Share

Bagian Enam

"Ada apa dengan pintu kamarmu, Eva? Sudah hampir setengah jam kita menunggu di depan kamar." Mama Eva terus-menerus mengeluh. Jika Eva menghitungnya, itu sudah kesepuluh kali mamanya mengatakan kalimat yang sama.

"Sabar, Ma. Pintu kamar aku memang sering macet begini. Biasanya mudah kalau pakai kunci kamar untuk bantu narik pengganjal pintunya. tapi tadi aku lupa mengambil kunci di dalam kamar."

Eva menjawab lagi sambil berusaha memutar gagang pintu yang tidak berfungsi. Jika Eva punya tenaga lebih mungkin dia sudah mendobraknya, tapi itu ide yang buruk.

"Kenapa kamu nggak minta kamar baru ke bapak kosmu. Atau kamu komplain ke dia biar pintunya diperbaiki." Papa Eva ikut mengeluarkan pendapatnya.

"Eva emang mau lakuin itu, Pa. Tapi, bapak kos baru aja pindah dari rumah kakaknya. Tadi aku baru ketemu dia. Belum sempat ngomongin masalah pintu ini."

"Papa dobrak aja gimana?" usul Papa Eva.

"Jangan-jangan, Pa." Eva melambai-lambaikan kedua telapak tangannya. Eva segera menolak. Kalau papanya dobrak pintu, bisa tambah rusak. Itu lebih berbahaya untuk Eva.

"Terus mau gimana? Masa kita nunggu sampai pintu itu terbuka. Mama nggak mau bermalam depan kamar begini. Udah mirip tunawisma aja." Mama Eva cemberut. Dia sudah duduk selonjoran di teras kamar kos.

Eva menatap kedua orangtuanya. Ini kesalahannya, seharusnya orangtuanya tidak perlu datang ke sini hanya untuk melihatnya. Meskipun sering kesal dengan sikap suka mengatur mamanya, Eva tetap patuh.

"Tunggu Eva di sini. Eva mau ke rumah utama dulu, minta kunci kamar ini." Eva beranjak dari depan pintu.

Ketika melewati Papanya, Eva mendengar mamanya mengatakan kalimat yang dihindarinya. Eva sampai mematung di tempatnya.

"Hubungan kamu dengan Sofyan, gimana? Sofyan masih sering hubungin kamu?" tanya Mama Eva.

Eva berbalik dan menatap dengan lelah mamanya. "Kenapa malah bahas itu, Ma?"

"Tiba-tiba teringat aja. Sejujurnya, Mama berharap hubungan kalian diakhiri saja."

"Mama kenapa sih, selalu nentang hubungan aku sama Sofyan?"

"Karena, Mama nggak suka sama dia. Sofyan tidak punya masa depan. Hanya seorang atlet bulu tangkis. Itu nggak jamin masa depan kamu."

"Terus mama pengen aku punya pasangan yang seperti apa?" tanya Eva. Dia cukup lelah mendengar mamanya selalu merendahkan profesi pacarnya yang merupakan seorang atlet. Padahal, di mata Eva, seorang atlet sangat keren dan tentu saja punya masa depan. Hanya saja, pandangan Eva berbeda dengan mamanya.

"Pria mapan, seperti bapak kos kamu." Tanpa beban, Mama Eva mengatakan itu.

Mata Mira membulat sempurna. Tidak mengerti pemikiran mamanya.

"Mama mau aku nikah sama duda beranak satu? Big no, Mam!" kata Eva dengan suara yang sedikit meninggi.

"Mama lihat dia pria yang baik dan bertanggung jawab. Dia juga belum tua, tampan dan gagah. Dia cocok sama kamu. Lagipula, kakaknya menawari kamu untuk menjadi ibu sambung anak itu. Kamu juga tampak cocok sama bayinya."

"Mama mikirin masa depan aku nggak sih? Mama seriusan ngomong itu?" Eva menatap heran mamanya yang terlihat santai mengatakan hal yang gila.

"Bukannya kamu sangat diuntungkan? Kamu tidak perlu tertekan demi mendapatkan anak lagi karena kamu cukup menjadi ibu anak itu. Kamu juga akan dijaga oleh bapak kos kamu. Mama juga sempat cerita sama kakaknya, katanya bapak kos kamu itu pernah jadi dosen LB di salah satu kampus sini. Mama bisa titipin kamu ke dia supaya segera menyelesaikan kuliah."

"Ma!" tegur Eva. Apakah mamanya sadar dengan ucapannya?

Eva menoleh ke papanya. Meminta pertolongan agar papanya memberinya pembelaan. Tetapi, Papa Eva hanya diam saja.

"Ah, menyebalkan! Aku akan ke rumah utama minta kunci. Sepertinya pikiran mama sama papa terganggu karena kelamaan nunggu di depan kamar."

Eva berlalu dengan perasaan dongkol. Dia menuju rumah utama dan menemukan Dona sedang termenung di teras.

Eva memaksakan senyum di wajah sebelum menyapa Dona. "Bu, Pak Rafa ada di mana ya?"

Tersadar dari lamunannya, Dona mengintip dulu ke dalam sebelum menjawab, "Ada di dalam. Di kamarnya Arumi. Kamu tau 'kan? Langsung masuk aja."

Eva mengangguk. Dia beranjak memasuki rumah.

"Eva!" panggil Dona mencekal lengan Eva.

Eva menatap tanya Dona. Dia tidak bisa menebak alasan Dona menghentikannya. Dia menunggu Dona kembali bersuara.

"Eva, saya mohon bantuan kamu," kata Dona dengan wajah agak memelas.

Eva mengerutkan dahi, "Bantuin apa, Bu?"

Dona menelan ludah. Dia ragu untuk mengatakan keinginannya, tapi merasa harus menyampaikannya pada Eva.

"Kamu mau ya nikah sama Rafa. Aku mohon. Jadi ibu untuk Arumi."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status