Home / Romansa / Ibu Susu Anak Keponakanku / 6. Gosip Makin Menggila

Share

6. Gosip Makin Menggila

Author: Blue Rose
last update Huling Na-update: 2025-08-17 12:41:59

Kalimat ibu-ibu itu melayang-layang di udara, menusuk telinga Rindu. Namun, ia pura-pura tidak mendengar, lalu segera masuk ke dalam rumah beserta barang belanjaan.

Saat tiba di kamar, Rindu menerima telepon dari ibunya di kampung.

“Rin, kabar kamu gimana?” suara ibunya terdengar hati-hati.

“Baik, Bu. Luna sehat, Arka juga baik.”

Hening sejenak, lalu ibunya berkata pelan, “Kamu… nggak apa-apa?”

Rindu tidak langsung menjawab. Jantungnya masih berdegup kencang setelah mendengar pembicaraan tetangga tadi.

Tapi ia berusaha menekannya. Rindu tersenyum, meski ibunya tak bisa melihat. “Nggak apa-apa, Bu. Memangnya apa yang bisa terjadi?” katanya, lebih untuk dirinya sendiri.

“Kamu yakin?” tanya ibunya.

“Iya, Bu. Semuanya aman terkendali,” kilah wanita itu.

Ibunya menghela napas, seolah melepaskan sedikit beban. “Ya sudah. Ibu cuma… khawatir. Beritahu ibu kalau ada sesuatu ya?”

Entah mengapa, dada Rindu terasa sesak mendengarnya.

Apakah ia sudah salah menentukan pilihan?

“Iya, Bu. Rindu pasti akan cerita.”

Bohong lagi.

Tidak mungkin Rindu bercerita pada ibunya. Ia tidak ingin ibunya semakin khawatir, yang akan mempengaruhi kesehatannya.

Ibunya sudah cukup lelah. Rindu tidak ingin menambahi rasa lelahnya.

**

Keesokan harinya, saat menjemur pakaian di atap rumah, Rindu melihat Mbak Siti—pembantu di rumah—datang dengan wajah agak sungkan.

“Bu, maaf… tadi saya dengar di warung, ada yang bilang-bilang lagi kalau Bu Rindu ini… simpanan Pak Arka yang buat Pak Arka dan istrinya pisah."

Rindu berhenti menggantungkan baju. “Apa?” katanya, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Mbak Siti mengangguk. “Tapi saya nggak percaya, Bu. Saya tahu Bu Rindu orang baik.”

Rindu memaksakan seulas senyum. “Biarin aja, Mbak. Nanti juga mereka capek sendiri,” katanya. Meski sebenarnya, Rindu juga tidak yakin.

Apalagi, kemarin ia juga mendengar bisik-bisik tetangga secara langsung.

Itu saja membuatnya kepikiran.

Bagaimana kalau gosip yang beredar di belakangnya lebih parah?

Ia bahkan dituduh menjadi penyebab Arka berpisah dengan istrinya.

Entah apa lagi yang akan mereka bicarakan tentang dirinya.

Rindu menghela napas panjang. ‘Apa yang harus kulakukan?’

Sepanjang pagi, Rindu lebih banyak melamun. Ia tampak tidak bersemangat karena kepikiran gosip-gosip tidak benar itu.

Saat tengah menggendong Luna, bayi mungil itu berceloteh, membuat pikiran kusut Rindu seketika teralihkan.

Rindu tersenyum dan mengecup pipi tembamnya dengan gemas. Ia seakan disadarkan bahwa kehadirannya di sini hanya untuk Luna.

“Terima kasih ya, Sayang,” gumam Rindu, lalu terkekeh saat bayi itu terkikik senang karena mendapatkan afeksi darinya.

Ia lantas siap-siap untuk pergi ke posyandu di balai RW. Saat itu, Arka tiba-tiba muncul dari pintu utama.

Rindu menatapnya terheran. “Kenapa balik?” tanyanya.

“Hari ini jadwal ke posyandu, kan? Biar aku antar,” sahut Arka ringan.

“Bukannya tadi kamu bilang ada rapat—”

“Luna lebih penting, Tan,” sela Arka sambil tersenyum samar. “Yuk.”

Mereka lantas pergi bersama ke balai RW, tempat posyandu diadakan.

Rindu pikir, posyandu sudah tidak begitu ramai karena sudah menjelang siang. Tapi ternyata, masih banyak ibu-ibu dan anak kecil yang berada di sana.

Begitu mereka masuk, berpasang-pasang mata langsung mengarah ke pintu menyambut kedatangan mereka.

“Eh, ini anaknya ya? Cantik banget.”

“Iya, bapaknya ganteng, ibunya cantik…”

“Tapi… katanya bukan ibunya?”

