisa terdiam, matanya bergerak gelisah di sekeliling ruangan, tak tahu harus berkata apa. Hatinya berdebar begitu cepat, hampir tidak teratur, dan perasaan asing yang sejak tadi ia coba abaikan kini muncul kembali, lebih kuat dari sebelumnya."Darimana Tuan Barata tahu kal
Melody memandang Alex dengan tatapan kosong, seakan belum sepenuhnya bisa menyerap apa yang baru saja terjadi. Hatinya masih berdegup kencang, menggema di setiap sudut tubuhnya, meskipun Barata sudah pergi. Namun, sensasi dingin dan cemas yang ditinggalkannya tidak mudah hilang."Non Melody, sebaiknya segera diminum obat ini," ujar Alex dengan suara lembut, namun terdengar tegas.Alex mengambil gelas berisi air dan obat dari meja samping tempat tidur, lalu mendekatkan tangan ke bibir Melody. Namun, Melody masih terdiam, matanya kosong dan terfokus pada titik tak jelas di lantai."Masalah Barata biar nanti saya yang urus," lanjut Alex mencoba membuat Melody lebih tenang.Tapi, kata-kata itu hanya jatuh dalam keheningan yang mencekam. Melody hanya mengangguk pelan, namun tubuhnya tetap kaku, seolah dipenuhi kekhawatiran yang tak bisa dijelaskan.Ia merasakan dinginnya tangan Alex yang menyentuh punggungnya, membantu menegakkan tubuhnya sedikit demi sedikit, namun pikiran Melody terperan
"Katakan, Alex."Arjuna menggenggam kerah kemeja Alex dengan gemetar, napasnya tersengal, matanya membakar. Setiap detik terasa seperti berabad-abad, menunggu jawaban yang bisa menghancurkan segala yang telah dibangunnya. "Siapa dia? Siapa yang kamu maksud?""Pelayan tua di rumah Tuan..." suara Alex hampir terdengar seperti bisikan, malu dan ragu. Ia menunduk, seolah takut menatap mata Arjuna yang penuh amarah.Arjuna melepaskan genggamannya dengan gerakan kasar, wajahnya pucat pasi, seolah tak percaya. Kepalanya berputar, setiap kata Alex mengoyak apa yang ia anggap pasti, meruntuhkan kepercayaan yang selama ini ia berikan."Ini masih dugaanku, Tuan... Aku belum menemukan bukti apapun," suara Alex serak, "Tapi aku pernah melihatnya tengah menelpon seseorang, secara sembunyi-sembunyi."Arjuna mundur selangkah, tubuhnya terasa kosong, seakan dunia di sekelilingnya tiba-tiba menghilang. "Arumi?" tanyanya dengan suara tercekat, matanya terbelalak, tak percaya."Selidiki Arumi," kata Arju
Melody terkulai lemah, terlelap dalam keheningan setelah dokter memberikan obat pereda rasa sakit. Arjuna duduk di sisi tempat tidur, matanya penuh kecemasan, hatinya terombang-ambing antara keputusan yang harus diambil. Arjuna ingin menyelamatkan Melody, mengangkat janin itu keluar dari tubuhnya yang terbaring lemah, namun ada satu hal yang mengikatnya. Sasha. Dan yang lebih kuat lagi, kehendak Melody sendiri. Betapa ia begitu bersikeras mempertahankan janin itu, meskipun bahaya mengintai.Langkah kaki yang berat terdengar, mengganggu kesunyian. Pintu kamar terbuka dengan keras, dan di sana berdiri Sasha, dengan raut wajah yang penuh amarah. Matanya tajam, seperti ingin melukai siapa saja yang menghalangi jalannya. Ia melangkah maju dengan langkah yang pasti."Memangnya nggak ada orang lain yang bisa menjaga Melody?" tanya Sasha, suaranya menggema penuh kebencian, seakan seluruh frustrasinya tumpah di situ.Arjuna menatapnya dengan penuh keteguhan. "Orang lain siapa, maksudmu? Ini s
