"Papa, kapan Papa dan Mama akan menikah?" Celetuk Naya memecah keheningan malam.Naren yang sedang menyetir menoleh sejenak ke arah putrinya yang duduk di jok sebelahnya. Kali ini Naya sama sekali tidak menangis saat di ajak pulang ke rumah karena Naren beralasan jika Naya ingin segera melihat papa dan mama menikah maka ia harus pulang dan tidak menangis. Dengan rasa sedikit kesal Naya akhirnya menurut tanpa menangis."Hmm mungkin bulan depan, kenapa?""Lama sekali, apa tidak bisa minggu depan saja? Naya sudah tidak sabar ingin tidur bersama Mama setiap hari." Rajuk Naya yang membuat Naren tertawa pelan."Kalau ingin cepat Naya harus membantu Papa.""Membantu apa, Papa? Naya mau!" Jawab Naya cepat.Tubuhnya yang bersandar kini berubah condong ke arah Naren, sudah tidak sabar ingin tahu apa itu. Membuat Naren terkekeh di sela kegiatannya menyetir mobil, tingkah Naya sungguh menggemaskan di matanya. Jalanan Surabaya malam ini terasa sangat lengang, tidak seperti malam-malam biasanya yan
Renata termenung dalam lamunannya, pagi ini perempuan itu merasa enggan untuk bekerja. Ia meringis saat mengingat keputusannya semalam. Bagaimana bisa dia setuju menikah dengan Naren tanpa adanya rasa tulus dan cinta. Renata pikir dia sudah gila karena berani-beraninya senekat itu.Tubuhnya sudah rapi berbalut pakaian kerja, seharusnya Renata segera berangkat sebelum jam semakin siang atau dia harus rela tertinggal bus. Entah apa yang membuat perempuan itu ragu untuk berangkat ke kantor, apakah ia takut saat sampai di kantor tiba-tiba bertemu Nawes? Atau ia canggung bertemu dengan Naren? Namun suara bel membuat lamunan perempuan itu buyar, dengan tergesa beranjak untuk membuka pintu. Wajahnya yang terkejut terlihat kentara lantaran saat ia membuka pintu sudah ada Naren yang berdiri di depan unitnya. Laki-laki itu tersenyum lebar saat menatapnya dan laki-laki itu sendirian. Tidak bersama Naya yang justru membuat Renata lebih terkejut."Selamat pagi, Renata." Sapa Naren."Pa-pagi, Pak.
Kini keduanya berada di toko perhiasan, seperti kata Naren yang akan membawanya untuk mencari cincin pernikahan. Mereka sepakat untuk tidak mengadakan acara pertunangan dan langsung menikah saja. Sudah ada beberapa jenis cincin di hadapan keduanya, dari yang elegan hingga yang terlihat begitu mewah. Membuat Naren bimbang harus memilih jenis cincin mana yang terlihat paling bagus saat dipakai Renata karena semuanya pasti terlihat cantik di jari lentik perempuan itu."Yang sederhana saja, Mas." Putus Renata menarik atensi Naren.Panggilan itu masih terasa canggung, sebab beberapa jam yang lalu Naren masih bosnya. Tapi sekarang laki-laki itu menjadi calon suaminya. Ini masih terlihat tidak nyata bagi Renata."Yang biasa? Kau suka yang mana, aku menurut saja." Balas Naren karena semua bentuk cincin untuk laki-laki terlihat sama saja desainnya."Aku yang memilih?""Iya, kan kau yang akan memakainya."Renata mengangguk samar sebelum kembali memusatkan atensi ke beberapa cincin di hadapannya
"Papa kenapa lama sekali sih?! Naya kan mau cepat-cepat ketemu Mama!" Cecar Naya yang baru masuk ke dalam mobil.Di bangku kemudi Naren terkekeh melihat putrinya yang merengut marah. Bibir kecilnya mengerucut serta tatapan matanya tajam ingin menusuk. Tapi bukannya takut atau merasa bersalah, Naren justru semakin terkekeh karena putrinya terlihat sangat lucu."Maaf sayang, Papa harus menyelesaikan beberapa urusan dulu. Naya mau kan memaafkan Papa?" Tanya Naren yang kini sepenuhnya menghadap Naya."Tidak mau! Naya marah sama Papa. Biasanya Papa datang jam 12 tepat, kenapa hari ini telat 30 menit? Naya sudah lapar ingin makan!" Omel Naya yang terlihat benar-benar marah."Yahh... Naya tega dengan Papa? Padahal Papa sudah memesan tempat di restoran favorit Naya. Rencananya Papa ingin membawa Naya untuk makan siang di sana, tapi karena Naya tidak mau memaafkan Papa yasudah tidak jadi." Pasrah Naren yang pura-pura kecewa.Diam-diam Naren memperhatikan raut wajah putrinya yang berubah menyes
