Hening menyelimuti kamar. Rindu memandang ibunya, mencoba memahami arah pembicaraan ini.
“T-tapi… aku…”
Rindu membeku. Kata-katanya menggantung di udara. Ia ingin langsung berkata ‘tidak’, tapi bibirnya kelu.
“Pikirkan saja, Rin,” kata ibunya sambil bangkit. “Kadang, membantu orang lain… bisa juga menjadi jalan kita sembuh.”
Rindu tidak menjawab. Matanya menatap kosong ke luar jendela, ke langit sore yang mulai memerah.
Dalam pikirannya, ia melihat sekilas sosok bayi mungil—anak dari keponakannya—yang bahkan belum ia temui setelah sekian lama.
Dan entah kenapa, bayangan itu mulai mengusik hatinya.
**
Pagi itu, Rindu baru saja menyelesaikan sarapannya ketika suara mobil terdengar berhenti di halaman rumah.
Saat ini, ia hanya memakai pakaian rumah—daster bunga-bunga kecil berwarna kuning. Buru-buru ia mengambil outer rajut berwarna karamel dan menjepit rambutnya dengan asal untuk menerima tamu.
Saat pintu dibuka, sosok yang tak ia sangka berdiri di sana.
Arka Kalendra.
Wajahnya lebih dewasa dari terakhir kali Rindu melihatnya di pesta pernikahannya dua tahun lalu. Namun, ada gurat lelah di bawah matanya yang tak bisa ditutupi.
Di pelukannya, ada bungkusan kain selimut pink. Dari sela kain itu, terlihat pipi mungil seorang bayi.
“Assalamualaikum, Tante…” suara Arka pelan, terlihat ragu.
Rindu tercenung menatapnya sebentar sebelum menjawab. “Waalaikumsalam… kamu…” ia menghentikan kata-katanya, matanya terpaku pada bungkusan itu. “…ini Luna?”
Arka mengangguk. Ia pun melangkah masuk, diikuti Ratna—ibu Arka—dan seorang pria berperawakan tinggi dan tampan yang Rindu kenal sebagai suami Ratna. Mereka bertiga membawa suasana yang hening namun berat.
Ibunya Rindu keluar dari dapur, langsung menyambut mereka. “Masuk, masuk… duduk di dalam. Rindu, ambilin minum.”
Beberapa menit berlalu di ruang tamu, Rindu duduk di depan Arka. Matanya tak lepas dari bayi mungil itu. Luna terlelap, napasnya cepat, kulitnya sedikit pucat. Ada bekas kemerahan di pipinya, mungkin iritasi.
“Kami… nggak tahu harus bagaimana lagi,” suara Ratna terdengar serak. “Bank ASI memang membantu, tapi Luna sering nggak cocok. Kadang malah muntah. Arka harus kerja, jadi nggak mungkin urus dia seharian. Kami ingin bantu, tapi… ada usaha yang harus diurus, dan kesehatan kami juga sudah nggak seperti dulu.”
Arka menunduk, jemarinya mengusap lembut dahi Luna. “Maaf, Tante… Aku tahu ini berat. Tapi aku nggak percaya sama orang lain. Aku cuma percaya sama Tante.”
Kata-kata itu membuat dada Rindu berdesir aneh. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap bayi itu lama-lama. Dalam bayangannya, wajah bayi itu berganti menjadi wajah anaknya yang tak sempat lahir.
Ibunya, yang duduk di samping Rindu, menatapnya dengan sorot yang mengandung harapan. “Luna butuh ASI, Rin. Kamu masih punya. Daripada terbuang….”
“Bu…” potong Rindu lirih, “…ini bukan sekadar ngasih ASI. Ini… ini komitmen yang cukup berat.”
Arka menatapnya, mata itu tegas tapi penuh rasa memohon. “Aku nggak akan merepotkan Tante. Kalau perlu, Tante ikut aku ke kota. Aku udah siapkan tempat. Ada pembantu juga yang bisa bantu urus pekerjaan rumah. Aku cuma… nggak mau Luna dibesarkan sama orang asing.”
Rindu terdiam. Bayi itu tiba-tiba mengerang kecil, lalu membuka mata. Bola matanya hitam pekat, bening, menatap Rindu seperti mencari sesuatu. Jemari mungilnya bergerak, menyentuh udara kosong di depan wajah Rindu.
Tanpa sadar, Rindu mengulurkan tangan. Luna langsung meraih jarinya dengan genggaman yang begitu kecil namun hangat.
Rindu merasakan sesuatu yang lama terkubur dalam dirinya bergerak lagi. Rasa ingin melindungi. Rasa yang dulu ia siapkan untuk anaknya sendiri.