"Ayah?" suara Alea terdengar hampir seperti bisikan, namun penuh dengan keheranan dan kebingungannya. Wajah pria itu, Suripto, yang telah lama menghilang dari hidupnya, kini berdiri di depannya, seolah tak ada waktu yang terlewatkan di antara mereka.Suripto tersenyum tipis, meskipun senyuman itu terasa penuh keraguan. "Alea, apa kabar Nak?" kata Suripto, suaranya lembut, tetapi ada kejanggalan yang terasa di dalamnya. Ia melangkah mendekat dengan hati-hati, seolah takut mengganggu kedamaian yang sudah bertahun-tahun hilang.Alea mundur sedikit, tidak tahu harus berkata apa. Hatinya dipenuhi kebingungan, kebencian, dan rasa rindu yang saling berbaur menjadi satu."Kenapa... Ayah baru datang sekarang?" tanyanya, dengan mata yang mulai berkaca-kaca."Ayah hanya ingin bertemu denganmu, Alea. Kamu tahu, Ibu sedang sakit?Ibu butuh kamu saat ini," Suripto berkata dengan nada lebih tenang, berusaha meyakinkan. "Kamu ingin bertemu Ibu, kan? Ayah bisa membawamu ke sana."Alea menatapnya, rag
Rafi merasa semakin terdesak saat pencarian mereka semakin tidak membuahkan hasil. Kekhawatiran terus menggerogoti dirinya, dan ia merasa sudah buntu. Tak tahu lagi harus berbuat apa. Dengan langkah terburu-buru, ia mengeluarkan ponselnya dan segera menekan nomor yang ia tuju."Alex, aku butuh bantuan!" suara Rafi terdengar penuh kecemasan saat mendengar dering telepon yang mengalun. "Alea hilang! Aku dan Bi Arumi cari ke sana ke mari, tapi nggak ketemu. Kami nggak tahu harus ke mana lagi!"Di ujung telepon, Alex terkejut. "Apa? Alea hilang?" jawabnya dengan nada yang penuh kekhawatiran. "Bagaimana bisa bisa seperti ini? Tuan Arjuna pasti akan sangat marah!" Ada keheningan sejenak di antara mereka sebelum Alex melanjutkan, suaranya semakin serius. "Aku segera menuju ke sana, Rafi. Jangan khawatir, aku akan bantu cari Alea.""Terima kasih, Alex. Tolong, cepat!" ujar Rafi, suara cemasnya terdengar jelas.Tanpa membuang waktu lagi, Alex segera bergegas menuju lokasi. Setiba di sana, ia
Arjuna terdiam sejenak setelah membaca pesan singkat dari Alex. Jantungnya berdegup kencang, seolah ada sesuatu yang sangat salah. Alea hilang? Kabar itu mengguncang dirinya hingga ke dasar hati. Dengan langkah cepat, ia bangkit dari kursinya, wajahnya berubah pucat, otaknya berputar mencari jalan keluar dari situasi ini.Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara terengah-engah terdengar dari arah ranjang Melody. Mata Arjuna yang kosong seketika terfokus pada Melody, yang terbaring lemah di rumah sakit. Melody, yang masih setengah sadar, mulai mengigau dengan suara lembut, namun penuh kecemasan."Alea... Alea... di mana kamu, Nak?" Suara Melody terdengar pelan, namun cukup jelas untuk membuat Arjuna terhenti. Tubuhnya terasa kaku, jantungnya semakin berdegup kencang.Arjuna terkejut, hatinya semakin dipenuhi kekhawatiran. Bukan hanya soal hilangnya Alea, tetapi juga kondisi Melody yang semakin memburuk. "Melody..." Arjuna mengusap pelan lengan Melody.Melody terbatuk,
