Share

4. Pindah ke rumah Naya

Sesampainya mereka di apartemen Renata, Naya sama sekali tidak melepaskan pelukannya. Balita itu cenderung mengunci pergerakan Renata agar tidak menjauh darinya. Naren sendiri kuwalahan dengan kelakuan putrinya yang sangat aneh hari ini.

"Naya, lepaskan mama. Kau tidak bisa memeluknya terus menerus." Naren mencoba menarik putrinya yang masih duduk di atas pangkuan Renata.

Balita itu menggeleng keras, semakin mengeratkan pelukannya hingga Renata terdesak antara tubuh Naya dan jok mobil. "Aku akan melepaskan mama jika mama berjanji akan pindah ke rumah kita, papa."

Naren kembali menghela napas mendengar itu, putrinya yang pintar tidak akan mudah dibodohi. Lelaki itu beralih pada Renata yang terlihat tidak nyaman. Ya bagaimana bisa seseorang setuju begitu saja dengan ajakan konyol seorang bocah, sekalipun itu adalah anak bosnya sendiri Renata tetap tidak bisa gegabah.

"Renata, tolong saya, ya?" Pinta Naren pada akhirnya, mereka tidak mungkin terus-terusan seperti ini. Mungkin seiring berjalannya waktu Naya akan mengerti, kali ini ia memohon pada Renata untuk membantunya.

Renata tampak ingin menolak sebelum akhirnya Naya kembali terisak di pangkuannya. "Hiks... Aku kan cuma mau punya mama... hiks."

"Jangan menangis, manis. Baiklah aku akan tinggal bersamamu, tapi apa boleh aku pulang dan membawa beberapa barang?" Renata mengalah, hatinya melunak tak tega saat melihat Naya menangis.

"Aku ikut." Balita itu mendongak, matanya yang berair kini berubah menjadi binar.

"Ayo lepaskan pelukanmu dulu, aku tidak akan meninggalkanmu." Dengan terpaksa Naya melepaskan pelukan eratnya. Kemudian beralih pada sang papa yang menatapnya lamat.

"Papa tunggu di sini ya, aku akan segera kembali bersama mama." Ujarnya dengan senyuman. Naya turun lebih dulu baru kemudian di susul oleh Renata, mereka berjalan beriringan dengan bergandengan tangan.

Dari dalam mobil Naren menatap lamat punggung keduanya, mereka terlihat seperti sepasang ibu dan anak. Naya jelas kentara nyaman berada di dekat Renata, seolah melihat sesosok ibu yang tidak pernah ia temui selama ini.

Naya masih terlalu kecil untuk mengetahui fakta mengapa ia tidak memiliki ibu, sejak bayi Naya hanya di rawat oleh Naren dan di bantu oleh neneknya. Anak itu tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu, tanpa cinta dari ibu.

Sekarang Naren harus berpikir lebih luas, bagaimana caranya merayu Naya agar tidak lagi mengganggu Renata dan menganggap Renata sebagai ibunya. Bukannya Naren tak suka, perempuan itu cantik dan lemah lembut, mungkin seiring berjalannya waktu Naren bisa saja mencintainya. Tapi belum tentu dengan Renata, Naren tahu jelas dengan tatapan Renata yang tidak nyaman berada di dekatnya.

Kedua perempuan berbeda usia itu telah hilang di telan gedung tinggi, Naren hanya bisa menunggu di dalam mobil yang hening. Namun, isi kepalanya sangat berisik sebab memikirkan Naya yang tiba-tiba bisa dekat dengan orang asing. Padahal Naya adalah anak yang sangat susah berinteraksi dengan orang yang tak dikenal.

Di sisi lain Naya terus menggandeng tangan Renata hingga mereka sampai di unit milik Renata, apartemen biasa yang tidak terlalu besar. Hanya ada satu kamar, dapur dan ruang tamu yang kecil, Renata tinggal sendirian ia tidak perlu tempat tinggal yang besar sebab akan lebih merasa kesepian. Terlebih apartemen di gedung ini biaya sewanya murah.

"Mama tinggal sendirian?" Tanya Naya saat mereka masuk ke dalam apartemen, Naya tidak melihat tanda-tanda kehidupan di sini hanya ada rasa sepi yang teramat.

"Iya, kamu tunggulah sebentar mama akan mengemasi beberapa pakaian." Renata meninggalkan Naya di ruang tamu, balita itu menurut dan duduk di atas sofa.

Melihat sekelilingnya yang sangat jauh berbeda dari rumah yang ditinggalinya. Rumahnya sangat besar, ada nenek, papa dan dirinya, lalu ada banyak maid sehingga rumahnya tidak terasa sepi.

"Kasihan mama, pasti sangat kesepian karena tinggal sendirian selama ini."

