"Ini! cepat makan!"
Dengan ketus dan kasar Ana menyodorkan bungkusan makanan kepada Anisa usai membuka pintu kamar secara kasar.
Tidak memedulikan sikap kasar Ana, mata Anisa berbinar melihat rujak dan asinan yang dibawa oleh majikannya. Dia pun segera menerima makanan itu. "Terima kasih, Nyonya."
"Lain kali nggak usah manja ingin makanan segar segala, anakku hanya butuh makanan yang bergizi bukan makanan segar!"
Anisa hanya bisa mengangguk, andaikan Ana dapat merasakan penderitaannya pasti tidak akan memperlakukannya dengan buruk.
Selepas wanita itu keluar, Anisa segera memakan rujak serta asinannya. Air liurnya serasa sudah akan menetes karena tidak sabar memakan makanan yang dia inginkan ini.
Dan, terbukti ... Makanan tersebut bisa dinikmati Anisa hingga habis. Tubuh wanita itu terasa lebih bertenaga usai memakannya.
Saking senangnya, dia mengusap perutnya yang masih rata. "Anak pintar. Kamu senang, ya, makanan segar ini?" Senyumnya mengembang, "Kamu harus sehat-sehat di dalam ya, Nak."
Setelah merasa tubuhnya lebih bertenaga, Anisa yang selama ini lebih banyak berdiam diri di kamar lantas memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah.
Dia memutuskan untuk ke taman depan. Saat itulah, tidak sengaja dia berpapasan dengan Leo dan Ana yang juga hendak keluar.
"Sudah tidak mual?" tanya Leo.
"Tidak Tuan," jawab Anisa dengan menunduk.
Karena, meski Leo terlihat biasa saja menatapnya, justru Ana-lah yang menatapnya dengan sinis. "Syukurlah kalau begitu. Usahaku untuk membeli makanan yang kamu minta jadi tidak sia-sia."
Berbeda dengan Ana yang terlihat tidak acuh pada perubahan Anisa yang terlihat lebih segar, Leo justru terlihat lebih senang.
Anisa bisa melihat, raut kekhawatiran pria itu kini memudar. Meski dia tahu, pria itu khawatir pada janinnya, bukan pada ibu yang mengandungnya.
"Lain kali, katakan saja kalau kamu ingin sesuatu." Leo berujar lembut, membuat Ana yang berdiri di sampingnya semakin terlihat meradang. "Bilang pada Ana, atau saya. Kami akan belikan."
Anisa hanya bisa mengangguk. Dia tidak berani berkata apa-apa, sebab di samping Leo, Ana sudah siaga dengan pelototannya yang kurang bersahabat.
"Terima kasih, Tuan, Nyonya." Anisa kemudian memutuskan mengurungkan niatnya dan kembali melangkah ke dalam rumah.
Di belakangnya, terdengar Ana dan Leo pun melangkah menuju mobil. Namun, langkah Ana terhenti. "Mas, kamu duluan ke mobil. Aku mau ambil sesuatu di kamar, ketinggalan."
Tidak lama dari itu, Anisa merasakan tangannya ditarik dari belakang. Rupanya, itu ulah Ana. Wanita itu kini menatap garang.
"Siapa yang izinkan kamu untuk berlaku manja di depan suamiku?!" katanya dengan tatapan tajam. "Kamu pikir, aku dan suamiku itu pelayanmu yang bisa kamu minta belikan sesuatu yang kamu inginkan?"
"M-maaf, Nyonya. Sa-saya tidak bermaksud begitu." Anisa jelas takut, sebab Ana terlihat begitu kesal padanya. Dari wajahnya, majikannya itu seolah-olah siap melahapnya hidup-hidup.
"Awas kalau lain kali kamu begitu lagi!" Kemudian wanita itu kembali berjalan menuju garasi mobil.
Anisa hanya bisa mengelus dadanya, dia heran dengan majikannya tersebut. Toh, yang dia inginkan itu ternyata membantu dia dan janinnya.
Jika saja Anisa bisa memilih, dia juga tidak mau memilih-milih makanan. Hanya saja, sejak kehamilannya ... Dia memang jadi lebih sensitif dengan makanan, dan terus-terusan menginginkan makanan yang segar juga pedas.
**
Sementara itu ... Ketika Leo dan Ana pergi ... Sebuah sikap tidak biasa lagi-lagi ditunjukkan pria itu. Dan hal itu membuat sang istri tidak suka.