"Dari aku kecil hingga dewasa, aku tinggal di sini. Ya begini lah lingkungan tempat tinggal kami, berbeda dengan lingkunganmu, Mas."Renata tersenyum tipis saat Naren tidak berhenti memperhatikan bangunan rumah tua tempat tinggalnya dulu. Ya, sekarang mereka berada di panti asuhan tempat asal Renata. Mereka sudah berada di sini sejak sore hari hingga petang menjelang.Kedatangan Naya dan Naren disambut baik di panti, bahkan Naya cepat akrab dengan anak-anak seusianya. Mereka berkenalan dan mulai bermain bersama hingga kelelahan, Naya yang tidak memiliki banyak teman merasa sangat senang saat bertemu anak-anak panti. Begitu pula Naren yang sudah bertemu dengan bu Mirna dan memberi tahu tentang pernikahannya dengan Renata.Wanita paruh baya itu jelas sangat terkejut namun juga sangat bahagia mendengar kabar itu. Selama ini bu Mirna tidak pernah tahu jika Renata dekat dengan laki-laki, perempuan itu juga tidak pernah mengenalkan seorang teman laki-laki padanya, tapi hari ini tiba-tiba da
Naren tersenyum dalam pangutannya, ciuman hangat yang baru saja ia berikan terasa sangat tulus, tanpa sekalipun ada niat selain memberi sebuah keyakinan. Namun lelaki itu terpaksa melepaskan tautan bibir mereka karena Renata yang memukul dadanya, perempuannya mulai kehabisan napas. Naren terkekeh saat melihat Renata langsung menunduk malu, walau tercemar pantulan sinar rembulan Naren tahu pipinya bersemu. Perempuan itu bahkan tidak berani menatap wajahnya dan itu sangat lucu."Maaf, aku tidak bisa menahannya." Ujar Naren penuh penyesalan.Kedua tangan lelaki itu mengenggam kedua tangan Renata yang terasa dingin. Tidak ada jawaban dari Renata dan perempuan itu masih tak bergeming. "Renata, maafkan aku." Ulang Naren takut perempuannya marah.Lelaki itu menunduk ingin melihat wajah Renata sebelum akhirnya perempuan itu mengangguk pelan, membuat senyum kembali terpatri di bibirnya. Mereka terlalu lama duduk di selasar rumah dan berpangut bibir hingga tak menyadari jika hari semakin malam.
Semua penghuni mansion jelas tahu Naya adalah gadis kecil penguasa di mansion, semua orang menurut pada Naya tanpa terkecuali. Termasuk Aldeis dan Nawes yang sangat menyenyangi Naya. Jika Naren adalah putra mereka yang penurut, maka Naya adalah cucu yang sedikit pembangkang. Sebab Naren mendidik putrinya tak sekeras Naren saat mendidiknya dulu.Jika Naren kecil harus selalu menghormani orang tua, berbeda dengan Naya yang justru biasa saja dengan anggota keluarganya. Gadis kecil itu tidak pernah sekalipun menundukkan kepala kepada Nawes, Aldeis, apalagi Naren. Naya selalu mendongak angkuh karena merasa bisa memiliki semua yang dia inginkan, begitu lah cara Naren memanjakan putrinya, maka saat Naya tidak mendapatkan apa yang di inginkan, dia akan berubah menjadi rubah kecil yang suka menggigit, suka mengancam, begitulah Naren menyebutnya."Kakek! Kamu harus setuju Mama Renata menjadi Mamaku!" Begitu lah cara Naya meminta persetujuan pada Kakeknya. Gadis kecil itu akan memaksa dan harus
"Papa, Naya mau bertemu Mama." Pinta Naya saat mereka telah memasuki mobil. Air mata gadis kecil itu sudah tidak lagi mengalir, tetapi wajahnya memerah padam. Mata sembabnya menatap Naren sayu. Seolah memohon agar dipertemukan dengan Renata."Baiklah, kita jemput Mama sekarang." Ujar Naren setuju, lalu menyuruh sopir agar segera melajukan mobil. Meninggalkan mansion dengan perasaan campur aduk.Hari ini Naren memutuskan untuk tidak menyetir sendiri karena putrinya yang tak mau melepas pelukannya. Naya duduk dengan nyaman di atas pangkuan, bersandar di dada sang ayah. Menikmati usapan lembut di punggungnya."Papa, Naya mau Mama Renata." Mohon Naya dengan suara yang berubah bindeng."Iya, sayang. Tenang, Mama Renata akan menjadi Mamanya Naya." Tenang Naren yang sesekali menciumi pucuk kepala putrinya."Naya dengar kan, tadi Kakek bilang Papa boleh menikah dengan Mama. Jadi, Naya tidak perlu khawatir, jangan bersedih." Bujuknya.Naya diam tak menjawab, anak itu terlalu nyaman berada di