Bagi Rindu, kehilangan suami yang telah mengkhianatinya bukanlah luka terbesar—ia bahkan rela jika harus kehilangan orang yang menyakitinya. Tapi kehilangan anak yang belum sempat ia peluk? Itu adalah luka yang tak akan pernah sembuh. Sebulan setelah perceraian, Rindu pulang ke rumah orang tuanya. Ia berusaha menjalani hari-hari dengan tenang, meski hatinya hampa. Hingga suatu sore, kabar tak terduga datang. Keponakannya—Arka Kalendra—baru saja bercerai. Usianya tujuh tahun lebih muda dari Rindu, tapi anak yang baru lahir dua minggu masih sangat membutuhkan ASI. Awalnya hubungan Arka dan Rindu hanyalah simbiosis mutualisme. Namun waktu mengubah segalanya. Apakah Rindu dan Arka akan membiarkan perasaan mereka berkembang, atau justru menepisnya? Ikuti kisahnya sampai tuntas ya...(✿❛◡❛)
View More"Detak jantungnya sudah berhenti, Bu Rindu… sepertinya anak ibu sudah pergi beberapa hari yang lalu."
Rindu merasakan guncangan hebat dalam hatinya atas pernyataan dokter itu.
Kini, ia duduk di ranjang rumah sakit, menatap kosong jendela yang diburamkan gerimis. Perutnya yang dulu berisi kehidupan kini terasa hampa. Seluruh ruangan seakan menekan dadanya, membuat napasnya sesak.
Rindu bahkan tidak sadar kapan tepatnya anaknya—satu-satunya harapan yang ia genggam selama ini—berhenti menendang dari dalam sana.
Ia hanya ingat, seminggu terakhir perutnya terasa kaku dan nyeri, tapi ia mengira itu hanya efek lelah.
Nyatanya, rasa lelah itu menjadi akhir dari segalanya.
Dokter menyebut salah satu kemungkinan penyebabnya adalah stres berkepanjangan.
Bagaimana ia bisa tidak stres? Sejak awal kehamilan, hidupnya seperti berada di medan perang. Perang melawan kenyataan bahwa suaminya, Dimas, berselingkuh. Bukti-buktinya jelas, ada chat yang tak bisa dibantah, foto-foto yang bukan kebetulan, tiket perjalanan yang tak pernah ia tahu.
Setiap malam, Rindu menatap perutnya yang membesar sambil berbisik pada dirinya sendiri, “Bertahanlah… demi anak ini.”
Tapi sekarang, anaknya sudah tidak ada. Rindu tidak punya alasan lagi untuk bertahan.
Dimas datang ke rumah sakit siang itu. Tatapannya dingin, tidak ada kata-kata yang mencoba menghibur.
“Gimana proses pemakamannya?”
Hanya itu saja yang keluar dari mulutnya.
Rindu menunduk, menelan ludah pahit. “Aku akan segera mengurusnya….”
“Kalau bisa cepat.”
"Tapi Mas, kita perlu bicara—"
“Lain kali saja,” Dimas menyela tak sabar. “Ada yang lebih penting saat ini.”
Dahi Rindu mengernyit saat Dimas menyerahkan sebuah berkas kepadanya. Wanita itu menatapnya sejenak, sebelum sepasang matanya yang sembab membelalak terkejut.
“Ini….”
“Mari kita bercerai.”
Seperti ada petir yang menyambar Rindu saat ini. Tangannya gemetar memegang berkas gugatan itu.
“Tapi….”
“Kita nggak cocok lagi,” kata Dimas tanpa ekspresi. “Dan sekarang kamu udah nggak ada anak. Nggak ada yang bisa kita pertahankan di sini.”
Kata-kata itu menusuk lebih tajam dari pisau. Seolah kematian anak mereka hanyalah kematian kecoa yang tak berarti, bukan luka yang seharusnya mereka tanggung bersama.
"Lagipula, aku nggak cinta lagi sama kamu. Jadi, tandatangani surat ini."
Semudah itu.
Seolah Rindu hanyalah sampah tak berguna, yang bisa dibuang kapan saja.
Anaknya bahkan belum dimakamkan, tapi Dimas tidak peduli dan menghantamnya dengan satu lagi kenyataan pahit yang harus ia telan bulat-bulat.
Rindu tidak tahu harus mengatakan apa. Sudah terlalu banyak rasa sakit yang ia terima belakangan ini hingga membuatnya mati rasa.
**
Tak lama setelah resmi bercerai, Rindu mendengar kabar bahwa Dimas menikah lagi dengan perempuan yang dulu menjadi selingkuhannya, sekaligus mantan pacarnya.
Rindu tidak menangis. Kehilangan Dimas bukanlah hal yang patut ia tangisi. Pria yang tak layak dicintai, tak layak juga menghancurkannya.
Tapi kehilangan anaknya? Itu luka yang tak akan pernah sembuh.
