Bab 4
Wajah pucat Lusiana, serta permintaan Fathan membuat Aruna tersadar, kalau di rumah besar yang telah ia tempati, tak ada satupun foto yang menunjukkan ibu Fathan.
Sejujurnya, Aruna sudah sangat penasaran bagaimana Bastian dan ibu Fathan berpisah. Apakah perempuan itu meninggal saat melahirkan Fathan, atau melarikan diri bersama lelaki lain?
"Mam, kalau aku minta kita foto bareng-bareng, Mami mau gak?"
Lusiana terkesiap. Ia mengangguk disertai senyum canggung di bibirnya. "Cucu Oma yang ganteng, kamu mau ikut gak, jalan-jalan sama Oma dan Mama?" tanyanya berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Mau, Oma! Emangnya Oma sama Mama mau ke mana?"
"Pertama, Oma mau ngajak Mama pergi ke mall, terus pergi ke klinik supaya Mama sama Oma tambah cantik!"
"Aku mau, Oma! Aku ganti baju dulu, ya!" Penuh semangat Fathan berlari. Aruna hendak menyusul, tetapi Lusiana melarang.
"Udah ada pengasuh Fathan, kamu duduk aja di sini," ucap perempuan paruh baya itu.
Aruna mengangguk. Kurang dari 15 menit, Fathan telah kembali dengan pakaian rapi yang menambah ketampanannya. Aruna sampai menyipitkan mata, sengaja menelisik wajah anak sambungnya.
"Dia gak mirip sama Mas Bastian. Itu artinya, dia mirip sama mamanya," batinnya dalam hati.
Tiga orang itu kemudian mendatangi salah satu pusat perbelanjaan besar di kota Jakarta. Banyak sekali toko-toko barang mewah yang berjejer tiap lantai. Para pramuniaga di tiap toko siap siaga menyambut para pembeli.
"Selamat datang di toko kami. Ada yang bisa saya bantu?" tanya salah seorang pramuniaga yang cantik nan semampai. Senyum ramah senantiasa terpatri di bibirnya.
"Saya mau lihat-lihat tas keluaran terbaru." Lusiana menyampaikan maksudnya.
Sementara Aruna menatap ke sekeliling. Ini adalah kali pertama baginya, masuk ke sebuah toko tas yang tiap itemnya berharga fantastis. Ia hanya bisa melihat-lihat, tak berani menyentuh semua tas yang sebenarnya sangat mudah dijangkau oleh tangannya.
"Run, ayo kamu pilih!" titah Lusiana membuat Aruna menoleh.
"Gak usah, Mam. Mas Bastian udah beliin aku banyak tas. Baru satu yang aku pake." Aruna mengangkat tas jinjing berwarna putih yang ia bawa.
"Ah, gak apa-apa! Itu 'kan dari Bastian, dari Mami ya beda lagi. Pokoknya kamu harus pilih, Run. Kalau nggak, Mami bakalan sakit hati!"
Sungguh terkesiap Aruna kala mendengar itu, sehingga ia duduk di sofa empuk berwarna merah, tepat di sebelah ibu mertuanya. Sedangkan Fathan masih saja mengikuti gerak Aruna.
Saat itu, Aruna memilih satu tas. Lusiana sudah memaksanya untuk mengambil satu lagi, tetapi Aruna menolak. Entah mengapa, semua tas-tas itu terasa biasa saja di matanya. Mungkin, karena sekarang hidup Aruna memang terasa nyaman, ditambah ia masih punya banyak koleksi barang-barang baru nan mahal yang belum sempat dipakai.
Selesai membeli tas, mereka memutuskan untuk pergi ke klinik terlebih dahulu, kemudian kembali lagi ke pusat perbelanjaan. Ketiganya keluar dari area pusat perbelanjaan, menempuh perjalan kurang dari lima menit menuju sebuah klinik kecantikan ternama.
"Mami udah reservasi. Lima belas menit lagi kita bisa konsultasi sama dokter di dalem." Lusiana memberitahu kala mereka keluar dari mobil.
Di ruang tunggu yang sangat nyaman itu, Aruna sudah duduk lebih dulu. Sementara Lusiana malah terdiam, karena tatap matanya tertuju pada sekumpulan perempuan seusianya.
"Rupanya aku salah mengatur waktu."
"Kenapa, Mam?" tanya Aruna mendengar gumaman dari ibu mertuanya.
"Nggak, Sayang," jawab Lusiana mencoba duduk tenang di sebelah Aruna.
Lusiana sengaja memberi majalah pada Aruna agar tak bosan menunggu. Namun, ketenangan itu harus terusik saat tiga orang perempuan paruh baya yang sengaja ingin dihindari oleh Lusiana, malah mendekat dan mencolek bahunya.
"Jeng Lusi!" panggil Herma dengan gaya centil khas perempuan sosialita. "Lama banget kita gak ketemu!"
Terpaksa Lusiana mengangkat kepala, kemudian berdiri untuk melakukan cipika-cipiki dengan para teman-temannya itu. Sedangkan Aruna menatap selama beberapa saat, lantas ia berinisiatif untuk menyapa Herma dan dua temannya.
