เข้าสู่ระบบKalimat ibu-ibu itu melayang-layang di udara, menusuk telinga Rindu. Namun, ia pura-pura tidak mendengar, lalu segera masuk ke dalam rumah beserta barang belanjaan.
Saat tiba di kamar, Rindu menerima telepon dari ibunya di kampung.
“Rin, kabar kamu gimana?” suara ibunya terdengar hati-hati.
“Baik, Bu. Luna sehat, Arka juga baik.”
Hening sejenak, lalu ibunya berkata pelan, “Kamu… nggak apa-apa?”
Rindu tidak langsung menjawab. Jantungnya masih berdegup kencang setelah mendengar pembicaraan tetangga tadi.
Tapi ia berusaha menekannya. Rindu tersenyum, meski ibunya tak bisa melihat. “Nggak apa-apa, Bu. Memangnya apa yang bisa terjadi?” katanya, lebih untuk dirinya sendiri.
“Kamu yakin?” tanya ibunya.
“Iya, Bu. Semuanya aman terkendali,” kilah wanita itu.
Ibunya menghela napas, seolah melepaskan sedikit beban. “Ya sudah. Ibu cuma… khawatir. Beritahu ibu kalau ada sesuatu ya?”
Entah mengapa, dada Rindu terasa sesak mendengarnya.
Apakah ia sudah salah menentukan pilihan?
“Iya, Bu. Rindu pasti akan cerita.”
Bohong lagi.
Tidak mungkin Rindu bercerita pada ibunya. Ia tidak ingin ibunya semakin khawatir, yang akan mempengaruhi kesehatannya.
Ibunya sudah cukup lelah. Rindu tidak ingin menambahi rasa lelahnya.
**
Keesokan harinya, saat menjemur pakaian di atap rumah, Rindu melihat Mbak Siti—pembantu di rumah—datang dengan wajah agak sungkan.
“Bu, maaf… tadi saya dengar di warung, ada yang bilang-bilang lagi kalau Bu Rindu ini… simpanan Pak Arka yang buat Pak Arka dan istrinya pisah."
Rindu berhenti menggantungkan baju. “Apa?” katanya, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Mbak Siti mengangguk. “Tapi saya nggak percaya, Bu. Saya tahu Bu Rindu orang baik.”
Rindu memaksakan seulas senyum. “Biarin aja, Mbak. Nanti juga mereka capek sendiri,” katanya. Meski sebenarnya, Rindu juga tidak yakin.
Apalagi, kemarin ia juga mendengar bisik-bisik tetangga secara langsung.
Itu saja membuatnya kepikiran.
Bagaimana kalau gosip yang beredar di belakangnya lebih parah?
Ia bahkan dituduh menjadi penyebab Arka berpisah dengan istrinya.
Entah apa lagi yang akan mereka bicarakan tentang dirinya.
Rindu menghela napas panjang. ‘Apa yang harus kulakukan?’
Sepanjang pagi, Rindu lebih banyak melamun. Ia tampak tidak bersemangat karena kepikiran gosip-gosip tidak benar itu.
Saat tengah menggendong Luna, bayi mungil itu berceloteh, membuat pikiran kusut Rindu seketika teralihkan.
Rindu tersenyum dan mengecup pipi tembamnya dengan gemas. Ia seakan disadarkan bahwa kehadirannya di sini hanya untuk Luna.
“Terima kasih ya, Sayang,” gumam Rindu, lalu terkekeh saat bayi itu terkikik senang karena mendapatkan afeksi darinya.
Ia lantas siap-siap untuk pergi ke posyandu di balai RW. Saat itu, Arka tiba-tiba muncul dari pintu utama.
Rindu menatapnya terheran. “Kenapa balik?” tanyanya.
“Hari ini jadwal ke posyandu, kan? Biar aku antar,” sahut Arka ringan.
“Bukannya tadi kamu bilang ada rapat—”
“Luna lebih penting, Tan,” sela Arka sambil tersenyum samar. “Yuk.”
Mereka lantas pergi bersama ke balai RW, tempat posyandu diadakan.
Rindu pikir, posyandu sudah tidak begitu ramai karena sudah menjelang siang. Tapi ternyata, masih banyak ibu-ibu dan anak kecil yang berada di sana.
Begitu mereka masuk, berpasang-pasang mata langsung mengarah ke pintu menyambut kedatangan mereka.
“Eh, ini anaknya ya? Cantik banget.”
“Iya, bapaknya ganteng, ibunya cantik…”
“Tapi… katanya bukan ibunya?”
Rindu mulai resah begitu mendengar bisik-bisikan yang seperti sengaja agar ia dengar itu.