Rindu memutuskan pulang ke kampung dan tinggal bersama kedua orang tuanya.
Ia berusaha menata hati—juga hidupnya—setelah kehilangan anak yang telah lama ia nanti.
Hari-hari pertama di kampung terasa seperti kembali ke masa kecil. Namun setiap malam, ia masih terjaga, memandangi langit-langit sambil merasakan perutnya yang kosong.
Sore itu, ibunya masuk ke kamar sambil membawa secangkir teh. Duduk di tepi ranjang, ia menatap Rindu lama sebelum bicara.
“Kamu masih ingat sama Kak Ratna?” tanyanya pelan.
Rindu mengangguk. Ratna adalah kakak angkatnya—jauh lebih tua darinya, jaraknya dua puluh tahun.
Waktu orang tuanya belum punya anak, ayahnya punya bawahan yang rajin, yaitu Ratna. Dia yatim piatu, sendirian. Ayahnya sayang padanya, sehingga orang tuanya memutuskan untuk mengangkatnya menjadi anak.
Rindu ingat foto-foto lama di album keluarga. Foto itu menampilkan seorang remaja perempuan tersenyum kikuk di samping kedua orang tuanya.
Rindu tersenyum samar. “Aku ingat… kita sering main bareng waktu kecil.”
“Arka… anaknya Ratna, dia anak pertama. Kamu tahu kan, sejak kecil dia pintar sekali? Tapi…” suara ibunya merendah, “…sekarang dia sedang susah. Istrinya meninggalkan dia, dan bayi mereka yang baru lahir. Bayi itu masih butuh ASI.”
Rindu terdiam, mengamati wajah ibunya yang sedih.
"Pergi?" gumam Rindu. Bagaimana mungkin seorang ibu meninggalkan bayi yang baru lahir?
Ibunya menatapnya lama. “Ibu kasihan sama Arka. Dia harus kerja, anaknya sakit-sakitan. Bank ASI memang ada, tapi nggak mungkin terus-terusan. Dan kamu…” Ia berhenti sebentar. “…kamu masih mengeluarkan ASI.”
Rindu menunduk. Memang benar. Ia sudah kehilangan anaknya, tapi ASI-nya masih terus berproduksi.
"Gimana kalau kamu jadi ibu susunya saja, Rindu?"
"Ha?!"
Saat Arka berhasil menyusul, Rindu sudah masuk ke dalam kamar, dan kamarnya terkunci. Ketika ia mengetuk pun, tidak ada jawaban.“Tan, kamu baik-baik aja?” tanya Arka.Hening.Arka tidak mendengar apapun.Pria itu mondar-mandir di pintu dengan gelisah.Arka lalu memutuskan untuk membiarkan Rindu menenangkan diri. Tapi sampai langit berubah menjadi gelap, Rindu tidak juga keluar.Luna menangis kencang. Arka memberinya susu dari botol, tapi bayi mungil itu menolak. Tangisnya pecah hingga Arka yakin tetangga pasti akan mendengarnya.Rindu pun keluar dari kamarnya dengan mata sembab. Arka tahu Rindu sudah menutupi bekasnya, tapi masih terlihat seperti disengat lebah."Tan—"Rindu langsung masuk ke kamar Luna dan memunggungi Arka. Ia masih belum siap berbicara dengan pria itu."Tante, kita perlu bicara.""Sstt. Biar Luna tidur, jangan berisik," ujar Rindu pelan, tapi penuh penekanan hingga membuat Arka tak bisa berkutik.Pria itu lantas membiarkan Rindu menyusui Luna yang kini tampak anten
Malamnya, saat Rindu sedang menyiapkan susu tambahan untuk Luna, listrik mendadak padam.Luna menangis kencang karena rumah gelap gulita. Arka segera menyalakan senter dari ponselnya dan mendekat.“Biar aku pegang, Tante siapkan susunya.”Dalam cahaya redup itu, Rindu dan Arka berdiri berdekatan di dapur. Luna ada di pelukan Arka, sementara Rindu meraba-raba botol susu.Dari luar, jika ada yang melihat lewat jendela, pemandangannya pasti seperti keluarga muda yang saling bahu-membahu di tengah situasi darurat.Rindu agak gelisah ketika Arka semakin mendekat hingga ia bisa merasakan suhu tubuh yang terasa hangat.Karena tidak fokus, Rindu tidak sengaja menyenggol botol susu panas hingga jatuh dan mengenai tangannya.“Akh!” Rindu memekik terkejut.Arka juga tersentak. Ia langsung menarik tangan Rindu dan membawanya ke wastafel.Air yang mengalir dari keran membasahi tangan Rindu yang memerah terkena susu panas.“Shh…” Wanita itu meringis.“Sakit?” tanya Arka, sambil tetap menggenggam pe
