Bab 3
"Ayo, Ma, kita masuk ke rumah!" Fathan menarik ibu barunya ke dalam rumah.
Meski sudah tiga kali masuk ke dalam sana, tetapi Aruna masih saja terpana dengan semua kemewahan yang tampak di kedua mata. Apalagi sekarang ia mendapatkan fakta, bahwa di istana baru ini, dirinya akan menjadi seorang ratu.
"Tenang, Run, kamu gak boleh terlalu jumawa," gumam Aruna dalam hati, mengusap dadanya pelan.
"Selamat sore, Bu Aruna. Biar kami yang membawakan koper milik Ibu."
Panggilan yang disematkan oleh kepala asisten rumah tangga itu membuat Aruna merasa sangat canggung. Inginnya menolak agar mereka tak terlalu formal padanya, tapi itu sangat mustahil. Aruna yakin, kalau Bastian sudah memberikan arahan pada semua pekerja di rumah untuk memperlakukannya dengan baik.
"Kamar Bu Aruna ada di atas," ucap Marini mempersilakan Aruna masuk lebih dulu ke dalam lift yang akan membawa mereka ke lantai dua.
Mereka sengaja tak menggunakan tangga, karena khawatir sang nyonya rumah yang baru, akan merasa kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh.
Sekarang Marini berjalan lebih dulu menuju sebuah pintu paling besar dan paling tinggi yang ada di lantai dua. Ketika pintu tersebut dibuka, Aruna makin terperangah.
"Ini kamar utama di rumah ini, Bu."
"Bahkan kamar di rumah ini, berkali-kali lipat lebih luas dari ruang tengah rumahku di kampung," batinnya tak henti membandingkan.
"Pak Bastian sudah meminta kami mempersiapkan pakaian, tas, sepatu, serta make up yang bisa Bu Aruna gunakan." Secara profesional Marini menunjukkan semuanya pada Aruna.
"Papa sayang banget sama Mama!" celetuk Fathan yang sejak tadi tak melepaskan tangan Aruna.
"Alhamdulillah, Sayang," balas Aruna dengan senyum yang kentara canggung karena mendapatkan semua kemewahan dalam waktu singkat.
"Saya mau istirahat dulu, Bi Mar," ucap Aruna.
Marini dan asisten rumah tangga yang lain pun mengangguk. Tersisalah Aruna dan Fathan di dalam kamar yang sudah tertutup. Sejak tadi, Fathan setia mengikuti langkah Aruna.
"Mama, besok Mama bisa antar aku ke sekolah gak? Aku mau nunjukin sama temen-temen, kalau aku udah punya Mama!"
Hati Aruna sungguh menghangat melihat binar di mata Fathan yang menyala-nyala. Ia pun mengangguk. "Bisa, Sayang, besok Mama pasti antar kamu ke sekolah!"
"Yeee!" Fathan berjingkrak ria, membuat Aruna tertawa renyah.
Fathan tak sabar ingin berangkat ke sekolah esok hari, pun dengan Aruna yang telah siap menjadi ibu yang baik bagi anak lelaki itu.
***
Aruna menepati janjinya mengantar Fathan pergi ke sekolah. Sementara Bastian? Kemarin suaminya itu pulang pukul sepuluh malam, dan berangkat lagi pukul enam pagi.
"Saya ada urusan di Bogor, Run. Saya usahakan pulang cepat hari ini."
Itulah kata Bastian pagi-pagi buta, saat Aruna tak bisa membuka penuh kedua matanya karena sangat mengantuk. Aruna hanya mengangguk. Tak ada cium kening atau cium tangan. Bastian pergi begitu saja seperti biasa.
Lantas sekarang, setelah sampai di rumah setelah mengantar Fathan ke sekolah, Aruna kebingungan karena semua lemari di wardrobe sudah sangat penuh. Tak ada ruang untuk menyimpan pakaian yang dibawa Aruna dari rumah Heru. Terpaksa ia kembali menutup koper, lantas menyimpannya di sudut wardrobe.
Bertepatan dengan kedua kakinya yang hendak melangkah, pintu kamar terdengar diketuk. Aruna bergegas membuka pintu.
"Menantuku yang cantik!" Sambutan hangat diiringi pelukan dari Lusiana membuat Aruna sedikit terkesiap, tetapi ia berusaha membiasakan diri.
"Mami ini kesel sama Bastian! Kenapa dia bawa kamu pulang cepet-cepet? Harusnya kalian pergi dulu bulan madu! Entah itu ke Paris, Swedia, Belanda, atau ke mana, kek!" Lusiana mengomel ketika teringat lagi akan keputusan Bastian yang memilih bergegas kembali bekerja, daripada menikmati masa-masa bulan madunya dengan sang istri.
"Mas Bas sibuk, Mam," gumam Aruna.
"Ya itu dia, Run!" pekik Lusiana yang sekali lagi, membuat Aruna terkesiap.