"Kenapa Tuan, tiba tiba menanyakan ayahnya Alea?" tanya Melody dengan wajah bingung.Arjuna menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab, "Nggak apa-apa, Melody. Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang ayah Alea." Melody hanya menatap Arjuna dengan ekspresi bingung, seolah mencoba memahami maksud di balik pertanyaan itu. Beberapa detik berlalu dalam keheningan, hingga akhirnya, langkah cepat terdengar dari arah pintu. Seorang suster muncul dengan wajah yang tampak sedikit khawatir."Tuan Arjuna, bisa ke ruangan dokter sekarang? Dokter ingin bicara sesuatu," kata suster itu dengan sopan, namun nada suaranya mengandung urgensi yang tak bisa diabaikan.Arjuna mengangguk, merasa ada sesuatu yang penting yang harus segera dia ketahui. "Baiklah," jawabnya pelan. Tanpa menunggu lebih lama, ia menatap Melody sekali lagi sebelum beranjak pergi."Aku ke ruang dokter sebentar," ucap Arjuna, meski hatinya penuh kekhawatiran. Melody hanya mengangguk pelan, matanya masih
“A-Alea?” suara Melody nyaris tak terdengar, tenggorokannya tercekat.Dada Melody terasa sesak. Pandangannya mulai berkabut, air mata mendesak keluar tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba tetap tenang. Tangan kirinya meremas erat rok yang ia kenakan.Di sebelahnya, Arjuna mulai melirik penuh tanya. Ia memperlambat laju mobil. “Melody? Siapa itu?”Melody mengangkat tangan, isyarat agar Arjuna menunggu. Ia masih terpaku pada suara di ponselnya.Arjuna kini benar-benar menepi, parkir darurat di pinggir jalan. Ia menatap Melody, khawatir.Malam telah larut ketika mereka tiba kembali di rumah. Lampu ruang tamu menyala temaram, memberikan kesan hangat, namun di balik itu semua, udara terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menggantung di antara dinding-dinding rumah itu—sesuatu yang belum terucap, belum terungkap.Arjuna melepas sepatunya perlahan, lalu berjalan menuju dapur. "Aku ambil air dulu. Kamu mau?" tanyanya.Melody menggeleng cepat. "Enggak, Mas. Aku... capek, mau
Melody mondar-mandir di ruang tamu, langkahnya tak beraturan, seirama dengan kegelisahan yang semakin merayap di dadanya. Matanya tak lepas dari jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Sudah terlalu sore. Pesan dari Arjuna beberapa waktu lalu terus terngiang di kepalanya: “Jangan lupa siap-siap, ya.”"Apa yang harus aku katakan? Haruskah aku jujur? Tidak, tidak bisa!" gumamnya dengan suara gemetar. Tangannya mencengkeram ujung blouse yang ia kenakan, berusaha menenangkan diri, tapi sia-sia. Kepalanya penuh kemungkinan terburuk. Bagaimana kalau Arjuna tahu? Bagaimana kalau semuanya berantakan?Tiba-tiba, suara pintu terbuka. Melody menegakkan tubuhnya seketika, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri."Kamu sudah siap? Alea kemana?" tanya Arjuna sambil melangkah masuk, matanya langsung mencari-cari sosok kecil yang biasa menyambutnya.Melody tersenyum paksa, mencoba terdengar tenang. "Alea... ketiduran, Mas. Kat
"A-Alea... Alea... masih ada kegiatan di sekolah."Suara Melody terdengar bergetar, seperti menyembunyikan sesuatu. Jantungnya berdegup kencang, nyaris tak karuan. Ia berusaha keras menenangkan dirinya, tapi peluh di dahinya tak bisa berbohong. Tangannya yang menggenggam ujung bajunya gemetar halus.Arjuna menatap Melody, sorot matanya tajam namun tetap tenang."Alea mulai sibuk akhir-akhir ini? Rumah ini jadi terasa kosong," ucapnya pelan, ada nada rindu yang samar di balik