Suasana di ruang tamu menjadi sunyi. Hanya suara napas bayi dan detak jam dinding yang terdengar.
Rindu mengangkat pandangannya ke arah Arka. Pemuda itu masih menatapnya, seakan menunggu jawaban.
“Beri aku waktu berpikir,” kata Rindu akhirnya, melepaskan genggaman bayi itu dengan hati-hati.
Ratna mengangguk pelan, meski wajahnya menyimpan kekecewaan.
Arka, di sisi lain, mengembuskan napas panjang. “Aku ngerti, Tante. Tapi… jangan lama-lama ya. Luna nggak bisa terus-terusan minum susu formula.”
Rindu mengangguk pelan. Matanya terus menatap Luna dengan tatapan sendu. Ingin terus melihatnya dan memeluknya.
Mereka pamit siang itu. Saat mobil Arka menjauh dari halaman, Rindu berdiri di teras, memandangi debu yang berterbangan di belakangnya.
Ia masih bisa merasakan jemari mungil itu menggenggam jarinya, dan tatapan mata hitam bening yang entah kenapa terasa begitu familiar.
Di ruang makan, ibunya duduk sambil meminum teh. Saat Rindu masuk, wanita itu hanya berkata pelan, “Rin… kadang, kesempatan menolong orang itu nggak datang dua kali. Dan bisa jadi itu juga cara Tuhan menolong kita.”
Kata-kata itu menggantung di kepala Rindu hingga malam tiba. Ia mencoba tidur, tapi yang muncul di matanya hanyalah wajah bayi itu dan tatapan Arka yang mengandung harapan.
"Apa mungkin ini jalan yang Allah kasih untukku menyembuhkan diri? Luna…" Rindu merasakan dadanya berdenyut nyeri. “Mungkinkah menjadi penghibur dari kesedihanku?"
Saat Arka berhasil menyusul, Rindu sudah masuk ke dalam kamar, dan kamarnya terkunci. Ketika ia mengetuk pun, tidak ada jawaban.“Tan, kamu baik-baik aja?” tanya Arka.Hening.Arka tidak mendengar apapun.Pria itu mondar-mandir di pintu dengan gelisah.Arka lalu memutuskan untuk membiarkan Rindu menenangkan diri. Tapi sampai langit berubah menjadi gelap, Rindu tidak juga keluar.Luna menangis kencang. Arka memberinya susu dari botol, tapi bayi mungil itu menolak. Tangisnya pecah hingga Arka yakin tetangga pasti akan mendengarnya.Rindu pun keluar dari kamarnya dengan mata sembab. Arka tahu Rindu sudah menutupi bekasnya, tapi masih terlihat seperti disengat lebah."Tan—"Rindu langsung masuk ke kamar Luna dan memunggungi Arka. Ia masih belum siap berbicara dengan pria itu."Tante, kita perlu bicara.""Sstt. Biar Luna tidur, jangan berisik," ujar Rindu pelan, tapi penuh penekanan hingga membuat Arka tak bisa berkutik.Pria itu lantas membiarkan Rindu menyusui Luna yang kini tampak anten
Malamnya, saat Rindu sedang menyiapkan susu tambahan untuk Luna, listrik mendadak padam.Luna menangis kencang karena rumah gelap gulita. Arka segera menyalakan senter dari ponselnya dan mendekat.“Biar aku pegang, Tante siapkan susunya.”Dalam cahaya redup itu, Rindu dan Arka berdiri berdekatan di dapur. Luna ada di pelukan Arka, sementara Rindu meraba-raba botol susu.Dari luar, jika ada yang melihat lewat jendela, pemandangannya pasti seperti keluarga muda yang saling bahu-membahu di tengah situasi darurat.Rindu agak gelisah ketika Arka semakin mendekat hingga ia bisa merasakan suhu tubuh yang terasa hangat.Karena tidak fokus, Rindu tidak sengaja menyenggol botol susu panas hingga jatuh dan mengenai tangannya.“Akh!” Rindu memekik terkejut.Arka juga tersentak. Ia langsung menarik tangan Rindu dan membawanya ke wastafel.Air yang mengalir dari keran membasahi tangan Rindu yang memerah terkena susu panas.“Shh…” Wanita itu meringis.“Sakit?” tanya Arka, sambil tetap menggenggam pe
