Seperti sebuah mimpi buruk, semua tiba-tiba hancur saat keluargaku begitu bahagia dan dalam keadaan sangat baik-baik saja.
Dalam kondisi hamil besar sekarang aku harus mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Tidak ada lagi suami baik hati yang biasanya rela bangun sangat pagi untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada lagi tangan lembut yang membangunkan dan mengajakku Shalat Shubuh berjamaah.
Seperti hidup sendiri, sekarang byang ku kandung. Rena sudah membuat Mas Satya begitu mabuk kepayang sampai lupa dengan janjinya saat mengucap akad denganku.
Aku memang bukan wanita cerdas hanya wanita dari desa lulusan SMA. Namun, aku tahu bagaimana harus bersikap. Orangtua ataupun mertua tidak boleh tahu kondisi keluargaku sekarang. Mereka sudah tua jangan sampai nanti mereka sakit gara-gara memikirkan rumah tangga anaknya.
Mas Satya masih suamiku, biar bagaimanapun aku harus tetap menjaga aib dan perbuatan jeleknya
agar tidak diketahui orang lain. Selama ini orang-orang tau jika Mas Satya lelaki sempurna dambaan setiap wanita. Bukan menutupi sikap suami dengan kebohongan tapi aku berusaha untuk menjaga nama baik suamiku.Masih tinggal satu atap tapi sudah tak ada lagi keharmonisan, semua aku pertahankan demi menjaga hati Brama. Nafkah materi masih Mas Satya berikan walaupun tanpa obrolan hangat seperti dulu. Tidur satu ranjang meskipun saling memunggungi.
Ah! Rumah tangga macam apa ini? Sebuah mimpi buruk yang bahkan tidak pernah aku impikan. Semua pil pahit ini aku telan sendiri. Andai bisa ingin rasanya punya seseorang untuk berbagi keluh kesah tapi pada siapa? Aku takut nanti malah bermasalah jika bercerita pada orang lain.
"Assalamualaikum, Mbak. Mas Satya ada?" Rena mengucap salam tapi sudah nyelonong masuk ke dapur.
"Waalaikumsalam, Mas Satya tidur. Pulangnya sangat larut mungkin kecapean," jawabku, ketus.
Aku menjawab sambiil mencuci piring. Tak kusangka Rena begitu berani, gadis itu menyuruh Brama membangunkan ayahnya. Ajaibnya, Mas Satya bangun begitu gesit, segera mencuci muka tanpa marah sedikitpun. Padahal biasanya dia sangat marah kalau Brama mengganggunya saat tidur.
"Mbak Gina, aku pinjam Mas Satya, ya? Aku baru beli TV, mau minta tolong pasang antena sekalian setting program TV-nya. Bentar aja, biar Mbak gak salah faham Brama nanti ikut ke kontrakanku," oceh Rena.
Aku hanya memberinya senyuman hambar, untuk apa juga Rena meminta izin sementara aku sudah tak berarti lagi di mata Mas Satya. Sebelum Mas Satya keluar dari kamar mandi aku segera mengajak Brama pergi ke warung. Jangan sampai Brama pergi ke kontrakan Rena nanti kalau Brama dan Rena dekat aku yang berabe.
Kebetulan di warung bertemu Mbak Ivi, tetanggaku. Mbak Ivi istri Mas Galih, teman satu pabrik Mas Satya. Aku dan Mbak Ivi jalan menuju rumah sama-sama.
"Tumben Mbak Gina belanja sayur di warung biasanya nyetok," celetuk Mbak Ivi.
"Iya, Mbak. Perutku makin gede, was-was kalau pergi ke pasar."
"Mbak ... kalau Mbak butuh teman curhat saya bisa. Jangan disimpan sendiri, kasian jabang bayi," tawar Mbak Ivi.
"Curhat! Curhat apa? Aku baik-baik saja, Mbak," elakku.
"Aku tahu kalian tidak baik-baik saja, Mas Galih cerita banyak tentang suami Mbak."
Aku kaget, benar-benar tak menyangka. Antara kepo dengan cerita dari Mas Galih dan takut jika nanti aku mendengar hal-hal yang menyedihkan.
"Mbak gak mau tahu bagaimana Mas Satya di kantor?" tanya Mbak Ivi, lagi.