suaranya."I-iya, Mas... Alea sekarang banyak kegiatan. Selain sekolah, dia juga ikut ekstrakurikuler piano... dan... les matematika juga," ujar Melody terbata, matanya sesekali menghindari tatapan Arjuna.Arjuna mengernyit, alisnya naik perlahan. "Les matematika? Sejak kapan Alea ikut les?"Jantung Melody nyaris berhenti berdetak. Ia tahu itu kesalahan. Arjuna selalu teliti soal pendidikan Alea—tak ada satu hal pun yang luput dari perhatiannya.Ia menarik napas, mencoba mengendalikan kecemasan yang mencengkeram d
“Ayah?”Suara Alea lirih, hampir tak terdengar, seperti sehelai daun yang jatuh di tengah senyap. Langkah kakinya yang biasanya lincah kini melambat, seakan setiap jejaknya menanggung beban luka yang belum sembuh. Matanya tak lepas dari sosok sang ayah, terbaring lemah di atas ranjang tua, tubuhnya lebih kurus, wajahnya pucat, seolah hidup hanya menumpang sebentar lagi.“Alea, kamu datang, Nak?” Suara Suripto serak dan terputus oleh batuk. “Ayah kira… kamu sudah membenci Ayah.”Melody berdiri di ambang pintu, dadanya sesak melihat pria yang dulu menghancurkan hidupnya kini terbaring tak berdaya. Dendam dan iba bertarung di dalam hatinya. Dulu Suripto adalah sosok yang ditakuti, keras, bahkan kejam. Tapi kini… tubuh itu tak lagi sama. Apakah ini balasan dari semesta? Tapi kenapa hatinya justru terasa nyeri?“Alea nggak benci Ayah…” jawab Alea sambil duduk di tepi ranjang. Mata bulatnya menatap ayahnya dalam. “Cuma… kadang Alea sedih. Soalnya Ayah nggak pernah datang lagi. Nggak pernah
Melody terdiam, matanya kosong menatap lantai kamar. Ia duduk di tepi ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Kepalanya penuh gejolak—ia tahu apa yang harus ia lakukan, tapi keberanian belum juga datang. Bagaimana mungkin ia meminta izin pada Arjuna untuk menemui Suripto? Ia yakin, Arjuna tak akan pernah mengizinkannya.Suara pintu kamar yang terbuka pelan menyentaknya dari lamunan."Melody... kamu belum tidur?" tanya Arjuna, suaranya tenang, baru saja pulang dari kantor."Belum..." jawab Melody lirih. Ada jeda. Ia menarik napas, mencoba menyusun kata. "Hmm... Mas, aku... aku mau bicara sesuatu."Arjuna berjalan pelan dan duduk di sampingnya. Ia menatap istrinya yang tampak gelisah. Wajah Melody pucat, matanya beralih dari lantai ke jari-jarinya sendiri, lalu kembali ke lantai."Apa? Katanya mau bicara?" tanya Arjuna, bingung melihat istrinya seperti menahan sesuatu."Itu..." suara Melody bergetar. "Alea... besok Alea minta aku temani ke acara sekolah."Itu bukan
Seminggu sejak kembali dari liburan ke Jepang, suasana hati Melody perlahan membaik. Luka di lengannya telah sembuh sepenuhnya, dan kini ia tengah menapaki harapan baru—menjalani program kehamilan yang selama ini didambakannya. Setiap bulan, ia rutin memeriksakan kesehatan rahim dan kualitas sel telurnya, menyimpan harapan besar dalam setiap hasil yang ia terima.Pagi itu, cahaya matahari mengintip hangat dari balik jendela dapur. Dengan penuh perhatian, Melody merapikan kotak bekal makan siang untuk suaminya."Mas, ini bekal makan siangnya," ucap Melody lembut sambil menyerahkannya pada Arjuna.Arjuna menerima kotak itu dengan senyum tipis. Ia mengecup kening Melody penuh kasih. “Melody, kamu nggak merasa lelah ngurus semua sendiri? Gimana kalau kita cari asisten rumah tangga?” tanyanya hati-hati.Melody menunduk sejenak, jemarinya saling meremas kecil. “Aku masih takut, Mas… Aku belum bisa lupa apa yang dilakukan Bibi Arumi. Aku masih trauma.”Arjuna menggenggam tangan istrinya deng
Setelah insiden menegangkan semalam, Arjuna mantap mengambil keputusan: mereka harus segera pulang ke tanah air. Rasa tidak aman menyelimuti pikirannya, terlebih setelah berbagai kejadian janggal yang menimpa Melody selama di Jepang.Di ruang tunggu bandara, suasana terasa berat. Melody menggenggam tangan Alea erat, matanya berkaca-kaca.“Alea, maafin Ibu ya. Gara-gara Ibu, liburan kita jadi singkat begini,” ucap Melody lirih, penuh rasa bersalah.“Nggak apa-apa kok, Bu,” balas Alea sambil menggeleng pelan. “Alea malah kasihan sama Ibu. Lagipula… Alea juga pengen pulang.”Arjuna yang duduk tak jauh dari mereka hanya bisa tersenyum tipis menyaksikan kehangatan di antara ibu dan anak itu. Namun pikirannya belum tenang. Ada satu hal yang masih mengganggunya—siapa sebenarnya pria misterius yang mencoba mencelakai Melody?“Melody,” katanya pelan, “apa kamu masih ingat pria semalam itu?”Melody menggeleng. “Tidak. Dia pakai masker, topi… juga hoodie. Wajahnya sama sekali tidak terlihat.”“A
“Mas… wanita itu… dia memakai cincin yang sama denganku… cincin pemberianmu yang hilang,” ujar Melody lirih, suaranya bergetar saat jari telunjuknya gemetar menunjuk ke arah kerumunan.Arjuna menyipitkan matanya, menyusuri wajah-wajah yang lalu-lalang, mencoba mencari sosok yang Melody maksud. Sorot matanya berubah tajam.“Tidak mungkin, Melody… Cincin itu hanya satu-satunya. Temanku yang buat sendiri, khusus untukmu. Mustahil ada duplikatnya,” Arjuna menggeleng, nadanya keras, tapi ragu mulai merayap dalam benaknya.“Tapi aku tahu itu punyaku! Aku hapal lekuknya, bentuknya… Jangan-jangan dia yang mencurinya dariku saat di pameran dulu?” Melody tampak resah, matanya tak lepas dari wanita yang kini berjalan menjauh.Arjuna menoleh cepat, gelisah. Tangannya merogoh saku, menarik ponsel. Ia butuh bantuan—Alex pasti bisa melacak sesuatu dari sini.Namun sebelum sempat menelepon, suara kecil memotong kegelisahan itu.“Tuan Papah, Tuan Papah… Alea mau es krim coklat!” rengek Alea sambil men
Alea berlari masuk ke kamar hotel, langkah-langkah kecilnya penuh semangat. Ia langsung naik ke atas kasur dan mulai melompat-lompat kegirangan, seolah seluruh kebahagiaan dunia miliknya."Alea, turun, Nak. Nanti kamu jatuh," seru Melody lembut, setengah cemas namun tak bisa menahan senyum melihat putrinya begitu bahagia.Arjuna mendekat ke jendela, lalu dengan satu tarikan halus membuka tirai yang menutup pemandangan kota. Cahaya matahari sore menyinari interior kamar, memantulkan kilau hangat pada dinding kaca."Bagaimana? Hotelnya nyaman, kan? Coba sini, lihat ke arah jendela," katanya, menoleh pada Alea dengan senyum.Alea langsung melompat turun dari kasur dan berlari menghampiri, wajahnya berbinar. Matanya membelalak takjub saat melihat menara tinggi menjulang di kejauhan."Waaah... Tuan Papah, itu menara yang Alea lihat tadi dari mobil!" serunya riang sambil menunjuk menara megah itu."Iya, itu Menara Tokyo. Nanti malam lebih indah lagi—penuh lampu kerlap-kerlip. Kita akan maka