Yuk subscribe dan dukung cerita aku :) see u next part
Max tak habis fikir dengan pengakuan Lisa atas alasan mengapa gadis itu menjauhinya, ternyata itu karena segitiga dengan gambar mata di tengahnya yang sering disebut sebagai Illuminati, padahal ini adalah tato yang ia buat ketika ia memulai bisnis dengan filosofi yang berbeda jauh dari illuminati itu sendiri. "Lis, serius kamu mikir kalo saya ngelakuin hal konyol begitu?" "Saya kan cuma dapet info dari internet, Pak," jawab Lisa mulai santai. Max pun ikut santai dan tertawa melihat bagaimana cara Lisa berpikir, sangat polos. "Hahahaha!" Gemparlah seisi mansion ketika mendengar tawa Max yang hampir tidak pernah terjadi semenjak hubungannya renggang dengan mantan istrinya. Beberapa pegawai di rumah itu, pembantu, bodyguard, dan tukang kebun bahkan mengintip di ambang pintu. Mereka sampai mendelik melihat betapa Max terlihat bahagia dengan Lisa sebagai objek tawanya. Lisa sendiri memanyunkan bibirnya karena kesal, "Bapak jangan keras-keras ketawanya, nanti baby Ax bangun." "Baby A
Lisa benar-benar tak habis pikir, berita yang ditunjukkan Hanum padanya membuatnya berpikir mendalam tentang apa yang terjadi. "Gue sebenernya puas sih ngeliat gimana para manusia sombong itu akhirnya ketemu lawan yang tepat, tapi kalau yang ngelakuin kekerasan ini adalah musuh mereka, harusnya dia lebih kuat dari Baron yang notebennya anak Mentri Keuangan negeri kita," kata Hanum mengungkapkan analisisnya. "Aku juga mikir begitu ... Baron gak mungkin kena hukum." Yup, orang-orang yang masuk jajaran orang yang memiliki jabatan biasanya mereka kebal hukum, kecuali backing mereka tidak lebih kuat dari lawan. "Tapi, siapapun itu, gue berterima kasih banget sama dia. Akhirnya sejak saat itu, gak ada yang berani godain lo ...." Kalau dipikir-pikir memang benar, sejak saat itu WA-nya sepi dari para buaya, di kampus juga tidak ada cowok yang berani mendekatinya, mereka seolah menghindar. Tentu ia senang, tapi ia masih merasa aneh dengan hal itu. "Menurutmu?" tanyanya ke Hanum. "Itu ka
Modus adalah nilai yang sering muncul, itulah mengapa modus sering digunakan untuk mereka yang suka cari perhatian. Cara ini pula yang dilakukan Max agar Lisa terbiasa dengan eksistensinya di sekitarnya. "Pembagian tugas akan dikirim ke akun masing-masing, silahkan dicek," lanjut Max tersenyum tambah lebar melihat wajah bingung para mahasiswa itu. Terutama, Max sangat menikmati wajah bingung Lisa yang seperti ingin menangis dengan situasi itu. Bagaimana tidak, ia membuka akun magangnya dan sekarang tugasnya yang awalnya ditempatkan di devisi umum, sekarang harus masuk di asisten sekretaris. Tidak ada temannya, ia hanya sendiri di bagian itu dan menjadi orang yang dekat dengan CEO yang tengah tersenyum sambil menatapnya itu. Sial sekali Lisa, sekarang ia harus berhadapan terus dengan Max yang semakin hari semakin membuatnya tak nyaman. "Gue gak tau bakalan bail-baik aja tau enggak," keluh Hanum. Akan tetapi ketika ia menoleh ke arah Lisa, ia kemudian mendapati temannya sangat frust
Hari kedua, Lisa mulai diberi tugas oleh asisten dan dua sekretaris yang dimiliki Max. Max memiliki tiga bawahan terdekat yakni, Fano sebagai asisten, Windya, dan Mercia sebagai sekretaris. Mereka bertigalah yang mengurus segalanya tentang sang bos besar. Maka sekarang Lisa pun ikut andil dalam tugas tersebut. Pertama, Lisa ikut mengatur penjadwalah dan berdasarkan surat penting yang masuk. Selanjutnya, ia ikut menghadiri rapat, lalu membuatkan kopi untuk Max dan bahkan Max memintanya memasakkan makanan sendiri di dapur kantor, alhasil ia harus ke toserba untuk membeli sayur sekaligus bahan dapur lain dan memasaknya. Ia kira memang Max suka mengerjainya, harusnya itu bukan pekerjaannya. Tapi ia teringat kata kakak senior bahwa saat magang adalah saat-saat jadi babu, jadi Lisa harus sadar dan tidak ada tempat mengeluh, ia babu sekarang dan harus melakukan yang terbaik. "Lo ngapain masak di sini?" tanua Devan yang kebetulan ingin mengambil cemilan di dapur. Lisa tersentak kaget dan m