Sebab, ketika mereka sudah akan pulang, Leo tiba-tiba menghentikan mobilnya di sebuah mal.
"Kita mampir beli makanan untuk Anisa dulu, ya."
Leo berujar sembari mengemudikan mobilnya.
Dengan malas, Ana memutar bola matanya. "Belinya di mana, Mas? Lagian, memang Mas mau kasih makan anak kita hanya rujak dan asinan?" alibinya lagi, enggan menuruti sang suami.
"Aku rasa dia sedang ingin makanan pedas?" Leo mengedikkan bahunya. Dia sendiri tidak begitu yakin, tetapi intuisinya berkata demikian. "Coba cari di restoran langganan kita, Sayang."
Tidak hanya sampai di situ, Leo juga kembali mengerutkan dahi ketika melihat Ana hanya membawa satu bungkus kecil sesuatu yang dia beli dari restoran langganan mereka.
"Kamu beli hanya satu?" tanya pria itu lagi.
Ana memasuki mobil dengan membanting pintunya agak lebih keras. "Mas memangnya Anisa kuli sehingga perlu porsi lebih? Ini saja mungkin nggak habis, dia."
Pertengkaran kecil itu memang kerap kali terjadi. Bahkan semakin sering terjadi karena dua orang dewasa itu kerap memiliki pemikiran berbeda.
Leo yang seorang CEO mengorbankan waktunya untuk bekerja di rumah demi sang istri, tetapi Ana justru tidak menghargai dengan tetap memilih teman-temannya.
Suatu hari, kekesalan Leo pada sang istri sudah berada di puncak. Terlebih, kala mendengar Ana memberitahunya kalau wanita itu memiliki acara liburan selama seminggu ke luar negeri bersama teman arisannya.
"Apa kamu tidak bisa diam di rumah, temani Anisa yang sedang mual-mual, Ana?"
"Mas, Anisa sudah dewasa. Kalau ada yang dia butuhkan, dia bisa minta pada pelayan lain." Istri Leo itu pun naik pitam. Pasalnya, wanita itu paling tidak suka jika jadwalnya yang sudah tersusun rapi harus terganggu. Apalagi jika alasannya Anisa dan janin mereka yang sedang dikandungnya. "Jangan biasakan memanjakan dia, Mas. Kamu nggak mau kan, kalau anak kita ikutan malas nantinya?"
Di hadapan sang istri, Leo mengetatkan rahang menahan amarahnya. Ana yang dulu dia kagumi karena kecantikan, keanggunannya ... Kini menjelma menjadi sosialita yang tidak kenal libur, dan tidak peduli keluarga.
Mungkin, inilah alasannya, kenapa keluarga Leo kurang menyukai Ana ketika pria itu mengenalkannya sebagai calon istri beberapa tahun silam.
Leo mengembuskan napas panjang. Ana sudah tidak bisa dicegah, sebab istrinya yang egois itu tetap pergi meski tanpa restu darinya.
Saat dia ingin memasuki kamar, saat itulah dia melihat Anisa yang tengah berjalan menuju kamarnya juga.
Tatapan Leo terkunci ketika melihat langkah Anisa yang lemah dan sempoyongan.
Cepat-cepat, pria itu menghampiri wanita itu dan membantunya berjalan.
"Kita ke dokter sekarang. Aku tidak ingin apa pun terjadi."