"Aku sebenarnya mau Mbak, jujur penasaran tapi aku takut nanti malah setres kalauntahu semuanya. Kehamilanku rentan, sebisa mungkin menghindari setres,"
"Okey kalau gitu, Mbak Gina jika butuh bantuan jangan sungkan. Aku akan selalu ada untuk Mbak Gina dan Brama."
"Terima kasih, Mbak Ivi baik sekali."
Aku bersama Mbak Ivi dan anak-anak senaja berjalan terpisah sebelum sampai ke kontrakan. Nanti kalau Mas Satya lihat takut salah sangka. Setelah dekat dengan Rena pertemanannya dengan Mas Galih memang sedikit renggang.
*****
Aku nyalakan TV dan memberikan bebeapa cemilan agar Brama anteng selama memasak. Jumlah uang bulananku kini tak sebanyak dulu hingga harus pintar berhemat dan mengelohah menu makan yang sederhana agar uang cukup sebulan.
Jatah kiriman untuk mertua dan mamaku tetap harus ada tiap bulan, jangan sampai mereka curiga dan tahu jika hubunganku dan Mas Satya tidak baik-baik saja.
Sepulang dari kontrakan Rena Mas Satya langsung mandi, kebetulan hari ini dia kerja shift siang.
"Setelah berpakaian nanti kita makan, Mas. Lauknya sudah matang," ajakku.
"Aku sudah makan di tempat Rena, kamu sama Brama makan saja berdua! Aku akan berangkat lebih awal, mau mengantar Rena dulu ngirim uang untuk ibunya."
Apa! Makan di rumah Rena? Lalu aku susah-susah memasak untuk siapa? Mas Satya sudah semakin keterlaluan, dia sudah tidak bisa menghargai lagi aku sebagai istrinya.
Iuh ... kelakuan Mas Satya lama-lama bikin kesel٪
Kesulitan telah Mas Satya buat sendiri, meskipun aku tidak benar-benar melarangnya menemui anak-anak dia malu sendiri dengan kelakuannya.Menurut bodyguard yang menjaga Cantika di Sekolah, beberapa kali mas Satya datang ke sekolah, meminta izin untuk bertemu dengan Cantika. Setelah penjaga Cantika meminta izin padaku via telepon mas Satya diizinkan berbicara dan memeluk Cantika beberapa menit sebelum Cantika pulang ke rumah.Sama halnya dengan Cantika, mas Satya juga datang ke sekolah Bramma. Bramma yang sudah SMP dan tidak didampingi bodyguard seperti Cantika, membuat Mas Satya lebih leluasa bertemu, mengobrol bahkan memeluk Bramma lebih lama.Bramma yang beranjak dewasa tak berani jujur padaku jika Mas Satya sering menemuinya di sekolah. Aku mengetahuinya dari orang-orang Mas Ammar. Mungkin Bramma takut aku melarangnya bertemu Mas Satya.Sebagai seorang anak Bramma
Aku berusaha merebut Cantika dari dekapan Mas Satya, sambil menangis aku merebut Cantika ayahnya."Cantika milikku!" Mas Satya mendorongku sampai jatuh kelantai.Mas Amar yang emosi tak kuasa lagi menahan amarahnya. Dia mengambil paksa Cantika lalu menghant*m wajah Mas Satya sekali. Cantika yang ketakutan menangis lalu berlari kearah Bramma, gadis kecilku mendekap tubuh abangnya dengan gemetar.Hampir saja orang-orang suruhan Mas Ammar juga ikut memuk*li Mas Satya tapi aku mencegahnya. Ada orang tua Mas Satya, ada anak-anak juga. Bagaimana psikoligis mereka jika melihat anak dan ayah mereka dipuk*li? Aku tak pernah mau ini terjadi, dari awal perceraian aku selalu menjaga agar semuanya baik-baik saja. Meskipun tersakiti aku tetap memberi maaf tapi jika akhirnya begini aku juga tidak akan diam."Ayo Rama, bawa adiknya ke mobil sebelum ayah kalian tambah emosi!" titah Ibunya Mas Satya."Iya,