"Ini siapa, Jeng?" tanya Herma penasaran.
"Menantu saya, Jeng, namanya Aruna."
"Menantu? Kapan Bastian nikah, Jeng? Kok Jeng Lusi ini nggak ngundang kami semua, sih?" Herma menunjukkan raut protesnya. "Eh, tapi, kok, kayaknya saya pernah liat dia, ya?"
Kedua mata Herma menatap Aruna lamat-lamat, mencari ingatan tentang perempuan di depannya ini. "Lho, kamu ini yang jadi buruh cuci piring di restoran keponakan saya, kan?!"
Lusiana terkesiap, apalagi Aruna. Mereka berdua kompak terdiam.
"Iyakah, Jeng?" Satu teman Herma sampai maju selangkah, demi mendapatkan jawaban pasti.
"Iya, Jeng! Mana mungkin saya salah menilai orang!" Herma berseru heboh. Matanya lancang menatap Aruna dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Duh, Jeng Lusi, kenapa bisa nikahin anak Jeng Lusi sama perempuan miskin kayak gini?!"
Telinga Lusiana berdengung, sementara Aruna kontan menelan ludah. Aruna mencoba memutus kontak mata dan memilih mundur. Namun, Lusiana memegang tangannya agar tak pergi ke mana pun.
"Maksudnya apa, ya? Jangan bicara sembarangan soal menantu saya!" Lusiana memberikan peringatan keras.
"Lho, saya gak bicara sembarangan! Memang benar kalau menantu Jeng Lusi ini pernah kerja sebagai buruh cuci piring, kok!"
"Lalu urusannya sama kamu apa?" tanya Lusiana tajam, sungguh tak suka dengan nada congkak lawan bicaranya. "Betul kalau Aruna adalah buruh cuci piring, tapi itu sebelum menikah sama Bastian! Sekarang, dia adalah menantu saya! Sekali saya dengar satu di antara kalian bicara macam-macam, maka saya tidak akan segan membuat keluarga kalian hancur berantakan!" ancamnya tak main-main, membuat semua lawan bicaranya menciut.
Mereka memang telah berteman sangat lama, tetapi siapa pun tahu, kalau Lusiana itu memiliki pengaruh di mana pun. Selain memiliki bisnis real estate besar yang sekarang dikelola oleh Bastian, Lusiana juga punya banyak saudara yang bekerja di pusat pemerintahan. Sekali saja lawan bicaranya membuat Lusiana sakit hati, maka ia tak akan segan mengerahkan semua kenalannya untuk menghancurkan si lawan bicara!
****
Bab 105 Lusiana Dan Aruna Bersitegang"Kamu pikir aku akan percaya, Mas?" tanya Aruna dengan tawa. "Setelah menyaksikan sendiri betapa kasar perlakuan kamu, aku memutuskan untuk tetap percaya pada Juanda!" putusnya berdiri tegak."Tidurlah di kamar ini, dan cari tahu semuanya sendiri. Jawaban yang sebenarnya ada di sini," ucap Bastian ikut berdiri."Aku mau keluar dari rumah ini, Mas! Aku gak mau jadi istri dari seorang pembunuh seperti kamu!""Apa maksud kamu?!" Lusiana yang baru saja tiba dan mendengar semua perkataan Aruna, langsung masuk ke dalam kamar dengan wajah penuh amarah."Siapa pembunuh yang kamu maksud?!" tanyanya tetap membentak."Anak Mami adalah pembunuh!" jawab Aruna menunjuk Bastian. "Jangan sembunyikan apa pun lagi, karena aku sudah tau semuanya! Sekarang, lebih baik kalian semua lepaskan aku dari sini!"Lusiana sungguh tak menyangka, Aruna berani mengatakan kalimat di luar nalar seperti itu. Amarahnya melesat naik, ia siap membantah dan kembali memarahi sang menant
Bab 104 Fakta Yang Dibeberkan BastianMembanting buku di pangkuan, Aruna terburu-buru beranjak dari sofa. Ia hendak berteriak, tapi Bastian dengan sigap menariknya lebih dulu."Jangan takut!" kata Bastian sebisa mungkin tak meninggikan suaranya.Melihat Aruna yang ketakutan melihatnya, kembali mengingatkan Bastian pada Berlian. Sebelum kehamilannya membesar, sang adik juga kerap bersikap seperti ini. Bastian menyimpulkan jika Juanda mencuci otak Berlian kala itu. Sekarang pun, sepertinya si bajingan itu melakukan hal serupa pada Aruna."Mau apa kamu ke sini?! Kamu apakan Juanda?!" teriak Aruna. Ia pikir, Juanda telah dihabisi oleh Bastian."Aku belum menyentuh Juanda sehelai rambut pun!" balas Bastian.Dadanya terasa sesak dan panas, mendapati istrinya sendiri mengkhawatirkan lelaki lain. Bastian pun bertanya-tanya, apa yang ada di pikiran Aruna? Apakah istrinya itu berkesimpulan bahwa ia akan menghabisi Juanda?"Pergi dari sini, Mas! Jangan pernah ganggu hidupku lagi!" usir Aruna men