Rindu mulai resah begitu mendengar bisik-bisikan yang seperti sengaja agar ia dengar itu.

Namun, ia hanya tersenyum kaku, pura-pura sibuk dengan buku catatan imunisasi.

Arka, sebaliknya, tampak tidak peduli. Ia bahkan menggendong Luna dengan santai sambil mengobrol dengan bidan.

"Memang siapa kalau bukan ibunya? Mereka tinggal serumah, apalagi Pak Arka duda. Nggak mungkin pengasuhnya kan?"

Sungguh, Rindu merasakan tekanan yang tidak biasa. Harusnya ia senang bisa menyandang gelar 'ibu', tapi tidak untuk sebuah dugaan atau sebutan saja.

Di saat pulang, Rindu memilih diam. Ia masih kepikiran. Tangannya mengelus punggung Luna di dekapannya, tapi tatapannya kosong ke depan.

“Kenapa?” tanya Arka saat mereka sudah di dalam mobil.

“Nggak, cuma capek,” sahut Rindu pendek.

Arka meliriknya sekilas begitu mobil sudah melaju membelah jalanan. “Kalau ada yang bikin Tante nggak nyaman, bilang aja. Jangan ditahan sendiri.”

Rindu hanya menggeleng. Baginya, yang sulit bukan menahan kata-kata orang, tapi menahan dirinya untuk tidak terlalu larut dalam kenyamanan yang Arka berikan.

Menyandang gelar 'ibu' adalah hal yang ia rindukan, tapi apakah itu yang ia harapkan? Ibu hanya dari nama, bukan sungguhan.

Rasanya kosong saat merasakan kehangatan itu. Takut ia membuat Arka tidak nyaman.

Bagaimanapun, ia hanyalah Tante bagi Arka. Tidak lebih.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   83. Menggatal

    Keesokan paginya, mereka berdua tampil seolah tak terjadi apa-apa. Arka mengenakan setelan abu-abu muda dengan dasi hitam. Wajahnya tenang, profesional, tidak ada yang tau apa yang ia rasakan sebenarnta. Nadya berdiri di sisinya, menebar senyum ramah ke semua orang di ruang rapat. Presentasi yang memakam waktu sekitar dua jam, akhirnya berjalan sempurna. Arka bicara lugas, Nadya menambahkan beberapa poin dengan suara lembutnya. Para klien tampak puas, bahkan beberapa di antaranya memuji “kecocokan” mereka sebagai tim. Saat makan siang di restoran hotel, Nadya duduk di sebelah Arka, tapi jaraknya terlalu dekat. “Kak Arka, cobain ini deh. Dagingnya empuk banget,” katanya sambil menyodorkan garpu. “Udah, Nad. Aku udah kenyang.” “Ah, masa sih? Nih, dikit aja…” Ia mencoba menyuapinya, dan Arka menatap tajam. Nadya pun hanya tertawa kecil, mencoba menutupi kegugupannya. “Ya ampun, aku bercanda kok, Kak. Serius amat dari tadi," katanya pelan. Yang lain ikut tertawa sopan, mengira it

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   82. Nadya yang Begitu Cantik

    "Pak, ada Nona Nadya," ucap Sekretaris Arka dari pintu. Arka mengangguk, tanda mengizinkan Nadya masuk ke dalam. "Kamu tau kan aku mau bahas apa?" tanya Nadya. "Kamu udah bilang di WA, masih ke sini lagi. Aku kan udah jawab, iya nanti aku suruh Dian yang mewakili. Dia lebih ahli dalam bidang ini." "Tapi kan client maunya kamu yang nanganin langsung." Arka menatap Nadya dengan tatapan seperti laser yang siap melubangi besi di sekitarnya. Hal itu membuat Nadya agak merinding, tapi ia pantang mundur. "Memangnya kerjaanku cuma itu doang? Yang kerjasama sama aku gak cuma kamu Nadya, mengertilah." Nadya cemberut, tidak suka dengan keputusan Arka. Sayangnya, Nadya mengadu pada sang ayah dan entah bagaimana Arka hanya bisa menurut. Padahal jika kerjasama dibatalkan, ia juga tak aan rugi kok. Arka dan Nadya akhirnya berangkat untuk perjalanan bisnis ke Bangkok-Thailand. ••• Tiga hari perjalanan bisnis seharusnya tak terasa lama bagi Arka. Ia sudah terbiasa dengan ritme kerja c

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   81. Ratna Tidak Sekejam Itu