Max sengaja tak mengonfirmasi apapun karena ia menikmati ekspresi yang dibuat oleh Lisa. Ia senang dengan panggilan Mama Papa, bukan Daddy dan Mommy seperti yang ia gunakan untuk panggilannya dengan Eva. Ngomong-ngomong soal Eva, wanita itu sengaja tidak hadir dalam pemotretan 2 kali, itu sangat mengganggu operasional marketing. Eva terlihat sekali berniat untuk memutus kontrak kerja dengannya, padahal ia kira semua akan baik-baik saja.Namun, Eva malah ingin bertindak seperti musuh. Ia tau Eva bukan tidak perduli pada baby Axel, ia hanya terlalu marah pada Max yang mengabaikannya selama empat tahun pernikahan mereka."Apa lagi yang wanita itu inginkan, sih?" gumam Max frustasi. Ia memang salah tapi, Eva juga dengan ceroboh mengajaknya menikah setelah setahun berkencan. Tentu Max mencintai Eva tapi, mereka memang tak cocok sejak awal. Eva membutuhkan pasangan yang pengertian dan perhatian, sementara Max butuh wanita yang pengertian dan setia mengingat tugasnya yang hampir 24 jam penu
Lisa bahkan menangis di sepanjang jalan menuju kediaman sang majikan. Bagaimanapun Lisa adalah seorang gadis yang sangat polos dan tidak mengerti banyak hal tentang dunia luar, yang ia tahu hanya belajar, pulang, dan melakukan hal lain yang bermanfaat. Ia jarang sekali hangout dengan teman-temannya. Ia hanya bisa meratapi semua itu, ketika mengingat kejadiannya lagi. Resti yang ada di sampingnya terus menenangkan gadis itu, "Lis, aku yakin Tuan pasti nggak sengaja melakukan itu. Dia bukan orang yang seperti itu, ya ... meskipun mungkin dia bukan orang baik, tapi tetap saja dia bukan orang yang melakukan hal-hal rendah seperti itu." Lisa masih sesenggukkan, untunglah baby Axel tidak rewel dan tertidur. "Lisa, kamu harus bisa berpikir positif ya ...." Lisa hanya mengangguk, "Aku lagi berusaha untuk berpikir positif." "Oke, lebih baik sekarang kamu tbabyenangkan diri kamu biar baby Axel gak ikut sedih. Kamu tahu kan gimana ikatan bayi yang selalu peka dengan perasaan orang-orang di s
Max mengusap wajahnya frustasi, belum apa-apa sudah salah paham lagi. Ia tidak mengerti kenapa harus datang di waktu yang salah, lagi-lagi ia datang ketika ia tak sengaja harus melihat sebagian payudara gadis itu. Kini ia di depan kamar dan menunggu ketika Lisa keluar, mungkin dengan Lisa yang keluar. Ia tidak akan melihat hal-hal yang tidak seharusnya ia lihat sekarang. Sudah cukup ia disalah pahami, sementara ia sedang berusaha untuk membuat Lisa menyukainya tapi, malah sebaliknya, itu membuat Lisa membencinya. Maka, ketika Lisa keluar dari kamar Baby Axel, ia pun langsung mendekati Lisa dan mengajaknya bicara. "Lis, saya bisa jelaskan semuanya ...." Lisa hanya melirik, tetapi ia tidak menolak ketika ingat kata Bi Ijah kalau dia harus mendengarkan apa yang disampaikan oleh Max nanti. Lisa berjalan lebih dulu dan duduk di ruang tamu, tempat paling terbuka dan bisa diakses siapapun di sana. Saking tegangnya, Max sampai tak bisa menelan ludahnya dengan benar, sementara Lisa sendir
Lisa tak mengerti kenapa Max tiba-tiba marah-marah begitu, ia bahkan sengaja menyerahkan Baby Axel yang tertidur kepada Resti, sementara ia sekarang di taman ini bersama Max yang menatapnya tajam. "Kenapa kerjaanmu menumpuk?" tanyanya to the point. Pertanyaan itu cukup aneh dan membuat Lisa bingung, "Ya, itu ... karena saya ...." "Apa kamu meninggalkan pekerjaanmu untuk bersama laki-laki?" "Saya tidak mengerti maksud Anda, Pak," balas Lisa jujur. "Kamu pura-pura gak mengerti tapi, saya sering liat kamu ngobrol sama cowok," ujar Max sengit. "Astaghfirulloh!" gumam Lisa menenangkan dirinya agar sabar."Kan karyawan Bapak banyak cowok di kantor masa saya nggak boleh ngobrol sama mereka dalam hal pekerjaan, memang saya harus diam-diam saja?" "Bukan semua cowok tapi cowok yang sering ngobrol sama kamu." Lisa baru sadar kalau yang dimaksud Max adalah Devan, cowok goodlooking dambaan cewek kampus. "Gini, Pak, saya memang ngobrol sama temen saya sesama anak magang tapi, saya gak ngobro