LOGIN
"Detak jantungnya sudah berhenti, Bu Rindu… sepertinya anak ibu sudah pergi beberapa hari yang lalu."
Rindu merasakan guncangan hebat dalam hatinya atas pernyataan dokter itu.
Kini, ia duduk di ranjang rumah sakit, menatap kosong jendela yang diburamkan gerimis. Perutnya yang dulu berisi kehidupan kini terasa hampa. Seluruh ruangan seakan menekan dadanya, membuat napasnya sesak.
Rindu bahkan tidak sadar kapan tepatnya anaknya—satu-satunya harapan yang ia genggam selama ini—berhenti menendang dari dalam sana.
Ia hanya ingat, seminggu terakhir perutnya terasa kaku dan nyeri, tapi ia mengira itu hanya efek lelah.
Nyatanya, rasa lelah itu menjadi akhir dari segalanya.
Dokter menyebut salah satu kemungkinan penyebabnya adalah stres berkepanjangan.
Bagaimana ia bisa tidak stres? Sejak awal kehamilan, hidupnya seperti berada di medan perang. Perang melawan kenyataan bahwa suaminya, Dimas, berselingkuh. Bukti-buktinya jelas, ada chat yang tak bisa dibantah, foto-foto yang bukan kebetulan, tiket perjalanan yang tak pernah ia tahu.
Setiap malam, Rindu menatap perutnya yang membesar sambil berbisik pada dirinya sendiri, “Bertahanlah… demi anak ini.”
Tapi sekarang, anaknya sudah tidak ada. Rindu tidak punya alasan lagi untuk bertahan.
Dimas datang ke rumah sakit siang itu. Tatapannya dingin, tidak ada kata-kata yang mencoba menghibur.
“Gimana proses pemakamannya?”
Hanya itu saja yang keluar dari mulutnya.
Rindu menunduk, menelan ludah pahit. “Aku akan segera mengurusnya….”
“Kalau bisa cepat.”
"Tapi Mas, kita perlu bicara—"
“Lain kali saja,” Dimas menyela tak sabar. “Ada yang lebih penting saat ini.”
Dahi Rindu mengernyit saat Dimas menyerahkan sebuah berkas kepadanya. Wanita itu menatapnya sejenak, sebelum sepasang matanya yang sembab membelalak terkejut.
“Ini….”
“Mari kita bercerai.”
Seperti ada petir yang menyambar Rindu saat ini. Tangannya gemetar memegang berkas gugatan itu.
“Tapi….”
“Kita nggak cocok lagi,” kata Dimas tanpa ekspresi. “Dan sekarang kamu udah nggak ada anak. Nggak ada yang bisa kita pertahankan di sini.”
Kata-kata itu menusuk lebih tajam dari pisau. Seolah kematian anak mereka hanyalah kematian kecoa yang tak berarti, bukan luka yang seharusnya mereka tanggung bersama.
"Lagipula, aku nggak cinta lagi sama kamu. Jadi, tandatangani surat ini."
Semudah itu.
Seolah Rindu hanyalah sampah tak berguna, yang bisa dibuang kapan saja.
Anaknya bahkan belum dimakamkan, tapi Dimas tidak peduli dan menghantamnya dengan satu lagi kenyataan pahit yang harus ia telan bulat-bulat.
Rindu tidak tahu harus mengatakan apa. Sudah terlalu banyak rasa sakit yang ia terima belakangan ini hingga membuatnya mati rasa.
**
Tak lama setelah resmi bercerai, Rindu mendengar kabar bahwa Dimas menikah lagi dengan perempuan yang dulu menjadi selingkuhannya, sekaligus mantan pacarnya.
Rindu tidak menangis. Kehilangan Dimas bukanlah hal yang patut ia tangisi. Pria yang tak layak dicintai, tak layak juga menghancurkannya.
Tapi kehilangan anaknya? Itu luka yang tak akan pernah sembuh.
Rindu memutuskan pulang ke kampung dan tinggal bersama kedua orang tuanya.
Ia berusaha menata hati—juga hidupnya—setelah kehilangan anak yang telah lama ia nanti.
Hari-hari pertama di kampung terasa seperti kembali ke masa kecil. Namun setiap malam, ia masih terjaga, memandangi langit-langit sambil merasakan perutnya yang kosong.
Sore itu, ibunya masuk ke kamar sambil membawa secangkir teh. Duduk di tepi ranjang, ia menatap Rindu lama sebelum bicara.
“Kamu masih ingat sama Kak Ratna?” tanyanya pelan.