Kalimat ibu-ibu itu melayang-layang di udara, menusuk telinga Rindu. Namun, ia pura-pura tidak mendengar, lalu segera masuk ke dalam rumah beserta barang belanjaan.Saat tiba di kamar, Rindu menerima telepon dari ibunya di kampung.“Rin, kabar kamu gimana?” suara ibunya terdengar hati-hati.“Baik, Bu. Luna sehat, Arka juga baik.”Hening sejenak, lalu ibunya berkata pelan, “Kamu… nggak apa-apa?”Rindu tidak langsung menjawab. Jantungnya masih berdegup kencang setelah mendengar pembicaraan tetangga tadi.Tapi ia berusaha menekannya. Rindu tersenyum, meski ibunya tak bisa melihat. “Nggak apa-apa, Bu. Memangnya apa yang bisa terjadi?” katanya, lebih untuk dirinya sendiri.“Kamu yakin?” tanya ibunya.“Iya, Bu. Semuanya aman terkendali,” kilah wanita itu.Ibunya menghela napas, seolah melepaskan sedikit beban. “Ya sudah. Ibu cuma… khawatir. Beritahu ibu kalau ada sesuatu ya?”Entah mengapa, dada Rindu terasa sesak mendengarnya.Apakah ia sudah salah menentukan pilihan?“Iya, Bu. Rindu pasti
Sebulan setelah kepindahan Rindu, mereka pergi bertiga ke mal untuk membeli kebutuhan bayi.Wanita itu tampil manis, dengan dress baby blue selutut dan outer rajut tipis berwarna senada. Rambutnya diikat dengan model messy bun yang memberikan kesan santai.Tas bayi dibawa oleh Arka di bawah stroller Luna, karena memang stroller itu memiliki tempat untuk meletakkan barang.Sesekali Arka melirik Rindu yang dengan tampilan itu, ia tampak jauh lebih muda, seperti anak kuliahan yang membuatnya terlihat gemas.Dan berkali-kali, Arka mengingatkan dirinya sendiri, ‘Dia Tantemu, Arka!’Sebenarnya Rindu juga cukup kagum dengan penampilan Arka. Ia sudah terbiasa melihat Arka mengenakan pakaian formal. Tapi saat ini, pria itu hanya memakai kaos putih dan celana jeans, serta sepatu kets yang membuatnya tampak modis sekaligus… maskulin.Rindu buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah sekitar, sambil dalam hati merutuki dirinya sendiri karena memperhatikan keponakannya itu tanpa sadar.Beberapa ora
Suasana kembali hening. Dari sudut matanya, Rindu bisa melihat Arka yang terdiam dengan wajah kaku di ambang pintu.Apakah kata-katanya salah? Rindu bertanya-tanya dalam hati.Bagaimanapun, mereka terikat perjanjian. Dan semua itu untuk Luna. Rindu tidak ingin merepotkan Arka lebih dari apapun.“Kamu udah makan?”Arka menoleh. Ia tidak langsung menjawab. Raut wajahnya begitu sulit diartikan, seolah ia tengah memikirkan sesuatu, namun enggan menyuarakannya.“Udah, tadi di luar,” sahut Arka. “Kalau gitu, aku mandi dulu,” katanya, kemudian berlalu meninggalkan Rindu dan Luna berdua.Rindu menghela napas. “Ya ampun, canggung banget,” gumamnya.Mungkin memang butuh waktu untuk beradaptasi. Kejadian seperti ini juga mungkin saja kembali terulang, dan itu bukanlah sesuatu yang besar.Rindu—dan mungkin juga Arka—harus terbiasa.Tapi entah mengapa, Rindu merasa itu tidak akan berjalan dengan mudah.**Pekan pertama, Rindu lebih banyak berdiam, mencoba memahami ritme rumah.Luna minum ASI setia
Pagi-pagi sekali, Rindu duduk di beranda sambil menyeruput teh hangat. Udara kampung masih basah oleh embun. Ibunya keluar, duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa.Rindu sepertinya harus jujur pada ibunya sekarang. Ia menarik napas, sebelum berkata.“Aku pikir-pikir… mungkin Ibu benar,” kata Rindu akhirnya, matanya menatap jauh. “Mungkin ini cara Tuhan… ngasih aku kesempatan untuk tetap jadi seorang ibu, meski bukan anak kandungku sendiri.”Ibunya menoleh, tersenyum samar. Ia sudah menduganya. “Kamu yakin?”Rindu mengangguk. “Aku akan ikut Arka ke kota. Dua tahun, seperti yang dia tawarkan. Setelah itu… kita lihat saja.”Kabar itu cepat sampai ke telinga Arka. Sore harinya, mobil hitamnya kembali masuk ke halaman rumah. Ia keluar tergesa-gesa, menghampiri Rindu yang sedang menyirami tanaman di depan rumah.“Jadi… Tante setuju?” suaranya seperti tidak percaya.Rindu tersenyum tipis melihat wajah tampan keponakannya yang 7 tahun lebih muda darinya itu.“Iya.”Arka terlihat berkaca-ka