Kalimat ibu-ibu itu melayang-layang di udara, menusuk telinga Rindu. Namun, ia pura-pura tidak mendengar, lalu segera masuk ke dalam rumah beserta barang belanjaan.Saat tiba di kamar, Rindu menerima telepon dari ibunya di kampung.“Rin, kabar kamu gimana?” suara ibunya terdengar hati-hati.“Baik, Bu. Luna sehat, Arka juga baik.”Hening sejenak, lalu ibunya berkata pelan, “Kamu… nggak apa-apa?”Rindu tidak langsung menjawab. Jantungnya masih berdegup kencang setelah mendengar pembicaraan tetangga tadi.Tapi ia berusaha menekannya. Rindu tersenyum, meski ibunya tak bisa melihat. “Nggak apa-apa, Bu. Memangnya apa yang bisa terjadi?” katanya, lebih untuk dirinya sendiri.“Kamu yakin?” tanya ibunya.“Iya, Bu. Semuanya aman terkendali,” kilah wanita itu.Ibunya menghela napas, seolah melepaskan sedikit beban. “Ya sudah. Ibu cuma… khawatir. Beritahu ibu kalau ada sesuatu ya?”Entah mengapa, dada Rindu terasa sesak mendengarnya.Apakah ia sudah salah menentukan pilihan?“Iya, Bu. Rindu pasti
Sebulan setelah kepindahan Rindu, mereka pergi bertiga ke mal untuk membeli kebutuhan bayi.Wanita itu tampil manis, dengan dress baby blue selutut dan outer rajut tipis berwarna senada. Rambutnya diikat dengan model messy bun yang memberikan kesan santai.Tas bayi dibawa oleh Arka di bawah stroller Luna, karena memang stroller itu memiliki tempat untuk meletakkan barang.Sesekali Arka melirik Rindu yang dengan tampilan itu, ia tampak jauh lebih muda, seperti anak kuliahan yang membuatnya terlihat gemas.Dan berkali-kali, Arka mengingatkan dirinya sendiri, ‘Dia Tantemu, Arka!’Sebenarnya Rindu juga cukup kagum dengan penampilan Arka. Ia sudah terbiasa melihat Arka mengenakan pakaian formal. Tapi saat ini, pria itu hanya memakai kaos putih dan celana jeans, serta sepatu kets yang membuatnya tampak modis sekaligus… maskulin.Rindu buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah sekitar, sambil dalam hati merutuki dirinya sendiri karena memperhatikan keponakannya itu tanpa sadar.Beberapa ora
Suasana kembali hening. Dari sudut matanya, Rindu bisa melihat Arka yang terdiam dengan wajah kaku di ambang pintu.Apakah kata-katanya salah? Rindu bertanya-tanya dalam hati.Bagaimanapun, mereka terikat perjanjian. Dan semua itu untuk Luna. Rindu tidak ingin merepotkan Arka lebih dari apapun.“Kamu udah makan?”Arka menoleh. Ia tidak langsung menjawab. Raut wajahnya begitu sulit diartikan, seolah ia tengah memikirkan sesuatu, namun enggan menyuarakannya.“Udah, tadi di luar,” sahut Arka. “Kalau gitu, aku mandi dulu,” katanya, kemudian berlalu meninggalkan Rindu dan Luna berdua.Rindu menghela napas. “Ya ampun, canggung banget,” gumamnya.Mungkin memang butuh waktu untuk beradaptasi. Kejadian seperti ini juga mungkin saja kembali terulang, dan itu bukanlah sesuatu yang besar.Rindu—dan mungkin juga Arka—harus terbiasa.Tapi entah mengapa, Rindu merasa itu tidak akan berjalan dengan mudah.**Pekan pertama, Rindu lebih banyak berdiam, mencoba memahami ritme rumah.Luna minum ASI setia
Pagi-pagi sekali, Rindu duduk di beranda sambil menyeruput teh hangat. Udara kampung masih basah oleh embun. Ibunya keluar, duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa.Rindu sepertinya harus jujur pada ibunya sekarang. Ia menarik napas, sebelum berkata.“Aku pikir-pikir… mungkin Ibu benar,” kata Rindu akhirnya, matanya menatap jauh. “Mungkin ini cara Tuhan… ngasih aku kesempatan untuk tetap jadi seorang ibu, meski bukan anak kandungku sendiri.”Ibunya menoleh, tersenyum samar. Ia sudah menduganya. “Kamu yakin?”Rindu mengangguk. “Aku akan ikut Arka ke kota. Dua tahun, seperti yang dia tawarkan. Setelah itu… kita lihat saja.”Kabar itu cepat sampai ke telinga Arka. Sore harinya, mobil hitamnya kembali masuk ke halaman rumah. Ia keluar tergesa-gesa, menghampiri Rindu yang sedang menyirami tanaman di depan rumah.“Jadi… Tante setuju?” suaranya seperti tidak percaya.Rindu tersenyum tipis melihat wajah tampan keponakannya yang 7 tahun lebih muda darinya itu.“Iya.”Arka terlihat berkaca-ka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments