Share

Rumah Sakit

Author: Yuniartinoor
last update Last Updated: 2021-09-11 08:08:04

Aku terbangun sudah berada di Rumah Sakit dengan jarum infus terpasang di salah satu tangan. Saat mengedarkan pandangan tak ada siapapun di sini, bahkan Mas Satya yang biasanya selalu ada di sampingku tidak ada.

Air mataku luruh saat mengingat kejadian malam kemarin, kenapa Mas Satya berada di kontrakan Rena? Aku menggeleng sendiri, ngeri, dan tak mau membayangkan apa yang sebenarnya terjadi malam itu.

"Mbak, sudah sadar?" tanya Rena.

Aku kaget sekali, "kenapa juga anak ini harus di sini?" gumamku.

Aku membuang muka ke arah tembok, malas sekali rasanya jika harus melihat wajah Rena.

"Mas Satya kerja pagi, Mbak. Kebetulan Rena masuk malam jadi bisa menjaga Mbak di sini," terang Rena.

Ya Allah tega sekali Mas Satya pergi bekerja padahal kondisiku seperti sekarang. Aku semakin tidak tenang memikirkan Brama, dengan siapa anakku di rumah jika Mas Satya bekerja?

"Suster! Apa aku bisa pulang sore ini?" tanyaku pada seorang perawat yang datang mengganti infusan.

"Belum, Bu. Kondisi Ibu lemah, harus bed rest beberapa hari," jawab Suster.

"Aku tidak tenang, anak sulungku di rumah tidak ada yang jaga," jelasku.

"Mbak jangan khawatir Brama dititipkan pada istri Mas Galih," potong Rena.

Aku sama sekali tidak menghiraukan kata-kata Rena. Meliriknyapun malas, jika sanggup malah aku ingin mengusirnya saja dari ruangan perawatan.

"Suster bisa bantu menyuapiku? Sebentar, hanya beberapa suap ... yang penting perutku tidak kosong," pintaku pada Suster.

"Aku saja, Mbak!" tawar Rena.

"Enggak Suster, aku mau Suster yang suapi!" tolakku.

Suster yang berada di ruangan terlihat bingung tapi aku tetap menahannya agar Suster bisa menyuapiku. Alhamdulillah Susternya mau, sampai setengah bubur di mangkuk habis ku makan.

Terlihat ekspresi kesal di wajah Rena, tapi aku tak pedululi dan memilih berzikir dan tidur menyamping agar bisa membelakangi Rena.

"Mbak ... mbak jangan salah faham, malam kemarin Mas Satya hanya membantuku memasang kompor dan tabung gas. Kebetulan sudah gajian jadi aku beli kompor baru," jelas Rena.

"Apakah tidak ada hari esok? Lagi pula kenapa pasang regulator dan gas sampai 3 jam lebih? Kalian juga tidak mengabariku, handphone kalian tidak aktif. Coba kamu pikir apa yang dua orang berlawanan jenis bukan muhrim lakukan di dalam satu ruangan? pintu dan gordeng bahkan tertutup rapat, apa salah jika aku berpikir telah terjadi sesuatu antara kalian?" omelku.

Rena tidak menjawab dia hanya menunduk, sampai Mas Satya datang ke ruangan membawa Brama. Datangnya Brama membuat emosiku sedikit terkendali. Aku memeluk Brama, kasihan dia ... aku sudah semalam di Rumah Sakit, bagaimana makannya, tidurnya? Itu yang mengganggu pikiranku sedari tersadar pagi tadi.

"Ibu ... ayo pulang! Brama gak betah nginep di rumah Om galih. Masa Brama bobo sama Reva dan Tante Ivi? Brama kan cowok, Bu," keluh Brama.

Sejak tiba di ruangan pelukanya begitu erat, Brama bermanja sambil berbaring di sampingku. Brama memang anak yang pintar, jangan sampai dia berubah seperti ayahnya. Sikap baik Mas Satya jungkir balik 360° setelah kehadiran Rena antara kita.