Rindu mengangguk. Ratna adalah kakak angkatnya—jauh lebih tua darinya, jaraknya dua puluh tahun.
Waktu orang tuanya belum punya anak, ayahnya punya bawahan yang rajin, yaitu Ratna. Dia yatim piatu, sendirian. Ayahnya sayang padanya, sehingga orang tuanya memutuskan untuk mengangkatnya menjadi anak.
Rindu ingat foto-foto lama di album keluarga. Foto itu menampilkan seorang remaja perempuan tersenyum kikuk di samping kedua orang tuanya.
Rindu tersenyum samar. “Aku ingat… kita sering main bareng waktu kecil.”
“Arka… anaknya Ratna, dia anak pertama. Kamu tahu kan, sejak kecil dia pintar sekali? Tapi…” suara ibunya merendah, “…sekarang dia sedang susah. Istrinya meninggalkan dia, dan bayi mereka yang baru lahir. Bayi itu masih butuh ASI.”
Rindu terdiam, mengamati wajah ibunya yang sedih.
"Pergi?" gumam Rindu. Bagaimana mungkin seorang ibu meninggalkan bayi yang baru lahir?
Ibunya menatapnya lama. “Ibu kasihan sama Arka. Dia harus kerja, anaknya sakit-sakitan. Bank ASI memang ada, tapi nggak mungkin terus-terusan. Dan kamu…” Ia berhenti sebentar. “…kamu masih mengeluarkan ASI.”
Rindu menunduk. Memang benar. Ia sudah kehilangan anaknya, tapi ASI-nya masih terus berproduksi.
"Gimana kalau kamu jadi ibu susunya saja, Rindu?"
"Ha?!"
Benar saja, Rindu akhirnya kelelahan dan tak bisa diganggu seharian gara-gara Arka menguasainya di dalam kamar. Yang tau-tau saja mereka melakukan apa. Intinya, Bi Siti dan yang lain dibebaskan berkeliling, sekaligus membawa Baby Luna agar tak mengganggu mereka. Saat Rindu terbangun, waktu sudah gelap dan Arka sedang main gitar di balkon. Ia duduk di kursi rotan, menatap ke arah laut sambil bersenandung dengan santai. Wajahnya tampak selalu tersenyum, seolah tiada masalah dalam hidupnya. "Arka..."Arka langsung menoleh melihat bidadarinya yang baru keluar kamar. Arka langsung mengulurkan tangan dengan senyum terbaiknya. "Sini Sayang, capek ya?"Rindu pun menerima uluran tangan itu dan duduk di samping suaminya, dan bersandar di pundaknya. "Capek banget sampe susah jalan, kamu tuh energinya gak habis-habis!" protes Rindu. Seperti biasa, Arka hanya cengegesan saat ditegur. Lalu ia meletakkan gitarnya dan mengangkat istrinya ke pangkuannya. Rindu agak kaget, tapi tak kaget dengan ke
Buk! Rindu meninju lengan bisep suaminya. Bukannya kesakitan, Arka malah terkekeh. "Masa kiss doang gak mau sih?" tanya Arka sok sedih. Meliat ekspresi itu Rindu langsung bimbang. Ia terperdaya oleh tipu daya Arka yang dahsyat itu. "Minimal cium pipi kek," lanjut Arka. Ia menyodorkan pipinya agar Rindu lebih mudah menjangkaunya--dengan bibirnya. Rindu memikirkannya, mungkin tidak apa-apa cium pipi. Namun saat ia maju, memejamkan mata, dan ingin mencium pipi suaminya itu. Arka malah menoleh sehingga bibir mereka saling bersentuhan. Rindu kaget dan langsung menjauh, tapi sayang Arka lebih cepat mencegahnya. Arka berhasil memperdalam ciuman mereka, sampai tak terasa Rindu sudah berbaring dengan dirinya di atasnya. "Arka..." Rindu terlihat gugup, tapi ia tidak mendorong Arka atau menunjukkan penolakan. Arka tau ini sangat tiba-tiba. Saat ia akan mendekat, Rindu terlihat memejamkan mata. Entah tak siap, atau sedang gugup untuk menerima ciuman Arka. Namun melihat Ri
Dini hari, acara resepsi baru selesai. Musik lembut mengalun dari pengeras suara. Para tamu mulai pulang satu per satu, dan udara desa terasa tenang lagi. Rindu duduk di teras, masih mengenakan kebayanya yang kini sedikit kusut. Angin malam mengelus lembut wajahnya, membawa aroma bunga kenanga dari halaman. Dari dalam rumah, Arka muncul sambil membawa dua gelas jahe hangat. Ia menyerahkan satu kepadanya. “Untuk istri tercantik di dunia,” katanya pelan. Rindu tertawa kecil, menatapnya. “Jadi mau udah jadi Suamiku?" “Iya dong,” balas Arka sambil duduk di sebelahnya. "Coba panggil suamiku." "Suamiku?" "Kurang mesra," protes Arka. "Suamiku~~" Arka langsung memegang dadanya sambil menunduk. Rindu langsung khawatir, ia memagang wajah Arka agar menghadapnya. Namun bukannya kesakitan yang ia lihat dalam ekspresinya, Arka justru tertawa. "Hahaha!" Rindu pun menabok lengan bisep sang suami. "Dih boongan!" "Sorry, tapi beneran kok. Dadaku rasanya pingin meledak!" "K
Nama Arka kembali mencuat dengan skandal yang beredar. Rindu sampai ragu untuk meneruskan acara pernikahan mereka, "Cinta Lama Belum Usai?" "Hubungan Arka dan Nadya Kembali Dipertanyakan." Foto-foto lama mereka diposting ulang, disandingkan dengan potongan gambar yang diedit tak bertanggung jawab. Tagar baru bermunculan, komentar publik pun terbelah antara yang membela dan yang mencaci. Rindu membaca semuanya dengan tangan bergetar. Bukan karena ia percaya, tapi karena hatinya merasa khawatir. Ia tahu betul siapa Arka, tapi melihat namanya kembali dihujat, membuat hatinya ikut perih. Pagi itu ia duduk di ruang tamu rumahnya, ponsel di pangkuan, matanya kosong menatap lantai. Ibunya datang membawa teh hangat. “Nak, jangan dibaca lagi beritanya. Sudahlah, nanti juga reda.” Rindu mengangguk, tapi suaranya nyaris tak keluar. “Tapi, Bu… kenapa harus selalu muncul pas waktunya udah dekat kayak gini?” Ibu menatap putrinya pelan. “Mungkin karena bahagiamu besar, jadi ada aja ya
Meski mungkin ada kejutan lain yang menunggu, Arka secara sadar siap menghadapinya. Ia yakin sendiri pun ia bisa, tapi keberadaan Rindu akan melengkapinya. "Sayang... kangen," gumam Arka ketika ia melakukan video call dengan Rindu. Rindu hanya tersenyum melihat bayi besarnya itu. "Bukannya nanyain anak malah tiba-tiba bilang kangen. Sapa dulu nih Luna," balas Rindu. Arka hanya tersenyum lelah. Meski lelah, ia tetap menyapa putrinya yang duduk dan menatapnya. "Bilang halo ke Papa, Sayang," ajak Rindu. Baby Luna terlihat memproses, lalu berkata. "Papa!" "Bilang halo, gitu!" "Hayo..." "Halo, Papa!" "Hayo Papa!" Arka terkekeh melihat putrinya yang tampak berkembang dengan penuh kebahagiaan. Rasanya ia ingin menangis saking bahagianya. "Halo juga sayangnya Papa, udah mimi susu hari ini?" sapa Arka. "Udah gitu..." tuntun Rindu. "Udhah, udhah?" tiru Baby Luna seolah bertanya. Bayi cantik itu langsung membuat Rindu gemas dan langsung memeluknya dan menciumny
“Yang aku sesali cuma satu, kenapa aku nggak jujur dari awal, kalau hatiku bukan buat kamu. Aku gak akan bisa mencintai orang lain selain Rindu, sejak awal." Nadya terdiam. Mata yang selalu penuh percaya diri kini hanya menyimpan sisa-sisa rasa marah dan kecewa. Tangannya mengepal di atas meja, tapi suaranya pelan ketika akhirnya bicara. “Dan sekarang?” “Sekarang,” jawab Arka dengan nada tegas namun tenang, “aku nggak akan membohongi siapapun lagi.” Keheningan menggantung di antara mereka. Café itu terasa terlalu sunyi untuk dua hati yang sedang bersitegang. Nadya menatap Arka dalam, seolah masih mencari celah untuk masuk ke hati yang selalu ia harapkan. Tapi yang ia temukan hanya dinding kokoh, bukan lagi pria yang mudah ia dekati. Arka ternyata selalu memasang dinding itu, hanya kelihatan mudah didekati tapi tak mudah dimasuki. Dan sekarang semuanya terlambat, hati itu sepenuhnya adalah milik Rindu seorang. “Kalau gitu…” Nadya berbisik dengan nada getir, “ini belum