"T-tuan--"Anisa berusaha mengelak dan menolak bantuan Leo. Dia tidak ingin istrimajikannya itu cemburu dan salah sangka.Namun, sekuat apa pun dia mengelak, tangan kekar Leo lebih kuat."Sudah ayo, kamu bersiaplah aku tunggu di bawah."Anisa sadar, titah Leo tidak mungkin dia tolak, apalagi keadaannya memang tidakbaik-baik saja.Dengan menahan pening di kepala, Anisa usai mengganti baju dan bersiap.Rupanya, Leo sudah menunggunya dan segera menghampiri Anisa ketika wanita ituterlihat menuruni tangga dengan lemah. Dengan sabar dan lembut, Leo memapahAnisa dari dalam rumah menuju mobil.Pria itu bahkan membukakan pintu mobilnya untuk Anisa, memastikan posisi wanitaitu sudah nyaman sebelum menutup pintu mobil dan memutar langkah menuju kemudi.Tentu perlakuan Leo yang manis membuat Anisa terlena. Di satu sisi, dia senangmendapati perlakuan manis dari ayah janin yang sedang dikandungnya. Namun disisi lain, dia sadar posisinya tetaplah orang lain.Anisa jadi membandingkan perlakuan
“Berhenti!”Kedua pria itu terlibat perkelahian sengit. Anisa yang melihat bagaimana Leo yang memiliki tubuh lebih besar dari Raka memukuli suaminya bertubi-tubi pun sontak bergidik ngeri.Ucapannya tidak dihiraukan, membuat Anisa tidak punya pilihan lain selain melerainya. “Tuan, saya mohon hentikan, suami saya bisa mati."Dia meraih lengan Leo dan menariknya sekuat tenaga. Saat itulah, Leo menghentikan gerakannya."Jika bukan istrimu yang meminta padaku, aku tidak akan melepaskanmu, bajingan!" Tangan Leo mendorong tubuh Raka dengan kuat sehingga pria itu terjatuh di tanah.Dengan deraian air mata, Anisa mencoba mendekati sang suami. Namun Leo melarang wanita itu dengan memegang lengannya, "Jangan mendekat Anisa! Pria seperti itu tidak pantas kamu tolong!"“T-tapi, Tuan…” Anisa serba bingung harus bagaimana, di sisi lain dia tidak tega melihat Raka yang tengah meringis kesakitan, tapi di sisi lain ucapan itu adalah titah dari majikannya yang harus dia turuti.“Aku akan panggil satpam
"Mas aku tidak suka ya jika kamu dekat dengan si Anisa itu!"Ucapan Ana membuat Leo mengerutkan alisnya, baru saja dia bangun dari tidur setelah pergulatan panas mereka tapi Ana sudah mengeluarkan kata-kata yang membuatnya bingung."Apa maksud kamu?" tanyanya balik."Aku tidak suka cara kamu memperlakukannya Mas, pake acara pegang-pegang segala!""Kamu cemburu?"Pria itu segera memakai pakaiannya kembali, dia mengambil rokok yang ada di meja lalu menyulutnya."Aku melakukan hal itu karena tidak ingin hal buruk terjadi dengan anak kita, tidak lebih," ujarnya santai sambil menikmati sebatang rokok yang dia sulut.Terdengar helaan nafas dari mulut Ana, meski masih merasa cemburu tapi dia tidak bisa berbuat lebih karena memang posisi Anisa saat ini adalah ibu surogasi anaknya."Tetap saja kamu harus jaga jarak Mas," sahut Ana.Leo tertawa, dia merasa heran dengan istrinya, bukankah pencetus ide ibu surogasi adalah Ana? tak hanya itu Ana juga memaksa dirinya untuk ikut andil dalam merawat A
"Kenapa sih kamu harus bilang ke Mama jika kamu hamil!" Sedari tadi Leo menahan amarahnya kepada sang istri."Lah memangnya kenapa Mas!" Protes Ana."Kalau mereka tahu kamu tidak hamil, tanggung sendiri akibatnya!"Leo benar-benar heran dengan pemikiran Ana, sebisa mungkin dia ingin menyembunyikan kehamilan Anisa tapi kini istrinya sendiri malah membuat drama yang bisa membongkar semuanya.Sepanjang perjalanan pulang, keduanya terus berdebat hal ini membuat Ana kesal dan minta diturunkan. "Turunkan saja aku disini!"Ana melepas sabuk pengamannya, dia bersiap untuk turun dari mobil."Jangan gila kamu!"Bukannya menurut Ana malah mengancam loncat jika Leo tidak menuruti kemauannya."Loncat saja aku kunci otomatis dari sini."Tak ada yang bisa Ana lakukan selain diam dan pasrah, karena percuma juga mengancam Leo tidak akan membiarkan dia turun.Sesampainya di rumah, Ana masuk ke dalam kamar terlebih dahulu, dia malas menunggu Leo karena hatinya masih sakit akan debat mereka tadi."Sayang.