Renata kembali bimbang saat memasuki kamarnya, mulai ragu apakah keputusannya untuk membantu Naren adalah hal yang benar atau salah. Renata takut jika seperti ini Naya justru akan menahannya lebih lama, balita itu mungkin saja tidak akan mengijinkannya untuk pulang. Sebab ada sebuah harapan yang besar di mata Naya, harapan jika Renata benar-benar menjadi ibunya.

"Mama, apa kau masih lama?" Panggilan dari luar membuyarkan lamunannya, Renata terkesingkap saat melihat Naya berdiri di ambang pintu kamarnya.

"Ah tidak, sebentar lagi mama selesai." Renata buru-buru memasukkan beberapa stel pakaian kerja dan rumahan. Mungkin besok ia tidak diminta untuk menginap lagi, maka ia tidak akan membawa banyak pakaian ganti.

"Mama hanya membawa ini? Mama kan pindah bukan hanya untuk menginap." Naya mendekat, menatap bingung padanya sebab hanya membawa sebuah ransel kecil.

"Bisa dibereskan besok, jika membawa banyak barang itu akan membuat papamu menunggu lama. Ayo, mama sudah selesai." Renata terpaksa berbohong, sebab jika ia tidak melakukannya Naya akan kembali bertanya.

Dengan sedikit tergesa Renata menarik tangan Naya agar mengikuti langkahnya, setelah memastikan unitnya terkunci mereka segera kembali ke lobby untuk menghampiri Naren.

"Mama, apa kau bisa memasak?" Tanya Naya di sela-sela perjalanan mereka.

"Bisa, Naya ingin dimasakkan?"

"Ya, aku mau! Aku selalu berharap bisa merasakan masakan seorang mama." Naya mengangguk cepat, mata jernihnya kembali berbinar membuat Naren yang duduk di sebelahnya melirik manis.

"Ingin makan apa untuk makan malam?" Sepertinya Renata mulai menikmati perannya sebagai ibu sementara. Di usapnya surai milik Naya dengan lembut.

"Hmm, apa yaa? Papa ingin makan apa?" Naya beralih pada sang papa yang sibuk menyetir. Sesekali lelaki itu akan melirik karena interaksi keduanya.

"Papa bisa makan apa saja, terserah mama ingin memasakkan apa, bukankah begitu?" Naren tersenyum dan sedikit mengalihkan tatapannya pada Renata.

Mati-matian Renata menahan detak jantungnya yang mulai tidak terkontrol, pipinya memanas sebab Naren baru saja ikut memanggilnya 'mama' terlihat seperti pasangan sungguhan.

"Setuju, kami akan memakan apapun yang mama masak, pasti enak." Kali ini Renata tidak bisa lagi menahan senyum dan rona di pipi. Mendengar pujian tulus yang tidak pernah ia dengar sebelumnya sungguh membuat hatinya menghangat.

Mansion yang sangat luas dan megah kini sungguh berada di hadapannya, Renata sangat kagum dengan mansion yang bahkan tidak pernah masuk ke dalam khayalannya. Biasanya Renata hanya melihat lewat ponsel tetapi kini dia melihatnya secara nyata, dan lebih hebatnya ia akan menginap di mansion nan megah ini.

Renata masih tidak percaya sehingga keterkejutannya membuat Naya tersenyum geli, "Mama, kau tidak akan kesepian di apartemen kecilmu lagi. Aku akan menemanimu mulai sekarang."

Ah bukankah Naya memang anak yang manis? Jadi seharusnya Renata tidak terkejut dengan ucapan balita yang bahkan usianya belum genap lima tahun.

"Terima kasih untuk niat baikmu, Naya."

"Tidak perlu berterima kasih, kita adalah keluarga mulai sekarang." Naya menggenggam tangan Renata erat, seolah ada sebuah perasaan yang tidak akan terputus dengan mudah.

"Baiklah, ayo turun. Adegan manisnya bisa kalian lanjut saat di masion." Interupsi Naren yang kini keluar mobil lebih dulu, lalu berjalan memutar dan membukakan pintu untuk Renata dan Naya.

"Papa, kau juga harus menjaga mama mulai sekarang. Kita adalah keluarga."

"Iya sayangku, papa berjanji akan menjaga mama semampu papa." Jawab Naren sembari menatap Renata yang salah tingkah. Lelaki itu terkekeh pelan sebelum akhirnya menggandeng Naya untuk masuk ke dalam mansion.

"Ayo Renata, anggap saja seperti rumah sendiri." Ujar Naren saat sadar Renata belum juga menyusul mereka.

Perempuan itu kelabakan, dengan muka terkejut berjalan cepat menyusul pasangan ayah dan anak itu.

Seperti dugaannya, mansion ini dipenuhi barang barang mewah, khas orang kaya yang suka mengoleksi barang-barang mewah dari luar negeri.