Namun, ia hanya tersenyum kaku, pura-pura sibuk dengan buku catatan imunisasi.
Arka, sebaliknya, tampak tidak peduli. Ia bahkan menggendong Luna dengan santai sambil mengobrol dengan bidan.
"Memang siapa kalau bukan ibunya? Mereka tinggal serumah, apalagi Pak Arka duda. Nggak mungkin pengasuhnya kan?"
Sungguh, Rindu merasakan tekanan yang tidak biasa. Harusnya ia senang bisa menyandang gelar 'ibu', tapi tidak untuk sebuah dugaan atau sebutan saja.
Di saat pulang, Rindu memilih diam. Ia masih kepikiran. Tangannya mengelus punggung Luna di dekapannya, tapi tatapannya kosong ke depan.
“Kenapa?” tanya Arka saat mereka sudah di dalam mobil.
“Nggak, cuma capek,” sahut Rindu pendek.
Arka meliriknya sekilas begitu mobil sudah melaju membelah jalanan. “Kalau ada yang bikin Tante nggak nyaman, bilang aja. Jangan ditahan sendiri.”
Rindu hanya menggeleng. Baginya, yang sulit bukan menahan kata-kata orang, tapi menahan dirinya untuk tidak terlalu larut dalam kenyamanan yang Arka berikan.
Menyandang gelar 'ibu' adalah hal yang ia rindukan, tapi apakah itu yang ia harapkan? Ibu hanya dari nama, bukan sungguhan.
Rasanya kosong saat merasakan kehangatan itu. Takut ia membuat Arka tidak nyaman.
Bagaimanapun, ia hanyalah Tante bagi Arka. Tidak lebih.
Benar saja, Rindu akhirnya kelelahan dan tak bisa diganggu seharian gara-gara Arka menguasainya di dalam kamar. Yang tau-tau saja mereka melakukan apa. Intinya, Bi Siti dan yang lain dibebaskan berkeliling, sekaligus membawa Baby Luna agar tak mengganggu mereka. Saat Rindu terbangun, waktu sudah gelap dan Arka sedang main gitar di balkon. Ia duduk di kursi rotan, menatap ke arah laut sambil bersenandung dengan santai. Wajahnya tampak selalu tersenyum, seolah tiada masalah dalam hidupnya. "Arka..."Arka langsung menoleh melihat bidadarinya yang baru keluar kamar. Arka langsung mengulurkan tangan dengan senyum terbaiknya. "Sini Sayang, capek ya?"Rindu pun menerima uluran tangan itu dan duduk di samping suaminya, dan bersandar di pundaknya. "Capek banget sampe susah jalan, kamu tuh energinya gak habis-habis!" protes Rindu. Seperti biasa, Arka hanya cengegesan saat ditegur. Lalu ia meletakkan gitarnya dan mengangkat istrinya ke pangkuannya. Rindu agak kaget, tapi tak kaget dengan ke
Buk! Rindu meninju lengan bisep suaminya. Bukannya kesakitan, Arka malah terkekeh. "Masa kiss doang gak mau sih?" tanya Arka sok sedih. Meliat ekspresi itu Rindu langsung bimbang. Ia terperdaya oleh tipu daya Arka yang dahsyat itu. "Minimal cium pipi kek," lanjut Arka. Ia menyodorkan pipinya agar Rindu lebih mudah menjangkaunya--dengan bibirnya. Rindu memikirkannya, mungkin tidak apa-apa cium pipi. Namun saat ia maju, memejamkan mata, dan ingin mencium pipi suaminya itu. Arka malah menoleh sehingga bibir mereka saling bersentuhan. Rindu kaget dan langsung menjauh, tapi sayang Arka lebih cepat mencegahnya. Arka berhasil memperdalam ciuman mereka, sampai tak terasa Rindu sudah berbaring dengan dirinya di atasnya. "Arka..." Rindu terlihat gugup, tapi ia tidak mendorong Arka atau menunjukkan penolakan. Arka tau ini sangat tiba-tiba. Saat ia akan mendekat, Rindu terlihat memejamkan mata. Entah tak siap, atau sedang gugup untuk menerima ciuman Arka. Namun melihat Ri