"Iya Tuan."Leo begitu bahagia, saking bahagianya sampai dia melupakan jika wanita yang dia pegang perutnya bukanlah ibu biologis dari anaknya."Ini Papa Sayang," ujarnya dengan mata yang mengembun.Anisa turut terharu melihat Leo yang begitu bahagia, bahkan pikirannya kini jauh melayang, berandai-andai jika pria yang di hadapannya adalah suaminya. 'Andaikan saja anda dan bayi yang saya kandung adalah milik saya.'Leo dan Anisa tertawa bersama merasakan gerakan si jabang bayi yang ada di dalam kandungan, bahkan Leo mulai tidak ingin berpisah dengan calon anaknya padahal malam sudah semakin larut."Aku tidak ingin berpisah dengannya Anisa." Ucapan Leo membuat Anisa tersenyum."Besok anda bisa mengajaknya bicara lagi Tuan."Leo menatap Anisa dengan tatapan lembut, entah apa yang tersirat di mata CEO tampan itu, perlahan dia mengangkat tubuhnya, dia mengelus mengusap rambut Anisa, "Jaga dia baik-baik ya Anisa.""Pasti Tuan."Leo segera berjalan menuju pintu, sebelum menutup pintu kamar,
"Pak Leo."Berkali-kali Leo dipanggil oleh Bayu si asisten, namun sang CEO masih nyaman dengan lamunannya."Pak Leo, saya butuh tanda tangan anda Pak." Baru Leo tersadar dari lamunannya."Apa Bay?" tanyanya.Bayu menyodorkan sebuah berkas kepada CEOnya, tanda Leo sangat dia butuhkan saat ini.Seusai mendapatkan tanda tangan Leo, Bayu pamit kembali namun baru saja ingin melangkah kan kaki, Leo memanggilnya."Bay."Bayu segera menoleh dan kembali lagi menghadap Leo. "Ada apa Pak?"Leo meminta Bayu untuk menghandle semua urusan kantor, entah mengapa dia terus saja kepikiran tentang Anisa dan calon bayinya."Baiklah Pak, tapi nanti siang ada meeting dengan klien." Bayu membacakan jadwal Leo hari ini."Giring ke meeting online, nanti link akan aku kirim padamu, untuk saat ini aku harus segera pulang."Dia segera beranjak dari kursi kebesaran dan mulai memberesi barang-barangnya. Sambil membawa tas jinjing miliknya Leo bergegas keluar ruangan.Di perjalanan pulang Leo mampir ke supermarket
Dokter menyatakan kehamilan Anisa mengalami kemajuan pesat, perlahan berat janin naik bahkan kini bisa dianggap normal. Leo sangat bahagia mendengar apa yang dokter katakan begitu pula Anisa."Terima kasih Anisa." Tubuh kekarnya spontan memeluk Anisa, tentu hal ini membuat Anisa mematung.Dalam pelukan Leo, Anisa memejamkan matanya. Dadanya berdegup dengan kencang seperti genderang perang.Sadar akan sikapnya, Leo segera melepas pelukannya, "Maaf Anisa, aku sangat senang.""Jaga terus janinnya Pak, jangan buat si ibu sedih apalagi stres." Sambil menulis resep untuk Anisa, "Ajak komunikasi trus, usia tujuh belas minggu awal sistem saraf mulai berfungsi.""Pasti Dok."Melihat wajah Leo yang sangat bahagia membuat Anisa bahagia juga, meski dia tidak memiliki kuasa atas anak yang ada di kandungnya tapi dia berjanji akan menjaga anak yang dikandungnya dengan baik.Setelah dari rumah sakit, Leo mengajak Anisa untuk belanja sebagai ucapan terima kasih karena Anisa telah berjuang menjaga anak
"Tidak perlu Nyonya."Melihat sikap Ana membuat Leo tersenyum, dia cukup bahagia dengan sikap Ana yang perhatian terhadap Anisa."Aku ke ruang kerja dulu ya, kalian saling mengobrol saja," ujarnya."Iya Mas, kami akan berbincang seputar kehamilan."Selepas Leo pergi, Ana menghempaskan tangan Anisa kuat-kuat, dia segera berubah menjadi serigala kembali setelah pawangnya pergi."Jangan harap aku bersikap manis Anisa!" "Iya Nyonya, saya paham," sahut Anisa.Ana melangkahkan kaki menuju pintu namun beberapa saat kemudian dia membalikkan badannya dan mengancam Anisa agar tidak tebar pesona dengan Leo.Ibu pengganti itu mengangguk paham meski dia sendiri juga tidak tahu bagaimana cara menjauh dari ayah dari si anak yang dia kandung.Tekanan dari Ana memberi dampak yang cukup membuat Leo khawatir, pasalnya sikap Anisa tidak seperti biasanya, ibu pengganti itu benar-benar berubah, yang awalnya welcome kini jauh lebih tertutup.Tak hanya itu, kamar yang awalnya tidak pernah dikunci tiba-tiba