Ada kabar dari kepolisian katanya Cantika dibawa keluar kota. CCTV di sebuah statsiun kereta api menunjukan anak berciri-ciri seperti cantika melintas sekitar 3 hari yang lalu.Tangisku pecah, aku takut terjadi sesuatu pada anakku. Bagaimana kalau anakaku diculik dan dijadikan peng*mis seperti yang kulihat di TV atau bahkan lebih buruk ... sekarang kan sedang viral yang jual beli organ tubuh. Semoga Cantika baik-baik saja, semoga Allah selalu melindungi anak-anakku dimanapun mereka berada."Sudahlah jangan menangis, setidaknya kita sudah punya petunjuk untuk mencari Cantika. Terus berdoa, polisi dan orang-orang suruhanku tidak akan berhenti sampai Cantika ditemukan," ujar Mas Ammar."Statsiun itu ... kita bisa berangkat ke kampung Mas Satya menggunakan kereta dari statsiun itu. Mas Satya kemana? Sudah berapa hari aku tidak melihatnya." Tiba-tiba saja aku curiga pada Mas Satya." Kamu curiga pada Satya?" ta
"Cantika ... pulanglah, Nak! Ibu, ayah, kakek, nenek, adik dan semuanya menunggumu. Ibu sangat menyayangimu, ibu tidak bisa jika harus tanpamu," lirihku dalam doa ... Aku benar-benar merasa tidak tenang, setiap beberapa menit aku menelpon Mas Ammar, Mas Galih dan Bramma secara bergiliran untuk menanyakan apakah mereka sudah menemukan Cantika atau belum? Perasaanku benar-benar tak karuan jiwaku terasa melayang entah kemana? Namun, aku tak bisa terus begini ada Gaza yang juga membutuhkanku. Aku menghampiri Gaza yang berada di kamar mama lalu meng-asihi Gaza. Aku terlalu tenggelam meratapi Cantika dan hampir saja mengabaikan si bungsu. "Maafkan ibu ya, Nak. Ibu sedih sekali sampai mengabaikan Gaza, ibu takut kehilangan kakak Cantika," bisikku, sambil menciumi kening Gaza yang sedang meny*su. "Jangan egois, anakmu bukan hanya Cantika. Bramma dan Gaza juga butuh kamu, kamu harus kuat!" ujar Mama.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan follow, subscribe, rate dan tap love. Terima kasih.Hari ini ada meeting dengan beberapa orang reseller di ruko, aku terlambat menjemput Cantika hampir seperempat jam. Di usia Cantika yang ke tiga tahun aku sengaja memasukannya pre-school agar dia banyak teman dan tidak jenuh di rumah terus.Kakiku lemas saat Security penjaga sekolah mengatakan sudah tidak ada lagi siswa di dalam sekolah. Cantika ke mana?"Maaf, Bu Cantika sendiri yang menhampiri orang yang menjemputnya. Dia langsung berlari keluar gerbang lalu memeluk laki-laki bertopi itu," jelas security yang berjaga."Bagaimana ciri-ciri orang itu? Dia bawa mobil atau motor?" selidikku."Aku tidak terlalu memperhatikan, hanya fokus dia bertopi soalnya dia berdiri di seberang sana," tunjuk security.Aku tidak bisa diam saja, diantar security menemui guru dan kepala se
"Kenapa kalian begitu ingin aku bekerja di tempat orang Arab itu? Apa pekerjaanku di toko tidak benar? Aku nyaman disini bersama kalian, teman-teman yang bagiku sudah seperti keluarga," rengek Mas Satya.Jujur sebenarnya aku dan Mas Ammar juga tak tega, semua bukan semata-mata nasihat bapak tapi memang pekerjaaan di tempat Mas Fahad gajinya lumayan."Mas jangan salah faham, aku dan Gina ingin Mas Satya maju. Coba saja dulu, nanti kalau gak lolos seleksi Mas boleh kerja lagi disini," bujuk Mas Ammar."Mas ingat, ada Maryam yang butuh banyak biaya. Di kantor Mas Fahad banyak fasilitas dan tunjangan yang nanti bisa dimanfaatkan, bekerja denganku mau sampai kapan? Aku tidak bisa memberikan banyak, Mas," terangku."Fahad adik iparku, Mas jangan khawatir dia orang baik. Aku akan menitipkan Mas pada Fahad jika memang nanti lolos seleksi," jelas Mas Ammar.Mas Satya termenung, lalu berjalan kearah