    Rindu merasa lega, karena Ratna bisa memberinya sedikit waktu untuk melepaskan Arka perlahan.Sore itu, mereka bertiga duduk di ruang tamu. Luna tidur di box-nya, suasana cukup tenang. Rindu dan Ratna sedang mencatat daftar kebutuhan bulanan. “Rin, bulan depan Luna udah dua belas bulan, ya?” tanya Ratna sambil menghitung di kalender. Rindu mengangguk. “Iya, Mbak. Aku kepikiran, gimana kalau kita adain syukuran kecil aja kayak biasanya?” Ratna tersenyum. “Boleh juga. Kayak tiap bulan, ya. Kita undang beberapa tetangga aja.” “Iya. Mungkin bikin nasi tumpeng kecil, terus kue buat Luna.” “Boleh, nanti aku bantu belanja bahan. Tapi…” Ratna berhenti sebentar, matanya melirik ke arah jam. “Arka kok belum pulang, ya?” Rindu ikut menatap jam, sudah lewat magrib. Biasanya Arka sudah pulang sebelum jam segitu. “Mungkin lembur?” katanya mencoba terdengar santai. Ratna menggeleng. “Kayaknya bukan lembur. Tadi dia bilang ada meeting bareng Nadya.” Nama itu membuat dada Rindu terasa aneh. Ia

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   80. Berlindung pada Ratna

    “Bagaimanapun juga, yang salah di sini itu Arka.” Suara berat pria paruh baya itu terdengar memenuhi ruang tamu yang tiba-tiba sunyi. Semua mata terarah padanya—suami Ratna, ayah Arka, yang selama ini lebih banyak diam dan membiarkan istrinya menangani konflik rumah tangga. Tapi kali ini, ia ikut bersuara. “Rindu di sini bukan karena apa-apa. Dia gak salah. Yang keliru itu Arka, karena sudah kurang ajar, suka sama Tantenya sendiri,” lanjutnya tegas. Tatapannya menusuk ke arah Arka yang duduk di sofa, bahunya sedikit turun, mata sembab tapi masih menatap lurus ke depan. “Dan karena Arka yang memulai semua ini,” tambah sang ayah, “maka Arka juga yang harus bertanggung jawab atas semuanya.” Ucapan itu membuat suasana semakin berat. Rindu menunduk, kedua tangannya saling meremas di pangkuan. Ia merasa ingin membantah, tapi sungkan. Bagaimanapun, pria itu adalah suami kakaknya. Orang yang ia hormati sejak dulu. “Pah,” ucap Ratna pelan, mencoba membantah. “Aku juga udah bilang, p

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   79. Anak Setan

    “Arka--” "Cukup, Arka!" Kali ini Rindu yang membentak Arka, sehingga Arka tak berani melawan lagi. "Aku kesulitan karenamu! Tujuanku cuma buat Luna, tapi kamu malah memupuk perasaan padaku." Arka menatap Rindu dengan napas yang memburu. Ia memang salah karena tidak memperhatikan norma dalam silsilah, tapi bukan itu yang membuat ia kesal. Rindu juga memiliki perasaan padanya, tapi kenapa ia menolak. "Kalau kamu begini terus, aku yang kesulitan Arka. Di dunia ini, perempuan akan punya posisi yang selalu disalahkan lebih dulu! Kalau orang lain tau, aku juga yang akan dituduh merayumu, genit sama kamu, atau julukan yang lebih buruk lagi. Apalagi statusku sebagai Janda!" "Aku juga, Duda kok!" Rindu, Ratna, suami Ratna, bahkan Bi Siti shock mendengar ucapan Arka yang terkesan 'asbun' alias asal bunyi itu. Maksudnya di situasi seperti ini, mengapa kata itu yang keluar. "Bukan itu intinya, Anak Setan! Aku yang akan dirugikan." Kali ini Rindu benar-benar mengumpat, yang bahkan memb

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   78. Dimarahi Habis-habisan

    “Kok Mama di sini?” tanya Arka dengan wajah polos, masih setengah sadar, suaranya serak karena baru bangun tidur. Suasana ruang tengah yang biasanya hangat berubah jadi beku seketika. Rindu terpaku, wajahnya pucat pasi, sementara Ratna berdiri tegak di depan pintu kamar, masih mengenakan pakaian sederhana dengan scarf menutupi sebagian luka bekas operasi di pelipisnya. Matanya memancarkan api kemarahan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. “Bisa-bisanya kamu tanya kenapa Mama di sini?!” bentak Ratna lantang. Nada suaranya menggema sampai ke ruang makan. Bahkan Bi Siti yang tadi menyiapkan sarapan di dapur spontan menjatuhkan sendok yang dipegangnya. Rindu refleks memeluk Baby Luna lebih erat, jantungnya berdebar keras, sementara Arka mendadak benar-benar sadar sepenuhnya. Suami Ratna bahkan memilih bungkam tak berani menengahi kalau Ratna sudah semurka itu. “M–Mama…” Arka berusaha bicara, tapi kata-katanya tertelan di tenggorokan. Ratna melangkah maju, menatap anak lelak

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status