Maafin kalau ada yg gak nyambung kalimatnya atau terlalu kaku, karena memang sesi serius hehe Doain moga cepet selesai nih masalahnya Max :*
Max membanting berkas-berkas fotokopian yang diajukan oleh Larissa tadi di lantai, kemudian Hans berkata."Lu nggak usah khawatir dulu, kita pikirin ini dengan kepala dingin. Lo harusnya bisa memperkirakan bahwa ketika Evelyn bilang kalau mereka bisa dengan mudah manipulasi, harusnya kita menjadi orang yang bisa mengungkapkan manipulasi itu kan dan yang lebih unggulnya lagi. Kita bisa menjadi orang yang menaklukkan.""Maksud lo apa sih? Nggak usah pakai bahasa puisi buaya lu sama gua," ujar Max todak mood.Hans hanya bisa menghela nafas menghadapi tempramen temannya yang memang kurang sejak awal. "Gini, maksud gue adalah kalau mereka bisa memanipulasi berarti gue bisa dan gue yakin pasti bisa. Pertanyaannya adalah, ke arah mana mereka akan membawa kasus ini? Nah sekarang gue lagi memantau dan lu tenang aja, gua bakal bantu sampai tuntas.""Ya, gue percaya sama lu, tapi gue udah mau nikah dan ada orang yang belum mau ngelepasin gua. Padahal lu tahu kan yang sakit nggak cuma gua dalam
Seperti yang dibicarakan oleh Hans, menghadapi Evelyn dan juga Larissa adalah hal yang sangat sulit. Namun, rencananya untuk membuat Larissa fokus pada kecemburuannya terhadap kemajuan hubungan Lisa dan Max berhasil. Hal itu membuat Hans dan Rudi hanya menghadapi Evelyn. Menghadapi Evelyn saja sudah sangat merepotkan, karena ia memang benar-benar licik dan juga pemain yang ulung dalam hal hukum. Hans jadi merasa semangat dan merasa tertantang dengan kehadiran orang-orang seperti Evelyn, karena selama ini ia berhadapan dengan orang-orang yang mudah dibayar dengan hukum atau diancam dengan hal-hal yang berbentuk materi. Sayangnya, hal ini tidak berlaku pada Evelyn. Evelyn ini merupakan anak salah satu konglomerat, jadi ia tidak butuh uang banyak karena ia sudah punya, bahkan ketika ia tidak menjadi pengacara terkenal seperti sekarang ini. Max melihat semua dokumen yang kumpulkan oleh Hans bersama dengan pengacaranya Rudi dan juga temannya dari Jerman. Mereka berkolaborasi mengumpulkan
Lisa berlari menuju kamar yang dulu ia tempati, ia sangat shock sampai tak ingat kalau ada pecahan kaca di tempatnya tadi, sehingga kakinya terkena pecahan kaca itu. "Aw!" pekiknya ketika merasakan sakit di kedua kakinya. Ia memakai sendal, tetapi ada satu pecahan kaca yang menembus ke telapak kakinya. Ia tak mengerti dengan apa yang tadi Max bicarakan, itu terlalu jauh dari ekspektasinya. Max bukan orang yang bisa membunuh yang lain kan. "Gak mungkin, Max gak mungkin bunuh orang ...." gumam Lisa berusaha meyakinkan diri sendiri. Sementara itu, di balik pintu, Max merasa ragu untuk mengetuk pintu Lisa. Ia tau Lisa mendengarnya bicara padanya, tapi apa yang harus ia jelaskan. Ia takut Lisa tak menerimanya dengan kenyataan itu. Ia bukan orang baik, ia bisa melakukan apapun untuk agar tujuannya tercapai atau mungkin ia bisa saja membunuh orang dengan sengaja. Namun semua itu terlalu mengerikan di telinga Lisa yang lembut. ••• Mei menatap Lisa bingung, sedari tadi Lisa hanya melamu
"Membunuh orang?" ulang Lisa shock. Max mengangguk kemudian menunduk, bagaimana bisa ia akan sampai di titik dimana ia menyesali semua itu. Ia tak tau harus bagaimana, tapi apakah Lisa masih mau menerimanya. Lisa menghela napas, ia berusaha tetap tenang, tetapi tak bisa, ia sudah terlanjur teekejut dan bingung dengan situasi itu. "Kenapa?" "Karena mereka jahat, kalau mereka masih hidup ada banyak orang baik tersakiti." "Tapi caramu jahat Max, kamu bunuh orang." Max memejamkan matanya lelah, ia tak tau harus bagaimana mengingat ada banyak hal yang belum siap Lisa dengar. "Lisa, kita bicarakan nanti ya." "Hem, kamu istirahat dulu." "Iya, maaf ...." Lisa tak menjawab lagi dan membiarkan Max pergi dari kamar baby Axel. Entah apa yang membuat Lisa jadi semakin ragu. Apakah menikah dengan Max adalah keputusan terbaiknya? Di kamar mandi, di bawah shower Max kalut dengan pikirannya, diam menatap ke arah air yang berjatuhan di bawah, di antara kakinya. Ia tak pernah merasa setaku