Gemas sekali aku mendengar penuturan polos Brama, padahal Mas Satya kerja pagi kenapa malam Brama di titipkan pada Mbak Ivi? Apa Mas Satya tidur di kontrakan Rena? Aku jadi berpikir kearah sana, ya Allah ... semoga semua hanya dugaanku saja.

"Kamu sudah sehat, Sayang?" Mas Satya mencium keningku sambil mengusap lembut pucuk kepalaku. Aku segera menepis tangan kekar itu, jijik rasanya jika mengingat kejadian malam kemarin.

"Jangan banyak pikiran, kata Dokter kamu jangan setres, harus banyak istirahat."

"Apa peduli, Mas? Tolong suruh Rena keluar! Aku sangat tidak nyaman di jaga olehnya," pintaku.

Tanpa basa-basi Rena seolah mengerti, sebelum Mas Satya menyuruhnya keluar gadis itu segera meninggalkan ruangan.

"Sudah makan, Sayang?" tanyaku.

Brama tidak menjawab, anak itu malah melirik ke arah Mas Satya. 

"Apa anakku belum makan?" gumamku.

Sepertinya benar Brama belum makan sebab saat aku menyuruh Brama menghabiskan lauk dan buah jatah makanku Brama begitu lahap. Setelah makan Mas Satya memberikan handphone-nya pada Brama, ia sengaja mengalihkan fokus Brama ke handphone agar bisa mengobrol denganku.

"Jaga kesehatan demi calon buah hati kita, kalau kamu sakit kasihan bayi kita di dalam," bisik Mas Satya sambil mengelus perutku yang semakin membesar.

"Sedang apa Mas di kontrakan Rena?" tanyaku, ketus.

"Sudahlah jangan bahas ini, kamu harus jaga kondisi," tolaknya.

"Bagaimana aku bisa tenang, Mas? Sebagai istri aku khawatir saat suami telat pulang dan tak ada kabar. Handphone tidak aktif, teman satu pabrik sudah pada pulang tapi kamu belum. Kamu kemana? Ngapain kamu di kontrakan Rena? Motor entah disimpan di mana, pintu dan gordeng di tutup rapat. Kalian ngapain?" cerocosku, emosi. 

Aku tak bisa lagi menahan emosi yang sedari kemarin malam ingin aku luapkan. Sayang sekali semalam aku harus tak sadarkan diri. Beberapa kali Mas Satya menempatkan telunjuk tepat di bibirnya, memberi isyarat agar aku diam dan mengecilkan volume suaraku.

"Dengar, Sayang ... aku hanya membantu Rena memasang kompor dan tabung gas yang baru ia beli," jelas Mas Satya.

"Aku bukan anak kecil yang bisa kaluan bohongi, Mas. Secara logika memasang kompor dan tabung gas tidak akan menghabiskan waktu 3 jam. Mas biasanya pulang kerja jam 11, kemarin malam jam 2 pagi Mas belum pulang," kilahku.

"Regulatornya kendor, pas di pasang ke tabung gas gak klop. Kalau gak pas nanti takutnya bocor kalau kompor menyala dan dipakai memasak."

Mas Satya masih saja membela dirinya padahal aku sudah malas mendengar ocehannya.

"Apa tidak ada hari esok? Memangnya harus dipasang malam itu juga? Ingat kalian bukan muhrim, kenapa juga itu pintu dan gordeng tertutup rapat? Coba Mas pikir, apa yang dipikirkan orang jika kalian berduaan di kontrakan malam-malam?" cerocosku, lagi.

Enak saja, dia pikir aku akan diam saja. Aku tidak akan takut bahkan jika kejadian terburuk sekalipun. Sumpah ... aku paling benci sebuah pengkhiantan dan tidak akan percaya lagi pada orang yang sudah pernah berkhianat kepadaku, termasuk Mas Satya.

Perset*n dengan cinta yang dulu pernah kita miliki. Apa artinya jika dia sudah menodai semuanya. Aku tidak takut meskipun seandainya Mas Satya memilih Rena.