Renata tidak bisa membayangkan seberapa luas seluruh bangunan mansion milik keluarga Naren yang pasti ini berpuluh kali lipat dari unit apartemennya.

"Nenek lihat aku membawa mama baru!" Pekik Naya senang saat melihat neneknya duduk di sofa ruang tamu. Wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik.

Aldeis, mama Naren, beranjak dari duduknya karena melihat sosok baru yang berjalan di belakang Naren. Perempuan yang terlihat asing dan ini kali pertama Naren membawa seorang perempuan ke rumah.

"Nenek, mama baruku cantik kan? Aku lebih pintar dari papa nenek! Aku bisa menemukan mamaku sendiri." Sorak Naya senang karena merasa menang dan hebat dari papanya.

"Ma, ini Renata, Renata ini mama saya." Kenal Naren karena mamanya sudah menuntut penjelasan.

Aldeis tersenyum saat Renata mengangkat kepalanya, memberi salam sesopan mungkin. "Halo Renata, kenalkan saya Aldeis orang tua Narendra."

Renata dengan sigap menerima uluran tangan Aldeis yang tak lain adalah bosnya juga. "Renata, tante, saya staff di perusahaan pak Naren." Balas Renata canggung.

Aldeis jelas tahu rasa canggung saat Renata masuk ke dalam rumahnya, maka sebagai tuan rumah yang baik Aldeis mendekatinya lebih dulu.

"Kau sangat cantik, kemarilah sayang." Aldeis menarik tangan Renata agar duduk di sebelahnya.

"Nenek, bolehkan mama tinggal bersama kita? Aku ingin tidur bersama mama." Aldeis mengangguk, "Tentu saja boleh, rumah akan lebih hidup jika ada sosok ibu di dalamnya."

"Renata, bolehkah aku bertanya padamu?" Renata mengangguk, tak ia sangka tuan besar dari perusahaannya adalah nyonya yang baik hati.

"Mengapa Naya menganggapmu sebagai ibunya? Apa Naya yang memintanya?"

"Naya yang meminta saya tante, sejujurnya saya juga tidak mengerti." Jawab Renata canggung.

"Baiklah, tidak masalah, kebahagiaan cucuku adalah segalanya. Aku akan meminta maid untuk menyiapkan kamar untukmu."

"Terima kasih."

"Anggap saja seperti rumah sendiri."

Renata mengangguk, ia merasa keluarga ini bukanlah keluarga yang ada di pikirannya, sombong, angkuh dan merasa tinggi. Aldeis memperlakukannya sangat baik.

"Maid, tolong antar Renata ke kamar yang di sebelah kamar Narendra dan Naya, siapkan juga keperluannya."

Renata membungkuk sopan sebelum akhirnya mengikuti seorang maid yang menuntunnya menuju kamar. Kamar yang sangat luar, bahkan lebih luas dari unit apartemennya.

"Mama ingin bicara denganmu, Narendra." Aldeis beralih pada putranya yang tidak melepaskan tatapan dari Renata.

Lelaki itu dengan kaku menoleh pada mamanya, lalu menyandarkan punggung pada sandaran sofa, "ada apa?"

"Bagaimana ceritanya Naya memaksa seseorang untuk menjadi mamanya? Kau sudah gila? Merepotkan orang lain bukanlah ajaran keluarga kita."

"Ma, kau tau sendiri bukan Naya seperti apa jika keinginannya tidak terpenuhi? Dia menangis saat Renata hendak pulang, aku akan bernegosiasi dengan Renata nanti, aku akan menaikkan gajinya karena mau membantu kita."

"Menaikkan gaji kau bilang?" Aldeis berdecak. "Menikahlah dengannya dan wujudkan keinginan Naya yang ingin memiliki seorang mama."

Naren melotot mendengar ucapan mamanya, sungguh di luar dugaan sang mama yang suka memilih-milih perempuan untuk di jadikan menantu kini tanpa alasan memintanya menikahi Renata yang bahkan tidak mereka kenal.

"Mama bercanda?" Tanya Naren tak yakin.

"Tidak, aku yakin Renata adalah perempuan baik-baik, dia tidak terlihat seperti perempuan penjilat yang suka dengan harta. Mama percaya perasaan yang Naya rasakan pada Renata, anak kecil tidak pernah bisa berbohong soal perasaan."

"Pernikahan itu melibatkan dua kepala, ma. Belum tentu Renata mau menikah denganku."

"Ya kau pikirkan cara untuk membuatnya mencintaimu, Narendra. Kau ini bukan remaja lagi, kau juga harus memikirkan masa tuamu, siapa yang akan menemanimu di masa tua jika bukan pasangan?"

Narendra terdiam mendengar mamanya, memang ada benarnya. Tapi tetap saja, menikah bukanlah yang hal main-main. Lagi pula di usianya yang masih 27 tahun, Narendra tidak perlu terburu-buru menikah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status