Bukannya apa, suara sang ibu mertua sungguh menggelegar. Untung saja Aruna tak punya riwayat penyakit jantung. Andai punya, maka jantungnya pasti sudah berdebar cepat.
"Makanya Mami datang ke sini, karena Mami mau ngajak kamu pergi ke klinik! Kita perawatan terus belanja-belanja! Kamu mau, ya?"
"Ayo, Mam!" Aruna mengangguk dengan senyum canggung.
Rasanya aneh sekali memiliki mertua kaya yang tak pernah merendahkannya. Di sisi lain, Aruna juga tak menampik kalau ia merasa lega. Ia jamin, hidupnya akan bahagia lantaran punya mertua yang ceriwis dan gaul seperti Lusiana.
Sebelum pergi, mereka memutuskan memasak berdua di dapur. Hanya memasak ayam goreng dan sayur sop saja, lantaran mereka tak boleh terlalu kenyang. Ada banyak tempat makan yang harus dikunjungi.
Setelah makan dan bersiap-siap, suara Fathan yang baru pulang terdengar melengking. Langkah kakinya yang berlari mencari keberadaan Aruna pun turut menggema di rumah besar itu.
"Mama! Aku bawa sesuatu buat Mama!"
Lusiana tersenyum lebar melihat cucu semata wayangnya sangat bahagia. Ia memutuskan duduk di sofa, ingin tahu apa yang hendak diberikan oleh Fathan pada Aruna.
"Apa itu, Sayang?" tanya Aruna penasaran.
Fathan membuka tasnya, kemudian mengeluarkan buku gambar dari dalam sana. Lembar demi lembar telah dibuka, hingga tangan mungil itu berhenti di salah satu gambar yang baru saja dibuatnya saat jam pelajaran terakhir.
"Tadi Bu Guru minta murid-murid buat gambar anggota keluarga, Ma! Nah, di sini ada aku, Mama, sama Papa!" terang Fathan masih sangat ceria. "Gambarnya udah ada 'kan, Ma, gimana kalau nanti kita buat foto keluarga beneran?"
"Boleh, Sayang, tapi kita tanya Papa dulu, ya?"
Fathan mengangguk antusias. Sementara Aruna menatap ke sisi kiri, ingin melihat selebar apa senyum Lusiana. Namun, yang ia dapatkan bukanlah binar bahagia, melainkan ekspresi wajah yang didominasi oleh perasaan gugup.
******
Bab 160 TAMATSetahun telah berlalu dengan begitu cepat. Aruna dan Bastian sama-sama tak menyangka, mereka bisa merawat dua anak sekaligus."Mama ...." Suara Fathan melengking keras dari lantai satu. Aruna yang tengah menyiapkan segala keperluan untuk liburan di luar kota, bergegas turun meninggalkan kamar.Sementara Bastian yang baru ingin mengecek mobil pun turut menghampiri asal suara. Mereka berdua lantas ternganga di tempat yang sama, ketika Azura duduk di atas karpet. Dari atas kepala sampai ujung kaki, tubuh bayi berusia satu tahun itu dipenuhi bubuk berwarna putih. Penyebabnya satu, Azura tengah memegang kaleng susu yang terbuka."Ya Allah, Nak ...." Aruna menggelengkan kepala, berusaha tak melengking saat melihat pemandangan cukup mengerikan itu.Buru-buru Aruna mengambil alih Azura. Bocah bayi itu malah menangis, masih ingin bermain dengan bubuk susu yang memenuhi karpet."Matanya kena gak?" tanya Bastian, pun turut berusaha tenang."Nggak, Mas, aman," jawab Aruna. "Aku mandi
Bab 159 Karma?Azura Putri Widjaya, adalah nama yang diberikan oleh Bastian untuk putri kecilnya.Setelah hari kelahiran Azura, rumah Bastian tampak semakin ramai dan hangat. Kebahagiaan juga terlihat dari berbagai sudut. Semua orang menyambut si putri kecil dengan penuh sukacita, termasuk Fathan.Tiap hari, Fathan memperhatikan dengan seksama perkembangan adik kecilnya. Ia juga kerap bertanya banyak pada Aruna dan Bastian, soal mengapa sang adik harus diajak main di taman tiap pagi, dan banyak lagi.Sebagai orang tua, Aruna dan Bastian tentunya berusaha memberikan jawaban yang mudah dipahami. Untunglah Fathan merupakan anak yang cerdas, sehingga ia mudah sekali mengingat penjelasan dari kedua orang tuanya, dan menyimpan baik-baik semua itu dalam ingatan."Om Liam mau datang malam ini." Bastian memberi tahu setelah menerima telepon dari Liam."Bukannya Om Liam masih sibuk mengurus pencalonannya jadi gubernur, Mas?""Iya, tapi Om Liam janji mau pulang sebentar demi ketemu sama cucunya