Dini hari, acara resepsi baru selesai. Musik lembut mengalun dari pengeras suara. Para tamu mulai pulang satu per satu, dan udara desa terasa tenang lagi. Rindu duduk di teras, masih mengenakan kebayanya yang kini sedikit kusut. Angin malam mengelus lembut wajahnya, membawa aroma bunga kenanga dari halaman. Dari dalam rumah, Arka muncul sambil membawa dua gelas jahe hangat. Ia menyerahkan satu kepadanya. “Untuk istri tercantik di dunia,” katanya pelan. Rindu tertawa kecil, menatapnya. “Jadi mau udah jadi Suamiku?" “Iya dong,” balas Arka sambil duduk di sebelahnya. "Coba panggil suamiku." "Suamiku?" "Kurang mesra," protes Arka. "Suamiku~~" Arka langsung memegang dadanya sambil menunduk. Rindu langsung khawatir, ia memagang wajah Arka agar menghadapnya. Namun bukannya kesakitan yang ia lihat dalam ekspresinya, Arka justru tertawa. "Hahaha!" Rindu pun menabok lengan bisep sang suami. "Dih boongan!" "Sorry, tapi beneran kok. Dadaku rasanya pingin meledak!" "K
Nama Arka kembali mencuat dengan skandal yang beredar. Rindu sampai ragu untuk meneruskan acara pernikahan mereka, "Cinta Lama Belum Usai?" "Hubungan Arka dan Nadya Kembali Dipertanyakan." Foto-foto lama mereka diposting ulang, disandingkan dengan potongan gambar yang diedit tak bertanggung jawab. Tagar baru bermunculan, komentar publik pun terbelah antara yang membela dan yang mencaci. Rindu membaca semuanya dengan tangan bergetar. Bukan karena ia percaya, tapi karena hatinya merasa khawatir. Ia tahu betul siapa Arka, tapi melihat namanya kembali dihujat, membuat hatinya ikut perih. Pagi itu ia duduk di ruang tamu rumahnya, ponsel di pangkuan, matanya kosong menatap lantai. Ibunya datang membawa teh hangat. “Nak, jangan dibaca lagi beritanya. Sudahlah, nanti juga reda.” Rindu mengangguk, tapi suaranya nyaris tak keluar. “Tapi, Bu… kenapa harus selalu muncul pas waktunya udah dekat kayak gini?” Ibu menatap putrinya pelan. “Mungkin karena bahagiamu besar, jadi ada aja ya
Meski mungkin ada kejutan lain yang menunggu, Arka secara sadar siap menghadapinya. Ia yakin sendiri pun ia bisa, tapi keberadaan Rindu akan melengkapinya. "Sayang... kangen," gumam Arka ketika ia melakukan video call dengan Rindu. Rindu hanya tersenyum melihat bayi besarnya itu. "Bukannya nanyain anak malah tiba-tiba bilang kangen. Sapa dulu nih Luna," balas Rindu. Arka hanya tersenyum lelah. Meski lelah, ia tetap menyapa putrinya yang duduk dan menatapnya. "Bilang halo ke Papa, Sayang," ajak Rindu. Baby Luna terlihat memproses, lalu berkata. "Papa!" "Bilang halo, gitu!" "Hayo..." "Halo, Papa!" "Hayo Papa!" Arka terkekeh melihat putrinya yang tampak berkembang dengan penuh kebahagiaan. Rasanya ia ingin menangis saking bahagianya. "Halo juga sayangnya Papa, udah mimi susu hari ini?" sapa Arka. "Udah gitu..." tuntun Rindu. "Udhah, udhah?" tiru Baby Luna seolah bertanya. Bayi cantik itu langsung membuat Rindu gemas dan langsung memeluknya dan menciumny
“Yang aku sesali cuma satu, kenapa aku nggak jujur dari awal, kalau hatiku bukan buat kamu. Aku gak akan bisa mencintai orang lain selain Rindu, sejak awal." Nadya terdiam. Mata yang selalu penuh percaya diri kini hanya menyimpan sisa-sisa rasa marah dan kecewa. Tangannya mengepal di atas meja, tapi suaranya pelan ketika akhirnya bicara. “Dan sekarang?” “Sekarang,” jawab Arka dengan nada tegas namun tenang, “aku nggak akan membohongi siapapun lagi.” Keheningan menggantung di antara mereka. Café itu terasa terlalu sunyi untuk dua hati yang sedang bersitegang. Nadya menatap Arka dalam, seolah masih mencari celah untuk masuk ke hati yang selalu ia harapkan. Tapi yang ia temukan hanya dinding kokoh, bukan lagi pria yang mudah ia dekati. Arka ternyata selalu memasang dinding itu, hanya kelihatan mudah didekati tapi tak mudah dimasuki. Dan sekarang semuanya terlambat, hati itu sepenuhnya adalah milik Rindu seorang. “Kalau gitu…” Nadya berbisik dengan nada getir, “ini belum







