Home / Romansa / Ibu Susu Anak Keponakanku / 2. Bayi Mungil yang Lucu

Share

2. Bayi Mungil yang Lucu

Author: Blue Rose
last update Last Updated: 2025-08-13 15:39:38

Hening menyelimuti kamar. Rindu memandang ibunya, mencoba memahami arah pembicaraan ini.

“T-tapi… aku…”

Rindu membeku. Kata-katanya menggantung di udara. Ia ingin langsung berkata ‘tidak’, tapi bibirnya kelu.

“Pikirkan saja, Rin,” kata ibunya sambil bangkit. “Kadang, membantu orang lain… bisa juga menjadi jalan kita sembuh.”

Rindu tidak menjawab. Matanya menatap kosong ke luar jendela, ke langit sore yang mulai memerah.

Dalam pikirannya, ia melihat sekilas sosok bayi mungil—anak dari keponakannya—yang bahkan belum ia temui setelah sekian lama.

Dan entah kenapa, bayangan itu mulai mengusik hatinya.

**

Pagi itu, Rindu baru saja menyelesaikan sarapannya ketika suara mobil terdengar berhenti di halaman rumah.

Saat ini, ia hanya memakai pakaian rumah—daster bunga-bunga kecil berwarna kuning. Buru-buru ia mengambil outer rajut berwarna karamel dan menjepit rambutnya dengan asal untuk menerima tamu.

Saat pintu dibuka, sosok yang tak ia sangka berdiri di sana.

Arka Kalendra.

Wajahnya lebih dewasa dari terakhir kali Rindu melihatnya di pesta pernikahannya dua tahun lalu. Namun, ada gurat lelah di bawah matanya yang tak bisa ditutupi.

Di pelukannya, ada bungkusan kain selimut pink. Dari sela kain itu, terlihat pipi mungil seorang bayi.

“Assalamualaikum, Tante…” suara Arka pelan, terlihat ragu.

Rindu tercenung menatapnya sebentar sebelum menjawab. “Waalaikumsalam… kamu…” ia menghentikan kata-katanya, matanya terpaku pada bungkusan itu. “…ini Luna?”

Arka mengangguk. Ia pun melangkah masuk, diikuti Ratna—ibu Arka—dan seorang pria berperawakan tinggi dan tampan yang Rindu kenal sebagai suami Ratna. Mereka bertiga membawa suasana yang hening namun berat.

Ibunya Rindu keluar dari dapur, langsung menyambut mereka. “Masuk, masuk… duduk di dalam. Rindu, ambilin minum.”

Beberapa menit berlalu di ruang tamu, Rindu duduk di depan Arka. Matanya tak lepas dari bayi mungil itu. Luna terlelap, napasnya cepat, kulitnya sedikit pucat. Ada bekas kemerahan di pipinya, mungkin iritasi.

“Kami… nggak tahu harus bagaimana lagi,” suara Ratna terdengar serak. “Bank ASI memang membantu, tapi Luna sering nggak cocok. Kadang malah muntah. Arka harus kerja, jadi nggak mungkin urus dia seharian. Kami ingin bantu, tapi… ada usaha yang harus diurus, dan kesehatan kami juga sudah nggak seperti dulu.”

Arka menunduk, jemarinya mengusap lembut dahi Luna. “Maaf, Tante… Aku tahu ini berat. Tapi aku nggak percaya sama orang lain. Aku cuma percaya sama Tante.”

Kata-kata itu membuat dada Rindu berdesir aneh. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap bayi itu lama-lama. Dalam bayangannya, wajah bayi itu berganti menjadi wajah anaknya yang tak sempat lahir.

Ibunya, yang duduk di samping Rindu, menatapnya dengan sorot yang mengandung harapan. “Luna butuh ASI, Rin. Kamu masih punya. Daripada terbuang….”

“Bu…” potong Rindu lirih, “…ini bukan sekadar ngasih ASI. Ini… ini komitmen yang cukup berat.”

Arka menatapnya, mata itu tegas tapi penuh rasa memohon. “Aku nggak akan merepotkan Tante. Kalau perlu, Tante ikut aku ke kota. Aku udah siapkan tempat. Ada pembantu juga yang bisa bantu urus pekerjaan rumah. Aku cuma… nggak mau Luna dibesarkan sama orang asing.”

Rindu terdiam. Bayi itu tiba-tiba mengerang kecil, lalu membuka mata. Bola matanya hitam pekat, bening, menatap Rindu seperti mencari sesuatu. Jemari mungilnya bergerak, menyentuh udara kosong di depan wajah Rindu.

Tanpa sadar, Rindu mengulurkan tangan. Luna langsung meraih jarinya dengan genggaman yang begitu kecil namun hangat.

Rindu merasakan sesuatu yang lama terkubur dalam dirinya bergerak lagi. Rasa ingin melindungi. Rasa yang dulu ia siapkan untuk anaknya sendiri.

Suasana di ruang tamu menjadi sunyi. Hanya suara napas bayi dan detak jam dinding yang terdengar.

Rindu mengangkat pandangannya ke arah Arka. Pemuda itu masih menatapnya, seakan menunggu jawaban.

“Beri aku waktu berpikir,” kata Rindu akhirnya, melepaskan genggaman bayi itu dengan hati-hati.

Ratna mengangguk pelan, meski wajahnya menyimpan kekecewaan.

Arka, di sisi lain, mengembuskan napas panjang. “Aku ngerti, Tante. Tapi… jangan lama-lama ya. Luna nggak bisa terus-terusan minum susu formula.”

Rindu mengangguk pelan. Matanya terus menatap Luna dengan tatapan sendu. Ingin terus melihatnya dan memeluknya.

Mereka pamit siang itu. Saat mobil Arka menjauh dari halaman, Rindu berdiri di teras, memandangi debu yang berterbangan di belakangnya.

Ia masih bisa merasakan jemari mungil itu menggenggam jarinya, dan tatapan mata hitam bening yang entah kenapa terasa begitu familiar.

Di ruang makan, ibunya duduk sambil meminum teh. Saat Rindu masuk, wanita itu hanya berkata pelan, “Rin… kadang, kesempatan menolong orang itu nggak datang dua kali. Dan bisa jadi itu juga cara Tuhan menolong kita.”

Kata-kata itu menggantung di kepala Rindu hingga malam tiba. Ia mencoba tidur, tapi yang muncul di matanya hanyalah wajah bayi itu dan tatapan Arka yang mengandung harapan.

"Apa mungkin ini jalan yang Allah kasih untukku menyembuhkan diri? Luna…" Rindu merasakan dadanya berdenyut nyeri. “Mungkinkah menjadi penghibur dari kesedihanku?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   83. Menggatal

    Keesokan paginya, mereka berdua tampil seolah tak terjadi apa-apa. Arka mengenakan setelan abu-abu muda dengan dasi hitam. Wajahnya tenang, profesional, tidak ada yang tau apa yang ia rasakan sebenarnta. Nadya berdiri di sisinya, menebar senyum ramah ke semua orang di ruang rapat. Presentasi yang memakam waktu sekitar dua jam, akhirnya berjalan sempurna. Arka bicara lugas, Nadya menambahkan beberapa poin dengan suara lembutnya. Para klien tampak puas, bahkan beberapa di antaranya memuji “kecocokan” mereka sebagai tim. Saat makan siang di restoran hotel, Nadya duduk di sebelah Arka, tapi jaraknya terlalu dekat. “Kak Arka, cobain ini deh. Dagingnya empuk banget,” katanya sambil menyodorkan garpu. “Udah, Nad. Aku udah kenyang.” “Ah, masa sih? Nih, dikit aja…” Ia mencoba menyuapinya, dan Arka menatap tajam. Nadya pun hanya tertawa kecil, mencoba menutupi kegugupannya. “Ya ampun, aku bercanda kok, Kak. Serius amat dari tadi," katanya pelan. Yang lain ikut tertawa sopan, mengira it

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   82. Nadya yang Begitu Cantik

    "Pak, ada Nona Nadya," ucap Sekretaris Arka dari pintu. Arka mengangguk, tanda mengizinkan Nadya masuk ke dalam. "Kamu tau kan aku mau bahas apa?" tanya Nadya. "Kamu udah bilang di WA, masih ke sini lagi. Aku kan udah jawab, iya nanti aku suruh Dian yang mewakili. Dia lebih ahli dalam bidang ini." "Tapi kan client maunya kamu yang nanganin langsung." Arka menatap Nadya dengan tatapan seperti laser yang siap melubangi besi di sekitarnya. Hal itu membuat Nadya agak merinding, tapi ia pantang mundur. "Memangnya kerjaanku cuma itu doang? Yang kerjasama sama aku gak cuma kamu Nadya, mengertilah." Nadya cemberut, tidak suka dengan keputusan Arka. Sayangnya, Nadya mengadu pada sang ayah dan entah bagaimana Arka hanya bisa menurut. Padahal jika kerjasama dibatalkan, ia juga tak aan rugi kok. Arka dan Nadya akhirnya berangkat untuk perjalanan bisnis ke Bangkok-Thailand. ••• Tiga hari perjalanan bisnis seharusnya tak terasa lama bagi Arka. Ia sudah terbiasa dengan ritme kerja c

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   81. Ratna Tidak Sekejam Itu

    Rindu merasa lega, karena Ratna bisa memberinya sedikit waktu untuk melepaskan Arka perlahan.Sore itu, mereka bertiga duduk di ruang tamu. Luna tidur di box-nya, suasana cukup tenang. Rindu dan Ratna sedang mencatat daftar kebutuhan bulanan. “Rin, bulan depan Luna udah dua belas bulan, ya?” tanya Ratna sambil menghitung di kalender. Rindu mengangguk. “Iya, Mbak. Aku kepikiran, gimana kalau kita adain syukuran kecil aja kayak biasanya?” Ratna tersenyum. “Boleh juga. Kayak tiap bulan, ya. Kita undang beberapa tetangga aja.” “Iya. Mungkin bikin nasi tumpeng kecil, terus kue buat Luna.” “Boleh, nanti aku bantu belanja bahan. Tapi…” Ratna berhenti sebentar, matanya melirik ke arah jam. “Arka kok belum pulang, ya?” Rindu ikut menatap jam, sudah lewat magrib. Biasanya Arka sudah pulang sebelum jam segitu. “Mungkin lembur?” katanya mencoba terdengar santai. Ratna menggeleng. “Kayaknya bukan lembur. Tadi dia bilang ada meeting bareng Nadya.” Nama itu membuat dada Rindu terasa aneh. Ia

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   80. Berlindung pada Ratna

    “Bagaimanapun juga, yang salah di sini itu Arka.” Suara berat pria paruh baya itu terdengar memenuhi ruang tamu yang tiba-tiba sunyi. Semua mata terarah padanya—suami Ratna, ayah Arka, yang selama ini lebih banyak diam dan membiarkan istrinya menangani konflik rumah tangga. Tapi kali ini, ia ikut bersuara. “Rindu di sini bukan karena apa-apa. Dia gak salah. Yang keliru itu Arka, karena sudah kurang ajar, suka sama Tantenya sendiri,” lanjutnya tegas. Tatapannya menusuk ke arah Arka yang duduk di sofa, bahunya sedikit turun, mata sembab tapi masih menatap lurus ke depan. “Dan karena Arka yang memulai semua ini,” tambah sang ayah, “maka Arka juga yang harus bertanggung jawab atas semuanya.” Ucapan itu membuat suasana semakin berat. Rindu menunduk, kedua tangannya saling meremas di pangkuan. Ia merasa ingin membantah, tapi sungkan. Bagaimanapun, pria itu adalah suami kakaknya. Orang yang ia hormati sejak dulu. “Pah,” ucap Ratna pelan, mencoba membantah. “Aku juga udah bilang, p

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   79. Anak Setan

    “Arka--” "Cukup, Arka!" Kali ini Rindu yang membentak Arka, sehingga Arka tak berani melawan lagi. "Aku kesulitan karenamu! Tujuanku cuma buat Luna, tapi kamu malah memupuk perasaan padaku." Arka menatap Rindu dengan napas yang memburu. Ia memang salah karena tidak memperhatikan norma dalam silsilah, tapi bukan itu yang membuat ia kesal. Rindu juga memiliki perasaan padanya, tapi kenapa ia menolak. "Kalau kamu begini terus, aku yang kesulitan Arka. Di dunia ini, perempuan akan punya posisi yang selalu disalahkan lebih dulu! Kalau orang lain tau, aku juga yang akan dituduh merayumu, genit sama kamu, atau julukan yang lebih buruk lagi. Apalagi statusku sebagai Janda!" "Aku juga, Duda kok!" Rindu, Ratna, suami Ratna, bahkan Bi Siti shock mendengar ucapan Arka yang terkesan 'asbun' alias asal bunyi itu. Maksudnya di situasi seperti ini, mengapa kata itu yang keluar. "Bukan itu intinya, Anak Setan! Aku yang akan dirugikan." Kali ini Rindu benar-benar mengumpat, yang bahkan memb

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   78. Dimarahi Habis-habisan

    “Kok Mama di sini?” tanya Arka dengan wajah polos, masih setengah sadar, suaranya serak karena baru bangun tidur. Suasana ruang tengah yang biasanya hangat berubah jadi beku seketika. Rindu terpaku, wajahnya pucat pasi, sementara Ratna berdiri tegak di depan pintu kamar, masih mengenakan pakaian sederhana dengan scarf menutupi sebagian luka bekas operasi di pelipisnya. Matanya memancarkan api kemarahan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. “Bisa-bisanya kamu tanya kenapa Mama di sini?!” bentak Ratna lantang. Nada suaranya menggema sampai ke ruang makan. Bahkan Bi Siti yang tadi menyiapkan sarapan di dapur spontan menjatuhkan sendok yang dipegangnya. Rindu refleks memeluk Baby Luna lebih erat, jantungnya berdebar keras, sementara Arka mendadak benar-benar sadar sepenuhnya. Suami Ratna bahkan memilih bungkam tak berani menengahi kalau Ratna sudah semurka itu. “M–Mama…” Arka berusaha bicara, tapi kata-katanya tertelan di tenggorokan. Ratna melangkah maju, menatap anak lelak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status