Emosi sepertinya memang sudah terlalu menguasaiku, hingga aku sudah tidak bisa berpikir jernih. Setelah aku mengomel dan menumpahkan seluruh amarahku aku kembali tak sadarkan diri. 

Tengah malam aku kembali tersadar, mencari keberadan Brama tapi ia tidak ada. Sepertinya Brama diantar pulang, lagi pula anak usia di bawah 9 tahun yang sehat tidak diizinkan untuk menginap di Rumah Sakit.

Mas Satya tidur pulas di kursi yang berada tepat di samping ranjang. Tenggorokanku terasa kering tapi aku malas jika harus meminta bantuan Mas Satya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Super (Aku bisa Tanpamu, Mas!)   Kasulitan yang diciptakan Sendiri

    Kesulitan telah Mas Satya buat sendiri, meskipun aku tidak benar-benar melarangnya menemui anak-anak dia malu sendiri dengan kelakuannya.Menurut bodyguard yang menjaga Cantika di Sekolah, beberapa kali mas Satya datang ke sekolah, meminta izin untuk bertemu dengan Cantika. Setelah penjaga Cantika meminta izin padaku via telepon mas Satya diizinkan berbicara dan memeluk Cantika beberapa menit sebelum Cantika pulang ke rumah.Sama halnya dengan Cantika, mas Satya juga datang ke sekolah Bramma. Bramma yang sudah SMP dan tidak didampingi bodyguard seperti Cantika, membuat Mas Satya lebih leluasa bertemu, mengobrol bahkan memeluk Bramma lebih lama.Bramma yang beranjak dewasa tak berani jujur padaku jika Mas Satya sering menemuinya di sekolah. Aku mengetahuinya dari orang-orang Mas Ammar. Mungkin Bramma takut aku melarangnya bertemu Mas Satya.Sebagai seorang anak Bramma

  • Ibu Super (Aku bisa Tanpamu, Mas!)   Ternyata ....

    Aku berusaha merebut Cantika dari dekapan Mas Satya, sambil menangis aku merebut Cantika ayahnya."Cantika milikku!" Mas Satya mendorongku sampai jatuh kelantai.Mas Amar yang emosi tak kuasa lagi menahan amarahnya. Dia mengambil paksa Cantika lalu menghant*m wajah Mas Satya sekali. Cantika yang ketakutan menangis lalu berlari kearah Bramma, gadis kecilku mendekap tubuh abangnya dengan gemetar.Hampir saja orang-orang suruhan Mas Ammar juga ikut memuk*li Mas Satya tapi aku mencegahnya. Ada orang tua Mas Satya, ada anak-anak juga. Bagaimana psikoligis mereka jika melihat anak dan ayah mereka dipuk*li? Aku tak pernah mau ini terjadi, dari awal perceraian aku selalu menjaga agar semuanya baik-baik saja. Meskipun tersakiti aku tetap memberi maaf tapi jika akhirnya begini aku juga tidak akan diam."Ayo Rama, bawa adiknya ke mobil sebelum ayah kalian tambah emosi!" titah Ibunya Mas Satya."Iya,

  • Ibu Super (Aku bisa Tanpamu, Mas!)   Cantika Ditemukan

    Ada kabar dari kepolisian katanya Cantika dibawa keluar kota. CCTV di sebuah statsiun kereta api menunjukan anak berciri-ciri seperti cantika melintas sekitar 3 hari yang lalu.Tangisku pecah, aku takut terjadi sesuatu pada anakku. Bagaimana kalau anakaku diculik dan dijadikan peng*mis seperti yang kulihat di TV atau bahkan lebih buruk ... sekarang kan sedang viral yang jual beli organ tubuh. Semoga Cantika baik-baik saja, semoga Allah selalu melindungi anak-anakku dimanapun mereka berada."Sudahlah jangan menangis, setidaknya kita sudah punya petunjuk untuk mencari Cantika. Terus berdoa, polisi dan orang-orang suruhanku tidak akan berhenti sampai Cantika ditemukan," ujar Mas Ammar."Statsiun itu ... kita bisa berangkat ke kampung Mas Satya menggunakan kereta dari statsiun itu. Mas Satya kemana? Sudah berapa hari aku tidak melihatnya." Tiba-tiba saja aku curiga pada Mas Satya." Kamu curiga pada Satya?" ta

  • Ibu Super (Aku bisa Tanpamu, Mas!)   Pencarian Hari ke-2

    "Cantika ... pulanglah, Nak! Ibu, ayah, kakek, nenek, adik dan semuanya menunggumu. Ibu sangat menyayangimu, ibu tidak bisa jika harus tanpamu," lirihku dalam doa ... Aku benar-benar merasa tidak tenang, setiap beberapa menit aku menelpon Mas Ammar, Mas Galih dan Bramma secara bergiliran untuk menanyakan apakah mereka sudah menemukan Cantika atau belum? Perasaanku benar-benar tak karuan jiwaku terasa melayang entah kemana? Namun, aku tak bisa terus begini ada Gaza yang juga membutuhkanku. Aku menghampiri Gaza yang berada di kamar mama lalu meng-asihi Gaza. Aku terlalu tenggelam meratapi Cantika dan hampir saja mengabaikan si bungsu. "Maafkan ibu ya, Nak. Ibu sedih sekali sampai mengabaikan Gaza, ibu takut kehilangan kakak Cantika," bisikku, sambil menciumi kening Gaza yang sedang meny*su. "Jangan egois, anakmu bukan hanya Cantika. Bramma dan Gaza juga butuh kamu, kamu harus kuat!" ujar Mama.

  • Ibu Super (Aku bisa Tanpamu, Mas!)   Hilangnya Cantika

    Jangan lupa tinggalkan jejak dengan follow, subscribe, rate dan tap love. Terima kasih.Hari ini ada meeting dengan beberapa orang reseller di ruko, aku terlambat menjemput Cantika hampir seperempat jam. Di usia Cantika yang ke tiga tahun aku sengaja memasukannya pre-school agar dia banyak teman dan tidak jenuh di rumah terus.Kakiku lemas saat Security penjaga sekolah mengatakan sudah tidak ada lagi siswa di dalam sekolah. Cantika ke mana?"Maaf, Bu Cantika sendiri yang menhampiri orang yang menjemputnya. Dia langsung berlari keluar gerbang lalu memeluk laki-laki bertopi itu," jelas security yang berjaga."Bagaimana ciri-ciri orang itu? Dia bawa mobil atau motor?" selidikku."Aku tidak terlalu memperhatikan, hanya fokus dia bertopi soalnya dia berdiri di seberang sana," tunjuk security.Aku tidak bisa diam saja, diantar security menemui guru dan kepala se

  • Ibu Super (Aku bisa Tanpamu, Mas!)   Dilema

    "Kenapa kalian begitu ingin aku bekerja di tempat orang Arab itu? Apa pekerjaanku di toko tidak benar? Aku nyaman disini bersama kalian, teman-teman yang bagiku sudah seperti keluarga," rengek Mas Satya.Jujur sebenarnya aku dan Mas Ammar juga tak tega, semua bukan semata-mata nasihat bapak tapi memang pekerjaaan di tempat Mas Fahad gajinya lumayan."Mas jangan salah faham, aku dan Gina ingin Mas Satya maju. Coba saja dulu, nanti kalau gak lolos seleksi Mas boleh kerja lagi disini," bujuk Mas Ammar."Mas ingat, ada Maryam yang butuh banyak biaya. Di kantor Mas Fahad banyak fasilitas dan tunjangan yang nanti bisa dimanfaatkan, bekerja denganku mau sampai kapan? Aku tidak bisa memberikan banyak, Mas," terangku."Fahad adik iparku, Mas jangan khawatir dia orang baik. Aku akan menitipkan Mas pada Fahad jika memang nanti lolos seleksi," jelas Mas Ammar.Mas Satya termenung, lalu berjalan kearah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status