Bab 158 Kembali PulangAruna telah kembali ke rumah mewah Bastian. Kedatangannya disambut penuh haru oleh Lusiana dan Heru. Datangnya Aruna, menandakan hati perempuan yang satu itu telah lapang."Ini yang Ayah inginkan sejak lama, Run. Terima kasih sudah mau pulang." Heru berkata demikian seraya memeluk putri semata wayangnya. Kemudian ia mengusap perut buncit Aruna.Ketika tinggal terpisah, Heru kerap mengunjungi Aruna. Namun, ia tak pernah menginap. Bagi Heru, lebih baik menemani Bastian yang kesepian. Entahlah, selama ini hatinya memang condong pada sang menantu. Bukan karena Bastian adalah lelaki kaya dan mampu memberikan segalanya, tetapi karena Heru melihat sendiri, selama ini Bastian nelangsa ditinggal Aruna dan Fathan."Maaf ya, Yah," ucap Aruna penuh sesal."Sudah, jangan dibahas lagi. Semuanya sudah selesai," balas Heru melempar senyum hangat.Lusiana pun gantian memeluk sang menantu. Ia ucapkan perkataan yang sama dengan Heru. Usahanya menyampaikan kerinduan Aruna pada Bast
Bab 157 Kehangatan!Sejak tahu akan mendapatkan anak perempuan, Bastian dan Aruna bisa bersikap lebih hangat terhadap satu sama lain. Kendati tak jarang juga, Aruna bersikeras menolak semua fasilitas dari Bastian. Perempuan itu selalu beralasan ia bisa melakukannya sendiri.Akan tetapi, saat kandungannya menginjak angka ke sembilan bulan, Aruna semakin kepayahan. Tenaganya mudah sekali habis. Kadang untuk berjalan dari kamar ke taman belakang, Aruna harus berhenti sebanyak dua kali untuk menghela napas panjang."Bu, apa perlu saya ambilkan kursi?" Sang ART bertanya ketika Aruna tampak lelah, usai menyiram tanaman di taman belakang."Nggak usah, Bi, saya gak apa-apa," jawab Aruna dengan senyum.Hanya butuh tiga menit bagi Aruna berdiri sementara sambil merasakan perutnya yang membuncit bertambah berat, sebelum pada akhirnya ia kembali ke rumah depan.Rencananya, hari ini Aruna akan mengganti semua bunga di rumahnya. Aruna selalu melakukan itu setiap minggu, agar kesan segar tetap teras
Bab 156 Jenis KelaminBastian tentu terkejut dengan permintaan Aruna. Sebelumnya, ia menang sering mengantar sang istri pergi ke dokter kandungan, tapi baru pertama kali ini Aruna memintanya secara khusus.Hati Bastian berbunga, sehingga ia mengangguk senang. Lantas berikutnya, lelaki itu pergi ke kantor.Barulah keesokan harinya, Bastian kembali ke rumah Aruna. Istrinya sudah siap, sehingga mereka langsung berangkat."Aku harap bulan ini kita bisa lihat jenis kelamin bayinya," ucap Aruna."Aamiin. Walaupun belum bisa, kita masih punya dua bulan ke depan. Gak usah terburu-buru juga, asalkan kamu dan anak kita sehat."Anak kita.Hati Aruna berdesir kencang. Rasanya menyenangkan sekali mendengar Bastian selalu menyebutkan dua kata itu.Sampai di rumah sakit, keduanya masuk ke ruang dokter kandungan. Aruna berbaring di atas ranjang pasien yang tersedia di sana. Pemeriksaan pun dilakukan.Dokter mengoleskan gel di perut Aruna, seraya menanyakan keluhan apa saja yang dirasakan olehnya sela
Bab 155 Semakin Carut MarutLima bulan telah berlalu. Tak ada yang berubah dari rumah tangga sepasang suami istri itu, kendati kandungan Aruna makin membesar.Bastian tetap datang di hari Minggu dan Senin, bicara banyak dengan Fathan soal kegiatan sekolah, rencana liburan dan lain-lain. Bastian masih cukup sabar melihat istrinya selalu menghindar.Akan tetapi, tentu ia bertanya-tanya kapan semua ini akan berakhir? Bastian memikirkan nasib anak di kandungan Aruna. Jika hubungan mereka tak lekas membaik, maka bagaimana keduanya akan berbagi tugas sebagai orang tua baru?"Papa, kita jadi main hari ini?" tanya Fathan mengguncang lengan Bastian.Sejak tadi Fathan melihat papanya itu termenung sendirian di teras depan, sama sekali tak menggubris padahal sudah berulang kali Fathan mengajukan pertanyaan serupa."Papa? Kok malah bengong?"Barulah Bastian mengerjap. Pandangannya turun sesaat, pada Fathan yang berkacak pinggang di depannya."Kita jadi pergi, kan?""Jadi, Sayang!" jawab Bastian p