Lisa terperangah melihat banyaknya orang berbaris rapih di sebuah lapangan besar yang menghadap mereka. Ia sekarang berada di depan barisan bersama Max di depannya kemudian ia melihat mereka memiliki tato dengan tanda yang sama seperti yang ada di tubuh Max waktu itu. Ia seperti kelinci sekarang, "Ini gimana?" gumamnya takut. Melihat Lisa yang cemas dan ketakutan, Max langsung mendekatinya dan merangkulnya agar ia merasa aman. "Tenang, mereka enggak akan nyakitin kamu, Sayang," gumam Max lembut. Mendengar ucapan Max, Lisa mulai tenang dan mengangguk. Setidaknya Max akan bertanggungjawab melindunginya kalau ada apa-apa. Kemudian Max menatap ke arah depan, menatap semua bawahannya yang jumlahnya ada 100-an lebih itu. "Jadi aku mengumpulkan kalian di sini untuk memperkenalkan calon istri saya pada kalian. Dia adalah calon istri saya yang akan menjadi bos perempuan kalian, sehingga bagaimanapun posisi kalian dan di manapun kalian ketika ada di luar pulau ini, kalian harus siap mel
Dunia bawah yang Lisw temui pada Max ternyata bukan dunia jahat yang ada di internet, bukan pula bersih tanpa noda. Ia sudah mencoba salat istikharah tapi, belum ada petunjuk yang mengarah kepada, apakah ia harus menerima Max atau mundur seperti yang disarankan oleh pria itu. Berita tentang Max yang akan menikah dengannya pun terus terngiang di media sosial, bahkan menjadi trending yang terus dibicarakan oleh orang-orang. Namun, keberadaan dunia bawah itu membuat pandangan Lisa semakin kabur terhadap Max. Ia terus overthinking terhadap masa depan mereka, bahkan ketika sidangnya sudah selesai, ia masih berpikir bahwa apakah itu memang jalan yang sudah jadi bagian dari takdirnya. "Bener gak sih pilihanku?" gumam Lisa menatap luar jendela. Ia sudah meninggalkan pikiran-pikiran yang buruk tentang Max, tapi tidak bertahan lama. Max tidak bisa berhenti untuk membunuh orang, hal yang tak bisa ditangani seperti yang dikatakan Wina adalah membunuh. "Saya tidak bisa membayangkan bagaimana An
Hanum menghampiri Mei untuk bertanya padanya mengenai keberadaan Lisa. "Mei, tau Lisa dimana?" Mei mengeryit heran, "Gak tau, kemana emang?" "Lah, gue nanya. Dia gak bsia dihubungi, kan hari ini gladi resik untuk Wisuda," ujar Hanum. "Gue WA juga gak aktif dianya sejak kemarin. Lo udah ingetin belom?" "Udah, masalahnya dia gak aktif WA nya. Gak mungkin kan nomer gue diblok." "Lu gak nakal kan sampe diblok?" "Ih, si Mei mah ngaco!" kesal Hanum melihat tanggapan Mei yang tidak serius. "Gue tanyain Umi dulu, keknya dia tau nomor temen kerjanya Lisa." "Sok lah, cepet." "Iya sabar!" Mei pun menelpon Uminya dan menanyakan pasal nomor Bi Ijah padanya. Namun, Uminya malah panik dan terdegar ada yang menangis di sana. "Neneknya Lisa ke sini cariin Lisa, Bi Ijah juga ke sini karena dikira Lisa di rumah. Kamu malah nany juga, terus Lisa dimana?" "Emang dimana Mi? Aku juga lagi ditanyain temen sejurusannya Lisa ini, masa gak tau dimana." "Dia pagi tadi ijin ke kampus buat gladi res
Max memukul jok depannya, mengagetkan si asisten Pilot Privat Jet miliknya. Ia sangat kesal karena belum juga menemukan keberadaan Lisa, tidak ditemukan titik yang akurat, sampai minta izin pada beberapa negara yang dilewati jalur udaranya. Perasaannya kalut, otaknya seolah mendidih. Bagaimana bisa ia kecolongan dan membiarkan Lisa lepas dari dekapannya. "Lisa," gumamnya. Entah dimana gadis itu sekarang, bulir air mata mulai mengalir, tetapi segera ia seka dan memerintahkan para Pilot untuk menuju titik lokasi yang dikirimkan tim IT terhebatnya. "Hallo, hallo Ronald!" sapa Max ketika Ronald temannya yang membantu melacak, ia adalah teman yang berasal dari Jerman. "Sepertinya dia ada di Indonesia itu sendiri, di bagian Papua dan berada di hutan." "Damn! Bagaimana bisa kau baru ngomong sekarang, kmi sudah berputar-putar di udara beberapa negara hampir 24 jam!" "Sorry, ini baru ketemu. Kau tinggal ke sana, nanti biar kublokir akses mereka, akan kubunuh semua jaringan mereka." "Oh