Bab 103 Mencuci Otak ArunaDua hari Aruna tinggal di villa besar milik keluarga Juanda. Tak ada teman bicara, tak bisa mengetahui kabar dunia luar karena di villa tersebut tak dilengkapi dengan televisi dan telepon rumah. Aruna mulai kesepian dan merasa tidak nyaman. Terlebih, sejak tinggal di villa ia selalu khawatir akan nasib Heru dan Yanti."Bagaimana kalau Mas Bastian menyekap keluargaku?"Pikiran Aruna berjalan terlalu jauh. Ia yang tengah berjalan hilir mudik, langsung membuka pintu kamar saat mendengar suara mobil memasuki halaman."Itu pasti Juanda!" serunya tertahan.Aruna menghampiri detik itu juga. Melihat Juanda pulang dengan selamat dan tak kurang suatu apa pun, kontan saja membuat napasnya terhembus lega.Sedangkan Juanda sengaja menyuguhkan senyum terbaiknya di depan Aruna. Dari raut wajahnya, ia yakin sejak tadi siang perempuan itu dilanda rasa khawatir atas kepergiannya.Baguslah, karena dengan begitu, Juanda akan lebih mudah mempengaruhi Aruna. Perempuan itu harus s
Bab 102"Berani-beraninya Bastian mengatakan aku tak berhak atas Fathan!" seru Juanda memukul-mukul setir kemudi. Ia sungguh tak terima telah dipermalukan di depan seluruh anak buah Bastian. Namun jika ingin melawan, Juanda pun tak punya cara.Harus ada cara untuk mengalahkan Bastian, agar ia bisa mendapatkan Aruna dan Fathan sekaligus.Dengan mendapatkan mereka berdua, maka Juanda yakin, hidup dan karir Bastian akan segera berakhir!"Oke, sekarang aku harus pergi menemui Sandra." Juanda mengangguk-angguk, usai meredakan emosinya yang meledak-ledak.Melalui Sandra, Juanda akan mendapatkan lebih banyak informasi. Maka berangkatlah Juanda setelah mengirimkan pesan pada Sandra, bahwa ia ingin bertemu.Sesuai kesepakatan, mereka memutuskan bertemu tatap di sebuah cafe. Rupanya Sandra datang lebih dulu, sehingga Juanda langsung menghampirinya."Kamu habis dari rumah Bastian?" tanya Sandra tak mau mengenalkan diri secara langsung."Iya. Aku berhasil menggertak Bastian. Dia takut aku mengamb
Bab 101Bastian menelan saliva. Apa yang baru saja dikatakan oleh Juanda? Apa Aruna telah memberi tahu, kalau Fathan adalah anak kandung Berlian, yang otomatis pula adalah darah daging Juanda?Ya, itulah rahasia besar yang selama ini disembunyikan oleh Bastian dan juga keluarga Widjaya yang lain. Tentang Berlian yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri usai melahirkan Fathan. Juga tentang Fathan yang ternyata adalah anak Juanda.Bertahun-tahun lalu, Berlian dan Juanda memiliki hubungan khusus. Bastian tahu itu, tapi tak pernah menyetujui. Sebabnya satu, yakni Juanda terlalu jahat pada Berlian. Lelaki itu kerap memaksakan kehendak pada Berlian, senang memanipulasi, dan lain sebagainya.Akan tetapi, Bastian tak bisa menghentikan hubungan mereka berdua, terlebih Berlian amat sangat mencintai Juanda. Berlian sanggup melakukan apa saja. Bahkan ketika Juanda menjebaknya pada suatu malam hingga hamil, Berlian masih tetap ingin mempertahankan hubungan mereka.Jujur saja, saat mengetahui Berli
Bab 100Hijaunya dedaunan, juga sejuknya angin yang berhembus menerpa pepohonan, membuat Aruna merasa sangat damai. Ditambah, suasana di villa sangat mendukung untuk menenangkan diri.Entah sudah berapa kali Aruna membuang napas panjang kala berjalan-jalan di sekitar villa. Ia menatap sekeliling, mendapati satu tukang kebun yang tengah memangkas rumput panjang di taman belakang."Sudah sesiang ini, tapi cuaca di sini masih sangat bagus. Andai ada Fathan yang bisa diajak jalan-jalan dan bicara, mungkin aku gak akan merasa kesepian seperti sekarang." Aruna berhenti melangkah, karena lagi-lagi ia teringat pada anak sambungnya."Gimana sama Fathan sekarang? Apa yang akan dikatakan Mas Bastian dan Mami Lusiana soal aku?"Berbagai macam keluhan ingin sekali dikeluarkan oleh Aruna. Namun, ia sadar tak boleh memperburuk keadaan. Satu hal yang harus dilakukan oleh Aruna sekarang adalah, menghubungi Yanti dan Heru. Keluarganya harus tahu bagaimana keadaan di Jakarta, agar mereka selalu waspada